Chapter 35 - Tuntas

Buanglah mantan pada tempatnya wkwkwkwk...

***

"Untung masih ada baju kakek yang tersimpan baik di lemari." Amara kembali dengan membawa sebuah kaos santai dan celana pendek berkaret lalu menyerahkannya pada sang suami yang masih menggenggam ponsel Amara.

"Ada apa?" tanya Amara saat bertukar benda dengan Arga namun melihat wajah suaminya itu pias. Arga menerima baju yang dibawakan Amara, sementara Amara menerima ponselnya.

"Ada pesan masuk di HP kamu," jawab Arga datar.

Dengan perasaan tak enak, Amara membaca pesan yang muncul di layarnya. Beberapa detik kemudian pandangannya kembali beralih pada suaminya.

"Ga, ini ... aku benar-benar nggak tau soal ini." Kepanikan munculdi wajah Amara.

"Aku mandi dulu," balas Arga berusaha bersikap tenang lalu beranjak dari duduknya.

"Ga ..." Amara yang mendadak bingung kembali mendekati suaminya.

"Hm?"

"Aku beneran nggak tau apa-apa soal ini."

"Iya, aku percaya." Arga membalas dengan senyuman tipis sembari mengusap lembut kepala istrinya. Membuat Amara semakin terheran.

"Eh, aku suruh dia nggak usah kesini."

Begitu jari-jemari Amara sibuk menutul layar, tangan Arga mencegahnya. "Enggak usah, Sayang. Nggak apa-apa kalau dia mau kesini."

"Hah?"

"Aku mandi dulu," lanjut Arga lalu melangkah menjauh meninggalkan Amara yang masih menganga heran.

Apa-apaan suaminya itu? Kenapa Arga mengijinkan Alvaro mendatanginya?

Nggak cemburu apa? Tanya Amara kesal dalam hatinya.

Berbeda dengan Amara yang dua hari lalu meledak-ledak saat berkunjung ke rumah Marisa. Arga terlihat gelisah namun berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Atau sebenarnya Arga sedang mempersiapkan diri untuk tragedi baku-hantam yang mungkin saja nanti akan terjadi? Atau mungkin perasaannya terhadap Amara tidak sekuat perasaan Amara terhadapnya?Amara kembali mengingat jika yang pertama mengejar pria itu adalah dirinya. Arga baru memperlihatkan perasaannya begitu mereka sudah menikah. Tapi tetap saja, terlihat sekali jika hanya Amara yang menggebu-gebu di sini. Bahkan Amara belum benar-benar memastikan bagaimana perasaan suaminya saat ini terhadap Marisa. Kesimpulan yang muncul di pikiran Amara adalah jadi selama ini Amara yang terlalu mencintai Arga sementara suaminya itu masih mencintai dirinya dalam kadar yang rendah?

Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan singkat Amara. Ia menunduk untuk membaca tulisan dalam layar.

Tolong bukakan pintumu untukku, Ara.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Amara menapak keluar rumah menuju pagar. Jantungnya bersiap-siap mencelat dari tempatnya, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Bukan hanya pria yang kesulitan membaca isi pikiran wanita. Pun sama halnya dengan wanita. Amara sendiri tidak paham apa yang ada dalam isi kepala suaminya dan juga Alvaro. Inilah yang semakin membuat Amara gelisah.

"Ngapain kamu kesini, Al?" tanya Amara begitu pintu pagar yang menjulang tinggi itu dibukanya.

"Ya buat ketemu kamu, Ara." Alvaro menjawab dengan senyum sumringah.

Tatapan Amara turun ke lengan kirinya yang tengah dibalut perban.

"Kamu kenapa?" tanya Amara spontan.

"Nggak pa-pa. Cuma sebuah pengorbanan kecil demi ketemu sama kamu." Lagi-lagi Alvaro menampilkan senyuman yang dulunya mampu menghangatkan hatinya. Tapi tidak kali ini.

Pikiran Amara langsung mengingat cerita Arga tadi. Saat ia menolong seorang pria yang terjatuh dari motor dalam perjalanan ke rumah kakeknya itu. Sepasang mata Amara mencari-cari sesuatu di jalanan.

"Liat apa?" tanya Alvaro padanya.

Amara kembali menatap sebal pada pria itu setelah tidak menemukan apa yang dicari oleh matanya. "Naik apa kamu kesini?"

"Taksi online."

"Bukan naik motor tadi terus kamu jatuh dari motor?" sindir Amara sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Membuat sepasang bola mata jernih Alvaro membulat.

"Kok kamu tau?"

Saat Amara menampilkan senyum miringnya, Arga muncul tepat di belakang punggungnya.

"Oh, tamunya sudah datang. Diajak masuk, Sayang. Kasihan di luar dingin," ucap Arga sembari melingkarkan sebelah tangannya di pundak Amara.

Kedua mata Alvaro kembali membelalak saat melihat sosok Arga yang kini membimbing Amara untuk berjalan menuju ke rumah bersamanya. Membiarkan Alvaro yang menutup pintu pagar dan mengekori mereka dari belakang. Saat itulah Arga menolehkan kepalanya ke belakang dan menampilkan senyumnya pada Alvaro.

"Bagaimana tangannya? Masih sakit?" tanya Arga berbasa-basi pada Alvaro yang sedang diam seribu bahasa setelah mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu.

"Jadi, kamu suaminya Ara?" tanya Alvaro padanya tanpa menggubris pertanyaan dari Arga.

"Iya. Kebetulan sekali ya kita bertemu lagi."

"Jadi dia ini cowok yang kamu tolongin tadi di jalan?" tanya Amara pada Arga yang dari tadi justru menampilkan senyum ramah kepada tamu mereka. Atau lebih tepatnya musuh mereka.

"Iya, Sayang. Kebetulan banget, kan." Arga menjawab sambil mencubit gemas pucuk hidung Amara. Membuat Alvaro memalingkan wajahnya karena risih.

"Jadi, ada apa Mas Alvaro datang kemari malam-malam?" tanya Arga lagi padanya.

"Panggil saja saya Al, Arga. Saya ada perlu dengan Ara. Bisa kan kami berdua bicara sebentar?"

Amara meneliti baik-baik wajah suaminya yang masih menebar senyum. Sementara Alvaro terlihat tidak nyaman dengan kehadiran pria itu di antara mereka.

"Ooh, boleh. Silahkan kalian bicarakan," jawab Arga santai namun tangannya tetap menggenggam hangat tangan istrinya. Sesekali ia mengangkat lalu mencium punggung tangan berkulit halus itu. Menjadikan Amara sedikit salah tingkah dengan pipi merona. Dan kembali membuat Alvaro memalingkan wajah kesalnya.

"Ehm, maksud saya berdua saja." Alvaro menyindir.

"Ooh, maaf kalau yang itu saya tidak bisa ijinkan. Karena kalian berdua bukan mahrom. Dan saya adalah imam dari istri saya. Jadi tidak sepantasnya saya membiarkan kalian berduaan saja. Bahaya kan kalau tiba-tiba ada setan lewat." Meskipun Arga bersikap tenang, namun kalimatnya mengandung penegasan yang dalam.

Alvaro yang semakin panas, menghela napasnya berat. Ia tahu pria di hadapannya ini sedang bermain adu strategi. Dengan pikiran, bukan otot.

"Oke kalo gitu. Terserah jika kamu ingin ikut mendengarkan. Bukan hak saya juga untuk melarang," balas Alvaro lantang dengan senyum sinisnya.

Arga semakin mengeratkan genggamannya di tangan Amara, namun Amara memberikannya tatapan yang mengatakan, "Percaya sama aku." Hingga akhirnya Arga melepaskan tangannya. Lalu berpura-pura memainkan ponselnya.

"Ra, aku ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan kita dulu." Alvaro menyatukan kedua tangannya dengan siku bertumpu di atas pangkuannya.

"Ya ampun, Al. Yang udah berlalu ya udah, nggak usah dibahas lagi. Lagian aku juga tidak mempermasalahkan."

"Tapi aku iya. Hidupku nggak tenang, Ra. Aku sudah bilang kan, kalo aku nggak pernah berhenti menyesal. Kamu harus tau semuanya, Ra."

Amara menghempas napas lelah sembari melirik pada suaminya yang masih fokus menatap layar HP.

"Dulu Anggita menjebak aku, Ra. Dia yang duluan datang merayu aku. Dan kamu tau sendiri saat itu kita memang sering ribut gara-gara kamu yang super sibuk. Jadi aku pikir ... nggak ada salahnya giliran aku yang bikin kamu nunggu lama. Dan aku nggak tau kalo tiba-tiba hari itu Anggita datang ke rumahku. Awalnya kami cuma bicara, lalu—"

"Lalu terbawa suasana? Iya?" sambung Amara yang membuat Alvaro menghentikan ceritanya.

"Al, dulu sikap kamu emang nyebelin. Sedikit-sedikit balas dendam. Waktu aku bimbingan di rumah dosen aja, kamu cemburu. Besoknya kamu balas dendam dengan cewek-cewek di klub. Waktu aku nyamperin kakak kelas di perpustakaan untuk pinjam bahan ujian aja kamu cemburu. Besoknya kamu kencan sama temanku, Syila. Kekanak-kanakkan sekali kan kamu."

"Kamu benar, Ra. Aku dulu kekanak-kanakkan! Aku tidak pernah berhenti menyesali semua kesalahanku ke kamu."

"Terus apa gunanya penyesalan kamu sekarang? Kamu pikir semua penjelasan kamu itu bisa bikin aku balikan lagi sama kamu? Gitu?"

Alvaro tertunduk malu. Apalagi kini sorot tajam Arga tertuju padanya. "Aku minta maaf, Ra. Aku menyesali semua kesalahanku di masa lalu. Tapi aku sudah berubah, Ra. Aku sekarang bukan aku yang dulu."

Melihat Alvaro yang memang sepertinya benar-benar menyesal, Amara kembali menenangkan dirinya dengan menghembuskan napas.

"Bagus kalo kamu sudah berubah. Seperti yang aku bilang kemarin, ternyata perpisahan kita membawa dampak positif kan. Lagian, aku juga udah maafin kamu kok. Kalo kamu kesini cuma buat cerita soal itu, nggak perlu dijelasin lebih panjang lagi. Itu semua masa lalu. Biarkan berlalu. Ambil hikmahnya, buang pahitnya. Aku cuma bisa berharap semoga ketika kamu sudah bertemu jodohmu nanti, kamu bisa memperlakukannya dengan jauh lebih baik." Tatapan Amara beralih pada suaminya saat tangan kanannya terangkat menyentuh pipi kiri Arga.

"Sama seperti suamiku memperlakukan aku, penuh kasih sayang."

Arga meraih tangan istrinya lalu mengecup dalam. Dua pasang mata itu saling menatap penuh cinta. Kembali membuat Alvaro gerah sekaligus jijik.

"Dan satu lagi, Al. Perasaanku ke kamu, sudah tuntas. Jadi, sudah nggak ada lagi yang perlu dituntaskan antara kita."

"Tapi aku belum, Ra," lontar Alvaro cepat dengan mencondongkan tubuhnya. Kali ini dengan penekanan dalam suaranya.

"Itu bukan urusanku, Al. Karena kita sudah bukan siapa-siapa. Teman pun bukan. Dan aku harap kamu menghormati keberadaan suamiku di sini. Tolong jaga omonganmu."

Alvaro mencelos dan berdecak. Meski kesal, ia tak bisa apa-apa lagi. Apalagi ia sudah malu luar biasa. Ditolak mentah-mentah di hadapan pria yang ia pikir akan mampu ia kalahkan dengan mudahnya. Dan Amara yang ia pikir akan dengan mudahnya kembali luluh, ternyata tidak. Bunga dafodil yang dulu selalu menempel erat hingga menjadi bayangannya dulu, kini sudah layu. Meninggalkannya dalam kesendirian yang benar-benar nyata. Tahunan ia habiskan untuk mencari jejak wanita itu sepeninggal ayahnya. Dan kini setelah menemukan, Alvaro sudah terlambat. Tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Bahkan tidak sehelai daun pun. Dafodilnya benar-benar gugur.

"Al, carilah kebahagiaanmu sendiri. Kamu berhak untuk itu. Aku yakin Allah juga sudah menyiapkan jodoh terbaik untukmu di luar sana. Sama seperti aku yang sudah mendapatkan jodoh terbaikku."

Meski berat, Alvaro mengangkat wajahnya. Menatap baik-baik wajah yang selama ini membayangi pikiran dan hatinya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya harus dilupakannya.

"Al, karena pembicaraan kita sudah selesai ... kamu bisa pergi sekarang? Ini sudah malam. Nggak baik bertamu di rumah orang sampai larut seperti ini."

"Ra, ..."

Merasa pembicaraan tidak penting ini sudah sampai pada intinya, Arga kembali menyimpan ponsel ke dalam sakunya lalu kembali menatap tajam pada Alvaro yang seperti sedang menelanjangi strinya dengan matanya.

"Alvaro, bisa kan kamu menghormati permintaan istri saya? Saya bisa bantu pesankan taksi online."

"Tidak perlu. Saya akan pulang sendiri." Alvaro menolak tegas lalu berdiri tegak.

"Ra, thank you for being my daffodile all these times. Maaf aku sudah menyia-nyiakan kamu dulu. Terima kasih sudah mengajari aku arti cinta sebenarnya. Dan aku harap kamu benar-benar bahagia, Ra."

"Aku bahagia, Al. Bahagia banget malah," jawab Amara dengan senyum lebar.

Usai mengucapkan kalimat paripurnanya dan mendengar jawaban Amara, Alvaro beranjak namun menghentikan langkahnya ketika Arga berjalan sejajar dengannya. Tangannya menepuk bahu Arga mantap.

"Bro, tolong bahagiakan Ara sepenuhnya. Jangan sakiti dia. Dia berhak bahagia."

Sambil tersenyum, Arga balas menepuk bahu pria itu. "Bro, khawatirkan kebahagiaanmu sendiri. Bukan orang lain."

Alvaro cepat-cepat meninggalkan rumah itu daripada kian lama kian banyak malu yang harus ditanggungnya. Pulang dengan tangan hampa dan membawa serta kekalahan.

Amara menghempaskan punggungnya bersandar di sofa. Napasnya kini menghirup lega. Jantungnya kembali berdetak normal. Untungnya segala sesuatu yang ditakutkannya tidak terjadi. Alvaro sudah benar-benar pergi dari rumah kakeknya. Dan semoga saja dari kehidupannya juga.

"Lega?" tanya Arga saat ikut bersandar di sampingnya. Bahkan pria itu menurunkan kepalanya hingga tertidur di atas pangkuan Amara. Amara memainkan helai demi helai rambut suaminya yang sudah agak gondrong.

"Aku pikir bakalan terjadi pertumpahan darah di rumah ini," ungkap Amara sambil menghembus napas.

Arga menyambutnya dengan sebuah tawa. "Kamu kebanyakan nonton film. Siapa juga yang mau tusuk-tusukkan pisau."

"Nggak tusuk-tusukkan, sih. Aku pikir bakal tonjok-tonjokan." Amara mencubit gemas pipi suaminya. Namun Arga membiarkan sambil tertawa geli.

"Memangnya cewek yang berantemnya jambak-jambakan?"

"Kamu kebanyakan nonton film juga tuh. Cewek tuh berantemnya adu bacot."

"Hahaha ... iya juga, sih."

"Tadi aku sempet kesel lho waktu kamu ijinin Alvaro dateng kesini."

"Hm? Kenapa?" Arga menaikkan wajahnya untuk menatap istrinya.

"Ya mana ada suami ngijinin istrinya ketemuan sama mantan. Kecuali kalo suaminya itu emang nggak cinta sama istrinya."

Arga yang terkekeh pelan meraih tangan Amara untuk diletakkan di atas dada kirinya. "Nih, coba kamu rasain deh. Detak jantungku normal nggak?"

Tidak langsung menjawab, selama beberapa detik Amara benar-benar meneliti degup jantung suaminya. Lalu raut wajahnya terlihat cemas.

"Ga, kok kayaknya detak kamu kecepetan deh. Nggak normal, nih."

Kembali Arga tertawa pelan. "Sejak aku tahu nama dia Alvaro di klinik tadi, detak jantungku sudah seperti ini. Apalagi waktu dia cerita sedang dalam perjalanan mau menemui cinta lamanya yang hilang, makin nggak karuan jantungku."

"Serius?" Amara menatap tak percaya.

"Rasanya mau kena serangan jantung." Arga balas menatapnya serius.

"Ck, apaan sih kamu. Lebay!" Amara kembali mencubit pipi suaminya.

"Aku serius, Sayang." Namun Arga membalas dengan mengecup tangannya.

"Ya terus, udah tau begitu ngapain kamu ijinin aku ketemu sama dia?"

Tangan kanan Arga terangkat mengelus pipi lembut Amara. "Karena aku mengerti kalian punya masa lalu yang harus diselesaikan."

"Lagipula, dia harus dihadapkan dengan realita. Kalau kamu sudah nggak bisa diganggu gugat. Sudah jadi nyonya Arga."

"Ooh, pantesan kamu sok-sok pamer mesra di depan dia."

"Aku nggak pamer, Sayang. Memang bawaannya pingin megangin kamu terus, " timpal Arga dengan senyum yang melebar.

Meski malu-malu dan entah gombal atau fakta, tetap saja Amara suka dengan sikap Arga yang seperti ini. Selalu saja menggodanya hingga hatinya tak berdaya luluh-lantak.

"Aku benar-benar cemburu, Amara. Sangat amat cemburu. Kalau kamu mau tahu, ini pertama kalinya." Arga mendesah lemah. Mengakui apa yang dirasakan namun tersembunyi bukanlah hal yang mudah baginya.

"Masa?"

Tak perlu menjawab dengan kata-kata, Arga menatapnya lekat lewat manik matanya untuk menunjukkan keseriusannya.

"Tapi kamu nggak takut apa kalo aku tergoda lagi sama Alvaro? Bisa aja kan perasaan lamaku ke dia balik lagi."

"Kalau aku bilang nggak takut?"

"Eh, beneran kamu nggak takut?" Sepasang bola mata jernih Amara kembali melebar.

Arga terkekeh pelan sambil membalas tatapan istrinya. "Takut, sih. Tapi aku percaya samaAllah yang memegang hati kamu untuk tetap bersamaku. Dan itu yang selalu aku minta sama Allah di setiap sepertiga malam."

Amara terenyuh. Wanita mana yang tidak meleleh ditambah baper mendengar jawaban seperti itu. Lelakinya ini memang benar-benar suami idaman. Entah kebaikan apa yang pernah Amara perbuat di masa lalu hingga Allah mengirimkan makhluk sehebat ini untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Tapi kamu bisa banget tenang begitu. Malah bikin aku resah tau nggak."

"Aku harus tenang, kalau nggak aku nggak bisa mikir jernih. Emosi tidak menyelesaikan masalah tapi nambah masalah."

"Iya sih, kamu bener." Amara kembali memainkan rambut Arga. Kini beralih ke anak rambut di atas dahinya. Lalu perlahan jari telunjuknya turun mengikuti garis wajah Arga.

"Tapi Ga, kamu hebat ya. Bisa menyelesaikan kecemburuan dengan elegan. Kalo aku, menyelesaikan kecemburuan dengan barbar. Aku malah marah-marah nggak jelas di rumah Marisa. Harusnya aku bisa bersikap elegan juga, kayak kamu. Ck, jadi nyesel aku."

Merasa gemas dengan sikap istrinya, Arga bangun dari atas pangkuan lalu mengecup wajah istrinya berkali-kali. "Terus kalau nyesel, kamu mau apa?"

"Hmmm, kayaknya aku tahu deh cara menyelesaikan masalah yang elegan dengan Marisa," jawab Amara sembari mengalungkan kedua tangannya di leher Arga. Arga pun balas melingkari pinggang istrinya.

"Mulai, deh."

"Eh, beneran. Aku udah kepikiran sesuatu. Biar perasaan Marisa sama kamu tuntas. Biar cemburuku ke Marisa tuntas juga."

"Terserah kamu saja. Yang penting urusan kamu sama Alvaro sudah tuntas."

"Dari dulu juga sudah tuntas."

"Tapi, kalau aku belum tuntas." Arga mengecup singkat bibir Amara.

"Apanya?"

Tanpa menjawab dengan kata-kata, Amara sudah tahu jawabannya begitu Arga mulai memagut bibirnya lembut. Bukan cuma Arga, Amara juga merasa perlu menuntaskan kerinduannya. Sehingga ia balas melakukan yang sama. Saling menghempaskan rasa, memberikan yang dirindukan oleh perpisahan selama dua hari tu. Hasrat yang perlu dituntaskan pun tertuntaskan juga malam itu.

.

==========================

.

Retha mondar-mandir gelisah di dalam kamar hotelnya. Rendahnya suhu penyejuk udara tidak mampu mendinginkan hatinya yang kian memanas. Kejadian tiga hari yang lalu tidak dapat lepas dari pikirannya. Saat ia mendapati Ratna bercucuran air mata setelah berbicara empat mata dengan Hasan.

Tentu saja segala tanya yang ia ajukan tidak mendapat jawaban memuaskan dari Hasan. Sejak hari itu, Hasan yang biasanya selalu mengikuti langkahnya kemana saja,  kini menjauhkan diri dari Retha. Membuat Retha penasaran setengah mati ada hubungan apa antara Hasan dengan Ratna, sang pemilik panti asuhan.

Retha sedang menimbang - nimbang, perlukah ia bertanya langsung pada Ratna perihal rasa penasarannya ini? Meski Retha sadar diri ini bukan urusannya, mengingat ia belum berstatus siapa-siapanya Hasan. Namun perlahan tapi pasti, Retha tahu apa yang dirasakan oleh hatinya terhadap Hasan.

Bergegas, Retha berganti baju lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia akan memastikan segala sesuatunya sendiri. Lebih baik mengetahui kebenaran dari awal daripada terlambat. Karena ia tidak mau lagi berkubang di air keruh untuk kedua kalinya.

Retha menghampiri Clint yang sedang sibuk menanda-tangani dokumen-dokumen di ruangannya.

"Clint, i need your help!" lontar Retha tegas dengan napas memburu.

"Hey, what's wrong?" Clint meneliti wajah panik wanita itu lewat kacamata yang tersangga di hidungnya.

"I need you to investigate someone," jawab Retha dengan sorot mata tajamnya.

"Who?"

"Hasan Graham."

Clint mengernyit dahinya bingung. "What's wrong with him?"

"Just do it! No questions asked!" Retha berucap tegas lalu dengan cepat meninggalkan ruangan Clint. Membuat Clint semakin terheran-heran dengan permintaannya yang tiba-tiba.

Karena sepengetahuan Clint, pria itu sudah lama dekat dengan Retha. Lalu untuk apa kini Retha memintanya menyelidiki pria doyan kawin itu? Apa juga yang akan Clint temukan dari pria itu selain info tentang deretan wanita-wanita dalam hidupnya. Namun Clint tahu, jika Retha sudah meminta bantuannya, pasti memang ada sesuatu yang genting. Clint meraih ponselnya lalu menghubungi orang kepercayaannya.

Sementara Retha sudah dalam perjalanan menuju vilanya yang ditempati oleh penghuni panti asuhan. Sepanjang perjalanan yang dilakukannya hanyalah mengurut dahinya yang kian berdenyut pusing. Mempertanyakan pada dirinya sendiri, kenapa juga ia harus peduli jika pun Hasan memiliki hubungan spesial dengan Ratna sang pemilik panti. Toh selama ini, ia dan Hasan masih sebatas teman saja. Retha tak pernah memastikan hubungan mereka lebih dari itu.

Setibanya di depan vila, Retha turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam bangunan miliknya itu. Kedua bola matanya mencari-cari sosok yang ingin dicarinya ke setiap sudut rumah.

"Nyonya Retha, nyari siapa?" Suara Bu Rami yang menyapanya dari balik punggung mengagetkannya hingga hampir saja Retha terjungkal.

"Ya ampun, Bu Rami. Bikin saya jantungan."

"Maaf, Bu. Soalnya Ibu keliatan seperti orang bingung. Jadi saya penasaran," jelas Bu Rami dengan kepala tertunduk.

"Kalo Anggita kemana?"

"Oh, nyari Mbak Gita. Mbak Gita ke lapangan Bu, bareng Mas Andro."

"Kalo ... Bu Ratna?"

"Bu Ratna ada di taman belakang, Bu. Nemenin anak-anak TK dolanan. Kalo Bu Levi —"

"Saya nggak nanya Bu Levi," sanggah Retha cepat lalu segera berlalu menuju taman belakang.

Saat dilihatnya Ratna sedang duduk santai sambil mengawasi anak-anak bermain, tanpa ragu-ragu Retha mendekat lalu duduk di samping wanita itu.

"Bu Retha, masih di Bali rupanya." Ratna menyapanya sopan.

"Iya, Bu Ratna. Saya masih ada urusan di sini."

"Ooh, begitu. Lagi nyari Mbak Gita, Bu?"

Retha berusaha menenangkan dirinya. Semua harus dilakukan perlahan, jangan sampai wanita yang seumuran dengannya itu sampai curiga.

"Iya nih. Tapi tuh anak suka susah dihubungi. Biasalah, anak muda jaman sekarang ya Bu." Retha terkekeh pelan. Berusaha menutupi tawanya yang ganjil.

"Tapi saya bersyukur dengan kehadiran Mbak Gita di sini," ucap Ratna dengan senyum simpul.

Retha mengerut penasaran. "Memangnya putri saya itu sudah berbuat baik apa, Bu?"

"Mbak Gita itu baik sekali, Bu. Apalagi sama anak-anak. Suka ngajarin mereka tentang keberanian. Tentang kebahagiaan. Malah sering membagikan buku cerita yang memotivasi anak-anak. Dan saya juga perhatikan, Andro anak saya menjadi orang yang lebih terbuka sejak kerja bareng Mbak Gita."

"Beneran, Bu?" Retha terperangah. Kok rasanya yang diceritakan oleh Ratna itu seperti bukan putri bungsunya.

"Iya, Bu Retha. Alhamdulillah ya, Ibu punya putri-putri yang baik seperti Mbak Amara dan Mbak Gita. Punya anak-anak yang baik budi seperti mereka, rasanya seperti mendapat anugrah Tuhan yang luar biasa." Sepasang mata yang sudah dihiasi keriput halus disekitarnya itu berbinar-binar. Menceritakan kedua putri Retha seperti layaknya menceritakan dua sosok pahlawan.

"Ah, Bu Ratna bisa saja." Retha mengulum senyum malu. Namun dalam hati diam-diam ia juga bersyukur. Sepertinya memang benar kedua putrinya itu kini sudah menjadi pribadi yang jauh lebih baik.

"Monggo Bu, wedangnya." Bu Rami mengantarkan wedang jahe buatannya yang juga menjadi minuman favorit Amara. Dua cangkir itu diletakkannya di meja kecil.

"Maturnuwun, Bu Rami."

Setelah Bu Rami berlalu, Retha kembali teringat akan tujuan awalnya menemui wanita di sampingnya itu. Hampir saja ia lupa karena topik pembicaraan teralihkan.

"Ah ya, Bu. Maaf, ada yang ingin saya tanyakan. Sepertinya Bu Ratna kenal dekat dengan teman saya, Mas Hasan."

Ratna yang sedang mengangkat cangkir, segera mengurungkan niatnya ketika mendengar nama itu disebut. Senyum yang tadi merekah kembali sirna. Wajahnya tertunduk menyembunyikan semburat takut yang tiba-tiba muncul.

"Bu Ratna sudah lama kenal dengan Mas Hasan?"

Wanita itu mengalihkan wajahnya yang mengerut takut. Kedua tangannya meremas rok panjang yang dikenakannya.

"Bu Ratna?" Retha mencondongkan wajahnya ke arah wanita itu.

"Saya ... saya bingung, Bu." Ratna menjawab gemetar.

"Lho, kenapa Bu?"

Beberapa detik Ratna terdiam hingga akhirnya ia membalikkan wajahnya untuk menatap balik Retha. Beberapa bulir air mata sudah membasahi pipinya.

"Bu Retha, saya mau menjawab. Tapi ... saya nggak tahu bagaimana menjelaskannya."

Sontak Retha bangkit dari duduknya lalu berjongkok di hadapan wanita itu, meraih tangannya untuk digenggam lembut.

"Bu Ratna nggak usah takut. Kalau memang bisa, saya akan bantu Bu Ratna. Apa Mas Hasan sudah melakukan sesuatu yang buruk sama Bu Ratna?" Retha menatapnya dalam. Jantungnya kian berdetak cepat, khawatir yang akan segera didengarnya adalah sesuatu yang tak akan bisa diterima akal sehatnya.

Ratna balas menggenggam erat Retha. Meskipun air matanya masih tetap mengalir, Ratna masih memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Berharap setidaknya senyumnya dapat sedikit menghapus kecemasan yang tercermin di wajah Retha.

"Mas Hasan orang baik. Dia pria yang bertanggung-jawab," ucapnya sambil menepuk halus tangan Retha.

"Benar, Bu?" tanya Retha tidak percaya. Namun Ratna mengangguk mantap.

"Lantas ... kenapa Bu Ratna sedih?"

Ratna balas menatapnya dalam ditengah kesenduannya. Setelah menghela napas, Ratna memutuskan untuk mengungkap rahasia yang sudah sangat lama disimpannya.

"Dia ayahnya Andro, anak saya."

^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_^_