Tara berjalan kaki dari halte bus menuju ke apartemen miliknya. Ia tidak menghubungi Morrow untuk menjemputnya, lagi-lagi dia ingin sendirian walaupun hati Vanilla menariknya supaya bertemu pria itu. Kerinduan yang tidak pernah larut terasa mengulitinya hidup-hidup.
Tara ingin malam ini mengikuti kata hatinya, membayangkan orang seperti apa dirinya dulu. Dan itu membuat Tara tersenyum sendirian. Ia ingat bahwa ia sangat menyukai jalan ke taman hiburan dengan ibunya, berpiknik dengan teman sekelasnya ketika sekolah dasar, lalu menangis malu saat ada laki-laki memberinya surat cinta dan itu terjadi sampai akhir SMP, ia bodoh dalam pelajaran matematika tetapi hebat dalam kelas drama.
Ternyata masih ada banyak hal menyenangkan yang pernah ia lalui. Kenapa ia hampir melupakan itu?
Tara memasukkan password apartemennya, dan melesak masuk. Bisa kembali pulang rasanya sangat menyenangkan. Tara meletakan tas bawaannya di atas meja, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil gelas dari rak atas kemudian mengisinya dengan air dingin. "Sudah lama aku tidak menonton TV." Tara meraih remote di atas meja makan, lalu memilih siaran TV olahraga. Sebuah liga sepak bola adalah favoritnya.
Sampai beberapa waktu, akhirnya Tara tertidur di atas sofa. Ia melewatkan makan malam lagi dan membiarkan dirinya hanya memakan sepotong biskuit yang tadi dia beli di minimarket terdekat.
Tidurnya kembali resah, peluh membasahi tubuhnya serta kedua tangan senantiasa mencengkram bantal yang dia gunakan. Napasnya menjadi pendek ketika kilasan mimpi buruk kembali menyerang. Disana Tara menontoni masa lalu Vanilla sedang bertengkar hebat dengan keluarganya.
Vanilla selalu bertahan untuk ibunya. Bekerja sekeras mungkin supaya ia tidak bergantung pada keluarganya karena ayah tirinya dan saudara tirinya tidak pernah menganggap dia ada di dalam keluarga itu, dia tak beda dengan orang asing. Sedangkan ibunya diterima secara terbuka, bahkan dia begitu berharga.
"Vanilla.... Kaukan yang mengambil jam tanganku di atas meja!" Itu yang berteriak adalah Jessie, saudara tiri Vanilla yang terpaksa harus berbagi kamar dengan Vanilla.
"Aku tidak pernah mengambil itu. Dan sore tadi aku masih melihatnya di atas meja." Vanilla membela diri, ia tidak ingin tertindas terus-menerus dan mengkhawatirkan ibunya. Karena Vanilla bisa melihat betapa ibunya mencintai suaminya yang baru.
"Jangan berbohong. Bob pernah mengatakan kau pernah mencuri buku catatan di kelas. Dan semua orang tau itu!" Jessie menyudutkan Vanilla ke dinding, ia menjambak rambut panjang adik tirinya itu kemudian mengguntingnya secara acak.
"Maka dari itu jangan pernah membantahku, sialan! Kau itu tidak akan pernah menjadi saudariku."
Menontoni kejadian itu Tara memejamkan matanya rapat tidak tega. Ia tahu Jessie sengaja mencari alasan supaya bisa menyiksa Vanilla yang masih berumur dua belas tahun. Bahkan tak segan mencakar wajahnya. Ternyata tekanan pada mental Vanilla sudah terjadi jauh sebelum bertemu dengan Morrow. Dia tidak akan pernah bisa bebas.
Diri Tara segera terbangun dari mimpi tepat pada pukul dua malam. Dia tersengal dan menatap samar tv yang masih menyala. Sepertinya ia harus pindah ke dalam kamar.
Tara terhuyung masuk ke ruang tidurnya yang sudah lama tidak ia tempati. Ranjangnya ternyata terlihat lebih nyaman dari biasanya, sontak Tara menghempaskan tubuhnya dengan bebas ke atas kasur lalu menggeliat. Bisa sendirian tanpa orang lain itu kadang kala memiliki kesenangan tersendiri.
Sebelum Tara kembali menutup matanya, dia berdoa, "semoga besok berjalan lancar, karena aku harus menghadapi pria itu lagi."