"Kau suka tempat ini?" Tanya Morrow begitu pria itu menarik kursi untuk Tara dan mempersilahkan duduk. Sebuah restaurant bernuansa keemasan nan hangat dengan banyaknya lampu kristal menggantung di langit-langit ruangan. Interior yang menyajikan kemewahan familiar.
"Iya." Jawab Tara singkat.
"Makanan di restaurant ini terkenal ramai dan enak." Dan untuk malam ini Morrow menyewa seluruh mejanya.
"Sepertinya kau sering ke tempat ini?" Kepala Morrow menggeleng samar meski senyuman tipisnya belum berubah.
"Ini baru ke dua kalinya, yang pertama aku berkunjung sekitar setahun lalu ketika mendapatkan urusan penting yang memaksaku pergi ke New York." Tara berpikir sejenak. Berarti pria itu tidak tinggal di kota ini. Jadi kisah ini memang sudah direncanakan sedemikian rupa. Saat dimana Tara mulai menempati tubuh Vanilla bukan sehari atau dua hari setelah kecelakaan, melainkan tiga hari karena itu bertepatan dengan posisi Morrow yang sedang mempunyai urusan di kota ini.
Tara mendesah keras. Kebetulan ini terasa mengerikan. "Aku memesan sup daging, salad dan minuman lemon hangat." Seru Tara secara mudah tanpa melihat buku menu ketika pramusaji menanyakan pesanan. Setelah itu giliran Morrow.
"Kau ingin mencicipi menu spesial?" Morrow memberi sebuah tawaran.
"Boleh."
Pesanan mereka akan tiba beberapa menit lagi, tentu waktu menjadi lambat bagi Tara.
Tiba-tiba Tara merasakan kehangatan disekujur tubuhnya, bahkan ia dapat mencium aroma parfum Cherry Blossom selembut musim semi. Tidak lain itu adalah sesosok ruh wanita bernama Vanilla keluar dari alam imajinasi Tara dan kini sedang menggelayuti tubuhnya, memelukan lengan di seputar lehernya. "Aku tak menyangka jika takdir menggiring kita seperti ini Tara Lipinski." Ujar Vanilla tersenyum tepat di telinga Tara.
"Omong kosong...." Jawab Tara mencibir dalam batin.
"Aku sangat mencintai Morrow. Hanya kau yang bisa mendekatinya, menemaninya. Kau sendiri tahu jika pria itu penuh kesakitan dan untuk pertama kalinya dia mau mendengarkan orang lain."
"Lalu kau menumpahkan beban ini padaku. Kenapa kau tidak melakukan ini sendirian? Dasar pecundang." Geram Tara.
"Kuberitahu satu rahasia. Cinta di dalam dadamu bukan hanya milikmu." Tangan Vanilla menyuntuh inti dada Tara. "Aku adalah dirimu dan kau adalah aku. Kita berbagi kehidupan, hingga tiba saatnya kau mendapatkan sebuah jawaban dari cerita ini. Aku mencintaimu Tara." Vanilla mencium pipi kanan Tara penuh sayang baikan belahan jiwa. Sontak Tara memijit pelan pangkal hidungnya sembari menatap lurus Morrow yang kini sedang memperhatikannya tanpa ekspresi.
"Sekarang kau bisa menanyakan apapun yang kau inginkan padaku." Seru Morrow usai menuangkan cairan wine ke dalam gelas Tara.
"Kenapa saat itu kau menolongku?" Morrow tahu jika pertanyaan itu akan dilontarkan padanya, ia lalu tersenyum tipis. "Karena kau begitu menyedihkan, lagi pula aku melakukan itu sebagai manusia yang menolong sesama."
Siapapun akan meringis mendengar pengakuan Morrow yang terlalu gamblang. Tara sadar bahwa kondisinya ketika itu sangat mengerikan. Hanya kebingungan meliputi dirinya, bahkan sampai sekarang ia masih gemetaran mengingat kejadian itu.
"Lalu apa tujuanmu bertemu denganku malam ini?"
"Karena kau yang meminta."
"Kapan aku pernah mengatakan itu? Berhentilah membual." Tara memang berniat menemui Morrow, tapi bukan secepat ini.
"Mungkin kau sudah lupa. Tapi jujur, aku sebenarnya tidak punya alasan untuk menemuimu."
"Apa?" Tara telah membuang percuma berbagai bentuk emosi yang ia tumpahkan segenap jiwa untuk pria itu. Atau menurut pria itu dia akan senang dipermainkan seperti orang bodoh?
"Aku hanya ingin melihatmu saja."
"Kau telah membuangku. Wanita yang sudah kau anggap layaknya sampah. Bukankah itu cukup menjadi alasan bagimu untuk mengabaikanku. Kau pria aneh... Mulai sekarang jangan menemuiku lagi." Ancam Tara kemudian bangkit dari kurisnya, ia membulatkan tekat menghancurkan semua segenap perasaan Vanilla terhadap pria itu.
Spontan pergelangan tangan Tara dicengkram oleh Morrow, pria itu lalu berdiri hingga mereka saling berhadapan. Morrow masih bersikap tenang, tangan yang lain merengkuh pinggang Tara sampai merekat ke tubuhnya. "Kau yang begini membuatku tertarik. Katakan padaku jika kau merindukanku, Vanilla." Morrow membuat tangan Tara menyentuh inti jantungnya. "Kuberikan penawaran yang bagus, kau dapat memilikiku sekali lagi."
"Apa kau sedang merendahkan dirimu sendiri, mengemis pada wanita murahan sepertiku?" Jeritan Tara tertahan di tenggorokan.
"Aku tidak pernah salah menilai. Tatapan pekatmu begitu arogan membuat pria manapun akan tergoda, kau bahkan mulai berani menjawabku. Kemanakah Vanilla yang duluku kenal?" Jemari Morrow merapihkan anak rambut Tara, matanya menelusuri keanggunan dari setiap inci wajahnya. Sentuhan riasan tentu dapat menghilangkan kesan pucat dari wanita itu.
"Seorang Vanilla tidak akan pernah kembali pada pria yang sudah membuangnya, karena aku.. telah membunuhnya. Mana mungkin dia mau kembali ke jurang yang sama?" Tara membiarkan hati dan tubuhnya mati rasa bagaikan tak punya kehidupan, karena itu cara satu-satunya untuk terbebas dari kukuhan pria itu.
"Kau terlalu memaksakan diri Vanilla." Morrow sadar dahulu ia menghempaskan pelacur kecilnya keluar dari rumahnya usai ia mengurungnya sekian lama, iapun juga hancurkan cinta tulusnya, keluarganya dan masa depannya. Tapi bagaimana bisa Vanilla yang rapuh itu masih dapat bertahan hingga sekarang, walaupun keadaanya terlalu mengenaskan. Morrow tidak bisa mengabaikannya, bahkan ia bisa merasakan tangisan di dalam hati wanita itu.
"Carilah wanita lain untuk menjadi bonekamu. Kau bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih cantik dan menggoda dariku." Sejenak tubuh Tara terangkat dan terduduk di atas meja, ia amat terkejut ketika botol wine tidak sengaja tersenggol dan terjatuh ke lantai. Semua cairan di dalamnya tumpah namun tak satupun pelayan mendekat.
"Aku akui dadamu memang sedikit kecil. Telapak tanganku saja bisa memenuhi salah satu payudaramu."
"Apa!" Beraninya Morrow menghina dadanya.
"Danku kira harum tubuhmu akan berubah seiring waktu, ternyata tetap sama. Semanis cherry." Bibir Morrow mencium lembut lekuk leher Tara setelah itu naik menghadiahkan kecupan di pipi juga kelopak mata.
"Katakan kalau kau merindukanku?"
"Aku membencimu." Tara mencengkram kemeja Morrow sambil menunduk rendah. Ia berusaha mengusih keinginan untuk memeluk pria itu. Walaupun sesak dalam dadanya meletup kuat. Ia merindukan pria itu.
"Benarkah?" Morrow tersenyum tipis atas pertanyaan yang sudah terdapat jawaban kalau Vanilla masih menginginkannya.
"Sangat memuakkan... Aku ingin pulang." Bagaimapun juga Tara mencoba menatap lekat mata Morrow supaya pria itu percaya dengan tekatnya.
"Wanitaku yang malang..." Tanpa sadar air mata hangat Tara luruh, sedang Morrow cukup sigap untuk menghapusnya. "Aku akan baik-baik saja tanpamu. Dan sejak dulu seharusnya seperti itu. Bagaimana cara agar kau mempercayaiku? Ah.. aku sudah memiliki pacar dan kita pernah tidur bersama." Alasan Tara kentara dibuat-buat, well otaknya terasa buntu menghadapai keadaan ini.
"Kau berbohong. Kau tidak bisa bercinta dengan pria selain aku."
"Lalu apa pedulimu yang pernah membuangku! Dan untuk apa aku merindukanmu-pria sialan sepertimu?" Tangan Tara merengkuh leher Morrow untuk mendapatkan pelukan hangat lalu tangisan yang ia tahan sedari tadi pecah sejadi-jadinya. Ia kalah pada peperangan batinnya. Ia menginginkan Morrow lebih dari apapun. Cinta sejati yang bukan miliknya.
"Aku tahu itu."