Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 29 - The Pain

Chapter 29 - The Pain

- When the pain is becoming the center of your feeling, then you'll get nothing but missing -

By: author

Di ruangan itu dokter dan perawat keluar masuk lalu-lalang. Tapi yang menjadi pusat perhatian adalah adanya beberapa perawat pria yang tengah mendorong cepat sebuah brankar dengan seorang pasien terbujur kaku di atasnya. Sekujur kepala hingga wajahnya berlumur darah. Matanya terpejam tak sadarkan diri.

Salah seorang dokter berwajah lelah menyambut kedatangan pasien itu lalu ikut bersama para petugas medis lainnya keluar dari ruangan itu. Sepertinya mereka segera menuju ruangan lain.

Beberapa pasang mata pasien dalam ruangan itu menatap iba pada sosok di atas brankar. Ada yang menutup mata tidak tega melihat. Ada yang meringis ketakutan. Dan ada yang menatap penuh amarah.

Merasa seharusnya dia yang berada di atas brankar itu. Seharusnya dia yang bernasib malang, bukan pasien di atas brankar tadi.

Seorang dokter menghampiri pasien dengan wajah jutek itu. Memeriksa kondisi di kepalanya. Menanyakan segala keluhan yang dirasanya. Tapi ia hanya terus menggeleng. Sadar jika kepalanya tidak bermasalah.

Ia menatap tangan kanannya yang hanya luka memar, lalu mengaduh saat dokter itu menyentuh luka pada dahinya. Lebih baik ia mati daripada harus menghadapi malu seperti ini. Kenapa Tuhan tidak mengabulkan keinginannya? Kenapa ia tidak boleh mati?

Arletta terus-menerus memprotes. Harusnya ia yang mati, bukan supir truk yang mau ia tabrak tadi. Kenapa ia yang baik-baik saja? Kalau begini malah jadi runyam urusannya.

Dokter itu melangkah kembali ke mejanya lalu memerintahkan sesuatu pada seorang perawat yang kemudian segera berlalu. Arletta melirik pada dua petugas berwajib yang kini menghampiri dokter itu. Sepertinya niat mereka setelah ini adalah untuk menggiring dirinya ke kantor polisi.

Arletta mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan salah seorang pihak berwajib itu dengan sang dokter. Ternyata kondisi Arletta baik-baik saja. Bahkan tidak ada gegar otak yang dialaminya.

Ajaib bukan? Ia memang berniat menabrak truk yang melaju dari arah depannya. Tapi supir truk itu malah langsung banting setir, dan berujung menabrak truk lain yang berposisi di belakang mobil Arletta.

Sementara mobil Arletta? Menabrak sepeda motor yang ada di belakang truk itu. Pengendara motor itu adalah pasien berlumur darah di atas brankar tadi. Sedangkan dua pengemudi truk tadi, tidak bisa diselamatkan.

Kini Arletta hanya bisa terpekur merenungi nasib buruk yang akan segera menimpanya. Ia akan menjemput takdir yang sepertinya jauh lebih buruk daripada sebuah kematian. Di penjara seumur hidup.

Semua ini terjadi karena Arga dan istrinya. Jika saja Arga menemuinya tadi, jika saja bukan Amara yang menjawab teleponnya, kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi. Merekalah yang harus bertanggung-jawab atas nasib naasnya ini. Arletta bersumpah tidak akan pernah memaafkan kedua pengantin baru itu seumur hidupnya. Biar saja ia bawa dendam ini sampai ke liang kubur.

Tepat setelah sumpah serapah itu terucap dalam hati, dua sosok yang teramat dibencinya melangkah masuk ke dalam ruang IGD. Berjalan mendekati brankar tempat Arletta kini meringkuk. Arletta menatap bengis lalu membuang wajah.

"Bagaimana kondisi kamu?" Kalimat pertama keluar dari mulut Arga.

Arletta enggan menatap dan enggan menjawab. Apalagi tadi matanya menangkap pemandangan tangan Amara yang bergelayut manja di lengan Arga. Membuatnya muak sekaligus mual.

"Ibu ... nggak apa-apa?" tanya Amara pelan. Berusaha menunjukkan empatinya.

Tapi untuk apa? Arletta tidak butuh empati. Paling-paling kedatangan mereka juga hanya untuk mengolok dirinya yang sekarang apes!. Tak mau merespon, hanya desisan sebal yang keluar dari mulutnya. Membuat Amara dan Arga saling beradu-pandang.

"Ga, aku keluar dulu, ya. Sebaiknya kalian bicara."

Amara merasa harus sadar diri. Dalam kondisi seperti ini, keberadaannya justru hanya akan menambah pelik keadaan. Tapi Arga menggeleng, tak mau melepas tangannya. Amara menarik napas dalam sebelum akhirnya berbisik pada Arga jika tidak ada yang perlu ditakutkan. Ruangan ini penuh dengan para petugas medis dan dua petugas polisi. Tidak ada hal buruk yang akan menimpanya.

Meski berkeberatan, pada akhirnya Arga menyetujui. Amara mengusap punggungnya sebentar lalu melangkah keluar dari ruang IGD.

"Istriku sudah keluar. Dia nggak nyaman."

"Nggak ada yang nyuruh kalian kesini!" ketus Arletta tanpa menoleh.

"Ayah yang nyuruh. Ada polisi yang datang ke rumah."

Arletta yang terkesiap, memutar lehernya. "Terus kenapa bukan ayahmu yang datang?"

"Ayah nggak tahu harus bagaimana berhadapan sama kamu." Arga menyilang tangan di dada.

"Kenapa juga kamu bawa cewek itu? Apa gunanya kehadiran dia di sini? Bikin aku muak. Dasar pelakor!" Kedua matanya membelalak lebar. Mengakibatkan nyeri di dahinya berkedut kencang.

"Jaga ucapan kamu! Dia itu istriku."

"Dan aku pacar kamu!" Kedua tangan Arletta terkepal seiring dengan emosinya yang meningkat. Tak dihiraukannya ngilu di bagian memar.

"Kita sudah putus!"

"Kamu yang bilang putus! Tapi aku tidaaak!"

"Bu, tolong jangan berisik. Ini IGD." Seorang perawat dengan tatapan tajam menegur Arletta, dikarenakan lengkingannya yang menggema di ruangan itu. Mengganggu pasien lainnya.

Arletta yang masih tersulut emosi hendak membalas, namun segera mengatup mulut saat melihat kedua petugas berseragam coklat tadi menghampiri brankarnya.

"Siapa anda?" tanya salah seorang petugas berwajah lebih tua pada Arga.

"Saya Arga, keluarga dari wanita ini, Pak."

Petugas itu mengajak Arga mengikutinya. Hingga pembicaraan keduanya tak dapat ditangkap oleh Arletta. Tapi melihat gerak-geriknya, Arletta yakin Arga juga akan ikut serta dengannya ke kantor kepolisian.

Diam-diam Arletta kembali menikmati wajah tampan yang sangat dirindukannya itu, lalu mendesah. Tidak mungkin rasanya ia bisa membenci wajah itu. Terlalu banyak kenangan manis di masa lalu. Hampir tidak pernah ada konflik yang terjadi di antara mereka. Paling hanya ribut-ribut kecil. Misalnya saat Arletta merajuk karena Arga tidak punya waktu untuk hang-out dengannya karena terlalu sibuk. Sekedar masalah ringan yang tidak berarti.

Terbersit di benaknya kejadian di malam Sabtu itu, malam kencan mereka seperti biasa. Malam yang sangat ditunggu-tunggu untuk menuntaskan rindunya karena sudah lebih dari seminggu Arga tidak menemuinya. Bahkan teleponnya jarang diangkat. Tapi Arletta masih berpikir positif, mungkin memang pacarnya itu sedang sibuk.

Di malam Sabtu, sambil menikmati makanan kaki lima, biasanya mereka saling mengeluh-kesahkan hari-hari di kantor. Lalu dilanjut dengan clubbing hingga malam. Tapi tidak malam itu. Malam itu tidak sama.

Menunggu hingga dua jam di taman, tidak tampak seujung rambutpun kehadiran pria pujaan yang ditunggu. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Pesan-pesannya pun tidak terbaca. Arletta semakin gelisah, semakin risau. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.

Arletta tidak tahu harus bertanya kemana. Karena pria itu sudah menjual apartemennya dan kembali tinggal dengan Hardi, ayahnya. Tidak mungkin Arletta menanyakan kabar Arga kepada bosnya. Arga memintanya merahasiakan hubungan mereka dari sang ayah dengan alasan profesionalisme.

Tepat saat ia memutuskan akan nekat menghubungi Hardi, ponselnya berdering nyaring. Membaca nama di layar, semua gundahnya terhapuskan.

"Halo, Sayang ... kamu di mana? Tega banget bikin aku nunggu lama." Arletta memainkan ujung rambutnya seperti anak gadis yang sedang jatuh cinta.

Arga tak langsung menjawab keluh-kesahnya. Malahan hanya napas beratnya saja yang terdengar.

"Sayang, kamu kenapa? Kamu ... sakit?"

"Letta ...," Arga mendesah. "Maaf, hubungan kita berakhir."

"Hah? Ma—maksudnya?"

"Kita putus. Aku harap kamu mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku."

"Kamu ngomong apa sih? Jangan becanda! Nggak lucu!"

"Maaf. Aku minta maaf. Assalamu'alaikum."

Itulah percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya Arletta resmi menjadi ibu tirinya.

"Bu, lukanya saya obati dulu ya." Seorang perawat mendekatinya dengan membawa rak obat-obatan.

Arletta yang baru saja sadar dari lamunannya, hanya mengangguk pelan. Saat kapas berbalur alkohol menyentuh dahinya, ia meringis sakit. Hingga tangisnya tumpah.

Perih. Nyeri sekali. Sakit yang dirasanya saat ini. Di hatinya, bukan di dahinya.

Bahkan sang perawat tak mengerti kenapa luka ringan itu bisa membuat pasiennya menangis keras. Hingga ia panik.

"Sakit banget, Bu?"

Tak peduli, Arletta sibuk menumpahkan semua sakitnya dalam sebuah tangisan. Berharap Arga menghampiri dan memeluknya. Lalu berkata padanya jika semua akan baik-baik saja. Jika Arga akan selalu bersamanya.

"Kenapa dia, Sus?" tanya seorang petugas yang memang sejak tadi mengawasinya namun meleng sebentar karena memperhatikan pasien yang sedang dirawat di ruang sebelah.

Sang perawat mengangkat kedua bahunya bingung.

"Bunuh saja saya, Pak. Bunuh saya. Lebih baik saya mati!"

============================

"Astaghfirullah, Mas. Kok ibu tiri Mas nggak berhenti bikin masalah, sih? Kenapa sih dia susah banget buat move-on?" sungut Sakya sebal dan jengkel.

Arga hanya menghempas napas berat. Tangan kanannya mengurut dahi. Kepalanya pusing sekali memikirkan masalah ini. Siapa yang sangka seorang Arletta bisa senekat ini hanya karena patah hati?

"Namanya juga lagi gelap hati, Ki. Lagian ya, salah Mas-mu juga." Amara turut mendelik sebal.

"Kok salah aku?" Arga protes tidak terima.

"Ya emang salah siapa? Salahku? Yang dulu mainin hati dia siapa? Kamu, kan?"

"Iya, Mbak Amara benar, tuh. Mas Arga dulu kelakuannya barbar. Cewek buat mainan doang. Suka nggak ingat kalau Mas punya adek cewek juga. Kalau Saki yang dibegitukan sama laki-laki lain apa Mas terima?"

"Iya, iya. Nggak usah diungkit lagi." Arga bangkit hendak meninggalkan sofa yang sedang didudukinya. Namun tangan Amara menahannya.

"Duduk! Kamu nggak bisa kabur dari masalah ini, Ga."

"Aku nggak kabur. Cuma mau istirahat sebentar. Kepalaku pusing."

"Ya gimana nggak pusing kalo masalahnya gawat begini." Amara mencibir. Bibirnya mengerucut.

"Tapi Mas, kan dia yang salah. Tadi malam Mas cuma dimintai keterangan saja kan sama polisi?" Tergurat jelas wajah khawatir Sakya memikirkan kemungkinan kakaknya ikut terseret dalam masalah ini.

Baik Sakya maupun Amara, keduanya sama-sama buta hukum. Tidak pernah sekalipun berurusan dengan aparat penegak hukum. Meskipun Amara sudah meminta bantuan mamanya untuk bersiap menyokong pengacara terbaiknya, tetap saja ia gelisah membayangkan jika suaminya ikut terseret-seret dalam kasus ini.

"Sudah mau masuk waktu Maghrib. Kita siap-siap sholat dulu. Biar semuanya tenang."

Tidak seperti biasanya. Ajakan Arga kali ini terdengar datar. Bahkan pria itu langsung saja pergi menuju kamar. Meninggalkan Sakya dan Amara yang sama-sama heran dengan sikapnya.

Berlawanan dengan ajakannya tadi, setibanya di kamar, Arga tidak langsung bersiap-siap. Ia duduk di pinggir ranjang sembari mengurut kedua sisi kepala nya. Ia benar-benar lelah dan kurang tidur. Inginnya bisa langsung istirahat, tapi setibanya di rumah, malah diberondong segala pertanyaan oleh istri dan adiknya yang baru saja tiba dari Bali.

Tadi malam, Arga menyuruh Amara untuk langsung pulang saja. Sementara Arga pergi dengan mobil polisi. Ia tidak mau istrinya ikut stres memikirkan masalah yang ditimbulkan Arletta.

Untungnya kemarin ia diberi waktu sebentar untuk bicara dengan Arletta. Setidaknya ia bisa menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan sejak lama.

"Ta, aku benar-benar minta maaf. Aku pikir, akan mudah buat kamu melupakan semuanya tentang kita."

Arletta yang sebelumnya sudah tenang, kembali bergejolak. Ia menatap sinis. "Mudah kamu bilang? Semudah membuang sampah bekas pakai? Iya?"

"Ta, aku tidak pernah tahu kalau kamu menganggap hubungan kita serius. Kamu juga bilang kita ini cuma simbiosis mutualisme."

Air matanya kembali jatuh. Luka lama itu kembali robek. "Tega kamu! Kalo aku nggak pernah cinta sama kamu, aku nggak bakalan seperti orang gila begini!"

"Astaghfirullah, Ta. Kamu terlalu berlebihan."

"Iya, aku berlebihan! Karena aku terlalu cinta sama kamu! Sakit banget, Ga! Sakit banget waktu kamu putusin aku. Aku hancur, Ga. Hancur!"

"Aku benar-benar minta maaf. Aku—"

"Kamu jahaaat!" teriak Arletta mengantukkan kepalanya di jeruji besi yang mengurungnya. Luka di dahinya kembali berdarah, tapi tak sedikitpun ia mengaduh.

Arga menghela kasar melihat wanita itu menyakiti dirinya sendiri. Sesakit itukah perasaannya?

"Aku melakukan itu demi kebaikan kita. Kita sudah terlalu banyak berdosa. Dan aku ingin bertobat."

Arletta menatapnya nanar penuh kebencian. "Kamu nggak pernah menjelaskan apapun padaku. Kalo kamu mau menghindari dosa, kenapa nggak kamu nikahi saja aku? Kenapa kamu justru mencampakkan aku?"

"Saat itu aku belum terpikir untuk menikah. Aku masih fokus ingin memperbaiki diri. Lagipula ... perasaanku ke kamu—"

"Cukup! Aku muak dengar penjelasan kamu. Kalo cuma itu yang mau kamu bilang, mending kamu pergi dari sini."

"Aku cuma mau menegaskan. Tolong, ikhlaskan aku. Aku sudah menikah. Kamu sudah menikah. Kita punya pasangan masing-masing."

"Tapi aku nggak pernah cinta ayah kamu!"

"Dan itu bukan urusanku! Kamu yang membuat keputusan itu. Jangan limpahkan semua kesalahan yang sudah kamu lakukan padaku atau istriku."

Air mata wanita itu masih terus menggenang. Kini bukan tatapan nanar lagi yang terpancar dari matanya. Wanita ini sedang sakit karena patah hati. Kenapa rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan pahit ini?

Arletta tahu kata-kata Arga itu benar. Memang semua salah dirinya. Arletta hanya tidak ingin menghadapi sakit ini sendirian. Ia sudah lelah dengan cinta sepihak ini. Tapi kenapa sangat sulit untuk ikhlas?

"Kamu ... sama sekali nggak cinta aku?" tanyanya lirih dengan mata menatap ubin dingin di bawahnya.

Arga menggeleng tegas. "Maaf, Ta."

Isak tangisnya kembali menggema di balik jeruji dingin itu. Seorang Arletta Karenina, yang pernah takluk oleh cinta, kini dilukai oleh cinta.

Dan tangisnya itu terus - menerus menggema di dalam kepala Arga. Meski tidak mau mengakui, Arga memang bersalah. Kalau saja dari awal, ia tidak mempermainkan Arletta, semuanya pasti berbeda.

Entah kenapa dulu ia menjadi laki-laki brengsek dan bejat. Mudahnya bermain-main dengan hati wanita. Tanpa menyadari jika orang-orang hebat di sekelilingnya adalah juga wanita. Adiknya seorang wanita, ibu angkatnya seorang wanita, bahkan Mama Jihan yang sudah menolongnya juga seorang wanita.

Meski sudah bertobat, tetap saja yang namanya rasa bersalah menggelayut di hati dan kepala. Apa kabar dengan semua wanita di masa lalu yang sudah ia permainkan? Bahkan wanita pertama yang ia renggut keperawanannya sudah tiada.

Memang benar kata orang. Rasa bersalah itu hukuman paling berat bagi seorang pendosa.

"Ga?" Kedua tangan istrinya sudah melingkar memeluknya dari belakang. "Are you okay?"

"Hm." Arga hanya menggumam singkat.

"Kamu sedang menyesal kan? Aku tau rasanya kok, Ga."

Arga memutar leher hingga wajah keduanya berjarak dekat.

"Alvaro itu penyesalan terbesarku. Arletta itu penyesalan terbesar kamu. Andai dulu kita nggak main-main dengan yang namanya cinta, mungkin ceritanya berbeda. Tapi bisa juga tetap sama. Itu namanya teori probabilitas."

"Kamu lagi jadi dosen?" seloroh Arga tersenyum.

"Heee ... anggap aja begitu."

Arga mengecup kecil pipinya. Amara yang langsung bersemu-semua segera menarik diri menjauh.

"Kamu marah?" tanyanya setelah menarik tubuh istrinya masuk ke pelukan.

"Awalnya siiih. Tapi, buat apa juga aku marah? Toh, dia cuma masa lalu kamu. Dan dia yang nggak bisa berdamai sama masa lalu. Dia yang nggak bisa nerima takdir Tuhan. Jadi ngapain aku marah sama kamu?"

"Hm, jadi kamu marah sama Arletta?"

Amara menarik diri hingga matanya bersitatap dengan suaminya.

"Jujur, sebenarnya aku kasian. Apalagi dengan kondisinya sekarang. Aku juga nggak bisa nyalahin dia. Karena aku sendiri juga pernah ada di posisi dia."

"Sama Alvaro?" Tatapan Arga menelisik dalam.

Amara mengangguk ragu.

"Memangnya dulu kenapa kalian putus?"

Amara mencelos. Sebenarnya malas sekali dia mengingat tragedi hari itu yang menyebabkannya jadi menjomlo bertahun-tahun dan antipati dengan makhluk ciptaan Tuhan yang namanya laki-laki.

"Jadi penasaran." Arga menopang dagu di atas bantal.

"Ck, kita kan lagi ngebahas masalah kamu," decak Amara sebal.

Tanpa melepas tatapannya, Arga menahan tubuh Amara yang hendak melarikan diri. "Ayo cerita."

"Alvaro selingkuh dengan Gita," jawab Amara cepat. Berusaha menahan diri untuk tetap tenang.

Sementara Arga tetap diam, menunggu Amara menyelesaikan ceritanya.

"Aku sendiri yang liat. Adekku sedang duduk di pangkuan dia. Mereka berci—ya gitu deh. Nggak perlu aku jelasin." Amara mendecih.

"Kamu marah sama Gita?"

Amara mengangkat kedua bahunya santai. "Aku nggak pernah bisa marah sama Gita. Kecewa iya."

"Terus Alvaro?" Arga masih bertanya penasaran.

"Aku tendang ke planet pluto. Biar mati di sana. Kan nggak ada oksigen."

Leluconnya memang garing, tapi sukses membuat Arga tertawa. Setidaknya hatinya sudah tidak gelisah lagi berkat istrinya.

"Setelah itu dia nggak pernah menemui kamu lagi?"

"Mana punya nyali dia. Itu juga sih yang aku sesalkan. Dia sama sekali nggak mau berjuang. Sama sekali nggak membela diri. Jadi aku pikir, mungkin dia memang sengaja. Memang waktu itu, hubungan kami sedang nggak baik. Aku juga terlalu sibuk ngurus beasiswa."

"Hmm ..." Arga menggumam kecil.

"Ya udalah, nggak usah dibahas lagi. Katanya mau sholat." Amara menepuk pelan bahu suaminya.

"Iya, aku mau mandi dulu. Gerah."

"AC dingin begini, gerah. Kepala kamu nih yang isinya bikin gerah." Amara mengacak gemas rambut suaminya. Namun Arga langsung menangkup kedua tangan istrinya di wajahnya.

"Sayang,"

"Apa?"

"Jadi makin cinta sama kamu."

Amara membalas dengan senyum bahagia. "I love you too."

==============================