Lelah dan pegal menggelayuti tubuhnya malam ini. Tumben sekali hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya. Sehingga beberapa urusan pribadinya pun harus ikut tertunda untuk diselesaikan. Sebenarnya bisa saja ia membatalkan kesepakatan kerja dengan wanita itu saat ini juga. Toh, ia tidak lagi membutuhkan uang tambahan untuk biaya berobat sang Mama yang telah kembali ke Rahmatullah.
Tapi Arga tidak bisa. Ia sudah berjanji. Ini bukan lagi menyangkut urusan uang.
Arga menatap kosong langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali mengingat kejadian lima hari yang lalu. Saat wanita paruh baya dengan paras cantik itu bertandang ke rumahnya, sehari setelah Mama Jihan meninggal.
"Kamu masih ingat saya, kan?" tanya wanita itu setelah dipersilahkan duduk olehnya.
"Tentu saja. Ibu Retha, ibunda dari Amara," jawabnya ramah.
"Bagus kalau begitu. Saya tidak perlu repot-repot mengenalkan diri saya."
Arga mengangguk sekilas lalu melanjutkan, "Oh ya, Ibu mau minum apa? Saya siapkan dulu."
Retha buru-buru menolak dengan mengangkat tangan kanannya. "Tidak usah, Nak Arga. Terima kasih. Sebaiknya saya langsung saja menyampaikan tujuan saya datang kemari."
Arga kembali mengangguk tanpa bantahan.
"Pertama-tama, saya ingin mengucapkan turut berduka cita atas kepergian Mama Jihan. Saya mendo'akan yang terbaik untuk almarhumah."
"Terima kasih, Bu Retha. Tapi sepertinya bukan hanya itu yang ingin Ibu sampaikan."
"Yang kedua, ... Nak Arga pasti tahu bagaimana setiap orangtua sangat mencintai anak-anaknya. Termasuk saya. Dan setiap orangtua sangat tidak ingin melihat anaknya kecewa atau ... tersakiti."
Arga mulai menebak-nebak dalam hati kemana pembicaraan ini akan bermuara.
"Dan saya ... saya sangat tahu bagaimana perasaan putri sulung saya terhadap kamu."
"Maksud Ibu?"
Retha bergeming sejenak untuk kembali menyusun kalimat yang tepat di kepalanya. "Anak saya, Amara, mencintai kamu setulus hatinya. Sayangnya ... dia sudah terlanjur patah hati saat mengetahui kamu akan segera menikah dengan wanita lain. Dan ... saya tidak suka melihat putri saya jatuh hebat seperti saat ini."
"Tapi saya —"
"Sebentar, Nak Arga. Tolong biarkan saya menyelesaikan."
Arga mengangguk menuruti.
"Saya tidak akan memaksa kamu untuk membalas perasaan Amara, atau membatalkan pernikahan dengan wanita lain itu. Karena saya tahu itu hak kamu. Dan karena saya tahu, bagaimana rasanya jatuh cinta dan patah hati. Jadi, saya mohon sama Nak Arga ... tolong, jauhi anak saya. Jangan pernah temui Amara lagi. Jika pun kalian bertemu secara tidak sengaja, abaikan dia. Dan satu lagi, tinggalkan kesepakatan kerja yang sudah kalian buat. Perusahaan saya akan tetap membayar jasa kamu sesuai harga yang tertera pada kontrak."
Arga diam dalam gelisah.
"Maaf, saya tidak bermaksud lancang atau menyinggung perasaan Nak Arga. Saya hanyalah seorang ibu yang ingin menyelamatkan hati anaknya. Yang ingin anaknya bahagia dunia akhirat. Nak Arga bisa paham, kan?"
Tentu saja Arga paham. Ibu Retha hanyalah seorang ibu yang sama dengan para ibu lainnya. Sama seperti Mama Jihan. Yang menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Tapi siapa yang tahu apa yang bisa membuat sang anak bahagia? Bahkan terkadang orangtua tidak memahami apa yang sebenarnya diinginkan atau dibutuhkan oleh sang anak.
Arga pun menimbang - nimbang. Saat itu ia hanya bungkam. Tidak membalas permintaan Retha. Wanita paruh baya itu segera pamit dari rumahnya dan memberinya waktu untuk berpikir.
Arga benar-benar sudah yakin dengan keputusannya. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Sepertinya besok ia harus segera menemui ibunda dari Amara itu untuk memberikan jawabannya.
Biidznillah.
.
=============================
.
"Maaf, Bu. Sepertinya pembangunannya akan memakan waktu lebih lama. Ada kendala teknis di lapangan." Amara menjelaskan pada wanita berusia lima puluh tahun di hadapannya.
Gelisah dan cemas bercampur-aduk meliputi wajah keriputnya. Tangan kirinya membenahi beberapa helai rambut putih yang menyembul keluar dari sela jilbab instan yang dikenakan olehnya.
"Jadi ... kami harus bagaimana ya, Dik Amara?" tanyanya lirih.
"Nggak perlu khawatir, Bu Ratna. Saya punya rencana lain. Untuk sementara, Bu Ratna, anak-anak, dan penghuni panti lainnya bisa tinggal di vila milik mama saya." Senyum manis teruntai di bibir Amara. Berusaha untuk menenangkan wanita pemilik nama Ratna itu.
"Jangan ah, Dik. Kami ini cuma orang biasa. Nggak pantas tinggal di bangunan mewah."
Amara menggapai kedua tangan Ratna yang lemas terkulai di atas pangkuan. "Bu Ratna, buat saya ... Ibu, dan semua penghuni panti lainnya, adalah manusia-manusia luar biasa pilihan Allah. Panutan bagi manusia biasa seperti saya yang sering lupa sama Allah."
"Dik Amara jangan bilang begitu."
"Bu, mau ya pindah ke vila dulu? Nggak jauh kok dari sini. Lagipula di sana ada kolam renang, lapangan olahraga, dapurnya luas. Semuanya bisa beraktivitas bersama-sama. Nggak perlu lagi mikirin biaya untuk ini itu."
Ratna justru ngeri setelah mendengar penjelasan Amara.
"Ya Allah, itu terlalu wah buat kami. Jangan, Dik. Lagipula, Dik Amara tahu sendiri di sana sebagian besar penghuninya anak-anak usia SD. Saya takut mereka bikin vila malah jadi rusak, kotor, nggak karuan."
Amara menyambut kekhawatiran Ratna dengan gelak tawa.
"Ya nggak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak. Masa kanak-kanak itu masa untuk berbuat kesalahan sebanyak-banyaknya. Biar banyak belajar. Nggak bikin salah, ya nggak belajar. Bener nggak, Bu?"
"Ya ... i—iya sih. Tapi kan —"
"Udah, pokoknya Bu Ratna, Bu Levi, Mas Andro nggak perlu khawatir." Ia melirik pada dua orang lainnya di dalam ruangan itu. Semuanya hanya saling melempar pandang dalam sebuah kecemasan.
"Oh ya, saya bawa beberapa bingkisan untuk anak-anak. Semoga semuanya suka ya." Amara menerbitkan senyum yang seketika mengikis keresahan yang terbangun selama setengah jam perbincangan itu.
"Ya Allah, Dik Amara baik sekali pada kami semua. Kami tidak bisa membalas apa-apa. Semoga Allah yang membalas Dik Amara dengan berkali lipat kebaikan."
"Aamiin." Amara mengucap bersungguh-sungguh.
Meskipun bukan balasan itu yang ia harapkan. Bahkan Amara tidak mengharapkan balasan apapun untuk amal perbuatannya ini. Niatnya murni hanya ingin menolong sebisa yang ia mampu.
Untuk sekali dalam hidupnya, Amara ingin berbagi nikmatnya hidup dengan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Anggap saja ini sebagai penebusan Amara pada Tuhan atas segala amarah dan kecewanya selama ini yang ternyata berujung pada rasa tidak bersyukurnya atas segala limpahan nikmat yang ia peroleh dalam hidup selama ini.
Amara bangkit dari duduknya. Matanya beralih pada sosok pria tampan yang duduk di sebelah kanan Ratna. "Mas Andro, bisa tolong saya menurunkan bingkisan di mobil?"
"Ah ... iya, Mbak. Mari saya bantu." Pria itu turut berdiri lalu memutari meja untuk berjalan di belakang Amara.
"Saya bawa sekitar 50 bingkisan," jelas Amara sambil berjalan keluar ruangan.
"Mbak, banyak sekali. Di sini jumlahnya cuma 24 anak," jawab Andro dengan kepala tertunduk.
"Nggak apa-apa, Mas. Malah masing-masing anak bisa dapet dua sekaligus. Warnanya beda-beda kok."
Andro mengernyitkan dahi saat mendengar kata warna. Mulai berpikir bingkisan apa yang dibawa oleh wanita dermawati itu.
Sampai di depan sebuah mobil Alphard yang terparkir di depan teras kecil itu, Amara segera mengeluarkan tiga kardus besar tak tertutup berisi sejumlah bingkisan yang dimaksud olehnya.
Andro memperhatikan isi dari salah satu bungkus plastik berhias pita kado. Tas sekolah bermerk terkenal, tempat pensil, buku gambar, buku tulis, pensil warna 24 warna, crayon 48 warna, dan alat tulis lengkap.
"Masyaa Allah, Mbak. Banyak sekali isinya." Andro takjub karena mengira-ngira harga dari satu bungkus bingkisan itu. Dikalikan 50. Hasilnya?
"Maaf, Mas Andro. Saya kurang tahu apa saja kebutuhan anak-anak. Semoga pemberian ini bisa menyenangkan anak-anak."
"Tentu saja, Mbak. Anak-anak pasti senang semua." Wajahnya masih diliputi ketakjuban. Lalu seketika pandangannya beralih pada wanita yang kini tampil beda itu.
"Mbak Amara ... terima kasih. Sudah peduli dengan kondisi kami yang sedang terancam digusur. Kami tidak mengira Allah akan mengirim Mbak Amara untuk membantu masalah kami." Kedua matanya yang tengah berbinar-binar, kembali menghadap tanah. Diam-diam tidak hanya rasa kagum, ada rasa lain yang menyelip di dada pria itu.
"Santai aja, Mas Andro. Lagipula, sesama manusia memang harus saling tolong-menolong, kan."
Amara menatap langit biru cerah yang terbentang di atas kepalanya. "Mungkin memang benar. Allah sudah merencanakan segala sesuatunya sedemikian rupa. Allah yang sudah membuat saya memalingkan wajah ke bangunan ini. Melihat anak-anak panti yang sedang bermain, berlarian di depan teras. Damai rasanya."
Amara kembali mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. Ketika ia akan meninjau lahan bersama Arga. Saat perasaannya sedang dicampur aduk oleh Arga, matanya hanya bisa dilempar keluar jendela mobil untuk mengalihkan rasa sebalnya ke pria itu. Memandangi segala hal yang mereka lintasi. Dan ketika melewati panti asuhan ini, Amara tersenyum. Canda tawa dan permainan riang anak-anak panti menghangatkan hatinya. Ketika itu pula ia mulai penasaran dengan tempat ini. Dan betapa kagetnya Amara saat mendengar kabar dari Clint bahwa tanah panti tersebut telah dijual oleh pemiliknya untuk dijadikan lahan sebuah hotel baru yang akan didirikan di sana.
Sebelum kembali ke Jakarta, saat itu Amara menyempatkan diri mengunjungi panti ini sebentar. Panti Asuhan Ratna Asih.
Dan saat itulah Ratna sebagai pendiri panti asuhan, menjelaskan polemik yang sedang mereka alami. Entah kenapa saat itu juga, hati Amara terketuk. Ia tidak bisa begitu saja mengabaikan masalah itu.
Untung saja saat Amara menyampaikan niatnya untuk membantu Panti Asuhan Ratna Asih kepada Retha, ia menyetujui bahkan mendukung rencana bakti sosial sang putri.
"Itulah alasan Ibu Ratna mendirikan tempat ini, Mbak. Anak-anak ini harus diselamatkan dari jalanan. Meskipun harus menyewa rumah. Meskipun terbatas jumlah kamar. Setidaknya, mereka punya atap yang layak untuk tempat berteduh."
Suara Andro sedikit menyentak Amara dari lamunannya.
"Setelah ini, Bu Ratna, Bu Levi, sama Mas Andro nggak perlu mikirin masalah itu lagi. Rumah yang baru, akan menjadi hak milik Ibu Ratna sepenuhnya."
"A—ap—apa, Mbak?" Andro terkesiap sampai-sampai kedua tangannya yang sedang menahan kardus di depan perutnya, gemetar lemas.
"Biasa ajalah, Mas. Saya cuma bantu semampunya aja. Ayo Mas, kita bawa masuk." Dengan santai, Amara mengangkat satu kardus untuk dibawanya masuk.
Sementara Andro mengikuti pelan sambil berusaha menguatkan genggamannya di kardus.
Andro terkesima. Wanita di hadapannya ini bukan wanita biasa. Bagi Andro, Amara itu luar biasa. Dan Andro, hanyalah pria biasa yang dengan mudahnya mengubah rasa kagum menjadi suka.
.
============================
.
"Assalamu'alaikum, Mas." Sakya mengapit ponsel dengan bahunya. Kedua tangannya tengah sibuk mengetik materi ujian tengah semester di laptop.
"Wa'alaikumussalam, Ki. Kamu lagi sibuk?" Suara Arga di ujung telepon membalas.
"Lagi ngetik soal ujian aja, sih. Ada apa, Mas?" tanya Sakya dengan otak yang sedang sibuk memikirkan rumus matematika.
"Aku mau minta bantuan kamu, Ki."
"Bantuan apa, Mas?" Sakya berhenti mengetik. Tangan kanannya kembali memegang kendali ponsel.
"Bisa temani Mas terbang ke Bali?"
"Maksud Mas ..."
"Iya, persis yang ada di pikiran kamu."
Sakya menenggak ludahnya kasar. Ternyata kakaknya ini benar-benar serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu.
"Tapi ... dua hari ini aku nggak bisa, Mas. Jadwal UTS."
Arga menghembus napas kasar di ujung telepon.
"Hari Sabtu gimana? Insyaa Allah aku bisa. Lagian Sabtu Mama sudah pulang dari Bandung. Jadi Papa nggak sendirian di rumah."
Tidak ada respon, sahutan, atau jawaban dari pertanyaan Sakya itu. Hanya hembusan napasnya saja yang disuarakan.
"Ya ampun, nggak sabar banget sih, Mas. Lagipula orangnya nggak akan kemana-mana juga," sindir Sakya mengejeknya. Namun lagi-lagi hanya terdengar napas kesal di ujung sana.
"Ya udah deh, hari Kamis aku ijin sama Kajur. Nanti aku minta tolong Bu Ranti menggantikan di kampus. Papa nanti dijagain sementara sama Mas Birma. Moga-moga dia nggak sibuk." Sakya merujuk pada Ranti, salah satu dosen yang satu Lab dengannya, dan Birma sepupunya dari pihak sang Mama, Rasmi.
Mendengar perubahan suara napas di ujung sana, Sakya tahu kakaknya pasti sedang mengulum senyum.
"Alhamdulillah. Kamu memang adek paling sholehah. Makasih ya, Sayang."
"Hmm." Sakya menyahut malas. "Giliran begini aja, dibilang adek sholehah."
"Ya emang kamu mau dibilang apa?" Arga terkekeh pelan.
Sakya memutar mata malas. "Udah ah, nggak penting banget ngeladenin Mas yang kayak gini. Jadi buyar kan hitunganku."
Merasa masalah kakaknya sudah selesai, Sakya pun mengakhiri pembicaraan di telepon. Memang benar, Sakya sedang pusing-pusingnya ngarang soal. Tapi akan lebih pusing lagi jika harus menghadapi sikap ngambek kakaknya itu. Satu hal yang tidak banyak orang lain tahu tentang seorang Arga. Jika sudah marah dan ngambek, bisa berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan pasang aksi tutup mulut dan tutup telinga terhadap orang yang bermasalah dengannya.
Ia jadi teringat saat Amara menyampaikan padanya jika Arga tidak lagi berkomunikasi dengannya sejak Amara melamarnya untuk pura-pura menjadi calon suami. Sakya geli sendiri membayangkan wajah kakaknya setelah kejadian itu. Untuk kasus yang satu itu, Arga melancarkan aksi tutup mulut bukan karena marah. Melainkan karena malu.
Sakya tahu persis bagaimana perasaan keduanya terhadap satu sama lain. Namun untuk yang satu ini, Sakya tidak mau ikut campur. Biarkan tangan Allah yang bekerja. Bagaimana pun juga, pada akhirnya, rencana Allah selalu lebih indah. Manusia saja yang harus bersabar menjalankan rencana itu.
Dan Sakya yakin, baik kakaknya maupun Amara akan sama-sama mendapatkan penghujung yang indah.
.
================================
.
Retha memijat dahi berkali-kali dengan kedua tangannya yang menopang di atas meja. Stres. Lelah. Pusing. Kesal. Terlalu banyak rasa yang harus ia hadapi malam ini. Semenjak Amara memutuskan hengkang dari perusahaan, Retha keteteran. Baru disadarinya, ternyata sang putri sulung mengurus perusahaannya dengan baik. Meskipun ia sempat memalsukan laporan keuangan dan menggelapkan uang perusahaan. Toh, ia sudah benar-benar mengembalikan semua uang bernilai ratusan milyar itu.
Retha mengakui, aset perusahaan meningkat signifikan semenjak Amara menjabat sebagai Direktur Operasional di PT. Ruditha. Meskipun Adin sang keponakan juga bekerja dengan baik, namun pria berusia 28 tahun itu tidak memiliki karakter tegas dan pengalaman bekerja di perusahaan. Bahkan ia masih menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh sang papa untuk Rista, sang adik yang meninggal karena kanker saat Adin masih berusia enam tahun. Sejak saat itu Adin tinggal dengan ayahnya.
Retha mulai berpikir ulang. Apakah ia harus meminta pada Amara untuk kembali ke perusahaan? Ataukah mendidik Adin dari nol? Tapi mengingat permintaan Amara padanya beberapa waktu lalu, rasanya sulit sekali berharap Amara mau bekerja lagi ke perusahaan.
"Ma ..."
Lamunannya pecah. Retha terkesiap mendengar suara itu. Kepalanya seketika menoleh pada sosok yang berdiri di depan pintu ruangannya.
"Anggita?"
Putri keduanya itu memasuki ruangan dengan langkah perlahan. Dari manik matanya, Retha dapat melihat Anggita yang kini lebih kurus dengan pipi yang menirus.
Sesaat ia menelan kekhawatiran jika putri bungsunya ini jarang makan atau tidak terurus. Retha memang sengaja memblokir kartu kredit yang ia berikan untuk Anggita. Bahkan tidak mengisi rekening sang putri seperti yang rutin ia lakukan setiap bulan. Semua tega itu semata demi agar Anggita mau pulang kembali ke rumah mereka.
Namun jauh di lubuk hatinya, Retha mengharap jika putrinya itu kembali bukan dengan alasan kekurangan uang.
Langkah Anggita terhenti di tengah ruangan. Kepalanya menunduk malu.
"Gita ... minta maaf." Suara lirihnya akhirnya keluar.
Namun sayangnya Retha tidak mendengar permintaan maaf itu karena dengan cepat ia menghambur Anggita dalam sebuah pelukan erat.
"Mama minta maaf, Git. Mama sudah nyakitin kamu selama ini. Maafin Mama ya, Sayang. Mama sudah salah memutus hubungan kamu dengan Ayah." Berkali-kali Retha mengecup wajah Anggita. Rasa rindunya kian membuncah.
Anak dan ibu ini sering kali berpisah, dalam jarak jauh, dalam rentang waktu lama. Tapi tidak seperti ini. Tanpa memendam rasa.
Anggita bingung mendefinisikan rasa yang muncul saat ini. Marahnya larut dalam rasa ini. Perlahan, tangannya terangkat untuk menyentuh punggung Retha.
Perlahan, matanya turut membasah.
"Jangan pergi lagi, ya Git. Mama mohon, jangan tinggalkan rumah ini lagi. Mama sayang banget sama kamu, Gita. Jangan pernah berpikir sebaliknya."
Anggita tak tahan lagi. Tangisnya pecah. Membahana di ruangan itu. Sesaknya memenuhi dada.
"Sakit, Ma ... sakit rasanya. Gita nggak pernah punya Ayah. Sampai akhir hayat, Ayah benci sama Gita."
Retha merapatkan dekapannya. "Iya, Sayang. Mama tau. Mama juga menyesali itu. Setelah Kakek meninggal, berkali-kali Mama berusaha menemui Ayahmu. Tapi ... Ayahmu selalu menolak, mengusir Mama. Mama nggak bisa nyalahin Ayahmu. Dia berhak berbuat begitu."
Anggita sadar ucapan mamanya itu benar adanya. Ia tidak bisa sepenuhnya menumpahkan kesalahan pada Retha. Benar, sang kakeklah yang harus disalahkan dalam masalah ini. Tapi, Anggita tak bisa mengelak akan jasa sang kakek dalam hidupnya. Ganesh, sang Ayah juga bersalah dalam masalah ini. Andai saja ayahnya mau berusaha lebih keras mencari tahu kebenarannya. Andai saja sang ayah tidak memendam benci membabi buta. Pasti semuanya akan berbeda. Hidupnya pasti dipenuhi kasih sayang sebuah keluarga utuh.
Tapi kata-kata kakaknya seminggu yang lalu benar adanya. Semua kejadian dalam hidup, pasti ada hikmahnya. Entah apapun itu, yang jelas Anggita belum menemukan sang hikmah hingga detik ini. Biarlah ia menunggu kedatangan sang hikmah.
Cukup lama keduanya saling memeluk hingga curahan segala rasa yang selama ini mengendap di hati tertumpah. Sang amarah melebur. Sang sedih menepi. Yang ada hanyalah kerinduan mendalam antara sepasang ibu dan anak.
Setelah keduanya berhasil menenangkan emosi yang meledak, Retha menuntun Anggita untuk duduk di sofa ruang kerjanya.
"Kamu ... udah nggak marah lagi sama Mbakmu?" tanya Retha yang masih menyimpan kedua tangan Anggita dalam genggaman di atas pangkuannya.
"Enggak, Ma. Lagian, Gita sudah ketemu sama Mbak Mara."
Retha mengernyit dahi. Bingung.
"Ketemu? Kapan? Bukannya kakakmu di Bali?"
"Hah? Jadi Mbak Mara sekarang tinggal di Bali?" Kedua matanya membeliak kaget.
Perlahan Retha melepas genggamannya. "Iya. Kakakmu mau menetap di sana. Tapi Mama nggak pa-pa kok. Soalnya ada Clint yang jaga dia."
"Hmm. Gita juga ketemu sama Clint. Malahan, Clint yang udah mempertemukan Gita dan Mbak."
Kini giliran Retha yang terkejut. "Clint? Jangan-jangan ... kalian ketemu setelah pemakaman ibunya Arga?"
"Arga? Siapa Arga?" Anggita kembali mengerutkan dahi.
Retha menghela napas lelah karena mengingat sosok itu.
"Dia laki-laki yang dicintai kakakmu."
"Oooh, jadi cowok itu namanya Arga."
Pandangan tajam Retha segera beralih menatap Anggita.
"Kamu sudah tahu Arga?"
"Tau orangnya, Ma. Nggak tau namanya. Cuma liat dia pas datang ke kantor nemuin Mbak Mara."
"Iya, kakakmu sengaja hired dia untuk proyek kantor cabang di Bali. Mama juga sudah ketemu sama dia."
"Ganteng kan, Ma?"
"Bukan masalah ganteng nggaknya, Git. Tapi dia yang sudah mengubah kakakmu menjadi orang yang lebih baik. Sayangnya ... Amara sudah terlanjur patah hati."
"Ah iya, Gita ingat. Waktu itu Mbak Mara cerita kalo liat dia nyium cewek lain di depan umum."
"Apa?"
"Iya, Ma. Mbak Mara marah banget waktu itu. Yaaa ... cuma cium kening sih. Pacaran kayak gitu kan udah umum."
"Nggak umum! Hmmph! Mama juga jadi marah sekarang!" Retha mengepal tangan menahan emosi.
"Lho, Mama marah kenapa?"
"Karena si Arga itu sudah bohong ke Mama!"
Retha tidak bercanda. Ia memang benar-benar marah. Fakta baru ini sangat mengejutkannya. Sepertinya ia harus mencari tahu lebih banyak tentang siapa Arga sebenarnya.
Ternyata memang benar kata pepatah, hati-hati dengan setan berwajah malaikat.
Retha mulai menyesali keputusannya. Sudah benarkah rencana yang ia buat untuk putri sulungnya?
"Emang dia bohong apa, Ma?"
Pertanyaan Anggita itu tidak digubrisnya.
Arga Pramudya, awas saja kamu!
------------‐-----------------------------------------------------------