Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 19 - Kamu Jodohku

Chapter 19 - Kamu Jodohku

- The complicated things your mind is thinking, those aren't real. Those are just goosebumps scaring you. -

***

Pesawat yang ditumpangi Arga dan Sakya baru saja menyentuh daratan, setelah setengah jam yang lalu bergulat dengan awan hitam dan cuaca yang buruk di langit.

Sakya masih saja menenangkan jantungnya yang berdebar hebatsejak pesawat mengalami beberapa kali turbulensi. Pun demikian dengan Arga. Hanya saja pria ini lebih pasrah. Karena semua yang terjadi Qadarullah.

Keduanya berkali-kali mengucap hamdalah. Bersyukur karena masih diberi umur panjang. Karena diloloskan dari maut. Karena dilindungi dari marabahaya.

"Mas ... Saki masih deg-degan sama kejadian tadi. Baru kali ini naik pesawat ngerasain goncangan kayak tadi."

"Alhamdulillah kita masih diberi keselamatan."

Sakya mengangguk setuju.

Keduanya langsung mengambil bawaan lalu keluar dari pesawat.

"Nggak ada yang mudah dalam hidup. Apalagi jika kita sedang berusaha melakukan kebaikan. Ada saja kendala dan rintangannya."

Sakya menoleh pada sang kakak di belakangnya.

"Hah? Mas ngomong apa?"

Arga tersenyum miring. "Bukan apa-apa, Ki."

Sakya memutar mata malas sekaligus memutar kembali lehernya ke depan.

Arga hanya sedang berbicara pada dirinya sendiri. Karena saat ini ia merasakan rintangan itu.

Setibanya di pintu keluar bandara, keduanya disambut oleh sosok yang sebelumnya sudah dikenal oleh Arga.

"Hey, mate! How ya doin'?"

"Clint!" Arga segera merangkulnya layaknya seorang sahabat.

"Terima kasih sudah mau menjemput kami."

"No mention, mate!"

Setelah terlepas dari rangkulan, Arga menoleh pada Sakya yang sedang mengernyit dahi di belakangnya.

"Ini kan —"

"Dia Clint, teman baik Amara. Clint, this is my sister, Sakya." Arga segera memotong kalimat Sakya.

"G'day, Sakya!" Clint menyapanya ramah.

"Ooo ... aku ingat. Anda yang datang dengan Mbak Amara kan saat —"

"Iya, Saki," potong Arga lagi.

"Come, i'll take you." Clint segera meraih sebuah koper di sisi Sakya lalu berjalan menuju sebuah mobil Alphard yang sudah menunggu ketiganya di luar.

"So, how is she?" tanya Arga pada Clint setelah mobil itu melaju membawa mereka keluar dari area bandara.

"Hmmm ... the truth? She's all good. Really good. Smiling everytime."

Arga menghembus napas lelah setelah mendengar jawaban Clint.

"Dissapointed?" tanya Clint menggodanya.

"No, not at all. Good to know that. Hanya saja ..."

"Hanya saja apa, Mas?" Sakya ikut menyela saat sedang menatap jalanan yang mereka lewati lewat kaca jendela.

"Kamu tahu Amara kan, Ki. Dia orangnya selalu penuh kendali. Selalu menahan diri."

"What are you saying?" tukas Clint tidak mengerti.

"What if ... she's pretending?"

"Maksud Mas, barangkali Mbak Amara pura-pura bersikap baik-baik aja padahal kenyataannya tidak?"

Arga hanya menaikkan kedua bahunya dengan bibir mengerucut.

"I thought so. But ... she's not. She's really happy. Her face is glowing. I've never seen her like this before."

"Really?" Arga melebarkan mata pada wajah Clint yang duduk di jok depan.

"Yes, i can assure you.".

"Hehe ... Mas Arga kok mukanya malah khawatir gitu? Takut ya?" sindir Sakya yang duduk di sampingnya. Keduanya duduk di jok tengah.

Arga bergeming dalam diamnya. Hanya mampu menjawab dalam hati. Tebakan adiknya itu tepat sekali. Arga memang takut. Takut mengganggu kebahagiaan yang saat ini sedang dinikmati oleh Amara.

==========================

"Mbak Amara, ini ... pembagian kamarnya bagaimana?" tanya Levi, keponakan dari Ratna, sang pengelola panti asuhan. Matanya sibuk mengagumi bangunan mewah nan megah yang baru pertama kali dimasukinya.

"Di sini totalnya ada tujuh kamar. Jangan khawatir, kamarnya besar-besar. Setidaknya satu kamar bisa dihuni tujuh sampai delapan anak. Saya juga sudah menyiapkan banyak kasur tambahan di setiap kamar. Masing-masing anak akan mendapatkan kasur sendiri-sendiri, lengkap dengan bantal, guling, dan selimut."

"Ya Allah ... Dik Amara ... apa ini tidak terlalu berlebihan?" Ratna menutupi mulutnya yang terlanjur menganga kaget.

"Saya ikhlas, Bu. Saya yang mengundang seisi panti ke rumah ini. Jadi, tentu saja menjadi kewajiban saya untuk menyediakan fasilitas yang layak."

Tanpa disangka oleh Amara, Ratna menghambur pelukan erat padanya. Tentu saja Amara terkesiap dengan aksi tiba-tiba itu. Namun dalam sekejap, kedua tangannya ikut mengalungi punggung wanita paruh baya itu.

"Kamu baik sekali, Dik. Semoga Allah segera membalas semua amal baikmu ini."

Sebuah senyum tulus mengembang di wajah Amara.

Aman. Nyaman. Damai. Tenteram. Hangat. Bahagia. Hanya segala rasa itu yang menyengat hatinya saat ini. Seumur hidupnya, Amara belum pernah menemukan kedamaian seperti ini.

Kedamaian yang hanya mampu ia rasakan ketika sang kebaikan mengetuk hatinya lalu mencairkan bongkahan es yang telah lama membeku di sana.

"Bu, sudah dong pelukannya. Anak-anak sudah pada nggak sabar mau menempati kamar baru," teriak Andro yang sejak awal sibuk mondar-mandir membawakan barang-barang mereka masuk.

Ratna tergelak tawa melihat anak-anak yang sudah berhamburan masuk dengan rona wajah bersinar penuh pengharapan baru. Beberapa di antara mereka berlarian mengelilingi rumah besar itu. Beberapa anak sibuk mengklaim kamar yang paling besar sebagai kamar mereka. Beberapa anak lagi mengelilingi Ratna dan Amara. Bergiliran untuk memeluk wanita dermawan yang sudah menolong kehidupan mereka menjadi lebih baik

Amara? Tentu saja ia membalas pelukan mereka satu-persatu. Bahkan ia menyetujui ajakan beberapa anak yang memintanya ikut bermain ular naga. Permainan yang hanya pernah ia mainkan saat dulu mengenyam bangku SD.

Amara seketika berubah menjadi seorang bocah. Berlarian kesana kemari, mengejar satu-persatu anak-anak yang sudah menjadikannya kepala naga.

Kini vila besar milik Retha itu dipenuhi oleh keriangan bocah-bocah polos belum berdosa. Teriakan. Gelak tawa. Keramaian bergemuruh di vila yang sudah lama kosong itu.

Namun tidak lama. Dalam sekejap suara-suara tersebut hilang saat beberapa pasang kaki memasuki bangunan itu. Sesosok pria bertubuh besar berkulit pucat sempat menghadirkan rasa takut pada beberapa anak yang kini berjalan mundur untuk bersembunyi di belakang punggung Amara.

Di belakang pria itu juga terlihat dua manusia lainnya yang sangat dikenal oleh Amara.

"Tamunya Dik Amara, ya?" tanya Bu Ratna dengan suara berbisik.

Amara segera memecah keheningan yang sempat terbangun di ruangan itu.

"Ehm. Clint? Why'd you bring them here?"

"Amara, be polite with your guests." Clint mengingatkannya yang bertanya dengan tidak ramah.

"Assalamu'alaikum, Mbak Amara." Sakya membalas sikap ketusnya dengan sapaan ramah.

Tangannya menggandeng lengan Arga. Pria itu juga ikut tersenyum. Namun senyumnya kali ini, beda.

"Wa'alaikum salam."

Amara menghela napas di antara sikap dinginnya. Lalu pandangannya beralih pada dua orang disampingnya.

"Bu Ratna, Mas Andro, silahkan dilanjutkan beres-beresnya. Saya permisi sebentar."

"Ah, tentu saja. Silahkan, Dik." Ratna yang langsung mengerti, mendorong anak-anak untuk ikut bersamanya meninggalkan ruang tamu.

Meski bertubi rasa penasaran, Andro tetap mengikuti langkah Ratna dari belakang.

Amara mengambil beberapa langkah maju mendekati Clint. Bibirnya mendekat ke telinga kanan pria itu. "Ada apa ini?"

"Arga wants to talk." Clint membalas berbisik padanya.

Masih dengan wajah dingin, Amara bergerak menuju sofa, lalu duduk di sana tanpa mempersilahkan tamu-tamunya untuk ikut serta duduk bersama.

Justru Clint yang berinisiatif menawarkan duduk pada Arga dan Sakya.

"Kalo kesini cuma buat ngasih undangan, nggak perlu. Aku kan sudah bilang," ketus Amara tanpa sedikit pun memandang lawan bicaranya.

Sakya dan Arga yang baru saja menghenyakkan diri di atas sofa panjang, saling melempar pandang lalu berusaha menahan tawa mereka akibat sikap konyol Amara.

"Bukan, Mbak. Kita kesini nggak bawa undangan sama sekali, kok."

Amara mulai mengarahkan matanya pada Sakya yang duduk di depannya.

"Terus? Ada urusan apa? Bukan sekedar kunjungan silaturahmi, kan?" sindirnya masih dengan sikap dingin.

"Dibilang silaturahmi juga bisa." Kali ini Arga yang menjawab. Sama sekali tidak terpancing dengan emosi yang dikeluarkan Amara. "Apa kabar?"

"Cut the crap! Kamu kesini juga bukan sekedar nanya kabar. To the point aja!" balas Amara ketus.

"Amara, sayang lho. Penampilan udah bagus, tertutup. Terjaga. Rambut sudah nggak kelihatan. Tapi masih aja galak."

Arga memang mengagumi perubahan penampilan Amara yang saat ini dilihatnya. Wanita ini kini sudah menutup auratnya. Meskipun belum sempurna menurut Arga. Setidaknya, sudah ada perubahan yang baik dari seorang Amara.

"Urusanku! Lagian, jangan ge-er ya. Aku berpenampilan begini bukan karena kamu."

Arga dan Sakya berusaha menahan tawa yang menggelitik keduanya.

"Memangnya siapa yang bilang begitu?" sindir Arga ditengah tawa kecilnya.

Merasa dipermalukan, wajah Amara semakin tegang.

"Kalian mau apa kesini?"

"Emm ... jadi begini, Mbak." Sakya mengawali pembicaraan.

"Sebenarnya saya kesini cuma nemenin Mas Arga. Sudah dari beberapa hari yang lalu sebenarnya Mas Arga mendesak saya untuk cepat-cepat kesini menemui Mbak. Cuma kan Mbak tahu sendiri, dua minggu kemarin lagi jadwal UTS. Jadi, baru sekarang deh bisa kesini."

Amara berusaha menyimak perkataan Sakya. Meski sejak tadi pikirannya sibuk menebak-nebak tujuan sebenarnya dari kunjungan sepasang kakak-beradik di depannya ini.

"Tapi, untuk masalah tujuan kita kemari, biar Mas Arga langsung yang menjelaskan." Sakya melirik pada wajah sang kakak yang sudah pucat pasi.

Amara mendengkus seraya memutar bola matanya. Sudah malas rasanya mendengarkan suara pria yang sudah mematahkan hatinya. Sementara Clint yang duduk di sampingnya tak henti-hentinya menarik senyum.

"Amara ... aku —"

"Amara."

Kalimat Arga diputus oleh kehadiran seseorang di ruangan itu. Napasnya tersengal-sengal. Ia baru saja berjalan tergesa-gesa.

Amara bangkit menyambut kedatangannya.

"Mama?"

"Hmmm." Pandangan sinis Retha menerawang Arga yang tengah menyambutnya dengan sebuah senyum ramah.

"Mama? Kok ... nggak ngabarin mau datang?" Amara mendekati Retha lalu meraih tangan kanannya untuk dicium.

Mengabaikan pertanyaan Amara, napas Retha justru semakin memburu. Kedua bola matanya yang melebar sempurna tak lepas dari wajah Arga. Senyum Arga yang tadi mengembang, perlahan menipis.

"Sepertinya saya datang di waktu yang tepat." Retha berusaha mengatur deru napasnya.

"Ada apa, Ma?"

Lagi-lagi pertanyaan Amara tidak digubris oleh sang Mama yang terlihat dingin.

"Mama nggak mau Mbak nikah sama cowok itu." Anggita yang menjawab pertanyaan itu, setelah melewati pintu ruang tamu. "Gue juga nggak setuju kalo dia jadi suami lo."

"Gita?" Amara tak kalah kagetnya melihat sang adik yang ikut mengekori sang mama.

Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Terutama bagian 'kapan Gita berdamai dengan Mama?' dan bagian 'Arga mau jadi calon suami?'

"Wait! What's going on here?" Merasa suasana menegang, Clint ikut angkat suara.

"Kamu belum menerima lamaran dia kan, Sayang?" Retha melayangkan pertanyaan yang sama sekali tidak dimengerti Amara.

"Lamaran? Memangnya siapa yang melamar? Mama bicara apa, sih?"

Mendengar jawaban sang putri sulung, Retha menghembus napas lega.

"Bu Retha, saya belum bicara apapun." Alih-alih membalas sikap dingin Retha, Arga berusaha tampil tenang.

"Bagus. Karena ada sesuatu yang perlu saya pastikan," balas Retha dingin dengan tatapan menghakimi.

Arga menanggapi dengan dua kali anggukan kepala. "Baik."

Retha menatap Arga sesaat. "Sebentar." Lalu tatapannya beralih pada Amara di sampingnya.

"Sayang, benar kamu pernah cerita ke Gita kalo kamu lihat Arga cium-cium cewek lain di kampus?"

"Hah? Arga cium-cium cewek? Cium-ci ..." Sontak Amara memutus kalimat setelah ia kembali teringat kejadian beberapa bulan yang lalu di kantin kampus tempatnya mengajar.

Saat ia masih salah paham mengira Sakya adalah wanita simpanan Arga.

"Eh ..."

Retha mengernyit dahi melihat Amara yang menyambung kalimatnya dengan sebuah tawa kencang.

"Hahaha ..."

"Oooh, itu." Amara berusaha menghentikan tawanya lalu menarik napas dalam.

"Git, emangnya lo cerita apa ke Mama?"

"Mama tuh kemarin tiba-tiba cerita soal si Arga-Arga ini." Anggita melirik pada pria yang dimaksud.

"Ya gue jadi inget. Oooh, cowok yang waktu itu di kantor lo ceritain. Yang lo lihat lagi cium-cium cewek di depan umum itu. Eh abis itu, Mama langsung marah-marah, deh. Yang katanya mau bikin perhitungan lah."

Arga hanya tersenyum miring dengan kedua tangan bersedekap. Menertawakan salah paham konyol itu. Berawal dari buah pikiran seorang Amara yang katanya berilmu luas, namun berpikiran dangkal.

"Maaf Bu Retha, cerita itu cuma salah paham saja. Lagipula, satu-satunya wanita non-mahrom yang pernah menyentuh bibir saya ... ada di ruangan ini." Lirikan Arga melayang pada wajah Amara yang spontan memerah.

Sedangkan Sakya menghela napas sembari memutar bola matanya saat pengakuan dosa sang kakak terlontar.

Retha mengikuti isyarat mata Arga pada Amara yang mendadak gugup. "Amara?"

"Ehm, ini ... jadi sebenarnya, waktu itu aku salah paham, Ma. Wanita yang dicium Arga waktu itu, ya adiknya. Sakya." Saat bola matanya mengarah pada Sakya, gadis itu tersenyum malu.

"Sakya?" Retha terkejut bukan main.

Tentu saja ia ingat dengan sosok Sakya yang pertama kali ia temui saat membesuk Mama Jihan di rumah sakit. Dan tentu saja kini ia sangat malu karena sudah menuduh yang bukan-bukan pada Arga. Wajah sewotnya mengarah pada Anggita yang sedang membentuk huruf O dengan mulutnya.

"Would everyone please sit down first? I don't really get what's happening here." Clint yang sejak tadi frustasi tidak mengerti kemana percakapan ini mengarah, menarik lengan Retha untuk duduk di sebelahnya.

Dan tidak ada seorang pun yang berani membantah. Semua penghuni ruangan itu langsung menuruti permintaan Clint.

"Bu Retha, sebelumnya saya mohon maaf atas semua salah paham ini. Memang awalnya, Amara juga salah paham dengan sikap saya di awal-awal pertemuan kami." Setelah suasana hening sejenak dengan penuh ketegangan, Arga mulai angkat bicara.

Retha yang kadung malu setengah mati hanya menanggapi dengan sebuah anggukan.

"Tapi apa yang saya ucapkan tadi benar adanya. Satu-satunya wanita yang pernah mencium saya, cuma —"

"Ya udah, sih! Nggak usah diungkit terus. Heran deh. Mesti berapa kali ngomong, sih? Pingin seluruh dunia tau? Gitu?" Ketus Amara memutus kalimat Arga.

Bukan hanya Arga, semua orang yang ada di ruangan ini sedang berusaha menahan tawa. Terkecuali Clint, tawanya benar-benar lepas.

"Hahaha. I saw it that night. You kissed him, Amara. Twice."

Pelototan besar dari bola mata Amara sudah cukup untuk menghentikan tawa Clint.

"Jadi, karena itu ... kedatangan saya kemari juga berkenaan dengan kejadian itu. Sebaiknya hubungan antara kami segera dihalalkan saja."

Pelototan Amara beralih pada Arga yang tengah tersenyum menatapnya.

"Kamu ngomong apa, sih?"

Arga menatap teduh pada wanita berkerudung salem yang terlihat syok itu. Sesaat matanya memuja kecantikan natural yang terpancar dari wajah tidak berpoles riasan itu. Beberapa kali dalam hati ia mengagungkan asmaul husna. Melantunkan pujian bagi Yang Maha Menciptakan keindahan.

Kali ini, sudah tidak ada kata mundur. Kali ini, hatinya sudah memilih. Pilihan yang tak bisa dinafikan. Arga Pramudya tidak lagi ragu.

"Dania Amara Rielta, apakah kamu bersedia menjadi calon istriku? Calon ibu dari anak-anakku? Calon bidadariku di dunia dan insyaa Allah di surga nanti?"

Kata-kata itu bagaikan petir yang menggelegar di pikiran Amara. Beberapa kali matanya mengerjap. Berusaha memastikan ini hanya mimpinya di siang bolong atau realita di dunia nyata.

"OMG! The proposal!!" teriak Clint memecah suasana sunyi yang terbangun.

Tidak ada satupun yang berani bersuara, terkecuali Clint. Bahkan Amara menahan deru napasnya.

"Amara?" panggil Arga lembut.

"Sayang?" Retha meraih telapak tangan sang putri yang mendadak dingin.

Sebutir air mata lolos dari mata kanan Amara. Tersadar butir-butir lain akan menyusul, Amara kembali mengerjapkan mata sambil menunduk. Tangan kanannya meremas genggaman sang Mama.

Berusaha mencari kekuatan untuk membuka mulut.

"Mbak Amara?" panggil Sakya yang mulai terlihat cemas.

"Jadi gimana, Mbak? Lo terima nggak tuh?" tanya Anggita santai.

Amara menengadahkan wajah setelah tetesan air matanya berhasil dikendalikan hingga terhenti. Lalu mata basahnya kembali menatap Retha yang sedang tersenyum teduh padanya.

"Dijawab, Sayang."

Pandangannya beralih pada Arga yang sedang harap-harap cemas.

"Gimana dengan Marisa? Kamu ditolak sama dia makanya sekarang ngelamar aku?"

Arga menghembus napas dalam setelah beberapa kali menggelengkan kepala. Entah kenapa, selalu saja sulit bagi seorang Amara untuk tidak berburuk-sangka pada orang lain.

"Mas Arga yang menolak, Mbak." Sakya keburu menjawab sebelum Arga sempat membuka mulut.

"Mas Arga sudah menemui orangtua Kak Marisa untuk membatalkan ta'aruf."

"Kenapa?" tanya Amara cepat.

"Karena aku yakin bukan Marisa jodohku." jawab Arga juga cepat.

"Terus? Kamu yakin kalo aku itu jodoh kamu? Tau dari mana kamu? Dari ramalan?" Amara membalas sinis.

"Sudah diyakinkan sama Allah."

Amara terdiam. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, Amara bersorak-sorak bergembira mendengar penjelasan itu. Tapi banyak tanya dan hal-hal lain mengganjal pikirannya. Terutama masalah perasaan. Amara tidak pernah tahu-menahu perihal perasaan Arga padanya. Apakah pria itu benar-benar jatuh cinta padanya? Hanya sekedar suka saja? Hanya bersimpati padanya? Atau karena kini ia sudah berhijab?

"Jadi? Apa jawaban kamu?"

Untuk apa sebuah pernikahan dijalani dengan hanya satu pihak yang bertepuk sebelah tangan? Ayah dan Mamanya yang saling mencintai saja akhirnya tetap tercerai-berai. Apalagi yang cuma cinta sepihak seperti dirinya?

"Amara?"

Banyak godaan di luar sana yang patut dikhawatirkan oleh seorang Amara. Pria yang baru saja melamarnya itu bisa disebut sebagai turunan Adam pujaan kaum hawa. Ia sendiri saja memuja pria itu. Lalu bagaimana caranya ia tetap bisa memiliki Arga hingga akhir hayat? Jika ancaman di luar sana banyak sekali. Tidak ada jaminan juga jika pernikahan mereka akan berhasil. Hanya mengandalkan keyakinan? Tanpa cinta? Bagaimana jika ujung-ujungnya ia bernasib sama dengan sang Mama?

"Amara?"

Dan berakhir menjadi seorang janda? Wanita sibuk super kaya yang kesepian dan berakhir dengan mencari kenikmatan dunia fana seperti sang Mama. Kalau ujung-ujungnya begitu, untuk apa menikah?

"Amara!"

Sebuah tepukan kecil di bahunya, segera menyadarkan Amara yang sedang sibuk dengan segala hipotesisnya.

"Kamu ditanya kok malah ngelamun." Retha lagi-lagi menepuknya.

Arga tersenyum tipis. Sepertinya Arga punya banyak PR untuk mengubah seorang Amara yang 'think too much' menjadi Amara yang 'think simple'.

"Ehm. Maaf, sepertinya aku nggak bisa. Aku yang nggak yakin kalo kamu memang jodohku."

Semua bergeming. Tidak ada satupun yang menyangka jawaban yang akan terlintar dari bibir Amara adalah sebuah penolakan. Retha, Anggita, Sakya, Arga, bahkan Clint terpaku mendengarnya.

"Boleh aku tahu alasannya?"

Suasana semakin hening setelah Arga akhirnya bertanya.

"Aku bahkan nggak tau alasannya kenapa kamu melamar. Jadi, kenapa juga aku harus kasih alasan kenapa menolak?"

Saat Arga akan menggerakkan mulut, Sakya beringsut mendekatinya lalu membisikkan sesuatu di telinga.

Arga membulatkan matanya setelah itu. Tentu saja disertai dengan wajahnya yang sedikit memerah. Sakya tertawa kecil melihat reaksi menggemaskan sang kakak.

"Emm, Amara. Bisa kita bicara sebentar? Ehm. Berdua saja."

"Kenapa?"

"Ada ... sesuatu yang perlu aku sampaikan."

--------‐-------------------------------------------------------------