- Crying is how your heart speaks. When your lips can't explain the pain you feel. -
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
Terlihat barisan mobil-mobil dan beberapa motor terparkir di pinggir jalan kecil itu. Menyisakan hanya sebagian kecil jalan yang hanya dapat dilewati oleh sepeda motor dan pejalan kaki. Dari ujung jalan dapat terlihat kerumunan orang sudah memadati rumah kecil beratap genting merah itu. Sebuah bendera kuning bertengger di sisi pagar putih yang sudah agak berkarat itu.
Amara didampingi oleh Clint, menyusuri jalan setapak itu, mengikuti antrian orang-orang di depannya. Namun kehadirannya di tempat itu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Karena hanya ia yang mengenakan dress hitam, kerudung hitam, serta kacamata hitam. Layaknya penampilan orang yang melayat seperti yang tampak di film-film. Amara risih. Ia pun menyisihkan diri, menempati kursi plastik yang di sediakan di halaman beralaskan tanah coklat itu.
"Why don't you come inside?" bisik Clint di telinga kanannya.
"Nanti saja. Di dalam masih rame, sesak," jawabnya berbisik lalu mengedar pandangan ke sekitar. Orang-orang masih betah memandanginya.
"You should take this off!" Clint yang menyadari situasi lalu melepaskan kacamata hitam yang menghias wajah Amara.
"Thanks."
Amara menyadari mungkin penampilannya terlihat terlalu berlebihan dan menyolok. Karena sesaat setelah kacamata merek ternama itu lepas dari matanya, orang-orang berhenti memandanginya. Lalu matanya menemukan sosok yang ia kenal sedang berdiri di teras rumah. Sepertinya akan memasuki rumah itu. Amara segera bangkit untuk menyusulnya. Lebih enak kalau ada teman untuk masuk ke dalam sana.
"Arsan!" serunya setengah berbisik. Sayangnya Razi tak mendengar panggilannya. Ia langsung masuk ke dalam rumah. Sementara Amara baru saja tiba di undakan depan teras. Ia pun memberanikan diri untuk meneruskan langkah yang terhenti.
Tiba di depan pintu, ia dapat melihat tubuh Mama Jihan yang telah kaku dibalut oleh kain batik yang sudah menutup hingga ke wajahnya.
Bulir-bulir beningnya langsung menitik. Meskipun hanya dengan sekali pertemuan, wanita itu sudah meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Dan saat bola matanya bergeser ke kiri, disitulah ia melihat pria yang menjadi anak asuh Mama Jihan. Arga duduk di sana, dikelilingi oleh orang-orang yang Amara tahu sebagai calon mertua pria itu. Dan Marisa, wanita rupawan itu duduk manis di sebelahnya. Pun turut meneteskan air mata atas kepergian Mama Jihan. Seorang pria paruh baya yang Amara juga kenali sebagai ayah angkat Arga, Hardi, duduk di sebelah calon besannya. Mata Amara pun mencari-cari, barangkali juga ada seorang penghulu di sana. Seingat Amara ada beberapa orang yang pernah melakukan pernikahan di depan jenazah. Entahlah jika itu hanya ada di film-film atau juga di kehidupan nyata.
Nyeri seketika di dadanya. Volume air matanya bertambah. Tidak hanya karena sedih, tapi juga ... patah hati.
Wahai, hati! Katamu kamu sudah ikhlas. So why does it feel so painful?
"Mbak Amara?"
Amara menoleh ke belakang. Dilihatnya rekannya sesama dosen itu sedang menggendong sekardus kemasan air mineral gelas.
"Sakya? Aku bantu, ya." Amara hendak menarik kardus itu namun Sakya menahannya.
"Nggak usah, Mbak. Saya bisa, kok. Ayo masuk, Mbak!" ajaknya pada Amara.
"Emmm, sebaiknya aku langsung pulang saja." Kedua tangannya saling meremas di depan pinggang. Berusaha menahan nyeri di dada.
"Lho? Kenapa, Mbak? Sudah ketemu Mas Arga?"
"Emmm, aku buru-buru. Ada urusan lain. Dan ... ada yang sedang menunggu juga." Sorot matanya tertuju pada Clint yang sedang berjarak tiga meter darinya. Sakya mengikuti arah matanya.
"Kalau begitu, Mbak Amara mau titip pesan untuk Mas Arga?"
"Eh, nggak usah. Malahan ... bisa minta tolong nggak? Jangan cerita ke Arga kalo aku kesini." Amara menyingkir ke belakang bilik pintu.
"Lho? Kenapa Mbak?"
"Please, tolong jangan cerita ya. Aku permisi dulu, buru-buru. Assalamu'alaikum." Amara berlari kecil seketika lalu menarik tangan Clint untuk ikut serta dengannya.
Sakya berusaha menerka dengan pikirannya, ada apa sebenarnya. Namun saat berbalik melihat ke dalam isi rumah, ia langsung mengerti.
Sesampainya di dalam mobil, Amara menangis sekencang-kencangnya. Jerit tangisnya memenuhi seisi mobil. Sakit yang dirasanya terlalu berlebihan. Melebihi sakit saat Alvaro sang mantan mengkhianatinya dengan sang adik.
Clint diam kaku. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan wanita yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu.
"It hurts, Clint! It hurts so bad!" Amara memukul-mukul dadanya sekuat tenaga.
Clint berusaha merangkulnya namun Amara menolak sekeras mungkin.
"Hey! Hey!" Clint berusaha mengelak saat Amara meluncurkan pukulan-pukulan ke arah Clint.
"Cowok brengsek! Rese'! Nyebelin! Sombong! ..." Segala jenis umpatan ia teriakkan.
"Stop, Amara! Stop!" Clint berhasil menahan kedua tangannya yang masih sibuk menyerang. Sebuah rangkulan erat berhasil memenjarakan Amara. Kedua tangannya pun terkulai lemah.
Dengan menyandarkan dahi di dada Clint, Amara menangis hebat. Patah hati kali ini benar-benar membuatnya perih. Di saat ia merasa menemukan pria yang tepat dalam hidupnya, Tuhan justru berkata lain. Meskipun beberapa hari yang lalu Amara bertekad untuk merelakan, tapi sang hati masih melekat. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia menyalahkan Tuhan.
Amara terlalu sibuk dengan tangisnya sampai-sampai tidak menyadari jika pria yang sedang berusaha dibencinya saat ini, sedang berdiri di luar sana sembari sedang berdiri kaku. Menatapi kebersamaannya dengan Clint.
===========================
Setelah selesai menunaikan sholat Isya, satu-persatu orang-orang yang takziyah di rumah kecil itu kembali ke rumah masing-masing. Meninggalkan hanya segelintir orang saja yang masih berada di sana. Sakya dengan orangtua angkatnya. Hardi, ayah angkatnya yang tidak ditemani oleh sang istri. Marisa beserta kedua orangtuanya. Mereka semua kembali berusaha menguatkan Arga dengan kata-kata positif. Karena hingga kini pun, ia masih irit bicara. Sesekali hanya merespon orang-orang yang menyapa dengan senyum tipis.
"Arga, Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi tugas kamu di sini sudah selesai. Kamu sudah menemani Mama Jihan hingga napas terakhirnya," ucap Hardi sembari mengusap pundak sang putra.
Untuk kesekian kalinya Arga hanya membalas dengan senyum tipis.
"Mas, mungkin maksud Om Hardi ... ini waktunya Mas pulang kembali ke rumah," imbuh Sakya yang duduk di hadapannya.
Seketika senyum itu lenyap dari wajahnya. Arga justru menegang mendengar kata-kata itu.
"Arga?"
Arga menoleh pada pria paruh baya di sampingnya itu. "Maaf, Ayah. Ini rumah Arga. Dan Arga akan terus tinggal di sini."
"Arga, rumah ini milik Mama Jihan. Tempat tinggal kamu bersama kami. Ayah dan Aletta menginginkan kamu kembali ke rumah."
Bulu kuduk Arga meremang mendengar nama itu. Aletta. Istri kedua ayahnya, setelah Bunda Hilda, istri pertamanya, meninggal. Sebelum itu, Aletta adalah sekretaris Hardi. Usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari Arga.
Sejak awal, Arga tidak menyukai wanita itu. Ia licik dan penuh akal bulus. Dan Aletta-lah yang menjadi alasan utama Arga meninggalkan rumah itu. Tidak ada yang mengetahui fakta itu, baik Mama Jihan maupun Sakya. Mengurus Mama Jihan yang sedang sakit, hanyalah alasan kedua kepindahannya ke rumah ini.
Arga teringat akan malam itu. Tiga tahun yang lalu. Sehari sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan rumah mewah sang ayah.
Arga baru saja keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya setelah membersihkan tubuhnya yang terasa lengket sepulang kerja. Saat itulah ia mendapati Aletta tengah terbaring di atas spring-bed di kamarnya. Hanya berbalut lingerie tipis transparan yang menonjolkan isi dibaliknya. Kakinya menjulur sedemikian rupa dengan pose menggoda.
"Astaghfirullah! Ngapain kamu?" tegurnya ketus pada wanita berparas molek dan bertubuh seksi itu lalu membalik badan.
Aletta bangkit duduk. Ia mencondongkan tubuhnya agar belahan dadanya dapat terlihat sempurna.
"Ya ampun, Ga. Aku ibu tiri kamu, lho. Show some respect, dong." Aletta bertutur dengan suara dibuat-buat. Yang justru membuat Arga bergidik ngeri.
"Seperti yang kamu bilang, kamu ibu tiriku! Justru kamu yang tidak hormat! Ngapain kamu di kamarku?" bentaknya sambil berjalan lalu membuka pintu kamarnya. "Keluar!"
Bukannya takut, Aletta justru tersenyum. Ia berjalan mendekati Arga dari belakang. Tiba-tiba kedua tangannya sudah melingkari pinggang Arga.
Arga segera menyingkirkan tangannya dengan kasar. Lalu bergerak menjauh. "Jangan kurang ajar!"
Aletta tidak menyerah begitu saja. Ia semakin gencar mendekatinya. "Ayolah, Ga. Ayahmu sedang keluar kota seminggu. Hari-hariku sepi. Ranjangku juga sepi. Mungkin ... kamu bisa membantu."
"Jangan mendekaaat! Aku sudah memberimu kesempatan untuk berubah! Tapi kali ini, akan aku laporkan perbuatanmu pada Ayah."
Aletta tertawa mengejek. "Ya ampun, Ga. Ayahmu itu sudah bertekuk-lutut sama aku. Mana mungkin dia percaya omonganmu begitu saja. Kamu punya bukti apa? Hah?!" Aletta memperhatikan kuku-kuku lentiknya yang di cat ungu. "Lagian, aku bisa dengan mudah membalik cerita. Tinggal bilang aja kalo kamu yang merayu aku. Beres! Mengingat track record kamu yang sering clubbing dan gonta-ganti pacar. Kita lihat saja siapa yang lebih dipercaya." Ia menyeringai sinis.
Gigi-giginya bergemeretak. Darahnya mendidih. Wanita itu mengungkit masa-masa kelamnya. Masa-masa penuh dosa yang tak ingin diingatnya lagi. Ia sudah meninggalkan dunia itu sejak pertemuannya dengan Alex, teman sebayanya dulu di panti yang diangkat anak oleh seorang ulama tersohor. Alex-lah yang sukses mengajaknya untuk hijrah ke jalan yang benar.
"So, Arga ... what is it gonna be? Kamu tunduk pada ibu tirimu ini? Atau bersiap-siap diusir dari rumah ini?"
Tentu saja Arga tidak perlu berpikir panjang lebar. Lebih baik ia yang keluar dari rumah itu. Ia memilih untuk pergi keesokan harinya. Panti asuhan Mama Jihan adalah tempat pertama yang ia tuju. Ketika ia tiba di bangunan itu, Mama Jihan sedang dirawat di rumah sakit. Dan saat mengetahui penyakit yang diderita oleh Mama Jihan, saat itu juga ia membuat keputusan untuk merawat wanita yang sudah berjasa besar dalam hidupnya. Dan sesuai titah sang ibu tiri, ia tidak membawa sepeser pun harta sang ayah bersamanya. Tidak pula mobil mewahnya.
Saat Hardi pulang dan menanyakan perihal kepergiannya, Arga menjadikan Mama Jihan sebagai alasan. Meski berat, Hardi akhirnya menyetujui permintaannya. Baginya, percuma menceritakan pada sang ayah perihal sang ibu tiri yang kerap melancarkan godaan birahi padanya. Tidak ada bukti kuat. Lagipula wanita itu telah berhasil memikat Hardi. Salah satu alasan Arga masih bertahan bekerja di perusahaan sang Ayah, adalah untuk memastikan jika wanita siluman itu tidak mengambil alih aset milik sang ayah.
"Mas Arga?" teguran Sakya menyadarkannya dari lamunan. "Kok malah ngelamun? Itu Om Hardi nanya, lho."
"Eh? Kenapa, Yah?" Wajahnya menoleh pada sang ayah yang menatapnya sendu.
"Besok pulang ke rumah ya, Nak. Ayah kangen dengan obrolan kita di meja makan."
Arga kembali membisu. Meja makan. Ia benci meja makan itu. Aletta senang sekali menjulurkan kakinya sebagai alat peraba di bawah meja makan.
"Ayah kangen saat kita nonton berita bersama-sama dan membahas semua isu politik dunia."
Ruang TV. Arga juga membenci ruangan itu. Saat ayahnya serius menyimak berita, sang ibu tiri justru menggunakan tangannya untuk menggerayangi pahanya.
Lantunan kalimat istighfar lagi-lagi ia kumandangkan dalam hati. Berusaha mendinginkan kepalanya yang mulai panas karena mengingat semua hal yang membuatnya jijik.
Aletta. Hanya dengan mendengar namanya pun membuat jantungnya memompa darah dengan cepat ke kepala.
"Maaf, Ayah. Arga sudah punya rencana lain dalam hidup." Kedua sorot matanya mengarah pada Marisa yang tengah tertunduk malu.
Hardi turut melirik pada Marisa. Tentu saja ia mengenal sosok Marisa kecil. Dulunya ia adik kelas Arga di SMP. Tak jarang Arga menceritakan soal gadis itu di rumah. Binar-binar matanya berbicara jika ia memiliki perasaan khusus terhadap sang adik kelas. Arga kerap menceritakan tentang Marisa yang jago bulutangkis, pintar menari, juara catur. Tapi itu dulu. Kini, Hardi tidak yakin jika Marisa adalah wanita yang tepat untuk menjadi calon pendamping Arga. Gadis itu tumbuh menjadi seorang wanita cantik jelita, namun terlalu pendiam dan kalem menurutnya. Hardi kenal betul dengan ayahnya yang dulu merupakan seorang pemborong, lalu beralih profesi menjadi seorang ustadz.
"Memangnya apa rencanamu?" Hardi bertanya seolah-olah ia tidak paham perkataan sang putra. Padahal ia hanya ingin Arga menyampaikan maksudnya dengan lantang dan jelas.
Sakya, Marisa serta kedua orangtuanya menunggu jawaban Arga dengan seksama.
Setelah menarik napas dalam ia menjawab, "Insyaa Allah, Arga sudah siap berumah-tangga."
============================
"Come on, mate! Have fun! It's Dufan! Fully sick!" girang Clint seraya menyikut Amara yang masih berwajah muram. Langkahnya gontai. Penampilannya pun berantakan.
Hari ini sengaja ia membawa Amara ke tempat ini untuk melepas semua kesedihannya. Bawah matanya begitu sembab akibat menangis semalaman. Menurut Clint, apalagi yang lebih menyenangkan untuk hati yang sakit dibandingkan berteriak-teriak menumpahkan segala kemarahan saat menaiki wahana-wahana ekstrim? Clint selalu melakukannya bilamana pikirannya sedang kusut.
Baginya, itu cara terbaik untuk melepas semua uneg-uneg di dada. Selain itu, ada alasan lain kenapa ia mengajaknya ke tempat ini.
"Ayo naik itu!" tunjuk Clint pada wahana Tornado. Tangan satunya menarik Amara mendekati permainan itu.
Dengan malas Amara mengikuti. Ia benar-benar tidak berselera untuk melakukan apapun.
"Don't forget to shout loudly!" teriak Clint tepat di telinganya, karena suaranya terkubur di antara teriakan histeris para pengunjung.
"Shout wha'?" tanya Amara dengan aksen meniru Clint.
"I hate you, Arga! You sucks! Something like that."
Amara menatapnya malas. Really? For real? tanyanya dalam hati.
"Saat wahana itu berhenti, kamu pasti lega," imbuh Clint.
"Yea, right! Tetap aja nggak nyembuhin hati," gumam Amara sebal.
"Hah?" teriak Clint karena tak dapat mendengar Amara dengan jelas.
"Nothing!" teriak Amara kesal.
Wahana itu berhenti bergerak. Para penumpangnya satu persatu turun dari wahana memabukkan itu. Dan saat itulah Amara bersitatap dengan sang adik yang berjalan oleng.
"Gita?" panggilnya setengah berteriak.
Sang adik hanya membalasnya dengan tatapan kosong. Wajahnya kian memucat. Amara dapat melihat kedua tangan Anggita gemetar.
Bruuuk!
Anggita ambruk di tempat. Beberapa orang berteriak kaget. Beberapa orang berteriak 'tolong'. Tapi Amara, dengan gesit ia menerobos antrian, menghampiri sang adik. Clint menyusulnya dari belakang. Sang petugas bergegas mendekatinya.
Amara berjongkok di samping kepala Anggita. Kedua tangannya sibuk menepuk-nepuk pipi Anggita.
"Gita! Bangun! Git? Ayo, bangun!"
"I'll take her!" Clint menghentikan aksi Amara lalu segera membopong tubuhnya keluar dari sana.
Clint meletakkannya di sebuah tempat duduk kosong. Amara kembali menepuk-nepuk pipi sang adik. Sedangkan Clint melepas tas ransel dipunggungnya lalu mengeluarkan botol mineral dingin yang dibawanya. Botol yang dipenuhi tetesab embun-embun itu ditempelkannya di kedua sisi pipi Anggita.
Sentuhan botol dingin di wajah Anggita, berhasil menyadarkannya. "Clint?" ucapnya saat pertama kali membuka mata. Kepalanya pusing. Perutnya mual. Matanya kering.
"Hey, you ok, little one?"
Anggita mengerang merasakan nyeri di ulu hatinya.
"Don't ... call me ... that! lirihnya. Ia benci selalu disebut 'little' oleh Clint.
Clint tertawa mendengarnya. Artinya gadis itu tidak apa-apa.
"Mbak?"
Amara refleks memeluk erat sang adik. "Gita! Ya Tuhan!"
Anggita tidak menolak seperti beberapa hari yang lalu. Ia terdiam kaku. Kedua tangannya tetap di sisi tubuhnya.
"Lo tinggal di mana, sih? Main pergi gitu aja. WA gue juga nggak di jawab. Telpon nggak diangkat." Amara mengurai pelukannya. "Gue sama Mama khawatir sama lo."
"Gue baik-baik aja. Nggak usah mikirin gue!" balasnya sedikit ketus.
"Ya nggak bisa dong, Git. Yang namanya keluarga harus saling peduli satu sama lain."
Anggita yang mulai merasa kuat, berusaha berdiri. Wajahnya kembali garang. Sama seperti seminggu yang lalu. "Peduli??? Apa kalian berusaha nyari gue selama gue pergi? Mama punya begitu banyak intel. Apa semuanya ditugasin buat nyari gue? Enggak kan?"
Amara mulai jengah dengan tingkah kekanak-kanakan adiknya. "Gue yang larang Mama! Gue minta Mama untuk ngasih lo waktu buat menenangkan diri. Supaya lo bisa berpikir jernih. Cih, ternyata sia-sia aja." Kedua tangan Amara bersedekap di depan dada.
"Y'all! Stop being cranky!" Clint berusaha menengahi, menyelip di antara keduanya. Sebelum terjadi perang saudara di tempat itu.
"You always misunderstood Retha. She's a great woman. She always earbashing 'bout her daughters only. You and you!" tunjuknya bergantian pada Amara dan Anggita yang tengah membuang muka.
"Percuma ngomong sama dia Clint. Pikirannya lagi kotor. Belum dikucek pake deterjen!" ejek Amara dengan senyum sinis.
"Mulut lo tuh yang perlu dikasih sabun colek!"
"Crikey! Y'all need to shut up!" tegas Clint lagi pada keduanya.
"Clint! So is this why you asked me to come here? Just to see her?" tanya Anggita kesal pada Clint.
Terkejut mendengar berita itu, Amara segera memicingkan matanya pada Clint.
Kini kedua wanita yang berdiri mengapitnya, tengah membunuhnya dengan tatapan tajam.
"Right-o! Aku ingin kalian berdua saling bicara," jelas Clint dengan aksennya yang terdengar lucu ketika mengucapkan kata-kata dengan bahasa.
"Clint! You know i'm not in the mood for that." Amara memprotes.
"So am i!" balas Anggita juga.
"But you two need to talk! You're sisters!" Clint setengah berteriak. Sekarang ia yang naik pitam.
Kedua wanita itu tahu jika Clint adalah orang yang penyabar dan jarang sekali marah. Tapi kalau sampai ia marah, efeknya mengerikan. Barang-barang di sekitar bisa melayang seketika. Sehingga keduanya pun menurut dan kembali duduk.
"I'll leave you two. And when i come back, no more drama! You hear me?" Keduanya mengangguk manut. "Then i'll bugger off."
Clint berjalan menjauhi keduanya sambil sesekali kembali menoleh untuk memastikan keduanya tidak lagi ribut. Meskipun keduanya masih saling bungkam. Masih lebih baik daripada saling adu mulut.
"Tinggal di mana lo selama ini?" Amara yang membuka pembicaraan setelah memastikan Clint tak tampak lagi di kejauhan.
"Bukan urusan lo!" Anggita menjawab ketus. Masih dengan punggung membelakangi kakaknya
"Nggak pa-pa lo nggak mau jawab. Gue tinggal tanya sama Clint."
"Clint nggak tau gue tinggal di mana. Dia cuma menghubungi gue."
"Ooh."
Lima menit hening.
"Clint bilang lo udah keluar dari perusahaan." Anggita mulai terusik untuk menanyakan. Setidaknya ia sudah tenang.
"Iya. Adin yang gantiin posisi gue."
"Kenapa?" Kepalanya mulai menoleh pada sang kakak.
"Gue kerja di situ bukan dengan niat baik. Berhubung sekarang niat jahat gue sudah terkubur, nggak ada gunanya lagi gue tetap di sana."
Kini Anggita benar-benar membalikkan tubuh menghadap Amara. "Lo serius, Mbak?"
"Ya serius. Gue juga sudah resign dari kampus."
Kedua bola mata Anggita melebar kaget. Berita ini benar-benar mencengangkan. "Ada apa sama lo?"
Amara menggeser tubuhnya mendekati sang adik. "Git, ... untuk pertama kalinya dalam hidup, gue benar-benar ingin melakukan sesuatu yang gue suka. Gue kerja di perusahaan Mama cuma untuk balas dendam. Gue bekerja sebagai dosen, karena nurut maunya Ayah. Selama ini hidup gue terkendali. Terkekang. Gue nggak pernah benar-benar tau apa yang sebenarnya gue inginkan dalam hidup."
Anggita memasang telinga untuk menyimak curahan hati sang kakak.
"Sampai akhirnya ... seorang pria menyadarkan gue tentang artinya hidup." Amara teringat percakapannya dengan Arga di pesawat dalam perjalanan mereka terbang ke Bali.
"Pria yang waktu itu datang ke kantor?" tebak Anggita yang langsung disambut dengan anggukan oleh Amara. "Memangnya apa artinya hidup?"
Amara tersenyum. Wajahnya menengadah menatap langit biru cerah. "Bersyukur pada Tuhan."
"Heh? Bersyukur sama Tuhan?" cibir Anggita setengah mengejek. "Apa yang perlu disyukuri dari memiliki keluarga yang rusak? Tuhan tidak berlaku adil sama gue. Kenapa Tuhan menakdirkan orangtua kita berpisah dari kecil? Kenapa Tuhan membiarkan Kakek menghancurkan keluarga kita?"
Amara memandang adiknya teduh. "Git, beberapa waktu yang lalu pikiran gue sama persis dengan lo. Penuh dendam, penuh kebencian, bahkan nyalahin Tuhan." Lalu matanya kembali pada sang langit. "Tapi apa? Semua rasa itu menggerogoti gue dari dalam. Hati gue nggak damai. Hati gue selalu sakit. Gue nggak sayang Tuhan. Tapi anehnya, Tuhan selalu sayang sama gue. Gue masih dikasih nikmat sehat. Gue masih bisa makan enak. Gue masih bisa hidup enak. Gue masih bisa tertawa, sedih, kecewa, senang. Bayangin orang-orang yang hidupnya nggak seberuntung kita."
Ingatannya tertuju pada kisah hidup Arga dan Sakya saat kecil. "Yang tidak punya orangtua sejak kecil. Hidup di jalanan. Tidur beralas kardus."
Lalu ia mengingat Mama Jihan. "Yang hidupnya sebatang kara dan sakit-sakitan. Uang pas-pasan untuk berobat."
Dan ingatannya tertuju pada anak-anak panti asuhan yang ditemuinya bersama Sakya. "Yang tidak punya kesempatan untuk menikmati bangku sekolahan. Menuntut ilmu layaknya anak-anak lainnya. Jangankan untuk kuliah. Untuk masuk TK pun tidak."
Anggita mengernyit dahi. Lalu kepalanya tertunduk malu. Semua ucapan kakaknya itu memang benar. Ia juga tahu fakta-fakta itu. Hanya saja Anggita selalu menganggap jika hidupnyalah yang paling menyedihkan. Tapi ... apa yang merasuki kakaknya hingga pikirannya benar-benar terbuka? Sebegitu dahsyatnya kah efek pria itu dalam hidup Amara? Bukankah mereka belum lama kenal?
"Git, ... lo boleh membenci Ayah, membenci Mama, membenci aku. Tapi jangan sampai lo membenci Tuhan, Git. Jangan mengulangi kesalahan yang gue buat. Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menghukum kita." Bayangan kebersamaan Arga dengan Marisa terlintas di kepalanya.
"Lo abis kerasukan apa sih, Mbak?" cibir Anggita kembali. Berusaha menepis rasa bersalah yang mulai muncul di hati.
"Gue ngomong serius, Git. Gue nggak mau lo terluka lebih dalam. Gue dan Mama, bahkan Clint, kita semua sayang sama lo."
Anggita kembali berdiri. "Males gue ngomongin beginian lagi."
"Git, Mama hampir setiap hari nangis mikirin lo."
"Halah, biasanya juga pergi berminggu-minggu ninggalin gue baik-baik aja." Anggita menanggapi ketus.
"Kalo ini bisa bikin lo merasa lebih baik, gue akan kasitau lo." Amara berdiri. "Gue nggak tinggal di rumah Mama lagi. Gue sudah pindah."
Anggita kembali dikejutkan oleh kakaknya. "Pindah kemana lo?"
"Bukan di Jakarta. Jadi, gue akan jarang ketemu Mama."
"Iih, ada apa sih sama lo? Jadi aneh begini!" keluh Anggita gemas dengan perubahan kakaknya.
"Gue pindah lo bilang aneh? Tapi kalo lo yang minggat dari rumah, itu nggak aneh?"
"Iiih!" Anggita menggeram kesal karena Amara selalu saja membalikkan kata-katanya.
"Please, Git. Pulang. Kasian Mama. Kita mulai lembaran baru. Mungkin ada hikmah di balik semua drama keluarga kita."
"Apa hikmahnya?" tantang Anggita.
"Sekarang ... gue belum tau, Git. Maybe someday."
"Kasih gue waktu untuk berpikir!" balas Anggita akhirnya. Yang membuat senyum di wajah Amara merekah.
"Jangan lama-lama, ya."
"Emang kenapa kalo lama?" tanya Anggita galak.
"Nanti gue kangen." Amara menjawab penuh candaan. Yang mau tidak mau membuat Anggita menahan senyum.
Clint yang memperhatikan keduanya dari jauh, menghela napas lega. Akhirnya perdamaian terjadi di antara kakak-beradik yang tengah berseteru itu. Kini waktunya ia meneruskan laporan pada sang atasan, Retha.
-----------------------------------------------------------------------