Aroma menyenangkan dari kopi arabika khas Kintamani menguar di atas breakfast-table. Mengusir kantuk akibat suasana mendung pagi hari di Bali.
Amara menyesap perlahan cairan hitam hangat dalam cangkir itu. Segelas espresso di pagi hari selalu mampu menenangkan gelisahnya. Sudah lama sekali rutinitas ini ia tinggalkan. Semenjak tinggal bersama sang Mama, Bu Susi yang mengganti jenis jahe. Bu Susi bilang, kandungan kopi tidak bagus untuk wanita. Sedangkan jahe, sebaliknya.
Karena tidak mau repot berdebat dengan orang kepercayaan Mamanya di rumah, saat itu Amara mengiyakan saja. Toh pikirnya, ia bisa tetap leluasa minum kopi di luar rumah, kapan saja. Tanpa perlu melewati sesi perdebatan dengan Bu Susi.
Matanya menyapu pandangan di kaca jendela. Titik-titik air sudah membasahi beberapa bagian. Akhirnya, gerimis juga.
Tidak salah kalau pagi ini ia meminta untuk dibikinkan mie rebus oleh Bu Rami. Apalagi Bu Rami senang sekali memasak dengan tambahan rempah-rempah. Menambah kenikmatan kuliner favoritnya. Bumbu mie instan sudah pasti lewat melambai.
Amara mengamati kesibukan Bu Rami yang sedang mengiris dan mengulek. Tangan lincahnya handal sekali. Ia ingat jika dulu Bu Rami bercerita pernah bekerja menjadi TKW di Turki. Dan majikannya itu seorang pemilik restoran. Sedikit-sedikit istri sang majikan mengajari memasak dengan berbagai rempah-rempah yang masih asing di mata Bu Rumi. Ternyata ilmu dari mantan majikannya itu tersalurkan pada masakan Bu Rumi sekarang. Tak jarang ia menggunakan saffron dan jinten untuk menambah citarasa.
"Masih lama, Bu? Saya udah laper nih nyium aromanya," tanya Amara sembari menghirup keras aroma yang sudah menggugah selera.
"Mengko dhisik, Mbak. Hampir mateng," jawab Bu Rumi setengah berteriak. Tangannya sibuk mengaduk-aduk isi wajan.
Bibirnya mengerucut mendengarnya. Perutnya sudah benar-benar lapar minta diisi. Tadi malam, Amara benar-benar melewatkan waktu makan malam. Selepas sholat Isya, ia hanya menghabiskan waktunya termenung di kamar. Lalu berpindah tempat ke pinggir kolam renang. Yang berakhir dengan perbincangan absurd-nya dengan Andro. Amara kembali tertawa mengingat kejadian tadi malam.
Setelah Andro menjelaskan kalau ia berniat menjadikan Amara sebagai calon istrinya, Amara tertawa kencang. Sama sekali tidak menanggapi serius perkataan Andro. Menurutnya, Andro hanya bercanda saja. Sekedar berniat menghibur dirinya yang sedang galau. Karena saat Amara tertawa, Andro pun ikut tertawa. Apalagi ia bilang senang karena berhasil membuat Amara tertawa.
"Niki, Mbak." Bu Rumi menyodorkan mie rebus masakannya. "Kok ketawa-ketawa sendiri toh, Mbak?"
"Hehe ... nggak pa-pa, Bu. Lagi inget kejadian tadi malam sama Mas Andro. Ternyata dia orangnya lucu."
Amara meraih sendok dan garpu lalu mengaduk-aduk mie yang masih berasap itu.
"Iya toh, Mbak? Mas Andro itu kayaknya orang baik, ya? Perhatian juga," balas Bu Rumi sembari menarik kursi dari dalam meja lalu duduk di sana.
Amara dan Retha tidak pernah sama sekali memperlakukan bawahan mereka sebagai seorang bawahan. Semua pekerja di rumah dilarang duduk di bawah lantai.
'Semua manusia duduknya di kursi'. Begitu pesan Retha.
Namun beda kasus dengan Bu Susi, kepala pelayan di rumah Jakarta. Bu Susi tidak pernah mau duduk setara dengan majikannya. Ia selalu memiliki argumen untuk mendebat. Menurut Amara, Bu Susi itu orang pintar. Seharusnya ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tapi ia pernah dengar jika Mamanya itu pernah menawarkan sebuah posisi di perusahaan untuk Bu Susi. Namun wanita itu menolak dengan alasan umurnya yang sudah tak pantas.
"Mas Andro memang baik, Bu. Dia juga sayang banget sama anak-anak. Kalo jadi suami, pasti jadi suami idaman. Sayang anak, sayang istri." Amara melahap perlahan mie yang masih panas suam kuku itu.
"Waaah, jangan-jangan Mbak Amara tresno ya sama Mas Andro?" tebak Bu Rumi langsung tanpa tedeng aling-aling.
"Iiih, Bu Rumi sok tau, deh! Aku cuma sebatas teman aja sama dia.
"Temen apa 'temen'?" Bu Rumi mengutip dengan kedua tangannya.
"Beneran temen nggak pake tanda kutip, Bu Rumi." Amara mengulang dengan dua jarinya.
"Ya wis. Saya sih tinggal tunggu undangan aja. Jadinya Mbak Amara bakal nikah sama siapa."
"Hahahaha ... masih rahasia Tuhan kayaknya, Bu." Amara kembali menyeruput kuah mie rebus.
"Pagiiiiii!"
"Astaghfirullah!" Amara menutup telinganya saat suara memekakkan itu berhembus tepat di sampingnya.
Sementara Bu Rumi meremas dada kirinya. "Ya ampun, Mbak Gita. Jantung saya bisa copot, lho."
"Bu Rumi lebay, ah! Hmmm ... baunya enak, nih."
Amara segera mengamankan mangkuknya yang sedang diendus oleh Gita. "Nggak boleh! Punya gue!"
"Aah, pelit!" Bibir Anggita mengerucut sebal.
"Saya masakin lagi ya buat Mbak Gita," tawar Bu Rumi sembari bangun dari duduknya.
"Eh, nggak usah, Bu. Aku udah makan sandwich tadi. Cuma pingin nyicip doang, kok. Bikinin kopi aja, deh."
"Siyaaap." Bu Rumi segera beranjak ke mesin kopi.
Anggita memperhatikan sang kakak yang sedang menikmati sarapan paginya.
"Apaan?" tanya Amara kesal karena ditatap sampai sebegitunya oleh sang adik.
Anggita berdecak kagum. "Ckckck ... Nggak nyangka gue. Laku juga lo ternyata."
"Hah?"
"Dalam sehari, dilamar sama dua cowok. Wuidiiih!"
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Omongan Anggita membuat Amara tersedak. Ia langsung meraih mug berisi air putih di seberang meja.
Bukannya menolong Amara, Anggita justru iseng menjauhkan mug itu.
"Eiiits!"
"Sini! Uhuk! Uhuk!"
"Ambil kalo bisa!"
"Sini!"
Anggita mengangkat mug tinggi-tinggi. FYI, Anggita lebih tinggi 10 cm dari Amara. Adiknya itu berpostur tubuh jenjang. Jadi Amara berjinjit untuk meraih pun percuma. Dengan terbatuk, cepat-cepat ia berlari mengambil gelas lalu diisi dengan air putih dari dispenser.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Sialan lo, Git!" Wajahnya memerah marah.
Tapi Anggita justru tertawa kencang lalu menjulurkan lidahnya.
"Bodo! Weeek!"
"Dasar bocah! Awas lo ya, gue bales nanti!" sengit Amara.
"Iih, dendaman mainnya." Anggita kembali meletakkan mug di atas meja.
"Lo yang rese' duluan."
"Lagian, gue cuma ngomong gitu aja, langsung keselek. Kayak abis nelen biji salak aja."
"Lo nih yang masukin biji salak ke leher gue!"
Anggita masih tertawa terbahak-bahak meskipun Amara sudah berwajah sinis dengan dada naik-turun.
"Tau dari mana lo?" tanya Amara masih kesal.
"Apaan?"
"Soal Mas Andro."
"Oooh, nama cowok yang dari panti itu Mas Andro?"
Amara melotot padanya.
"Nggak sengaja aja gue nguping tadi malam. Abis nggak bisa tidur. Trus liat lo berduaan sama dia di pinggir kolam renang."
"Kenapa lo nggak ikut gabung?"
"Iih, terus jadi nyamuk kebon gitu? Ogah."
Amara mendesah kesal. "Lagian nggak seperti yang lo kira. Dia cuma bercanda doang."
"Masa?" Anggita pura-pura mendelik kaget.
"Beneran."
"Baru kali ini gue denger orang ngelamar cuma buat becandaan," cibir Anggita dengan senyum miring.
"Tau ah! Males ngomong sama lo." Amara lanjut melahap mie rebusnya.
"Lo tuh emang nggak peka ya Mbak jadi cewek. Si Android itu beneran suka tau sama lo."
Dengan kesal, Amara membanting sendok dan garpu ke dalam mangkuk.
"Lo bener-bener merusak selera makan gue."
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Anggita langsung merebut mangkuk itu. Sayangnya saat melongok, ternyata tinggal kuahnya saja yang tersisa.
"Rese'! Udah abis." Mangkuk itu digesernya kembali.
Amara tersenyum puas.
"Nih Mbak, kopinya." Bu Rumi meletakkan secangkir kopi panas itu di hadapan Anggita.
"Makasih, Bu Rum." Anggita mengaduk-aduk kecil kopi tanpa creamer itu.
Amara pun menyeruput sisa kopinya.
"Jadi ... antara dua cowok itu, mana yang lo pilih?" tanya Anggita sebelum menyicip sesendok kopi ke dalam mulut.
"Gue kan udah bilang, Git. Mas Andro tuh cuma becanda aja. Lagian nih kalo gue perhatiin ..." Mata Amara memicing. Menyusuri wajah sang adik.
"... Kayaknya lo sama Mas Andro cocok deh, Git."
Anggita memutar malas kedua bola matanya.
"Git, dia itu orangnya baik banget lho. Penyayang lagi sama anak-anak. Nah elo, kan masih bocah kelakuannya. Kali aja bisa jadi dewasa kalo sama dia."
"Iissshhh, bukan level gue. Ya cakep, sih. Tapi bukan tipe gue. Cowok model dia gitu bikin boring. Gampang banget takluknya sama cewek. Eh iya, kok sepi sih? Pada kemana mereka?" Anggita menyeruput kopinya perlahan.
"Udah pada berangkat pagi-pagi ke Gianyar. Ada perlombaan anak-anak panti asuhan di sana."
Anggita manggut-manggut seraya membentuk huruf O dengan bibirnya.
"Lo nggak ikutan, Mbak?"
"Gue mau ... ehm, ketemu Arga hari ini." Amara berdeham kecil.
"Eciyeee ... mau ketemu calon suami, toh. Dandan yang cantik," goda Anggita dengan sebuah sikutan pada Amara.
"Dia nggak demen yang cantik dipoles."
"Terus, demennya yang gimana?"
"Yang cantik hatinya."
============================
"Ndro, kamu kenapa? Dari tadi kok bengong melulu?" tanya Levi pada Andro yang sibuk mengangkut piala-piala yang mereka menangkan hari ini.
"Nggak apa-apa, Tante. Agak capek aja," elak Andro berbohong. Menatap kosong di hadapan sang tante.
Levi adalah adik dari Ratna, ibunda Andro. Sejak Andro kecil, kedua wanita paruh baya itu sudah menjadi pengurus panti asuhan. Awalnya hanya sebagai karyawan saja. Namun ketika pengelola sebenarnya meninggal, ia mewariskan panti asuhan itu untuk diurus oleh mereka berdua.
Selepas Andro lulus kuliah, sebenarnya Ratna sudah memintanya untuk mencari kerja di pulau Jawa saja, di kota kelahirannya, Yogyakarta. Namun Andro menolak. Rasa tak teganya pada sang ibunda dan tantenya yang menggerakkannya untuk tetap tinggal di pulau dewata itu bersama mereka.
"Hmmm. Boleh Tante tebak?" tanya Levi setelah mendudukkan diri di anak tangga. Lalu menarik Andro untuk ikut duduk di sebelahnya.
Andro menurunkan tiga piala yang digendongnya ke dasar tanah.
"Kamu ada hati ya sama Mbak Amara?" tembak Levi langsung.
Andro diam dengan kepala tertunduk. Sikapnya ini sudah cukup memberi jawaban.
"Ndro, kamu tahu kan siapa Mbak Amara itu?"
"Iya, Tante. Andro sadar nggak selevel sama dia."
Levi mengernyit dahi. "Lho?? Siapa yang ngomongin soal level? Di mata Allah semua manusia itu levelnya sama. Yang membedakan cuma satu. Kadar imannya. Tapi maksud pertanyaan Tante bukan itu."
Andro mengangkat sedikit wajahnya. "Terus?"
"Calon istrinya orang, Ndro. Sudah ada laki-laki lain yang melamarnya."
Andro memandang sengit. "Tapi Mbak Amara nolak."
"Tapi Mbak Amara cinta sama cowok lain itu. Kamu juga tahu itu. Dari cara Mbak Amara natap dia aja, Tante bisa tahu kok."
Andro kembali menunduk lemas.
"Ndro, ikhlasin aja. Jodohmu juga pasti ada di luar sana. Tinggal kamunya yang sabar, kencengin ibadah."
Andro kembali diam. Mau membantah pun ia tak mampu. Lidahnya terlalu kelu. Meskipun hatinya memberontak. Tidak setuju dengan omongan sang tante. Buktinya saja, sudah menginjak usia 45 tahun, tantenya itu masih betah menjadi perawan. Belum ada satu pun pria datang melamarnya.
Kalau mengikuti teori Levi, mau sampai kapan Andro sabar menunggu jodohnya? Waktu lima tahun sudah ia buang sia-sia untuk bersabar.
"Kata-kata Tantemu itu benar, Ndro. Jodoh kamu ada di luar sana. Ya sabar aja. Pasti nanti juga ketemu. Jangan nyerobot jodoh orang." Ratna sudah berdiri di belakang keduanya. Ternyata sejak awal ia menguping pembicaraan keduanya.
Tapi kata-kata ibunya itu justru semakin mengesalkan Andro. Ia bangkit dengan wajah kusutnya, meraih piala-piala itu dengan sikap gusar, lalu berjalan cepat menuju bis yang mereka sewa. Anak-anak panti sedang mengantri untuk masuk ke dalamnya.
"Sikapnya itu lho, Mbak. Nggak nambah dewasa. Masih aja kayak dulu," keluh Levi sembari mendengkus.
"Ya itu, persis Bapaknya dulu."
"Untung Mbak sudah pisah sama si brengsek itu."
Ratna mendelik tajam. "Vi! Brengsek-brengsek begitu, dia masih bapaknya Andro."
Levi mengangguk malas. Lalu bangkit dari duduknya untuk merangkul sang kakak. Keduanya berjalan bersama menuju bis.
Meskipun dongkol jika mengingat sosok mantan kakak iparnya, Levi tetap sadar diri. Tanpa bantuan kiriman uang dari pria itu setiap bulannya, mungkin akan sulit bagi mereka untuk bertahan hidup serta mempertahankan panti asuhan hingga sekarang.
Satu hal yang tak pernah diketahui oleh Andro. Jika sosok sang ayah masih hidup di dunia. Dan selalu mengawasi keberadaan mereka.
Bis itu segera berangkat mengantarkan mereka kembali menuju vila yang menjadi rumah sementara mereka saat ini. Tidak memakan waktu terlalu lama, dalam sejam mereka sudah tiba di Sanur. Bis memasuki gerbang vila, dan semua penumpangnya lun turun dengan senyum riang karena berhasil membawa pulang tiga piala. Menambah deretan koleksi trofi di lemari.
Beberapa anak dengan antusias berniat memamerkan piala-piala itu pada Amara. Namun sayangnya, orang yang mereka cari sedang tidak ada. Justru Anggita di sana menyambut kedatangan mereka.
Beberapa anak tidak terlalu menyukai Anggita karena wajahnya yang kurang ramah. Tapi Ratna dan Levi tetap menyapanya dengan lembut dan berterima kasih karena sudah menyiapkan sambutan luar biasa untuk mereka semua.
Bagaimana tidak?
Di ruang keluarga yang sebesar aula itu, sudah terbentang meja-meja panjang. Lengkap dengan berbagai macam hidangan makanan dan minuman enak di atasnya. Di dinding, sudah tersusun rapi ornamen dari kertas krep berbagai warna dengan bentuk pita dan bunga, serta balon-balon lucu. Belum lagi badut-badut dan hiburan lainnya yang sudah menunggu di taman belakang.
Anak-anak yang tadi berwajah tegang, kini berlari riang menuju taman. Meninggalkan empat orang dewasa yang masih berdiri di sana.
"Mbak Mara lagi ada perlu sama calon suaminya. Jadi minta tolong saya untuk menyiapkan semua ini." terang Anggita. Yang tentu saja dibalas dengan wajah sebal oleh Andro.
Namun Andro diam saja. Ia mengerti tatapan sang ibu yang melarangnya untuk bereaksi.
"Terima kasih banyak, Mbak. Sebenarnya nggak perlu repot-repot seperti ini. Cuma lomba biasa antar panti-panti, kok."
"Ooh, ya nggak apa-apa sih Bu ... Bu Ratna, kan?" Anggita berusaha menebak-nebak mana yang bernama Ratna, mana yang bernama Levi.
Ratna mengangguk dengan senyum.
"Lagian, jarang-jarang juga kan anak-anak mainan sama badut. Kalo badut-badut itu ide saya."
"Ooalah. Maturnuwun, Mbak. Jadi merepotkan, Mbak ..." Levi berusaha mengingat nama adik dari Amara itu.
"Anggita. Tapi panggil aja Gita."
"Oiya, maaf Mbak Gita. Maklum, sampun sepuh." Ratna yang melanjutkan. Lalu saling menyikut dengan Levi.
Sementara Andro masih memandangnya dengan ekspresi tak suka. Yang tentu saja juga dibalas dengan tatapan dingin oleh Anggita.
"Pasti udah pada laper, kan? Langsung dinikmati aja, Bu." Anggita menunjuk pada hidangan di atas meja. Bibirnya pegal karena terpaksa menarik senyum lebar terus-menerus sejak kedatangan mereka. Ini perintah dari kakaknya.
Setelah saling memandang, Ratna dan Levi pun mengangguk lalu menghampiri meja katering dengan sedikit rasa segan.
"Ehm, gue perlu bicara sama lo." Sapaan Anggita ini tentu mengejutkan buat Andro.
"Ada apa?"
Tapi yang namanya Anggita, kalau sudah tidak suka dengan seseorang, tidak akan segan-segan menunjukkan wajah datarnya.
Dengan jutek, Anggita melengos. "Ikut gue!"
"Apa?"
Anggita menoleh kesal lalu berbisik dengan mata melebar. "Ikut gue!"
Meskipun enggan, Andro tetap menuruti. Mengikuti langkah Anggita menuju taman di depan rumah. Diiringi dengan tatapan heran Ratna dan Levi.
Krek!
Anggita menutup pintu depan agar tak seorang pun dapat mendengar percakapan mereka.
"Ada apa, Mbak?" tanya Andro lagi dengan dahi berkerut.
"Lo suka sama kakak gue?"
Andro diam.
"Gue dengar obrolan kalian berdua kemarin malam."
Andro masih diam.
"Untung aja kakak gue nggak nanggapin serius kata-kata lo."
Andro masih diam meski dadanya bergemuruh.
"Tadi pagi gue tanya sama dia. Mau pilih elo apa cowok yang satunya, Arga? Lo mau tau dia jawab apa?"
"Nggak perlu. Saya sudah tau." Andro pun buka suara.
"Nah, bagus kalo lo udah nyadar diri. Lagipula, Kak Arga itu benar-benar udah bikin kakak gue jadi bucin. Jadi, ya ... lo bisa ngerti sendiri kan kalo peluang lo sangat amat tipis."
Andro kembali diam.
"Begini ya, kalo gue sih — terserah kakak gue mau milih siapa buat jadi suaminya. Kalo pun dia mau milih lo, gue oke aja. Tapi, lihat realitasnya aja. Jangan sampai nanti lo kembali terluka."
Wajah Andro terangkat. Kembali terluka?
Senyum miring terukir di wajah Anggita. "Kenapa? Kaget gue bisa tau? Tuh, bekas luka di pergelangan tangan lo."
Andro cepat-cepat menarik baju lengan panjangnya ke bawah hingga ke punggung tangan.
"Sahabat gue juga pernah melakukan hal yang sama seperti lo. Dan cuma satu alasan kenapa seseorang mau mengakhiri hidupnya. Karena hatinya sudah terluka parah."
Tatapan tajam Andro tertuju tepat di manik mata Anggita.
"Jadi, biar sejarah hidup lo nggak terulang lagi, sebaiknya cepetan lo kubur perasaan lo sama kakak gue."
"Kamu ..."
"Apa? Lo mau marah sama gue? Harusnya lo terima kasih sama gue karena gue udah ngingetin lo."
Andro menghela napas lepas. "Percuma juga bicara sama anak alay seperti kamu."
"Apa lo bilang?"
"Anak alay."
"Ada juga lo yang alay. Pake sok-sok'an bun — mmmppphhh ..." telapak tangan Andro sudah terangkat menutupi mulut Anggita yang masih saja berceloteh.
"DIAM!" Andro membentaknya. Tangan satunya mendorong mundur tubuh Anggita hingga menabrak tembok. Anggita berusaha melepas tangan yang membekap mulutnya, namun dengan cepat satu tangan Arga mengunci kedua tangannya di atas kepala. Matanya yang membelalak lebar hanya berjarak beberapa centimeter dari wajah Anggita.
"Dengar baik-baik, bocah kemarin sore. Pertama, kamu harus belajar etika bagaimana berbicara yang sopan dengan orang yang lebih tua."
"Kedua, jangan pernah sok tau dan ikut campur dengan urusan orang lain."
Andro semakin mengeratkan kunciannya di atas kepala Anggita. Sayangnya, Anggita tidak dapat meneriakkan sakit yang dirasa di pergelangan tangannya yang sudah memerah.
"Ketiga, kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Aku bisa jadi mimpi buruk kamu."
Meski deru napasnya masih menggebu, Andro menarik kedua tangannya lepas. Lalu menatap tajam pada Anggita yang terengah-engah setengah ketakutan.
"Ingat kata-kataku tadi."
Andro membuka pintu untuk kembali melangkah masuk. Tapi seruan Anggita menghentikannya.
"Hei, bocah alay! Lo pikir gue takut sama lo? Lo juga nggak tau udah cari masalah sama siapa!"
Pria yang lebih tua darinya itu mendengkus kesal lalu membuang muka.
"Awas aja kalo lo sampai berani macam-macam ke kakak gue."
Braaak!
Pintu itu ditutup dengan sebuah bantingan yang mengejutkan.
Anggita terduduk lemas. Dalam hati sebenarnya ia takut setengah mati. Matanya turun ke bawah. Memandang ruam merah di pergelangan tangannya. Setitik demi setitik air matanya turun ke pipi.
Anggita marah bukan main. Marah pada dirinya sendiri karena sudah dikalahkan oleh pria seperti Andro. Ya, Anggita kalah dalam perang argumen tadi. Yang paling utama, belum pernah ada satu pria pun yang memperlakukannya kasar seperti ini.
Dan Anggita benar-benar serius dengan kata-katanya tadi. Jika Andro berani menyakiti kakaknya, Anggita tidak akan segan membuat perhitungan dengannya. Pria seperti Andro bisa saja nekat melakukan apapun yang ada di pikirannya. Dalam dunia film thriller, manusia sepertinya disebut psycho. Mulai detik ini, Anggita akan menyebutnya begitu.
The Psycho Man.