Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 15 - Bahagia

Chapter 15 - Bahagia

"Dania bilang begitu?" Razi membelalak tak percaya. Menambah kegelisahan Arga yang sedang menopang wajah di atas meja.

"Apa dia mau pergi jauh, ya?"

Razi menyeruput jus jeruk di hadapannya sembari menggeleng-geleng kepala. Merasa sahabatnya itu benar-benar tidak peka.

"Itu kode dari dia, Ga. Ente nggak ngerti?"

Arga memandang bingung lalu menegakkan tubuhnya di kursi.

"Kode apaan?"

"Padahal kamu punya Sakya dan Mama Jihan yang juga seorang wanita. Tapi sama Dania, kamu nggak peka."

"Coba jelasin, Zi."

"Kalo aku simpulkan dari cerita kamu, Dania pikir kamu sudah benar-benar terikat dengan Marisa. Jadi dia merasa sudah tidak punya kesempatan. Tapi, dia juga masih penasaran. Ingin tahu bagaimana perasaan kamu sebenarnya ke dia."

"Terus?"

"Makanya dia sengaja mau menghilang. Ingin tau reaksi kamu. Kecewa atau nggak. Bakal ngejar atau nggak."

"Ya kenapa nggak tanya aja langsung sama aku?" Arga memicingkan matanya. Sungguh tak habis pikir dengan tingkah wanita.

"Memangnya kamu bakal jawab jujur?" imbuh Razi dengan tawa kecil.

Arga memiringkan kepalanya untuk berpikir sejenak.

"Satu hal yang perlu kamu tahu soal wanita, Ga. Kalau dia bilang A, artinya Z. Kalau dia bilang Z, artinya B. Kamu juga harus belajar jadi paranormal."

"Hah? Belajar ngeramal?"

"Baca pikiran!" Razi mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri dengan gemas.

Arga mencondongkan badannya di atas meja. Senyum miring muncul di wajahnya. "Kamu sendiri gimana, Zi? Sudah berhasil baca pikiran para istri?"

"Hush! Istriku cuma satu. Lagian, membaca pikiran wanita itu gampang. Yang susah ..." Razi balas memajukan tubuh ke depan juga, lalu berbisik, "... memenuhi keinginan yang ada di pikirannya."

"Naaah, itu! Aku setuju sama yang itu." Arga membalas mantap sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Razi.

"Tapi aku juga penasaran. Sama perasaan kamu ke Dania." Razi mengetuk-ngetuk jarinya ke dada. "Kamu boleh mengelak, Ga. Tapi yang di sini, nggak bisa bohong."

"Ah, kamu Zi! Sama aja kayak Saki."

Razi kembali menyeruput minumannya.

"Sekarang ini, aku cuma fokus sama kesehatannya Mama. Aku ingin Mama lebih semangat lagi untuk hidup. Mama berhak mendapat yang terbaik. Sudah terlalu banyak pengorbanannya dalam hidup. Aku ingin membahagiakan Mama."

"Hmmm, aku mengerti, Ga." Razi menganggukkan kepalanya sejenak. "Tapi bukan cuma Mama Jihan yang berhak mendapat yang terbaik dalam hidup. Kamu juga. Dan aku yakin, kebahagiaan Mama Jihan ada, jika melihat anak-anak didiknya bahagia. Termasuk kamu."

Arga menengadahkan kepala. Menatap langit senja yang mengatapi ruang terbuka kantin rumah sakit. Semburat jingga itu memberi sepenggal rasa nyaman bagi tidak hanya matanya, tapi juga hatinya.

"Gimana kalau aku belum mengerti perasaanku sendiri?" tanya Arga dengan mata masih menatap langit

"Jangan tanya sama aku. Tanya sama Allah," jawab Razi tak acuh.

Razi memang benar. Sakya juga benar. Ia harus menanyakan pada Yang Maha Membolak-balik perasaan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hatinya?

==========================

Suara tawa terpingkal-pingkal terdengar membahana. Menggaung di ruangan dengan minim perabotan berhiaskan lantai dan dinding marmer itu.

Sang pemilik suara sedang menikmati waktu santainya di depan televisi, menonton kartun spongebob sembari mengunyah kacang rebus kesukaannya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menikmati cemilan ringan favoritnya itu. Tubuhnya dihenyakkan bersandar dengan kaki terangkat di atas sofa bed berwarna burgundy.

Hanya dengan aktivitas sesederhana ini yang mengisi kesehariannya, sudah mampu mengisi kebahagiaan di relung dadanya yang sempat hampa. Perlahan, ia mulai mempelajari yang namanya ilmu ikhlas. Merelakan segala sesuatu yang tak dapat diraihnya. Mengisi hidupnya dengan hal-hal yang lebih berfaedah. Salah satunya dengan cara membahagiakan dirinya sendiri.

"Ckckck, Amara. What're you doing?" Seorang pria asing tiba-tiba hadir di dalam rumahnya.

"Hai, Clint. Lagi nonton Spongebob, nih. Lucu deh si Squidward. Hidungnya meleleh." Ia lanjut tertawa geli setelah menunjuk ke arah layar TV.

"Why don't we grab some dinner?" tanya Clint setelah mengambil duduk di sampingnya, tanpa menghiraukan penjelasan tentang kartun di dalam layar itu.

"This is my dinner." Amara menunjuk pada mangkuk berisi kacang rebus di pangkuannya.

"No, it's not." Clint mengambil paksa mangkuk itu lalu meletakkannya di atas meja.

"Hei!"

"Amara, we've got things to do."

"Chill out, Clint! All is good!" jawabnya percaya diri.

"But you're not good!"

"Clint, don't you think i look happier?" Amara membentangkan kedua tangannya. "Aku bahagia, Clint. Aku sedang menikmati hidup. Hal yang sudah lama tidak pernah aku lakukan."

Clint tidak dapat membantah argumen itu. Memang putri bosnya itu terlihat lebih bahagia, lebih normal layaknya manusia biasa. Yang membuatnya ragu hanyalah kebahagiaan itu asli atau semu. Clint menyandarkan punggungnya yang mulai lelah. Seharian ini banyak sekali kesibukannya. Semuanya berkat Amara yang memberinya begitu banyak tugas.

"I know you're tired. Maaf, ya ..." sesal Amara sembari memijat-mijat bahu kiri Clint.

"Amara, i just want you to be really happy. You deserve it." Clint menatap lekat pada kedua bola mata Amara yang tengah berbinar disertai senyuman manisnya.

"Aawww ... my big bro is worried about me," haru Amara. Lalu ia semakin memperlebar senyumnya. "Clint, ... apa yang lebih membahagiakan daripada memberikan kebahagiaan bagi orang lain?"

Clint tersenyum lega sekaligus gemas. Hingga mencubit pucuk hidung Amara. "I knew it! You're always an angel inside."

"Cliiint!" Amara memprotes karena merasakan hidungnya yang memerah. Yang disambut oleh Clint dengan tawanya yang keras. Lalu bangkit berdiri.

"So? Shall we go to find some 'ikan bakar?"

Amara menimbang beberapa saat karena fokusnya tidak lagi terletak pada layar TV. Lagipula ia sudah beberapa kali menonton episode tersebut. Makan malam ikan bakar dengan Clint rasanya jauh lebih menyenangkan daripada melihat tingkah konyol warga Bikini Bottom itu.

"Okay! I'm in! Ayo cari ikan bakar!" teriak Amara senang.

"Hmmm, with that outfit?" Clint memonitor penampilannya dari atas hingga bawah. Yang diikuti oleh gerakan mata Amara yang menelusuri badannya yang tengah dibalut celana panjang denim belel dan sweater kusam ber-hoodie.

"Hu'uh. Something wrong?"

"It's unusual for you going outside just with this look."

"Hey, mate! Kamu harus mulai terbiasa. Karena mulai sekarang, ini adalah pakaian kebesaranku." Amara menunjuk pada sweater kusam yang tengah dikenakannya.

Clint tertawa aneh. Ia jadi menebak-nebak hal apa gerangan yang mampu merubah 180⁰ sikap seorang Amara bahkan penampilannya.

========================

"Alhamdulillah, Mama sudah diperbolehkan pulang sama dokter." Arga berkali-kali mengecup kening Mama Jihan.

"Alhamdulillah. Mama benar-benar nggak sabar sudah ingin pulang."

"Arga urus administrasinya dulu, Mama sayang."

Senyum yang tadi merekah di wajah Mama Jihan, kembali pudar. Beberapa kali ia mendesahkan napas.

"Lho ... kenapa, Ma?" Arga yang tadi sudah hendak melangkah kini berbalik lagi.

"Mama nyusahin kamu terus. Kasihan kamu, harus banting tulang setiap hari demi pengobatan Mama." Bulir bening di matanya mulai menitik.

Arga menunduk mendekati brankar lalu menggenggam tangan sang Maam erat. "Ma, you're the love of my life. Apapun akan Arga lakukan untuk Mama."

Isak tangis Mama Jihan semakin menjadi. Sakit yang dirasanya tidak sebanding dengan sakit di hatinya karena rasa bersalah. Sudah tiga tahun ini ia menyia-nyiakan hidup sang putra asuh hanya untuk mengurus dirinya. Arga yang dulu, sering sekali menghabiskan waktunya untuk berkumpul, bergaul, bersosialisasi dengan teman-teman yang sudah dekat dengannya sejak SMA. Bahkan beberapa kali Arga memiliki teman dekat wanita. Tapi semenjak Arga hengkang dari rumah ayah angkatnya dan memutuskan untuk merawat sang ibu asuh, perlahan ia menjauh dari kehidupan sosialnya. Beberapa teman wanita yang pernah Arga kenalkan pun tak lagi tampak.

"Mama minta maaf ya, Sayang. Mama benar-benar minta maaf." Ia menangis sesenggukan hingga dadanya berasa tidak nyaman.

"Mama nggak salah apa-apa. Justru berkat Mama, Arga menjadi manusia yang lebih baik. Arga kembali ke jalan yang benar. Arga sayang banget sama Mama. Arga mau Mama bahagia."

Rasa tidak nyaman di dada semakin dirasakan oleh Mama Jihan. Ia tidak dapat mendengar kata-kata sang putra dengan jelas.

"Janji ya sama Mama, kamu juga harus baha ... gi ...."

Tiba-tiba napas Mama Jihan tersengal-sengal, bola matanya membelalak lebar. Dadanya sangat sesak. Jantungnya berdetak hebat. Arga mulai ketakutan karena tidak pernah melihat Mamanya seperti ini.

"Ma? Mama kenapa?"

Sayangnya Mama Jihan sama sekali tidak merespon. Wanita tua itu semakin merasa sulit untuk bernapas. Sesuatu terasa ditarik dari bawah kakinya. Mulutnya tak mampu untuk bergerak.

Arga yang panik hebat langsung menekan tombol nurse call.

"Suster! Tolong Mama saya!" Ia berteriak panik.

"Ma! Mama! Ma ..." Arga berteriak ketakutan. Sampai tak menyadari keluarnya air mata yang mengalir melewati pipinya.

Berkali-kali ia berteriak memanggil sang Mama, namun wanita itu mulai kaku.

Rasa khawatir yang selalu menghantuinya pun terjadi. Menebak-nebak benarkah ini waktunya? Perlahan sembari menahan kesedihan ia membisikkan kalimat tahlil di telinga Mama Jihan.

Mengantar kepergian sang Mama dengan kalimat-kalimat penuh cinta.

With love, from me to you.

----------‐-----------------------------------------------------

Amara menatap langit malam yang hitam pekat diselimuti awan mendung. Tanpa rembulan, tanpa bintang-bintang yang biasanya berpendar menghiasi bumi. Malam ini langit begitu kelam. Berbanding terbalik dengan hatinya yang sesaat tadi berpendar oleh kebahagiaan.

"Can i have your fish?" Clint menatap sebagian besar tubuh ikan bakar yang tak tersentuh di piring Amara.

Wajah Amara yang tadi menengadah, turun menghadap Clint yang masih asyik mengunyah. Pikirnya, pantas saja pria ini bertubuh tambun. Nafsu makannya saja luar biasa. Sudah tiga piring nasi dan tiga ekor ikan yang ia habiskan.Tanpa menjawab, Amara menyodorkan piringnya ke hadapan Clint. Anehnya, perasaannya sedang tak enak.

"Kamu kenapa?" tanya Clint dengan tatapan pada tubuh ikan yang sedang dikoyaknya.

"I don't know. Suddenly, i don't feel good." Amara membersihkan tangan kanannya di mangkuk berisi air kobokan.

Kini matanya menatap pada ombak yanh terlihat tenang di lautan. Angin tidak terlalu kencang malam ini. Mungkin itulah kenapa laut menjadi begitu tenang, pikirnya.

"Ikan bakar enak. Sambal enak. Tapi kenapa kamu tidak enak?" sahut Clint dengan logat yang lucu. Memancing senyum di wajah Amara.

"Apaan sih!" Amara terkekeh kecil. "Cepat habiskan! Aku ingin pulang saja."

Clint menyeka keringat bulir-bulir di dahinya dengan punggung tangan. Sambal di lidahnya begitu nikmat namun menyiksa.

"Malam ini gerah sekali," protesnya sembari mengipas-ngipas kerah kemejanya.

"Mungkin mau turun hujan. Awan juga mendung. Ayo cepat makannya," perintah Amara lagi.

Beberapa detik kemudian ponsel di saku celananya bergetar. Amara merogoh lalu mengangkat panggilan yang tertera di layar.

"Halo, Sakya?"

"Assalamu'alaikum, Mbak."

"Wa'alaikum salam. Ada apa?" Dahinya mengernyit heran lalu melirik jam di pergelangan tangan. Sudah jam 9 malam. Tidak biasanya Sakya menghubunginya di malam hari.

"Maaf menghubungi Mbak malam-malam begini," ujar Sakya sopan dari ujung telepon. Namun suaranya terdengar lirih dan sedih.

"Nggak pa-pa, kok. Aku juga sedang santai. Ada apa?"

Setelah hening beberapa saat, terdengar suara isak tangis dari bibir Sakya. Amara semakin merasa ada yang tidak beres.Tapi ia diam saja, memberikan waktu bagi Sakya. Perlahan, suara lirih Sakya terdengar. Amara menarik napas kaget saat mendengar berita itu.

Dengan sebuah tangan menahan ponsel di telinga, Amara menggunakan tangan satunya untuk menopang dahinya di atas meja. Kini ia tahu kenapa sejam ini perasaannya tidak enak. Bahkan seakan Tuhan memberi petunjuk padanya dengan menghadirkan awan mendung, langit kelam, dan ombak yang tenang.

"Terima kasih infonya, Sakya. Assalamu'alaikum." Amara menutup panggilan dengan lemas.

Clint menghentikan makannya. Ia tahu ada berita tidak mengenakkan yang baru saja diterima oleh wanita yang duduk di hadapannya itu.

"What's wrong?" tanyanya penasaran.

"Umm ..." Amara menghapus air mata yang mulai menetes dengan ujung jarinya. "Clint, i need your help. Aku harus pulang ke Jakarta malam ini."

"Ada apa?" tanyanya lagi setelah menelan makanan yang baru saja dikunyahnya.

"Seseorang yang sudah menjadi sumber inspirasiku baru saja meninggal."

‐-----‐----‐---‐----------------------------------------------------