- Sometimes, — No. Mostly, you just don't realize how great you are as a person. With no disguises and flawless. Truly a human being loved by others. Just be grateful for who you are. -
Anak-anak berlarian di taman itu. Menikmati tawa lepas yang nyaring di telinga. Belasan bibir merekah yang terulas mendamaikan hati para penontonnya. Dari arah dapur, Andro memperhatikan salah satu penonton yang sedang berdiri di samping seorang penonton lainnya.
"Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Amara dingin dengan mata fokus pada seorang anak perempuan yang sedang berjalan di balok titian. Kedua tangannya sudah terlipat di depan tubuh.
Arga memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Sedikit gelisah sebelum mulai bicara. Meskipun kini sedikit leluasa setelah mendapat privasi untuk berbicara empat mata dengan Amara.
"Soal perasaanku."
Amara bergeming. Berusaha menenangkan debaran yang makin bertalu di dadanya.
"Kamu nolak aku karena kamu pikir, kamu cuma bertepuk sebelah tangan. Begitu, kan?"
"Heh? Maksud kamu, aku suka sama kamu gitu? Pede banget kamu ngomong gitu. Sok teyu banget!" Dan tentu saja Amara mengelak.
Nggak ada cerita dalam kamusnya ia harus menelan ego bulat-bulat dengan mengaku suka pada seorang pria yang jelas-jelas dingin terhadapnya.
"Bukannya kamu ya yang suka sok tau?" balas Arga mengejek.
"Kamu mau ngajak ngomong apa ngajak ribut, sih?"
Arga terkekeh kecil. "Makanya, buruan nikah yuk. Kalau aku jadi gemes begini kan susah mau ngapa-ngapain."
Amara membuang wajahnya yang terlanjur memerah. Dalam hati menyalahkan diri sendiri karena terlalu mudah termakan rayuan receh.
"Kenapa? Malu?" goda Arga lagi.
"Iiiihhhh!" Amara tak tahan lagi. Wajahnya pun menoleh ke arah sebaliknya.
"Siapa yang malu?" tantangnya kesal.
Ledakan tawa Arga terdengar nyaring di telinga.
"Hahaha."
Yang justru semakin memancing kekesalan Amara.
"Kalo udah nggak ada yang mau diomongin, aku balik ke ruang tamu."
"Eh, eh, sebentar. Belum juga ngomong." Tubuh tegap Arga menghalangi jalannya. Tatapan teduhnya sedikit menenangkan emosi Amara yang sudah kacau.
"Ya udah. Buruan ngomong." Amara kembali membalik badan. Menghindari tatapan maut yang mampu meleburkan pertahanannya dalam seketika.
Sebuah senyum lebar kembali terulas di wajah Arga. Ruang di hatinya kembali penuh.
"Kalau aku bilang perasaan kita sama, kamu mau jadi istriku?"
"Ooh, jadi kamu benci aku? Sama seperti aku yang benci sama kamu?"
"Hmm. Mungkin begitu."
Tubuhnya kembali berbalik untuk menghadap Arga.
"Bener kamu benci sama aku?" tanyanya dengan kedua bola mata tepat membulat.
Sebuah senyum miring terukir di wajah Arga.
"Iya. Benci. Benar-benar Cinta, kalau bahasanya ABG."
Kakinya melangkah maju untuk berdiri lebih dekat. Mengamati Amara yang terpaku dalam pucat pasi.
"Dania Amara Rielta. Aku melamar kamu, karena Allah sudah menetapkan hatiku untuk jatuh cinta sama kamu."
Kembali, sebulir air menetes di sudut mata kanan Amara. Entah terharu. Entah tergerak. Entah bahagia. Yang jelas, sebuah rasa membuncah di dadanya hingga terasa menghimpit. Sesak.
"Dari mana?"
"Hm?" Arga mengerutkan dahi tak mengerti.
"Dari mana kamu tau?" tanya Amara menuntut.
"Tahu apa?"
Bulir-bulir lain turut membasahi pipinya tanpa disadari.
"Kalau kamu jatuh cinta sama aku."
Arga menghela napas pelan. Menyadari jika ternyata mereka berdua sama-sama manusia bodoh. Yang sama sekali tidak mengerti bagaimana sebuah perasaan dengan mudahnya mengelabui pikiran.
Kedua bahunya terangkat. "Aku juga nggak tahu. Tapi, waktu lihat kamu nangis siang itu. Di mobil, dalam pelukan Clint. Aku marah."
"Hah?"
Arga kembali menghembus napas, kali ini lebih kasar.
"Di hari pemakaman Mama Jihan. Aku manggil kamu, tapi kamu nggak dengar. Kamu masuk mobil dengan Clint. Aku lihat ... kalian berpelukan."
"Kamu ..."
"Ya! Aku ... ya semacam — cemburu."
Amara menyembunyikan bibirnya yang sedikit tersenyum.
"Tapi aku sadar. Aku nggak berhak merasa begitu."
"Kenapa?"
"Karena aku bukan siapa-siapa."
Senyum Amara kembali menghilang. Pikirannya kembali bekerja. Menganalisis ini dan itu.
"Aku sudah berusaha menekan perasaan. Tapi ..."
Amara kembali menatapnya. Menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Saki berusaha menyadarkan aku. Gadis kecilku itu sudah dewasa. Lebih dewasa malahan."
"Ya," tanggap Amara lirih.
"Tapi, Ga ... cemburu saja tidak cukup dalam suatu hubungan." Amara menolehkan wajah ke arah kolam renang di kirinya. Beberapa anak panti sedang bermain di dalamnya.
"Lihat aja kedua orangtuaku. Mereka saling mencintai. Tapi tetap aja bercerai. Bahkan, mereka nggak mampu mempertahankan semuanya untuk melawan Kakek."
"Kenapa memangnya dengan orangtua dan kakekmu?"
Amara mendesah. "Panjang ceritanya. Aku juga baru tau." Ia kembali menatap Arga.
"Kamu bisa cerita."
"Iya, aku tau. Tapi Ga, maaf." Amara mundur selangkah. "Aku masih nggak bisa."
"Karena kamu belum yakin." Arga mengangguk paham.
"Bukan itu. Kalo masalah yakin, mau cowok manapun yang melamar aku, mungkin aku juga nggak akan pernah bisa yakin."
"Jadi ... kenapa?"
"Kamu lihat kan sekeliling kamu?"
Arga mengedar pandangan di sekitar mereka. Menyadari situasi menyenangkan seperti di taman kanak-kanak.
"Aku sudah tahu tentang anak-anak ini. Clint sudah cerita semuanya."
Amara terkekeh pelan di tengah tangisnya. Tangan-tangannya sibuk menyeka bagian yang basah di wajah.
"Si Clint itu. Dia cuma bisa ember ke orang yang memang benar-benar dia percaya. Dia punya trust-issue. Kalo dia bisa cerita macam-macam ke kamu — well, he likes you."
"I know," sahut Arga dengan pede-nya.
"Jadi kamu bisa ngerti, kan?" Matanya kembali menatap Arga.
"Beberapa waktu ini, banyak sekali kejadian dalam hidupku yang bikin otak kacau. Pertemuanku dengan kamu. Hubunganku dengan Mama, Anggita. Urusan pekerjaan. Tugasku untuk anak-anak ini. Bahkan hubunganku dengan Tuhan juga kacau. I'm a mess."
"Dan anehnya, kamu yang kacau itu yang bikin aku suka." sambung Arga dengan penuh senyum.
"Hahaha. Seleramu memang aneh."
Keduanya sama-sama tertawa lepas. Bahkan tak menyadari jika kedua tangan mereka tanpa sengaja bertaut.
"Maaf." Mata Amara tertuju ke bawah.
"Kamu bisa ngasih aku waktu?" tanya Amara lalu melepas genggamannya.
"Waktu untuk?"
"Fix all the messes in my life. And fix myself."
Kening Arga mengerut bingung.
"Jadi, kasih aku waktu buat memantaskan diri untuk jadi istri kamu. Dan kalo dalam rentang waktu itu ternyata kamu menemukan wanita lain yang lebih pantas buat kamu, aku ikhlas."
"Well, nggak ikhlas sih." Ralatnya cepat. "Tapi ... harus berusaha untuk ikhlas."
Arga kembali tersenyum lebar.
"Amara. Sepertinya kamu nggak pernah sadar ya."
"Sadar apaan?"
Arga memandangnya sejenak dalam diam.
"Apaan sih?" Membuat Amara kembali salah tingkah.
Arga tertawa kecil sebelum menjawab, "Kalau kamu itu wanita yang hebat. Dan aku benar-benar —"
Setelah menarik napas sejenak, Arga menatapnya dalam.
"Dania Amara Rielta, aku nggak bisa terima penolakan kamu."
.
===========================
.
Andro gelisah di atas ranjang. Kamar besar yang ia huni bersama empat anak laki-laki panti, tidak cukup membuatnya nyaman untuk terlelap.
Percakapan yang didengarnya tadi sore kian mengusik isi kepalanya. Pria tampan yang didengarnya bernama Arga, telah melamar Amara. Wanita yang baru saja menempati ruang di hatinya.
Tentu saja ada sebuah ketidak-relaan dirasa oleh Andro. Setelah lima tahun menderita patah hati akibat ditinggal menikah oleh wanita yang dicintainya sejak kecil, kini hatinya sembuh berkat kehadiran Amara yang mendadak dalam hidupnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Amara untuk menyentuh hatinya. Sejak hari pertama kedatangannya ke panti, Andro mulai merasakan sesuatu yang bergejolak.
Dan jika kali ini, untuk kedua kalinya, Andro harus merelakan wanita yang dipilih oleh hatinya untuk bersemi di hati lainnya. Andro tidak akan pernah bisa.
Dia sudah lelah untuk disuruh ikhlas.
Pasrah.
Sabar.
Tegar.
Kata-kata yang selalu diucap berulang ke telinganya selama lima tahun ini.
Dan kata-kata itu tidak cukup membuatnya kuat hati.
Andro bangun dari rebahnya lalu berjalan keluar kamar menuju dapur. Pikirnya segelas air putih dingin mungkin dapat meredam kepalanya yang memanas.
Dan tepat di pinggir jendela dapur, siluet itu tampak dari sudut matanya.
Wanita yang menjadi penyebab pikirannya kalut ada di sana. Mengenakan piyama panjang dan jilbab instan. Duduk bersilang kaki di atas sun lounger, di tepi kolam renang. Sebelah tangannya menopang dagu dari atas paha. Wajahnya tercenung menatap kosong.
Entah mendapat dorongan dari mana hingga Andro nekat menghampirinya. Melewati pintu geser di samping dapur. Bahkan suara derit relnya pun tak mampu membuyarkan lamunan Amara.
"Lagi bengong sendiri, Mbak?" tanya Andro setelah duduk di sun-lounger satunya.
Amara hanya menoleh sekilas. Tanpa ekspresi terkejut sama sekali. "Eh ... kok belum tidur, Mas Andro?"
"Mbak Amara juga belum tidur. Lagi mikirin sesuatu ya, Mbak?"
Amara tersenyum sekilas.
"Lagi mikirin masa depan yang belum keliatan hilalnya, Mas."
"Kayak mau Ramadhan aja Mbak, nungguin hilal."
Keduanya saling tertawa kecil. Hanya sekejap. Lalu kembali berlanjut hening. Hanya terdengar suara-suara serangga malam dan do'a-do'a yang terkumandang dari pura yang hanya berjarak beberapa blok dari vila itu.
"Mikirin cowok yang tadi melamar ya, Mbak?" Pertanyaan Andro akhirnya memecah kesunyian.
Wajah Amara kembali menoleh padanya. Kali ini untuk waktu yang cukup lama. Yang tentu saja menimbulkan seringai di wajah Andro.
"Mas Andro dengar?"
"Maaf Mbak. Nggak sengaja saya dengar sedikit tadi percakapan Mbak dan Mas yang itu."
Amara mendesah halus. Vila itu memang besar. Tapi tidak cukup besar untuk memiliki sebuah privasi.
"Namanya Arga. Dia, tadinya bekerja untuk saya. Awal pertemuan kami juga konyol. Dan banyak melibatkan azas praduga bersalah." Amara menyeringai kecil.
"Tapi waktu itu saya yang bodoh karena nuduh dia yang aneh-aneh. Tanpa sama sekali menyadari perasaan saya yang sebenarnya."
Andro kembali tertawa. Mengingat dirinya pun dulu sama bodohnya.
"Jatuh cinta itu memang membuat manusia kelihatan bodoh, Mbak. Bahkan sampai nekat melakukan hal-hal yang tidak pernah kita sangka bisa lakukan."
Andro merujuk pada dirinya sendiri. Mengingat kala ia pernah mengancam akan bunuh diri jika sang pujaan hati tetap nekat meninggalkannya. Pada akhirnya ancaman itu hanya dianggap angin lalu oleh sang mantan kekasih. Meskipun pergelangan tangannya telah terlanjur bersimbah darah.
Andro menarik ujung lengan panjang kaosnya hingga ke telapak tangan. Berusaha menutupi luka yang dulu pernah ditorehnya.
"Iya ya, Mas. Saya juga nggak nyangka pada akhirnya hati saya bisa takluk sama cowok semacam Arga."
"Memangnya susah ya buat menaklukkan hati Mbak Amara?" tanya Andro dengan segenap rasa penasaran.
"Hmmm ... hati saya itu keras, Mas. Batu aja kalah keras. Hehehe ... becanda, Mas."
Andro mengikuti Amara menertawakan hal yang sebenarnya tidak lucu menurutnya.
"Berarti Mas Arga itu hebat, dong! Gimana caranya bisa naklukkin Mbak Amara yang lebih keras dari batu?"
"Hmmm ..." Amara berpikir sejenak.
"Dia orang paling –apa adanya– yang pernah saya temui. Jujur. Sederhana. Dan dia sudah bikin saya sadar, kalo banyak hal yang saya lewatkan dalam hidup."
"Orangnya deep-thinking ya Mbak?"
"Hmmm ... mungkin. Nggak tau juga, sih." Amara menjawab ragu-ragu.
"Kok nggak tau?"
"Saya itu kenal dia belum lama, Mas. Tapi ... rasanya kayak kenal udah lama. Pokoknya gitu, deh! Susah jelasinnya."
Andro manggut-manggut paham. Ceritanya berkebalikan dengan Andro yang memang benar-benar sudah lama mengenal sang mantan. Sejak umur sembilan tahun. Bayangkan saja bagaimana dekatnya mereka.
"Terus, Mbak Amara mau terima lamarannya?"
"Yaa — saya udah nolak tadi. Tapi, dianya nggak mau ditolak."
"Lho? Bukannya Mbak Amara suka sama dia? Kok ditolak?"
Amara kembali menghembus napas lepas. Sejujurnya, Amara juga tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya.
"Saya nggak ngerti juga sebenarnya, Mas. Mungkin saya kebanyakan mikir ini-itu. Kalo begini gimana? Kalo begitu gimana? Terus, saya juga masih ingin memperbaiki kualitas diri. Saya ini masih belajar untuk jadi muslimah yang baik. Ibaratnya masih di level anak PAUD. Sedangkan Arga, dia itu udah di level anak SMA. Jauh banget kaaan jaraknya sama saya." Amara bercerita lepas.
Entah kenapa ia merasa nyaman untuk bercerita dan terbuka pada Andro.
"Terus dia nolak penolakannya Mbak Amara?"
Amara mengangguk sekali dengan bibir mengerucut.
"Maksa dong namanya. Harusnya dia bisa terima apapun keputusan Mbak Amara," balas Andro sedikit berapi-api.
"Hehehe ... kok Mas Andro yang nggak terima gitu?"
"Ya ... so — soalnya Mbak Amara kan udah ngasih jawaban. Harusnya dia menghargai."
"Tapi aku justru senang dia nolak keputusanku." Kedua bola mata Amara berbinar-binar.
"Hah? Kok senang?" Kaget Andro menyentak.
"Karena saya tau betapa labilnya saya. Jadi dia yang ambil keputusan untuk saya. Itu artinya, dia bisa jadi imam yang baik untuk saya. Membimbing kemana hidup saya akan mengarah."
"Tapi, kan ... tadi Mbak Amara bilang, masa depannya masih belum keliatan hilalnya." Andro masih berusaha menyadarkan Amara yang menurutnya masih dikelabui oleh pikiran halu-nya.
"Ya memang belum keliatan, Mas. Emangnya siapa manusia yang bisa tau masa depannya bakal seperti apa?"
Andro membisu. Belum menemukan argumen untuk membalas.
"Maksud omongan saya tadi, yang sedang saya pikirin itu, gimana masa depan saya bersama Arga nantinya. Karena saya punya sedikit trauma."
"Trauma? Trauma apa, Mbak?" tanya Andro kembali penasaran.
Menurutnya, informasi secuil apapun akan sangat berguna baginya untuk menggagalkan pernikahan Amara dengan Arga.
"Saya itu anak broken-home, Mas. Orangtua saya bercerai waktu saya masih SD. Setelah itu saya tinggal dengan Ayah, sementara adik saya tinggal dengan Mama. Padahal Ayah dan Mama itu saling mencintai. Ternyata, bermodal cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah kebahagiaan."
"Jadi ... Mbak Amara takut menikah karena takut dramanya keluarga Mbak bakal terulang lagi?"
Amara mengangguk mengiyakan.
"Mbak, kalo menurut saya lho ya. Itu sih tergantung gimana kepala keluarganya. Kalo memang cinta sang suami sangat besar ke istrinya, yang seperti itu pasti nggak bakal kejadian."
Dahinya mengernyit bingung.
"Jadi maksud Mas Andro, semua tergantung suaminya?"
"Iya Mbak. Kalo cinta suaminya begitu besar, pasti dia akan rela berkorban apapun untuk mempertahankan rumah-tangganya mati-matian. Bahkan rela bertaruh nyawa." Andro menepuk sebelah dadanya dengan tangan terkepal.
Amara tertawa geli melihat antusiasme Andro yang menurutnya berlebihan.
"Begitu, ya. Kalo istrinya? Gimana?"
"Mbak, perempuan itu makmum. Tinggal manut apa kata suami. Nggak usah pusing-pusing mikirin ini-itu harus gimana. Urusan pusing itu urusan suami."
Kembali, Amara tertawa geli. Menurutnya, sikap pria di sampingnya itu cukup menghibur. Namun tak ada satupun kata-kata Andro yang dianggapnya serius.
"Enak ya kalo jadi istrinya Mas Andro. Nggak usah pusing mikir macam-macam. Cukup Mas Andro aja yang pusing."
"Benar itu, Mbak."
"Wah, beruntung banget yang jadi istri Mas Andro."
"Pastinya. Saya akan berusaha sekuat tenaga membahagiakan istri saya lahir-batin, dunia-akhirat."
"Wuiiih." Amara bertepuk tangan.
"Jadi, siapa wanita beruntung yang bakal jadi calon istri Mas Andro?"
"Mbak serius mau tau orangnya?"
"Mau, dong! Bawa sini, kenalin."
"Orangnya nggak jauh kok, Mbak."
"Tinggal deket sini?"
"Deket banget, Mbak."
Amara memajukan wajahnya dengan mulut menganga.
"Masa? Saya kenal?"
"Kenal banget."
"Siapa?"
"Nih, di samping saya."
Amara celingak-celinguk ke kanan-kiri Andro. Tiba-tiba ia bergidik ngeri sendiri.
"Bukan setan, Mbak. Manusia."
"Hah? Di sini kan cuma kita berdua."
"Yup, betul."
Andro mengukir senyum melihat wajah polos di sampingnya.
"Hah?"
Sontak Amara menyadari siapa yang dimaksud oleh Andro. Mulutnya terlanjur menganga kaget. Tubuhnya bangkit berdiri. Meninggalkan sun-lounger hingga berderit.
Andro tersenyum lebar.
"Iya. Saya mau Mbak Amara jadi calon istri saya."
-------------------------------------------------------------------