Manis. Itu yang dirasakan oleh Morrow ketika Vanilla mencoba menciumnya. Bahkan ia menginginkan itu terjadi lebih lama, mengecap seluruh permukaan dan berakhir pada napas yang tersengal usai ciuman sempurna. Morrow tidak merasa menyesal ataupun sebaliknya. Hanya ketenangan yang tersisa dalam benaknya, begitu nyaman hingga keberadaan Vanilla bukanlah sebuah beban seperti dulu.
Mereka terhanyut pada suasana sampai dari mereka tidak ada yang berbicara. Tangan Morrow menelusup ke dalam baju lalu menyentuh punggung lembut nan polos Vanilla, serta ia kembali melanjutkan ciuman mereka. Vanilla menuruti permintaan itu, membuka sedikit mulutnya kemudian diri mereka saling bertautan meskipun Vanilla agak menahan napasnya ketika tangan Morrow bergerak turun membelai pahanya. Kulit Vanilla memerah, dadanya merapat ke sisi Morrow berharap dirinya disayang, dengan senang hati Morrow merengkuh wanita itu lebih erat.
Beberapa waktu berlalu dan akhirnya selesai dengan kecupan di kening Vanilla.
Jantung Tara berdebar kencang sekaligus tenang, perasaan cinta Vanilla terhadap Morrow sangatlah kuat, tulus tanpa kebohongan. Tara jadi berpikir ulang bahwa cinta sejati benar adanya dan ia akan menyesal jika melewatkan untuk menikmatinya, meresapi ke dalam setiap sel tubuh. Padahal dulu ia kira cinta itu adalah sesuatu yang menggebu-gebu nyatanya cinta akan membuatnya tenang dan aman dalam kondisi apapun. Tarapun tidak merasa ragu pada Morrow yang tidak menanggapi segala kegundahan hatinya, karena pria itu ada di sisinya sudah cukup untuknya.
"Ayo kita sarapan." Ujar Morrow sambil menggigit pelan telinga Vanilla.
...//...
Pukul dua siang, mobil Morrow tiba disebuah gedung penerbitan setelah Morrow dan Tara mampir sebentar di apartemen Vanilla untuk mengambil beberapa dokumen sekaligus laptop.
"Hubungi aku, nanti aku antar kau pulang." Seru Morrow sambil menurunkan jendela mobil, sedangkan Tara hanya menoleh tersenyum tipis. Ia mencoba terbiasa dengan kehadiran pria itu.
Punggung Tara teramat kaku hingga ia memasuki pintu masuk gedung. Tidak lain karena Morrow memperhatikannya dari belakang, pria itu seolah memastikan ia tidak pergi kemana-mana. Tapi menurut Tara itu sesuatu yang memalukan, selama ini ia telah menjadi wanita dewasa yang mandiri. Kenyataannya ia bisa menjaga dirinya sendiri selama sepuluh tahun terakhir tanpa orang dewasa.
Tara sadar bahwa Morrow memiliki ketertarikan tinggi secara seksual terhadapnya, terhadap tubuh Vanilla ini. Jadi tidak dipungkiri bila pria itu terus mengawasinya. Bahkan beberapa bagian tubuh Tara akan menghangat bila ingat tentang ciuman Morrow yang memabukan seolah sangat memuja setiap kecupan di bibirnya.
Dan itu sudah cukup menjelaskan bahwa Morrow masih belum menerima hati Vanilla. Sekilas benak Tara merasa miris.
Lift terbuka ketika mencapai lantai dua belas dimana ruangan editor berada. Tara berjalan masuk lalu menyapa Nila yang sedang berkutat pada laptopnya. "Kau sendirian?" Tanya Tara sambil menduduki kursi di seberang meja kerja Nila.
"Kau lupa, ini hari Minggu dan semua orang pergi berlibur." Ujar Nila menarik napas berat. Kalau bukan karena target penulisan Tara Lipinski yang berharga, Nila tidak akan berbuat lebih. Iapun bersedekap, bersandar malas di kursinya. "Bukan seorang pekerja kantoran sepertimu akan lupa pada hari. Oh, kemarin aku sudah membaca tulisanmu dan itu luar biasa. Tulisan kalian seperti.. mirip. Dari pengolahan kata dan pengaturan plot cerita. Itu kerja bagus Vanilla."
"Jangan berlebihan. Sebenarnya itu berkat Jake yang selalu menekanku untuk memperbaiki kalimat. Apalagi aku tidak kenal penulisan sastra." Tara memasang muka melas. Padahal ia selalu jengkel jika mengingat si sialan Jake.
"Ada bagian yang kusukai dari tulisanmu. 'Siapa lagi yang mau mencintaiku, kalau bukan diriku?' Kukuh seperti pendirian Tara." Nila memberi jeda. Dia teringat Tara pernah mengatakan padanya 'Untuk apa mengharapkan orang lain? Jika pandanganmu terhadap dirimu jelek. Sama saja kau menyakiti diri sendiri.' Nila tersadar walaupun Tara tidak memiliki siapapun di dunia ini, ia mencoba memberi tahu dunia bahwa dia ada, melalui tulisan novel-novelnya.
"Vanilla, aku ingin tahu sebenarnya seberapa dekat kau dengan Tara?" Pertanyaan Nila sedikit nada penekanan. Meskipun Vanilla bekerja dengan baik dan telah menceritakan beberapa kisah dia dengan Tara. Tapi Nila bisa merasa ada kebohongan dari wanita asing itu.
Tara menatap lurus mata Nila. Asalkan ia bisa memberi tahu apa yang terjadi dengannya, mungkin akan sedikit melegakan. "Aku tidak dekat dengan Tara. Dia wanita yang begitu jauh, sulit untuk diraih. Bukan karena dia wanita hebat dalam karir maupun sifatnya, tapi dia sadar jika aku bisa melihat hatinya. Tara memiliki ketakutan sendiri terhadap itu. Jadi kita hanya sesekali berkomunikasi, seperti mengirim email. Walaupun begitu aku sering mendapatkan kiriman paket novel darinya, meski tiap perayaan tahun baru dia tidak ingin menemuiku dengan berbgai alasan entah itu pergi ke luar negeri atau ada urusan lainnya. Dia wanita pemalu." Tara tidak menyangka bisa menceritakan dirinya sendiri dengan gamblang pada orang asing terlebih kepada rekan kerjanya.
"Bukan. Dia terlalu gengsi. Dan aku seharusnya lebih membujuknya untuk merayakan akhir tahun bersama denganku dan Jake. Entah kenapa ini seperti mimpi karena setelah itu aku melihat Tara sekarat di rumah sakit, aku sangat kebingungan. Kondisinya begitu mengerikan, wajah pucatnya masih terdapat noda darah, dress cantiknya terkoyak parah karena polisi berusaha mengeluarkannya dari timpaan mobil, rambut panjangnya terpaksa di potong habis supaya dokter bisa mengeluarkan darah yang berada di kepalanya, karena dia mengalami pendarahan otak sangat parah. Dan kupikir sebentar lagi dia akan mati. Nyatanya dia berjuang tetap bertahan hidup. Dia hebat bukan?" Tenggorokan Nila tercekat. Sedangkan Tara terkejut melihat Nila menangis, ia terburu mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan menyerahkan pada Nila.
Ucapan Nila sekilas memberikan dorongan untuk Tara agar tetap bertahan. Ia tidak boleh menyerah sampai ia bisa kembali ke tubuhnya dan meninggalkan kehidupan Vanilla. "Kau sudah sangat membantunya, dia pasti amat bersyukur." Balas Tara dari lubuk hatinya terdalam.