Chapter 27 - I L U

- You can't force the sun to love the moon. Because it already loves the moon ever since the beginning -

By: Author

Amara menggigit potongan daging di garpu lalu mengunyah pelan. Matanya memandang rollade yang sudah terpotong di piring. Meski tidak terlalu berselera, Amara memaksakan diri. Ulu hatinya mulai nyeri. Bisa jadi sakit lambungnya kumat. Sesedikit apapun, yang penting perutnya harus diisi.

Menahan nyeri, Amara menundukkan kepala. Tidak berani menatap pria di sebrang meja yang juga sedang menyantap makanannya. Padahal sah-sah saja kalaupun ia terus-menerus memandangi wajah tampan itu. Toh sudah jadi suaminya. Tapi detak jantungnya sedang kacau-balau. Kalau Amara mengijinkan matanya terus-menerus menikmati pemandangan indah itu, bisa jadi ...

Amara tidak berani meneruskan pemikiran dalam kepalanya.

Berbeda dengannya, Arga justru terlihat santai menikmati hidangannya. Sesekali matanya menatap Amara yang sibuk memainkan garpu di piring.

"Kenapa kamu?" tanya Arga memecah keheningan.

"Hm?" Amara berlagak tak acuh.

"Kayak nahan sesuatu."

"Dih! Emangnya apa yang perlu ditahan?" Amara tersenyum kecil. Berusaha menutupi nyerinya.

Arga terkekeh pelan. Sepertinya mood istrinya sudah lebih baik setelah omnya meninggalkan rumah dengan diantar oleh Retha.

"Ehm, jadi hari ini rencananya mau ngapain?" tanya Arga dengan mata bulat yang tetap menatap.

Malas menjawab, Amara hanya mengangkat kedua bahunya, berusaha terlihat tenang di tengah gugupnya.

"Sayang ..."

"Uhuk, uhuk, uhuk!" Butiran nasi di mulut tak sengaja masuk ke tenggorokan. Amara cepat meraih gelas berisi air putih di samping tangannya.

"Uhuk, uhuk!"

Ia berusaha batuk keras untuk mengeluarkan butiran nasi itu.

"Uhuk, uhuk!"

Arga yang merasa bersalah segera bangkit untuk membantunya.

"Kamu, nggak apa-apa? Sayang?"

"Uhuk!"

Tindakan Arga sama sekali tidak membantunya.

"Minum lagi, nih." Arga menyerahkan gelas berisi air putih miliknya.

Amara meraihnya, dan langsung menenggak bulat-bulat hingga habis.

"Ehem! Hem!" Setelah merasa butiran nasi itu keluar melewati tonsil, ia berdeham untuk menjernihkan tenggorokannya.

"Makannya pelan-pelan saja," titah Arga sembari mengusap lembut punggungnya.

"Ehm, ehm! Kamu ngapain, sih?" Amara menjauhkan diri dari Arga dengan berdiri dari kursi. Suaranya masih serak.

"Nolongin kamu," jawabnya polos.

Amara masih sibuk berdeham untuk menormalkan suaranya.

"Tau ah!" dengus Amara sebal, lalu berjalan meninggalkan ruang makan.

"Lho, mau kemana? Makanannya belum habis kan?" panggil Arga sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan istrinya.

"Kamar," jawab Amara cepat lalu segera masuk ke dalam lift, meninggalkan Arga yang hanya mematung di depan lift.

Sampai di kamarnya, Amara membanting pintu, bersandar, lalu menarik napas dalam. Berusaha menenangkan jantungnya yang tadi sempat kocar-kacir.

Ternyata begini sensasinya langsung menikah tanpa pacaran. Rasanya seperti hari pertama pacaran. Segalanya serba membuat dag-dig-dug, gugup, tapi bahagianya selangit. Bikin mulut capek karena harus cengar-cengir terus. Belum lagi harus menelan ego bulat-bulat. Sudah nggak boleh gengsi, kan?

Amara yang tengah tersenyum lebar, menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Bukan karena kesal, tapi karena sedang sangat amat teramat bahagia.

Apalagi sensasi saat kulit mereka saling bersentuhan, seperti ada aliran listrik yang mengalir cepat menuju jantungnya. Meski hari ini bukan untuk pertama kalinya mereka bersentuhan, tetap saja sensasinya beda. Statusnya saja sudah beda.

Ditambah lagi dengan panggilan Arga padanya tadi. Sayang?

Untung tadi Amara langsung melarikan diri. Bisa loncat keluar jantungnya kalau Amara masih menetap di sana.

Tanpa sengaja, tatapannya terhenti pada ranjang di tengah ruangan. Jadi ... mereka mau ngapain di ranjang?

Amara menggeleng-geleng kepala, menghapus pikirannya yang mulai membayangkan sesuatu. Ia harus memalingkan wajah dari ranjang. Sehingga kakinya dilangkahkan menuju meja kerjanya. Ia menarik kursi keluar, lalu duduk.

Manik matanya fokus pada pigura yang senantiasa terpajang di atas meja. Foto sang ayah yang tengah menggendongnya di punggung belakang. Amara menopang dagu selama menatap gambar itu.

"Ayah, ... anak kesayangan Ayah udah nggak sendirian sekarang. Udah ada yang jagain Dani."

"Ayah nggak perlu khawatir. Posisi Ayah selamanya nggak akan tergantikan. Dia cuma mengisi ruangan lain di hati Dani."

"Ayah bahagia kan kalau Dani bahagia? Iya kan, Yah? Boleh kan Dani bahagia?"

Amara kembali menangis. Sebelah tangannya terangkat mengusap pigura. Sebelah tangannya yang tadi menopang dagu, menyeka air mata di wajah.

"Amara ..."

Tanpa disadari olehnya, Arga sudah berdiri di belakangnya. Kedua tangannya menyentuh lembut pundak Amara.

"Ga," Amara memutar badan di kursi. Kepalanya mendongak, meniti wajah suaminya di atas.

"Hm?"

"Kenapa ya, kadang ... aku merasa Tuhan nggak adil sama aku? Apa aku kurang bersyukur ya?"

Arga menarik ottoman di samping, lalu duduk di atasnya. Kini posisinya sedikit lebih rendah dari Amara.

"Kenapa merasa begitu?"

Amara menunduk. "Sebelum Ayah dan Mama bercerai, kehidupan kami baik-baik aja. Aku merasa jadi anak kecil yang paling bahagia."

"Aku punya Mama, punya Ayah, punya adik yang lucu, punya banyak hal yang bisa aku pamerkan ke teman-teman."

Kembali, Amara berusaha menahan sedih dengan memainkan jari-jarinya. Melihat itu, Arga langsung mengulurkan tangan untuk menggenggamnya erat. Ia sadar, istrinya sedang butuh kekuatan.

"Perceraian, merusak semuanya. Aku bukan lagi anak kecil yang bahagia. Nggak punya Mama untuk jadi teman curhat. Nggak punya adik untuk jadi teman bermain. Bahkan ... rasanya seperti nggak punya Ayah."

Kepalanya menengadah agar air matanya tidak kembali tumpah.

"Sejak itu, Ayah sibuk dengan pekerjaan. Aku juga cuma terus-terusan dituntut untuk belajar. Ayah nggak pernah ceria lagi."

"Aku muak. Beberapa kali aku kabur dari rumah, tapi akhirnya pulang juga. Karena saat itu aku sadar. Aku nggak punya siapa-siapa selain Ayah."

"Waktu Ayah sakit, aku panik. Nggak bisa ngapa-ngapain. Ayah juga nggak bolehin aku ngasihtau Mama. Jadi, ... cuma Om Krishna satu-satunya harapan. Tapi ..." Amara menghela napas pelan.

"Ga ... dalam hati, aku tau kalo sudah berlaku nggak adil ke Om Krishna. Tapi ... aku juga kan manusia biasa yang bisa terluka dan kecewa."

Amara membuang napas pelan. "Kalo egois aku lagi muncul, aku tuh mikir. Tuhan kan Maha Adil ya, tapi kenapa aku merasa hidup nggak adil sama aku? Kenapa harus aku yang menjalani hidup dengan banyak drama? Sementara orang lain bisa bahagia dengan hidup mereka."

Kalau Amara bukan istrinya, mungkin Arga sudah sewot mendengar kalimatnya yang menghakimi Sang Maha Adil itu. Tapi wanita ini adalah istrinya. Dan Arga harus bersabar dalam membimbingnya. Apalagi Amara baru mulai belajar agama. Selalu ada yang pertama untuk setiap hal. Sama seperti Arga dulu saat ia masih tersesat dalam kegelapan. Prosesnya tidak mudah hingga ia benar-benar istiqomah dalam perjalanan hijrah.

"Jadi intinya, kamu itu masih merasa Allah nggak adil sama hamba-Nya? Terutama sama kamu?"

Tak ada respon dari Amara. Matanya tetap menatap lantai dengan bibir mengerucut.

"Sekarang aku balikin lagi ke kamu. Kamu sudah berlaku adil belum sama Allah?"

"Eh?" Amara mengangkat kepala. "Maksudnya?"

"Ya begitulah manusia. Menuduh Allah nggak adil sama dirinya. Padahal manusianya sendiri yang nggak adil sama Allah."

"Maksudnya gimana sih?" Amara mengerut bingung. Sikunya menopang dagu dari atas meja.

"Sekarang aku tanya deh. Lebih sering mana, kamu masuk masjid atau masuk ke mal? Lebih sering masukin uang ke kotak amal, atau ke rekening bank? Lebih sering sedekah, atau shopping? Lebih sering jalan-jalan ke tempat wisata atau Mekah?"

Sepasang mata Amara membulat penuh.

"Allah sudah ngasih kamu hidup yang berkecukupan, rumah yang besar, bisa makan enak tiap hari, sekolah yang tinggi, jabatan tinggi. Dan setelah ayahmu meninggal, Allah ngasih kesempatan kamu tinggal sama Mama dan adik kamu. Dan kamu masih bisa merasa Allah nggak adil sama kamu?"

Jleb! Arga memang paling bisa membalikkan segala sesuatunya dan membuatnya merasa seperti orang bodoh.

"Sayang,"

Amara terkesiap ketika tangannya digenggam lembut.

"Bahagia itu tergantung bagaimana kita mensyukuri nikmat yang sudah ada. Di antara sekian banyak cobaan yang manusia hadapi, masih jauh lebih banyak nikmat yang sudah kita terima. Coba deh, kamu renungi."

"Gimana caranya bisa bersyukur?"

"Belajar ikhlas."

"Gimana caranya bisa ikhlas?"

"Menerima kalau segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita itu qodarullah. Sudah takdir. Termasuk ... soal jodoh."

Amara turut memainkan jari-jemarinya yang masuk dalam genggaman Arga. Selain menenangkan, penjelasan lembut dari Arga membuat jantungnya kembali berpacu cepat. Sehingga Amara memutuskan untuk menarik tangannya keluar..

"Makasih buat penjelasan kamu." Pandangannya mencelos untuk menyembunyikan gugupnya.

Arga hanya tersenyum di tempat. Matanya bisa menangkap wajah isrinya yang sedang bersemu merah.

"Jadi, malam ini kita mau ngapain?" tanya Arga santai dengan bertopang dagu.

"Nga—ngapain? Y—ya nggak ngapa-ngapain." Amara masih membuang muka.

"Lagi malu nih ceritanya?" tembak Arga tepat sasaran.

"Apaan sih? Siapa juga yang malu!" elak Amara sebal lalu bangkit berjalan menuju ruangan wardrobe.

Amara menutup pintu ruangan kecil itu lalu sebelah tangannya meremas dada. Ada sesuatu yang dirasa di sana. Entah efek jantungnya sedang yang dibuat naik turun oleh sikap manis Arga, atau nyeri ulu hatinya yang sudah menjalar ke dada?

Berusaha mengabaikan rasa itu, Amara beranjak untuk memilih baju ganti. Lebih tepatnya, baju tidur. Karena setelah ini ia berencana untuk mandi.

"Sayang ..." Arga mengetuk dari luar pintu.

Kembali sesuatu terasa meremas dadanya. Amara menggigit bibir menahan sensasinya.

"Ya?" respon Amara setengah berteriak.

"Aku balik ke rumah dulu sebentar."

"Hah?"

"Aku balik dulu sebentar. Ambil baju ganti."

Dan Amara baru ingat. Suaminya itu memang tidak membawa koper atau tas backpack tadi. Segala sesuatu yang terjadi hari ini, serba terburu-buru.

Sebenarnya Amara yang memburu. Ia tidak mau ambil resiko menunggu waktu pernikahan yang sebelumnya sudah ditentukan. Ancaman dari Aletta yang menjadi ketakutan utamanya. Nalurinya sebagai seorang wanita mengatakan, si muka plastik itu berbahaya.

"Amara?"

"Eh, i—iya. Jangan lama-lama, ya."

Dari balik pintu, Arga tertawa kecil. Sementara Amara langsung menepuk mulutnya sendiri. Untuk apa juga dia bilang 'jangan lama-lama'? Nanti Arga jadi salah sangka berpikiran aneh-aneh.

Pintu kamarnya berderit ditutup. Amara buru-buru keluar dari ruangan wardrobe menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Ia harus cepat-cepat mandi, sholat Isya, lalu tidur. Harus sudah tidur sebelum suaminya itu kembali.

Dan benar saja, setelah itu dalam sekejap Amara terlelap. Ia berterima kasih pada badannya yang lelah, pikirannya yang penat, dan matanya yang capek menangis, karena melancarkan perjalanannya menuju alam mimpi. Amara benar-benar nyenyak. Hingga tak sadar sebuah tangan maskulin melingkari pinggangnya dan menemani tidurnya sepanjang malam itu.

===========================

Amara menggeliat ke samping ketika merasakan beban berat di atas perutnya. Berat, tapi anehnya terasa nyaman. Enggan membuka mata, Amara merasakan wajahnya menabrak sesuatu yang keras. Aroma parfum maskulin juga merasuk hidungnya. Amara betah berlama-lama menghidu wangi itu.

Hingga akhirnya otaknya kembali bekerja, Amara membuka matanya bulat melebar. Dada maskulin itu tepat berada di depan wajahnya. Kepalanya yang sudah tidak beralas bantal, mendongak.

"Pagi, Sayang." Senyum tampan itu menyambut paginya. Sang pria sedang berbaring menghadapnya dengan kepala ditopang siku kanan.

"Pagi." Amara berkata lirih sambil menelan ludahnya bulat-bulat.

Dengan tergesa-gesa, ia bangkit lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Arga yang heran dengan sikapnya.

Amara tak membuang waktu. Langsung buang air kecil, cuci muka, sikat gigi, dan berkumur dengan mouthwash. Tak lupa menyisir rambut bergelombangnya yang kusut-masai.

Pagi pertama bersama suami ... and she looks like a mess. Mari berharap Arga tidak memperhatikan wajah bangun-tidurnya tadi.

Perlahan kenop pintu kamar mandi dibukanya. Diikuti oleh matanya yang mengintip kecil dari balik pintu.

Sayup-sayup gema adzan Subuh berkumandang lewat pengeras suara masjid di komplek itu.

Hah, baru adzan? Masih jam segini??? Jerit Amara dalam hati.

Ia pikir ini sudah melewati waktu matahari terbit.

"Ka—kamu ... nggak Subuh di mesjid?" tanya Amara ragu-ragu ketika sudah berdiri di depan ranjang. Kakinya menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.

Arga duduk dari rebahnya. "Khusus hari ini libur."

"Hah?"

"Boleh kan aku jadi imam? Kita sholat sama-sama." Arga bangkit mendekat. Tapi Amara melangkah mundur.

Arga menghentikan langkahnya setelah merasa istrinya tidak mau didekati.

"Aku wudhu duluan," ujar Amara cepat sambil berlari masuk ke kamar mandi.

Hanya bisa menghela napas, Arga mengikuti langkah istrinya masuk ke dalam kamar mandi. Di depannya, Amara memang sedang mengambil wudhu di kran bawah shower. Arga mengantri dengan sabar dengan bersila tangan.

Setelah selesai Amara berjalan menunduk melewati suaminya yang sedang geleng-geleng kepala.

Amara langsung bersiap diri mengenakan mukena dan menggelar dua sajadah di depan ranjang. Ketika Arga sudah keluar dari kamar mandi dengan mengenakan baju koko dan sarung, Amara terkesima. Di matanya, Arga terlihat jauh berkali-kali lipat gantengnya.

"Kenapa?" tanya Arga saat menyadari tatapan Amara tak lepas dari dirinya.

"Nggak pa-pa. Kamu makin ganteng," jawab Amara jujur dengan sumringah.

Arga tersenyum kecil. "Yuk, sholat."

Tidak hanya mengerjakan sholat Subuh, sepasang suami istri ini juga menjalankan sholat sunnah pengantin.

"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih." Setelah membacakan do'a itu di ubun-ubun istrinya, Arga mengecup dalam di kening Amara.

Amara terpejam pasrah. Memilih untuk menikmati sensasi cinta yang berdesir dalam dadanya ketimbang mengelak dari rasa yang selalu membuatnya gugup itu.

"Sayang ..." Telapak tangan Arga tengah mengusap pipinya.

Amara membuka mata. "Hm?"

"I love you."

.

================================

.

Amara kembali membuka mata ketika merasa silaunya matahari mengusik tidurnya. Tapi Amara tak peduli. Ia hanya membalik badan, membiarkan sinar mentari menyinari punggungnya yang sedikit terbuka, tak terbalut selimut.

"Sayang, sudah jam 8. Kamu mau tidur terus?" Rambut sebahunya diusap lembut.

Amara meraih telapak tangan yang ukurannya lebih besar dari telapaknya itu lalu mendekapnya di leher.

"Aku masih capek, Ga," protesnya parau.

"Iya, sarapan dulu yuk." Arga menarik tangan istrinya untuk duduk.

"Eeeh!" Amara buru-buru melepas tangannya lalu menarik seluruh selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Ka—kamu duluan. Nanti aku nyusul."

Tidak mendebat seperti biasanya, Arga berdiri sembari mengacak-acak rambut istrinya.

"Iiih, apaan sih!" Amara menepis tangan Arga lalu membenahi rambut kusutnya.

Arga tersenyum puas lalu menjauh. "Ya sudah, aku tunggu di depan pintu."

Setelah Arga membalik badan, Amara buru-buru berdiri seraya mencari kaos santainya. Tidak menyadari jika Arga kembali berjalan mendekatinya. Dagunya diangkat dengan ujung jari Arga. Dengan cepat, Arga menyentuh lembut bibir Amara. Bermain-main sebentar di bibir ranum itu. Lalu mengecup kedua pipinya.

"Balasan untuk ciuman kamu di pantai." Usai berucap, Arga kembali membalik badan. Meninggalkan Amara yang diam mematung dengan irama jantung berlonjakan.

==============================

"Jadi bener Arga udah nikah???"

"Iya, Letta."

"Mas kok tega bohongin aku? Bilangnya mau ke kantor!" Letta memalingkan wajah marahnya. Hatinya kian memanas.

"Maaf, tapi ini permintaan Arga dan istrinya," balas Hardi berusaha menenangkan.

Tidak disangka olehnya jika istrinya akan segusar ini begitu mengetahui kabar pernikahan Arga.

"Dan Mas tega membohongi aku demi mereka? Iya? Memangnya aku siapa sih, Mas? Aku istrinya Mas. Aku ibunya Arga!" Letta naik pitam hingga lupa mengontrol emosinya.

Padahal sebelum-sebelumnya ia selalu berlaku lemah-lembut di depan sang suami. Ini pertama kalinya Hardi melihat kemarahan istrinya menguar.

"Ibu tiri," ingat Hardi tegas.

"Ya terus kenapa kalo ibu tiri? Sama-sama ibu, kan?" Letta balas menantang.

"Ta, ada apa sama kamu? Kenapa kamu segitu marahnya cuma karena masalah ini?" Lama-lama emosi Hardi juga turut terpantik.

"Cuma karena masalah ini? Kamu pikir masalah ini sepele buat aku?! Enggak, Mas!" Letta memajukan wajah berangnya. Matanya menatap nanar.

"Ada apa memangnya dengan pernikahan Arga?"

"Arga itu cuma milikku! Milik aku!" jerit histeris, frustasi.

"Apa?"

Letta terduduk lemas di lantai. Tangisnya pecah. Terbongkar sudah semuanya.

"Kamu bilang apa?" Hardi menatap tak percaya.

"Maaf ... aku nggak pernah cinta sama kamu, Mas."

"Apa?"

"Aku nikah sama kamu biar bisa dekat terus sama Arga," lanjutnya sesenggukan.

Hardi bergeming dalam keterkejutannya.

"Aku cinta Arga, Mas! Aku cinta Arga!" teriak Letta di antara tangisnya.

Kecewa. Hanya itu yang Hardi rasakan, tidak lebih. Beda halnya ketika ditinggal selamanya oleh Hilda, istri pertamanya, cinta sejatinya. Setelah kepergiannya, Hardi bahkan jatuh sakit berbulan-bulan.

Sejujurnya, Hardi tidak pernah mencintai Aletta. Wanita itu hanya sekedar teman berbagi atap baginya. Bahkan mereka tidak pernah tidur seranjang. Hardi selalu tidur di dalam ruang kerjanya. Sedangkan Aletta bebas menempati kamarnya. Tidak ada yang tahu, termasuk Arga.

Hardi bahkan tidak pernah berusaha mendekati, bahkan menyentuhnya. Aletta pun tidak pernah melakukan hal yang sama. Seperti dua orang asing yang tinggal bersama. Itulah sebabnya Hardi selalu bersikeras agar Arga mau tinggal kembali di rumah itu. Cuma Arga teman hidupnya. Bukan wanita itu.

"Saya selalu menunggu kejujuran itu terucap dari kamu, Ta," ucapnya tanpa beban.

Aletta menatapnya bingung.

"Saya tahu pernikahan kita ini tanpa cinta. Bukan cuma kamu. Saya sendiri tidak punya perasaan apa-apa terhadap kamu."

Aletta menatap kembali ke masa lalunya. Di mana saat itu ia terbangun di dalam pelukan atasannya tanpa mengenakan atasan. Tapi anehnya, Hardi masih berpakaian lengkap.

Ketika terbangun, Aletta merasakan betapa berat kepalanya. Botol-botol minuman keras bertebar berantakan di sekitarnya. Aroma alkohol selalu membuatnya mual. Ia bahkan tidak menyukai miras. Arga memang sering mengajaknya masuk klub malam. Tapi Amara sama sekali tak pernah menyentuh minuman haram itu. Yang ia pedulikan hanyalah menghabiskan waktu bersama pria idamannya.

Tak lama selang waktu, Hardi pun tersadar dari tidurnya. Merasakan kepalanya berat sebelah. Bajunya masih lengkap namun kusut dengan beberapa kancing atas terbuka. Dan saat itulah ia dapati Aletta yang tengah menutupi tubuh atasnya hanya dengan kedua tangan sambil meringkuk. Dengan panik, Hardi meraih jasnya yang tersampir di atas meja untuk diberikan pada Aletta.

Keduanya bingung. Tidak tahu apa yang sudah terjadi malam itu. Meskipun tanpa petunjuk, Hardi tetap menduga jika ia sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Aletta. Hardi adalah seorang pria sejati, maka ia merasa perlu mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Beberapa hari setelah kejadian itu, Hardi melamar Aletta. Gayung bersambut, Aletta langsung menerima.

Alasan utamanya cuma Arga. Ia ingin selalu dekat dengan Arga. Aletta tidak pernah menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya dan Hardi. Ia membiarkan asumsi Arga yang salah paham padanya. Barangkali dengan mengetahui hubungannya dengan Hardi, bisa memicu cemburunya Arga.

Tapi dugaannya itu nol besar. Arga sama sekali tidak pernah menunjukkan rasa cemburunya. Malahan Arga semakin menjauh darinya. Bahkan memandangnya jijik. Sekeras apapun Aletta mendekatinya, menggodanya, merayunya, bahkan dengan menonjolkan tubuh polosnya, tak satupun caranya itu berhasil menaklukkan Arga.

Arga terlalu sulit untuk kembali direngkuhnya. Dan itu terjadi, semenjak Arga memutuskan mencari keberadaan Tuhan. Padahal dulu itu cuma berawal dari percakapan klise mereka tentang eksistensi Tuhan.

Sama sekali Aletta tidak menyangka dari percakapan kecil itu bisa membuat Arga berani putus dengannya.

"Kalian sudah pernah berhubungan?" tegur Hardi lagi hingga memecah lamunan Aletta.

"Ya," jawabnya singkat lebih tenang.

"Kapan?"

"Sebulan sebelum kita nikah."

Hardi mengela napas. "Kenapa kalian putus?"

Sebelum menjawab, Aletta diam beberapa detik. "Arga yang mutusin."

"Kenapa?"

Tangan Letta yang terkepal memukul lantai. Lalu ia tertawa pelan. "Karena Tuhan."

Hardi menganggukkan kepala. Memang dirasanya Arga menjadi jauh lebih baik setelah mulai belajar agama beberapa tahun yang lalu.

"Saya mengerti."

"Yang Mas nggak mengerti ... yang aku juga nggak mengerti ... kenapa rasa cinta ini begitu menyakitkan?" tawanya menakutkan. Bahkan mungkin kewarasannya menghilang.

"Ta, kamu harus ikhlas. Arga sudah bahagia dengan pilihannya sekarang."

"Aku nggak akan pernah ikhlaaaassss!" Letta bangkit berdiri lalu kembali menjerit.

"Dia milikku, Mas! Arga itu milikku!" Lalu berlari cepat keluar rumah.

"Letta! Aletta!" Hardi keluar mengejarnya.

"Aletta!"

"Liat aja kamu, Ga! Kalo aku nggak bahagia, kamu juga nggak boleh bahagia!"

==================================