Chereads / ADAMANTINE (The Unstable Heart) / Chapter 23 - Have A Little Faith in Me

Chapter 23 - Have A Little Faith in Me

PS1: Enakan sambil dengerin lagunya John Hiatt biar bisa menghayati part yang ini ya 🥰🥰🥰

PS2: Mhn maaf sudah hiatus lumay lama 😜 *maapkeun 🙏🙏🙏🙏

PS3: Enjoooy!!!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ketika manusia jatuh cinta, ada banyak hal yang pada akhirnya harus dikorbankan demi memelihara rasa yang langka itu. Termasuk karir, keluarga, dan kebebasan.

Pertanyaannya, apakah semua itu sebanding demi yang namanya cinta?

Mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Tidak manusia. Apalagi bagi manusia yang untuk meraba perasaan sendiri saja sulit, seperti Amara.

Di atas ketinggian 30.000 kaki di atas laut, Amara meraba jantungnya. Merasakan detak-detak yang mengirama cepat akibat desahan napas yang terasa menggetarkan, menembus jilbab hingga tengkuknya. Untuk membalikkan wajah saja rasanya sulit. Jika kepalanya diputar sepuluh derajat saja, bisa dipastikan bibir ranumnya akan bersentuhan dengan bibir ranum lainnya.

Pemilik bibir ranum lain itu adalah sang calon suami yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Kepalanya tertunduk ke kiri. Hampir bersandar di pundak kanan Amara.

Amara bergeming kaku menahan kestabilan posisinya. Khawatir pergerakannya justru akan menyebabkan posisi yang tidak diinginkan ... atau diinginkan?

Ludahnya terteguk lalu berusaha menepis sekelebat pikiran aneh-aneh yang muncul seketika.

Setelah menjadi calon istri, justru menjadi sulit baginya untuk bersikap masa bodoh seperti biasa. Ia bukan lagi Amara yang keras, tegas, galak, dan kaku.

Tidak mungkin kan mempertahankan sifat-sifat buruk rupanya itu hingga ke jenjang pernikahan? Mau jadi apa hubungannya dengan suaminya nanti? Tikus dan kucing?

Gesekan kain halus mengusik telinganya. Tanpa sadar, Arga mengangkat kepalanya hingga bersandar tegak.

Amara menggeser tubuhnya pelan. Lalu tangan kanannya perlahan terangkat untuk dilambai-lambaikqn di hadapan Arga yang masih pulas terpejam.

Tidak ada reaksi. Matanya masih terpejam. Bahkan bibirnya sedikit terbuka.

Amara menarik napas lega. Akhirnya tidak lagi menjadi patung.

Pinggangnya dibelok-belokkan ke kanan-kiri untuk peregangan. Lehernya pun diputar-putar. Tubuhnya benar-benar lelah setelah menjadi kaku selama hampir setengah jam penerbangan.

Setelah rileks, tak sengaja tatapannya bertemu pandang dengan seorang pria yang sedang menyuapi seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun yang duduk di sampingnya. Bocah itu membuka mulutnya dengan sukarela. Sepertinya sangat menikmati hidangan pesawat. Sesekali pria itu menaik-turunkan sendok di tangannya seolah-olah benda itu sebuah pesawat terbang. Namun sang anak justru memberengut kesal karena makanan itu tidak kunjung masuk ke mulutnya.

Sebuah ingatan muncul di kepalanya.

Kala ia baru saja lulus dari TK. Satu hari itu, Ganesha, sang Ayah mengajak mereka ke kebun binatang. Tangannya bergelayut manja pada Ayahnya. Sedangkan Retha sang Mama sibuk membersihkan tumpahan es krim yang meleleh di baju Anggita. Amara dan Ganesha terus berjalan tanpa menghiraukan Mamanya yang sedang sibuk menggerutu.

"Dania, coba lihat tulisan yang itu. Dibacanya apa?" Ganesha menunjuk pada sebuah papan penunjuk arah yang berdiri di persimpangan jalan yang mereka lalui.

"Gampang, Yah. Itu tulisannya gajah," jawabnya dengan dada membusung.

"Pinter."

Lalu mereka berdua kembali melanjutkan jalan kaki. Meninggalkan Retha dan Anggita yang tertinggal agak jauh.

"Nah, kalo itu dibaca apa? Yang ini lebih sulit, lho." Ganesha kembali menunjuk sebuah papan penunjuk arah.

Tak butuh waktu lama bagi Dania untuk membaca tulisan yang dibilang sulit oleh Ayahnya itu.

"Pusat Primata Schmutzer."

"Daniaaa, kamu pintar sekali."

Dalam sekejap, air liur dari kecupan-kecupan sang Ayah sudah membasahi seluruh bagian wajahnya. Lengannya diangkat untuk menyeka seluruh wajah basahnya.

"Iiih, Ayah! Jorok, ah!"

Tanpa memedulikan keluhan sang putri sulung, Ganesha berlutut lalu menatap dalam tepat ke pusat manik matanya.

"Dania sayang, janji ya sama Ayah. Kalau sudah besar nanti, Dania harus menjadi orang hebat. Bikin Ayah dan Mama bangga. Jadi panutan yang baik buat adek. Dania mau berjanji, kan? Pinky promise?" Kelingking kanan Ganesha terangkat.

Dalam sekejap, kelingking keduanya bertaut. "Janji, Yah! Dania pasti bikin Ayah, Mama, dan adek bangga! Pinky promise!" jawab Amara mantap.

Pinky promise!

Kelingking kanannya ... jari kecil yang dulu menjadi saksi akan janjinya pada sang Ayah.

Hai pinky, apakah aku sudah  membuat Ayah cukup bangga?

Pertanyaan yang hanya terbisik dalam hati berulang kali. Tanpa Amara pernah tahu jawabannya. Sejak perceraian kedua orangtuanya hingga ajal menjemput, tidak pernah sekalipun kata 'bangga' keluar dari lisan Ganesha. Betapa kerasnya pun Amara berusaha, kata-kata itu tak pernah tertuju padanya.

Amara lelah. Lelah berusaha memberi bahagia untuk orang lain, tapi tidak untuk dirinya sendiri.

Ayah, bolehkah aku berhenti sekarang? Bolehkah aku mencari bahagiaku?

Sebulir air yang jatuh di pipi segera ditepisnya. Perlahan, lehernya memutar ke samping. Matanya menatap syahdu pada wajah yang meneduhkan itu. Pria yang ia pilih untuk membimbingnya menjemput kebahagiaan.

Amara menatap jauh ke dalam. Entah perbuatan baik apa yang sudah ia lakukan hingga takdir sudi mempertemukannya dengan seorang pria yang begitu tampan, begitu beriman, begitu tulus, begitu penyayang seperti Arga.

Bagaimana mungkin ia tidak jatuh cinta lahir batin pada pria itu? Semua persyaratan yang Amara inginkan dari seorang pria, ada pada Arga.

Berbicara fisik, alis matanya tebal rapi. Menambah paket lengkap matanya yang sudah berbulu lentik. Hidungnya mancung, tapi tidak lancip. Bibirnya terlihat ranum, tidak tipis, tidak tebal. Sempurna. Wajah itu merupakan ciptaan Allah Yang Maha Sempurna.

Hanya dengan menatap wajah sempurnanya saja, jantungnya sudah bekerja keras. Belum lagi, saat mendengar suara bass-nya yang menggetarkan hati. Ditambah lagi dengan lantunan ayat sucinya yang fasih. Ah, Amara benar-benar jatuh sangat dalam.

Terlalu dalam. Hingga ia merasa tidak akan sanggup menahan perih yang sama jika nantinya kembali patah hati.

Setiap menatap pria itu, Amara selalu mencubit dirinya sendiri. Berusaha mencari tahu itu mimpi atau nyata. Untuk kali ini, Amara tahu ini jelas nyata. Matanya yang tadi menatap lekat, kini ditarik ke arah lain. Hatinya kembali melantunkan istighfar. Sadar diri, belum pantas memuaskan matanya yang terus-terusan tergoda.

Ia meminta hatinya, matanya, tangannya, bibirnya, pikirannya untuk bersabar sejenak. Toh, sebentar lagi ia akan dapat dengan puas memandangi wajah itu sesuka hati dan matanya. Dari mulai membuka mata di pagi hari, hingga sebelum mata terpejam di malam hari.

"Ehm."

Amara berbalik posisi dengan cepat. Sekelebat kekhawatiran muncul. Jangan-jangan ... pria itu sadar kalau sejak sepuluh menit yang lalu matanya tak lepas dari pandangan.

Perlahan kelopak mata itu terbuka sedikit. Menyipit. Menerawang sekitarnya. Lalu menemukan Amara yang tengah menghadap jendela dan sibuk berdo'a dalam hati.

"Masih lama, ya?" Suara serak seksi itu keluar dari bibir ranum yang tadi diwaspadainya.

"Paling setengah jam lagi," ucap Amara sedikit kaku.

Arga menarik badan ke kanan dan kiri untuk melakukan peregangan.

"Kamu nggak tidur?"

"Enggak," Amara menjawab gugup lalu menatap jendela.

"Nggak ngantuk?"

"Aku tidur cukup tadi malam."

"Bukannya begadang ngobrol-ngobrol sama Saki?"

"Enggak."

Meskipun halus, namun desahan napas lelah Arga terdengar hingga telinganya.

"Amara ..."

"Apa?"

"Kapan benteng kamu roboh?"

"Hah?" Kaget Amara dengan wajah akhirnya menoleh.

"Itu, benteng di hati kamu. Kapan mau dirobohkan? Perlu bantuan?"

"Benteng apaan? Rotterdam? Kamu abis ngimpi apa, sih?" balas Amara pura-pura bodoh.

"Kamu, selalu saja membatasi diri dari aku."

"Ya iyalah aku membatasi diri. Kan katanya bukan mahrom." Amara mendelik kesal.

"Bukan itu. Dan kamu tahu maksudku."

Tentu saja Amara paham maksudnya. Calon suaminya itu benar. Tembok setebal Tembok Berlin yang melindungi hatinya itu sudah lama berdiri kokoh. Amara tak tahu jelas sejak kapan. Yang pasti, benteng itu yang membuat Amara enggan membuka diri. Ia terlalu takut untuk kembali merasakan sakit, kecewa, putus asa. Rasa-rasa buruk yang sudah cukup berefek trauma.

"Maaf. Aku —"

"Aku tidak memaksa. Pelan-pelan saja, Amara," tukas Arga lembut.

Amara tahu, ini saatnya. Menghancurkan benteng kokoh itu. Arga harus tahu segala sesuatu tentang dirinya. Bahkan bagian terperih dalam hidupnya. Seperti yang ia katakan tadi, pelan-pelan saja. Amara akan membuka selembar demi selembar semua rahasianya.

"Ga, mmm ... aku ... mau cerita."

Arga tersenyum. "Penting?"

"Penting banget!"

"Kalau kamu sudah siap saja."

"Aku siap, Ga."

Meski berkata begitu, Arga yakin Amara belum siap. Dan sebagai seorang pria sejati, ia benar-benar tidak mau memaksa. Tapi tentu saja seorang Amara yang keras hati tidak bisa dilawan perkataannya. Jadi, Arga bersiap-siap membuka telinga untuk mendengarkan.

"Dulu ... aku punya pacar. Namanya Alvaro. Kami pacaran sejak SMP sampai aku lulus kuliah."

"Terus?" Arga tambah antusias mendengarkan.

"Dulu, Alvaro mengendalikan hidupku. Well, aku yang mengijinkan sebenarnya. Dia satu-satunya lelaki yang aku percaya, selain Ayah. Dan karena aku terlalu percaya sama dia ... aku tidak pernah sadar. Kalo ... aku ..."

Berusaha tahu diri, Arga menahan komentarnya.

"Kamu tau nggak? Dulu waktu SMP,  aku sekolah di pesantren. Di Solo. Ayah sengaja kirim aku kesana. Mungkin ... supaya Mama tidak bisa menemui aku."

"Aku kenal dengan Alvaro di sana. Saat ada acara class-meeting antara asrama putri dan asrama putra. Kadang, Alvaro diam-diam mencari celah supaya kami bisa bertemu. Sampai akhirnya kami ketahuan, dan membuat keonaran, lalu pihak sekolah memanggil Ayah."

"Ayah sangat kecewa waktu itu, tapi diam saja. Setelah tahu hubunganku dengan Alvaro, Ayah membawa aku pulang ke Jakarta. Aku lanjut sekolah di SMP negeri yang dekat dengan kampus tempat Ayah ngajar. Aku sadar sudah bikin Ayah kecewa, aku berusaha menebus kesalahan dengan belajar lebih keras. Menjadi anak paling berprestasi. Tapi ... itu semua tidak pernah cukup. Ayah selalu saja menuntut lebih. Sampai akhirnya aku muak, dan kembali bertemu Alvaro."

"Dia mengajariku cara bersenang-senang. Bersama dia, aku bebas. Rasanya seperti keluar dari penjara. Tanpa beban. Aku melakukan hal-hal yang belum pernah aku lakukan seumur hidup."

Sebuah helaan napas terdengar. Arga masih berusaha menahan diri.

"Aku menikmati semua itu."

"Nggak ketahuan sama Ayah kamu?"

"Aku ikut les bimbel sampai malam. Tapi ... sering cabut. Alvaro selalu jemput aku di sana. Ayah tidak pernah tau. Toh, aku juga tidak perlu ikut les lagi." Amara mendecak lidah bersamaan dengan telunjuk mengetuk dahinya. "Aku ini cewek jenius."

Tidak ada respon apapun dari Arga.  Hanya sorot matanya saja yang berpaling ke bawah.

"Awalnya semua terasa menyenangkan, lama-lama ... aku lelah. Harus berbohong terus-terusan ke Ayah. Walaupun begitu, aku tetap menuruti semua yang diperintahkan Alvaro. Aku sayang dia. Alvaro bilang, kita harus mengikuti kemana orang yang kita cintai melangkah."

"Jadi kurang lebihnya ... kamu bodyguard-nya Alvaro yang harus ngekori dia kemana-mana?"

"Lebih seperti budaknya, sih. Itu juga aku baru sadar saat sedang sibuk skripsi."

Amara tersentak saat dia ingat bagian penting mana yang perlu diceritakan. Matanya membelalak lebar. Punggungnya yang tadi bersandar, kini menegak. Badannya diputar menghadap Arga, tidak sepenuhnya karena terhalang sabuk pengaman di pinggang.

"Astaghfirullah," pekiknya dengan tangan menepuk dahi cukup keras.

"Ga, ada lagi yang paling penting untuk aku kasitau ke kamu." Amara menatap serius.

"Hm?"

Narasi yang tadi ada di kepalanya, tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Ia berkali-kali menelan ludah untuk menghilangkan keraguan.

"A—a—aku ... aku sama Alvaro ..." Seketika tubuhnya memanas. Udara AC yang berhembus dalam kabin sama sekali tak terasa dingin.

"Amara ... kalo kamu belum siap—"

"Enggak! Pokoknya kamu harus tau."

Tak ada gunanya juga menghentikan percakapan yang sudah terlanjur jauh. Arga mempersiapkan diri untuk menahan reaksi. Apa yang akan dilontarkan oleh sang calon istri pasti akan mengejutkan. Bahkan pikirannya sudah menebak-nebak.

"Tahu apa?"

"Ga ... aku ..." Tersadar dengan kondisi sekitar, Amara mengecilkan suara hingga nyaris berbisik. "Aku dan Alvaro pernah make-out."

"Tapi cuma sekedar make-out! Kamu ngerti kan? Make–"

Penjelasannya terhenti saat sebuah tangan menutup mulutnya erat.

"Sssttt! Jangan keras-keras." Arga mengingatkan ketika tangannya sudah berhasil membekap Amara.

Dan saat itu Amara baru tersadar jika beberapa orang di sekitar, termasuk anak kecil yang tadi diperhatikannya, sedang menatapnya tajam. Ternyata tadi ia berbicara lantang.

Tangan itu langsung ditarik dari mulutnya. "Bicaramu keras."

"Maaf." Amara menunduk malu.

"Tidak perlu dijelaskan  Aku paham maksud kata-kata itu."

Amara kembali menaikkan pandangannya dengan mata membulat. "Tapi, Ga. Aku benar-benar masih perawan. Sumpah!" Dua jarinya diangkat.

"Itu masa lalu kamu. Setiap orang punya masa lalu. Termasuk aku."

"Tapi, Ga ... kalo gara-gara ceritaku tadi kamu jadi mau mundur, aku ngerti kok. Aku nggak akan menyalahkan kamu. Pria seperti kamu pantas mendapat pendamping yang lebih baik."

Arga menatapnya lekat. "Pria seperti aku? Memangnya kamu tahu aku pria seperti apa?"

"Kamu primus. Pria musholla. Rajin ibadah, baik, bertanggung-jawab, penya—"

"Memangnya kamu tahu aku yang dulu? Kamu tahu bagaimana aku di masa lalu?"

Amara menggeleng pelan.

"Aku juga punya masa lalu pahit. Sama seperti kamu. Tapi ..." Sudut-sudut bibirnya naik ke atas. "... Sebentar lagi kita landing. Jadi cerita di-pending."

Wajah kecewa Amara tampak jelas terpampang. Betapa mudahnya pria itu menggantung rasa penasarannya. Seperti yang sudah-sudah.

Tidak sampai lima detik, wajah kecewanya terganti oleh sebuah senyum nakal.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Kamu lebih senang liat aku senyum apa jutek seperti biasanya?" Amara membalas sedikit kesal.

"Senyum. Tapi bukan senyum yang itu. Senyum yang paling cantik itu kalau kamu —"

"Udah-udah." Kedua tangannya dilipat di depan dengan kesal. "Kalo aja tadi Sakya jadi ikut, aku yang bakalan duduk di belakang. Jadi kamu nggak bakalan bisa goda-goda aku kayak gini, nih!"

"Ooo, jadi kamu tergoda?"

"Arga!"

Reaksi kesal yang bercampur dengan rona merah semu di wajah Amara, justru membuatnya terlihat semakin menarik di mata Arga.

Kembali Arga berucap dalam hati.

Andai saja sudah menikah ...

Tak lama kemudian terdengar suara seorang pramugari yang mengingatkan para penumpang untuk mengencangkan sabuk pengaman karena pesawat akan segera mendarat.

Satu jam kemudian, keduanya sudah berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Ganjar. Salah seorang supir yang bekerja di kediaman Retha.

"Kita udah nggak di pesawat. Kamu nggak mau lanjutin cerita kamu tadi?" tuntut Amara segera begitu mobil melaju.

"Cerita yang mana?"

"Ck ... pura-pura banget. Tuh, cerita kamu di masa lalu." Amara berdecak kesal.

Bagaimana tidak? Perasaan 'kepo'-nya sedang mendominasi.

"Oooh, harus banget sekarang?" balas Arga santai.

"Kamu mau menghindar, ya?" tuduh Amara bersamaan dengan isyarat tatapan Arga pada Pak Ganjar yang sibuk mengemudi di depan.

Wajah cemberut itu mendesah kesal dengan bola mata membulat.

Apakah Arga tidak tahu bagaimana

sulitnya menahan rasa penasaran yang sudah hinggap hingga puncak kepala? Gerutu Amara hanya terdengar dalam hati saja.

"Nggak enak kalau di dengar orang lain." Arga beralasan.

"Tau ah!" Sementara Amara membuang muka sebalnya ke sisi jendela.

Arga merasakan getaran di dalam saku celananya yang berasal dari ponselnya. Saat dikeluarkannya, terbacalah pesan yang baru saja masuk.

Sudah sampai, Mas?

Sakya. Jari-jemarinya bekerja untuk membalas pesan itu.

Me : Alhamdulillah sudah

Sakya : Alhamdulillah

Me : Gimana kondisi anak teman kamu?

Sakya : Ini msh observasi di IGD sambil nunggu kamar rawat inap.

Me : Suaminya blm datang?

Sakya : Msh di jalan, Mas.

Me : Semoga semua baik-baik saja.

Sakya : Aamiin. Tks, Mas. Salam ya buat Mbak Amara & Om Hardi. Maaf bgt nggak jd ikut ke Jkt.

Me : Insyaa Allah. Kamu jg jaga diri baik2. Jgn terlalu capek.

Sakya : Iya, Maskuuu yg paling ganteng. Assalamu'alaikum.

Me : Wa'alaikumussalam, adikku yg paling cantik 😊

"Ehem, ehem. Senyam-senyum sendiri. Chatting sama siapa?" tanya Amara sedikit sinis disertai tatapan memicing.

"Wanita cantik lainnya. Selain kamu." Kedua alisnya naik-turun menggoda.

"Maksud kamu apa?" sembur Amara mulai panas.

"Astaghfirullah. Amara ... jangan mudah emosi. Aku cuma bercanda. Hahaha ..."

"Bercanda???"

"Tadi itu Saki. Dia menanyakan kita sudah sampai atau belum."

Sedikit menghela napas lega, emosi Amara kembali teredam.

"Gampang banget kamu cemburu."

"Apa?" Tapi tidak untuk waktu lama. Emosinya kembali bangkit.

"Tapi nggak apa-apa, sih. Aku senang kalau kamu cemburu."

Nih orang, bisa banget bikin hatiku naik roller-coaster. Lama-lama hatiku bisa oleng! Rutuk Amara dalam hati.

"Ehm, terus ... gimana itu kabar anak temannya Sakya?" tanya Amara kaku untuk mengalihkan pembicaraan sambil kembali membuang muka. Khawatir wajah meronanya tampak jelas.

"Masih di IGD. Suaminya juga masih dalam perjalanan pulang dari Lombok."

"Kasihan ya ... anaknya panas tinggi begitu tapi dia cuma seorang diri. Belum lagi harus mengurus dua anak lainnya."

"Sekarang kan ada Sakya. Semoga semuanya baik-baik saja."

"Ga ..."

"Hm?"

"Menurut kamu ... aku bisa menjadi ibu yang baik nggak?"

Kedua sudut bibir Arga melengkung keatas. Membentuk sebuah senyum tipis.

"Kamu ingat waktu Sakya mengajak kamu ke pantinya Mbak Rana?"

"He'em." Kepalanya mengangguk kecil. "Kenapa?"

Arga menyalang pada langit-langit mobil dengan tangan terlipat di dada.

"Kamu ingat Vidi?"

"Ingetlah. Gadis kecil yang waktu itu nyamperin aku kan?"

Arga mengangguk sekilas.

"Kamu tahu? Dia sudah mengalami yang namanya kekerasan fisik sejak masih balita oleh ayahnya. Dia lari dari rumah. Ibunya sudah meninggal. Umurnya baru lima tahun waktu itu. Efek dari traumanya, Vidi tidak mudah percaya dengan orang asing. Selalu ketakutan kalau melihat orang baru. Tapi waktu melihat kamu ... dia begitu saja mendekati kamu. Sama sekali tidak ada rasa takut. Sampai Bu Rana terkejut."

Amara terdiam. Tidak tahu bagaimana harus merespon.

"Orang bilang insting anak kecil itu lebih tajam dari orang dewasa. Jadi, kalau Vidi saja percaya kamu orang baik, kenapa aku tidak? Dan karena kamu orang baik, aku percaya ... kamu pasti akan menjadi seorang ibu yang baik juga."

Amara termangu. Orang lain saja percaya dan yakin pada dirinya. Lantas kenapa ia malah meragukan dirinya sendiri?

"Ragu-ragu itu bisikan setan. Jadi, kamu harus belajar untuk lebih yakin dengan dirimu sendiri," lanjut Arga seolah dapat mendengar suara hatinya.

"Iya ... maaf." Wajahnya tertunduk malu.

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Ya karena aku—"

"Amara ..." Arga menatap dengan penuh keyakinan. "Aku menyukai kamu yang tegas. Kamu yang berani dalam mengambil keputusan. Kamu yang nekat beraksi. Kamu yang pintar meyakinkan orang lain. Termasuk aku. Jadi, bersikaplah seperti seorang Amara yang aku kenal."

"Yakin? Kamu nggak nyesel ngomong gitu?" sindir Amara dengan alis terangkat.

"Seratus persen yakin. Oh ya, satu lagi. Belajarlah untuk percaya pada calon imammu ini. Baik buruknya kamu akan menjadi tanggung-jawabku. Jadi bagaimanapun masa lalu kita, tidak akan mempengaruhi hidup kita kedepannya nanti."

"Aku bisa pegang kata-kata kamu itu?"

"Kata-kata nggak bisa dipegang, Amara. Tapi keyakinan bisa. Kamu percaya aku kan?"

Amara bergeming dalam tatapan syahdunya.

"Seperti judul lagu, Amara. Please ... have a little faith in me."

===============================