Apakah rindu bisa semenyakitkan itu? Dalam hidup Morrow ia belum pernah dicintai sedemikian rupa hingga rindu menjadi hal yang sulit. Perasaan orang lain hanyalah omong kosong baginya.
Maka dari itu saat Vanilla-pelacur kecilnya mengakui cinta padanya, ia sangat marah dan ingin mencemooh kebodohan wanita itu. Apakah mata Vanilla buta setelah melihat perlakukan kasar yang sering ia lakukan padanya? Morrow patut dibenci. Lalu sebenarnya apa yang ada di dalam otak Vanilla sampai dua tahun perpisahan mereka dan wanita itu masih merindukannya?
Morrow anggap cinta hanyalah bualan, namun apa salahnya jika ia memastikan perasaan murni Vanilla. Jadi malam ini ia mendesak Vanilla dan ternyata wanita itu malah enggan untuk mengaku, tapi sikap keras kepala Vanilla membuat Morrow semakin meruntuhkan tembok tinggi yang dia bangun. Sampai dimanakah Vanilla tetap bertahan meski air matanya pecah. "Katakan padaku kalau kau merindukanku?"
"Aku membencimu." Vanilla berbohong.
"Benarkah?"
"Sangat memuakkan.. Aku ingin pulang." Morrow jengah kenapa wanita itu memaksakan diri. Padahal jelas sekali Vanilla sudah tidak sanggup melakukan apapun bahkan sekedar berdiri di atas kakinya sendiri. "Wanitaku yang malang." Morrow biarkan dirinya mengiba.
"Aku akan baik-baik saja tanpamu. Dan sejak dulu seharusnya begitu. Bagaimana cara agar kau mempercayaiku? Ah.. aku sudah memiliki pacar dan kita pernah tidur bersama." Vanilla berbicara dengan nada gemetaran, seolah putus asa tapi hal itu membuat hati Morrow tersenyum.
"Kau berbohong. Kau tidak bisa bercinta dengan pria selain aku." Ucapan itu terlalu arogan.
"Lalu apa pedulimu yang pernah membuangku! Dan untuk apa aku merindukan pria sialan sepertimu?" Sontak Morrow terdiam kaku merasakan pelukan penuh kehangatan dari Vanilla, ini jauh lebih nyaman dari yang ia perkirakan. Senggukan tangis Vanilla mengharukan dan ternyata wanita itu tidak berbohong atas kerinduannya.
Tangan Morrow bergerak membelai puncuk kepala Vanilla sembari tangan yang lain menepuk pelan punggung gemetar tersebut agar tenang. "Aku tahu."
..\/...
Kehangatan yang nyaman dalam rengkuhan, aroma matahari pagi menyengat, dan keadaan ini terasa familiar, walaupun tak pernah Tara memiliki kenangan tentang itu. Ia hampir lupa bahwa ingatan ini milik Vanilla. Ternyata begini rasanya mempunyai kekasih yang dicintai menjadikan musim semi datang lebih cepat.
Pandangan Tara berputar pada sekitar. Dia tengah berada di dalam lengan Morrow, mereka tidur dalam ranjang yang sama. Napas Tara begitu teratur menyamai helaan napas Morrow. Semalam Tara membiarkan dirinya dibawa pulang ke hotel pria itu, bukan karena keinginannya tapi lagi-lagi seluruh tubuh dan hatinya mengelak untuk berpisah. Menyentuh, memeluk Morrow hal yang paling menenangkan usai gejolak badai menerjangnya beberapa waktu yang lalu. Tara bisa tertidur pulas, bahkan nafsu makannya kembali dan kini perutnya terasa lapar. Memang sudah terlalu siang untuk sarapan, apalagi semalam ia belum menyentuh makanan.
"Morrow.." Ucap Tara pelan. Ia sulit bangun jika pria itu mendekapnya erat dan bukannya menurutinya, pria itu malah berdehem, menolak untuk sekedar bergerak. Bisa dikatakan Tara memandang Morrow sebagai sosok pria tampan juga memiliki bulu mata yang tebal dan lentik, garis hidungnya cukup pas tidak terlalu tinggi, bibirnya terbentuk sensual, bentuk rahangnya tegas walaupun begitu adanya Morrow menyimpan sisi lembut yang orang lain tidak sadari. Morrow akan bersikap tenang dalam menghadapi masalah, tanpa sadar dia akan menunjukan sikap perhatian dibalik ekspresi dingin. Mungkin ini alasan kenapa Vanilla jatuh cinta dengan pria itu. Dan Vanilla juga ikut terperangkap.
"Morrow.. Aku ingin pulang." Kemarin Tara meminta Nila untuk membahas hasil novel yang ia tulis, dan hari ini Nila menyempatkan waktu untuknya.
"Kau tidak mungkin menemui rekan kerjamu dengan mata bengkak. Sangat mengerikan."
"Nanti aku bisa mengompresnya dengan air dingin. Sekarang lepaskan lenganmu, aku harus pergi." Morrow malah menundukan kepalanya untuk mencium aroma pada lekuk leher Vanilla, menikmati rasa manis yang melekat di kulit wanita itu. Morrow bukanlah pria berambisius hanya untuk seorang wanita, apalagi ke tahap posesif yang melarang dan melakukan kehendak apapun agar wanita itu selalu dekat dengannya. Hatinya telah mati, ia menolak segala bentuk perhatian kecuali ibunya, karena itu cara ia bertahan hidup.
Meskipun begitu Morrow tidak pernah menganggap Vanilla sebagai sampah, yang dibuang usai ia gunakan. Sampai kapanpun Morrow tidak akan menjadi orang sebejat ayahnya yang memunggunakan berbagai macam cara hanya demi politik sialan.
Disamping itu Morrow memiliki temperamen buruk pasca tragedi dalam hidupnya dan luka itu belum sembuh hingga sekarang.
Selama dua tahun usai Morrow dan Vanilla berpisah, Morrow diam-diam mengawasi kehidupan Vanilla, memberi wanita itu tempat tinggal, beberapa pekerjaan yang bisa wanita itu pilih dan Morrow terkadang mengirim uang untuk orang tua Vanilla. Mana mungkin ia melepaskan wanita naif berhati lemah seperti itu di dunia yang kejam ini? Semua perlakukannya tanpa diketahui asistennya atupun orang terdekat dengannya. Rahasia kecil yang ia simpan sendiri.
Wajah Morrow bergerak ke bawah dan meletakkannya di antara payudara hangat Vanilla tanpa bra serta hanya tertutup kaos tipis, sukses membuat Vanilla terlonjak. Payudara wanita itu bentuknya mungil, lembut juga aorma yang sangat familiar seperti kembali pulang, Morrow menyukai itu.
"A..pa yang kau lakukan?!" Wajah Tara bersemu merah, apalagi Morrow sedikit memijit dadanya penuh hikmat dan sesekali mengecupnya.
"Pukul dua siang aku akan mengantarmu pulang, lagi pula janji temu dengan rekanmu sore hari. Benar bukan?"
"Kau menguntitku."
"Benar." Jawab Morrow tanpa rasa berdosa.
"Sejak kapan?"
"Sejak kita berpisah." Tara termenung mendengar informasi terbaru itu. Di dalam sudut dadanya, hati milik Vanilla kembali bergejolak antara marah, sedih dan bahagia. Tapi kenyataan ini lebih membuat Tara marah. "Untuk apa kau melakukan hal itu?" Pertanyaan Tara spontan membuat sekelebat ingatan tentang Vanilla yang menangis seorang diri di apartemen kumuhnya kesakitan karena hatinya hancur.
Morrow menjawab dengan santai. "Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian?" Itu pertanyaan bodoh! Ujar Tara dalam hati.
"Jangan pikirkan apapun Vanilla. Bukankah aku ada disini sudah cukup untukmu?" Morrow naik ke atas tubuh Vanilla, lalu menyanggah tubuhnya dengan lengan berada di dua sisi.
"Benar. Tapi... "
"Sthh... Biarkan dirimu istirahat Vanilla. Kalau kau menangis lagi matamu akan semakin menyeramkan."
"Itu urusanku."
"Aku tahu itu. Dan aku paham jika saat ini kau sedang lapar. Atau kau lebih ingin untuk memakanku. Hem?"
Tara membuang muka kusutnya ke arah lain. Rasa kesalnya masih belum padam dan malah semakin bertambah menghadapi Morrow sedang menggodanya. Sampai kapan ia akan melewati kondisi tarik ulur seperti ini! Bahkan pagi hari sudah membuatnya naik darah.
"Aku mendengarmu menggerutu." Bisik Morrow sambil tersenyum jahil.
"Aku tidak menggerutu--"
"Kau mau menciumku?"
"Apa?" Morrow meletakkan kedua tangan Vanilla dipundaknya kemudian ia menahan punggung wanita itu dan membawanya duduk diatas pangkuannya.
"Cium aku dan semuanya akan baik-baik saja
"Cium aku dan semuanya akan baik-baik saja." Morrow mencoba menghilangkan keraguan Vanilla, ia sadar jika wanita itu tidak ingin kesakitan untuk kedua kalinya.
"Ini sulit untukku." Suara Tara begitu dalam juga serak, ia menunduk menolak tatapan lembut Morrow kepadanya.
"Bagaimana kalau kita mulai dari kau menyentuhku?" Morrow mengambil tangan Vanilla lalu menyentuhkan itu salah satu pipinya, telapak tangan itu terasa dingin dan mungil.
"Kenapa kau ingin sekali meyakinkanku?" Bukannya ini keluar dari konteks bahwa Morrow membenci dan pernah membuang Vanilla? Batin Tara.
"Karena menerimamu kembali sepertinya tidak terlalu buruk untukku." Menerima kembali untuk menjadi pelacurmu ? Memikirkan hal itu menjadi beban bagi Tara, sebab hubungan tersebut merugikan posisinya. Ia hanya ingin dicintai.
"Mungkin aku akan lebih merepotkanmu." Tara berterus terang.
"Itulah resiko memilikimu." Hidung Morrow menyentung puncuk hidung Vanilla, wajah wanita itu mengahangat malu bercampur ragu akibat ucapannya barusan.
"Aku belum menjadi milikmu. Ingat itu tuan Morrow.." Tara menekankan bagian akhir. Lagi pula untuk saat ini memiliki hubungan dengan Morrow akan menjadi kebimbangan besar. karena ia tidak bisa meninggalkan tubuhnya jika Morrow berniat membawanya pergi keluar dari negara ini.
Tara menarik napas dalam, sekarang ia menangkup wajah Morrow dan rasanya masih seperti mimpi. Bahkan air matanya belum habis untuk menangisi pria itu, menjadikan emosinya berantakan. "Kau tau aku adalah wanita cengeng?" Tara menghapus buliran air matanya yang sulit dihentikan sembari tersenyum.
Morrow hanya terdiam, ia tenggelam pada bentuk perasaan Vanilla yang tumpah padanya.
"Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, menangisimu. Tapi berbohong itu sulit bagiku. Kalau kau hanya ingin bermain denganku, maafkan aku. Aku tidak bisa." Ujar Tara lalu mencium lembut bibir Morrow dengan perasaan penuh yang sesak. Jika ini kesempatan terakhir, biarkan ia mencintai pria itu walaupun hanya sebentar.