-i need your hug-
Itu informasi terbaru yang diketahui Tara. Ia sedikit terguncang membaca setiap detail artikel tersebut. Seorang pria remaja berumur delapan belas tahun, melakukan sebuah kejahatan berat karena telah menikam seorang pria x di club malam. Dan hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara serta denda belasan juta dollar.
Hingga beberapa saat berlangsung, Tara masih belum menemukan titik terang. Pelacur? Narapidana? Kenapa tidak ada yang wajar dengan hubungan mereka?
"Pria itu seorang mantan narapidana. Benarkah?"
"Aku tidak tau. Dan kuharap kau tidak mencampuri urusan pribadiku. Selamat tinggal." Ancam Tara pada Jack kemudian keluar membanting pintu.
Tara langsung mengentikan taksi. Ia butuh menenangkan diri, dia terlalu lelah. Mungkin ini sebutannya yaitu kalah sebelum berperang. Tara terlalu berharapan lebih jika hubungan ini akan berhasil dengan melakukan beberapa kesepakatan. Nyatanya ini begitu berat. Sejak kemarin, Tara berusaha menduga beberapa perumpamaan tentang pertemuan pertama antara Vanilla dan Morrow, hingga ia dapat menebak alasan selanjutnya. Dan semua itu hanya bernilai nol dan tak berguna. Tara sadar bahwa kejanggalan yang dirasakan sejak lama menjadi kenyataan. Vanilla bukan wanita simpanan biasa. Sedangkan Morrow pria misterius penuh kejutan rahasia.
"Pola pria itu terlalu kasar. Tapi hangat dalam waktu bersamaan. Aku yakin, Morrow bukan pria yang tidak asal pilih menunjuk wanita untuk tidur bersamanya. Itu terlalu beresiko untuk masa lalunya yang buruk. Jadi apa motif Morrow untuk kembali Vanilla? Apakah sebenarnya akulah yang melakukan kesalahan di awal cerita?" Ujar Tara, kening berkerut dalam. Ia ingat betul kejadian malam ketika Morrow tiba-tiba saja mau menolongnya. Mulai sekarang Tara harus bertindak hati-hati.
Taxi yang ditumpangi Tara berhenti di apartemen milik Vanilla. Tara tidak memiliki rencana apapun untuk nanti malam. Dan menghindari Morrow mungkin terbilang beresiko. Namun kali ini Tara bersyukur dia berada dibawah kendalinya, bukan mengatas namakan perasaan Vanilla. Ia yakin bisa menghadapi Morrow.
..//..
Saat itu akhirnya tiba. Pukul delapan malam seseorang menekan bell pintu apartemen, lalu Tara membukakan pintunya. Tara meraskan jantungnya masih dalam keadaan baik, bahkan kondisinya jauh dari kata gelisah. Ia seutuhnya Tara.
"Tunggu sebentar, aku ingin mengambil tasku." Seru Tara ketika Morrow menjulang tinggi di depannya. Dan Tara cukup serius dengan celana blue jeans, t-shirt hitam lengan pendek serta kardigan senada dengan warna sepatu kets putih yang ia kenakan. Lagi pula Morrow juga mengenakan pakaian santai dengan celana panjang hitam berpadu kemeja biru hangat yang digulung lengannya hingga ke siku. Meski begitu, pancaran mata Morrow yang gemerlap. Biru. Menyengat. Dingin sekaligus hangat. Sulit untuk diabaikan. Sukses mencuri perhatian siapapun yang melihatnya.
"Kukira kau akan melarikan diri. Karena tak bisa mengendalikan diri." Suara Morrow benar-benar berat dan dia dia menyeringai jahil.
"Tenang saja. Aku pastikan bahwa malam ini otakku sedang dalam keadaan waras." Tara tersenyum memaksa lalu terburu masuk ke dalam kamarnya. Ia menggerutu sebentar tapi kemudian dia langsung dikagetkan oleh kemunculan Morrow yang berada di dalam kamarnya. Pria berdiri begitu dekat di balik punggungnya.
"Kau tidak penasaran kemana aku akan membawamu pergi?" Morrow mencengkram pelan pinggang Tara.
"Apakah begitu penting tanggapanku tentang pertemuan kita? Dan sebenarnya yang lebih membuatku penasaran adalah sesungguhnya... apa yang kau inginkan dariku?" Tara mengatakan makna yang dalam.
"Untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sejak awal sudah ada jawabannya." Morrow membalikkan tubuh Vanilla untuk melihat kegeraman dalam tatapan wanita itu. Nyatanya tidak. Wanita itu cukup terkendali, sorot matanya kukuh.
"Anggap saja aku sedang pura-pura bodoh. Jadi berikan jawabanmu" Tangan Tara menarik lepas cengkraman Morrow di pinggangnya, namun Morrow malah menggiringnya ke dinding kamar. Udara hangat dari hembusan napas mereka yang beriringan membuat Tara sedikit tercekat. Ya Tuhan, ia tidak boleh goyah dengan keadaan ini! Batin Tara.
"Sebenarnya ada apa denganmu, Vanilla?" Pertanyaan itu diajukan begitu tenang dan berhasil merubah asumsi Tara yang menyatakan jiwa Morrow bukanlah pria brengsek. Dari sorot mata Morrow tertangkap getir kekhawatiran. Bahasa tubuhnya lebih condong kesisinya, bukan diliputi oleh nafsu sialan melainkan sikap perhatian yang terasa begitu dominan. Dan sukses membuat Tara jengkel.
"Okay, kalau kau tidak mau memberikan jawaban. Sekarang kita segera pergi, karena aku tidak biasa makan malam terlalu larut." Tara memilih mundur atas perdebatan ini. Ia tidak mau terjerumus.
"Tentu saja. Lagi pula aku sudah memesankan tempat untuk kita." Akhirnya Morrow memberi jarak diantara merek. Lalu pria itu pergi keluar apartemen sambil menggengam erat tangan Tara. Mereka berdua dalam pengendalian diri yang baik. Karena biasanya dititik mencengkam dan intens seperti barusan, kemungkinan membawa mereka ke atas ranjang. Untuk membuang semua pusaran emosi dengan sebuah pelepasan yang luar biasa.