Nirvana sedang menyisir lorong sekolah. Berpapasan dengan Mark. Mereka saling menegur sapa dan memulai dengan pembicaraan.
"Ngomong-ngomong, apa sekolah masih membutuhkan kru penjaga tambahan?" Tanya Mark.
"Entah, memang kenapa?" Tanya Nirvana.
"Sepupuku baru saja lulus dari akademi militer kota Trost. Aku khawatir ia gagal masuk kesatuan royal guard. Penjaga gerbang kota bukan tempat yang cocok kurasa. Bisakah tanyakan itu pada sang pemilik sekolah?" Tanya Mark.
"Akan ku coba," balas Nirvana.
Tak lama, Anna berlari dilorong.
"Ya ampun, anak bermasalah ini membolos lagi!" Tegur Mark.
"Ini gawat kak!" Anna menatap Nirvana.
Nirvana mendengar.
"Marauders map hilang!" Anna semakin gelisah.
"Apa!" Nirvana terkejut.
"Aku curiga, pasti ulah komplotan Ainsworth!" Anna menghentakkan kakinya, mengepal tinju.
"Hey, lalu bagaimana kamu bisa memiliki Marauders map?" Tanya Mark, sedikit jengkel.
"Ini hak istimewa kepada prefektur yang dianak emas kan loh." Semula Anna membentuk wajah sombong. Beberapa saat kemudian wajahnya kembali resah.
"Kapan hilangnya?" Tanya Nirvana.
"Entah, dari tadi aku genggam ditangan ku. Tau-tau hilang. Anna curiga, mereka memakai jubah invisible. Pasti Marauders map mereka masukan kedalam jubah, sehingga tak kasat mata. Anna bingung." Anna kian resah kala menjelaskan.
"Ayo ikut aku!" Ajak Nirvana.
"Iya kak, Anna akan bertanggung jawab. Nanti Anna siap menerima hukuman karena tidak becusnya Anna." Berjalan menunduk, Anna mengikuti Nirvana.
"Hukum yang berat biar kapok! Misalnya bersihkan toilet ataupun memotong rumput," seru Mark.
*****************
Ruang VIP.
Tiga orang berada diruang owner. Nirvana duduk disebelah Anna, menghadap Satella. Anna mulai menjelaskan kronologis kejadian.
"Hilangnya jam berapa? Saat itu kamu dari mana dan mau kemana?"
Atas pertanyaan Satella, Anna menanggapi dengan.
"Kenapa tanya-tanya segala? Anna yakin gak akan kembali. Cepatlah, katakan hukuman untuk Anna?"
Menggelengkan kepala, Satella menyanggah.
"Tidak, aku pengen kamu harus mempertanggung jawabkan ini!"
Anna mengerutkan dahi.
"Tapi, aku akan membantumu."
Satella mengeluarkan item sihir miliknya.
"Dengan ini!" Satella menaruh jam pasir antik diatas meja.
"Semua berdiri!"
"Mendekatlah!"
Semua menuruti perkataan Satella.
"Mau apa?" Tanya Anna.
"Pergi ke masa lalu," ujar Satella.
Lingkaran sihir muncul. Ini cukup untuk tiga orang. Lebih dari cukup untuk bertiga. Satella memegang benda sihir miliknya, jam pasir.
Lingkaran sihir menghilang, tapi tidak ada yang terjadi.
"Kalian lihat! Seperti tidak ada hal yang terjadi. Tapi, kita berjalan ke masa lalu loh," seru Satella.
"...." Anna melongo.
"Ayo, ikut aku!" Satella bergerak keluar pintu.
***************
Lorong.
Memasang Totem mistik yang bisa melihat objek tak terlihat. Satella melihat bahwa sosok Anna sedang diikuti dua orang. Yang mengikuti Anna, memakai invisible cloak.
Mereka mengambil Marauders map yang semula dibawa Anna ditangan. Sekilas seperti lenyap begitu saja, tetapi kalau dilihat di totem mistik, jelas Anna kecopetan. Lantas Satella mengejar murid bandel hingga satu belokan. Selagi masih dijangkau penglihatan Totem, Satella segera menghentikan mereka disini. Sihir pembekuan ringan dilepaskan.
Dua orang membeku. Satella segera menghampiri mereka, disusul Ann juga Nirvana. Satella mencairkan mereka, Marauders map diambil kembali, kemudian Satella bertanya.
"Apakah kamu mengenal mereka?" Satella bertanya pada Anna.
"Belum kenal, mungkin aku bisa menghapal wajah mereka," balas Anna.
Kemudian mereka kembali ke ruang VIP milik owner. Membatalkan efek time tunnel dari jam pasir ajaib.
"Aku baru tahu, kalau ada benda dengan efek seperti jam pasir ini." Anna memandang takjub jam pasir yang dipegang Satella.
"Saat kamu dicopet, kamu sedang apa?" Tanya Satella, pada Anna.
"Aku lagi mengintai tempat antek Ainsworth berkumpul, itu sebelum jam masuk. Mereka itu kumpulan anak bandel. Ketuanya itu biang kebandelan disekolah ini, nonya Charlotte." Anna menjelaskan.
"Well, lain kali hati-hati." Satella menasehati.
***************
Lorong sekolah.
Di lain waktu, Anna lagi memakai kemampuan invisible nya. Anna membuntuti Jovan von Ainsworth.
Jovan von Ainsworth, adalah anak yang sedang dibuntuti Anna. Jovan adalah ketua kelompok anak-anak bandel. Berkaca dari pengalaman, Anna berusaha mengintai dengan rapih. Anna tidak mau terungkap ketika sedang pakai sihir invicible.
Sudah beberapa kali keberadaan Anna terungkap saat dalam mode invicible. Oleh Mark, Theodore, banyak lagi orang-orang yang telah mengungkap mode invicible nya.
Anna masih membuntuti. Karena sekarang adalah jam istirahat maka ada cukup banyak murid dilorong. Anna yang berhati-hati tapi cepat, karena ia tidak boleh ketinggalan jejak dari Jovan von Ainsworth.
Jovan adalah siswa kelas tiga yang berambut pirang pendek. Cukup tampan, hingga Anna gemetaran ketika memperhatikannya. Walau begitu, Anna memandang Jovan sebagai anak bandel disekolah ini.
"Tidak adil rasanya kalau aku saja dicap jelek sementara anak bandel satu ini tidak." Bisik Anna.
Tinggi Jovan adalah 180cm, cukup ramping.
Anna terus membuntutinya, lalu sampailah diruang perpustakaan.
"Kenapa ke ruang perpustakaan?" Pikir Anna, nada bisik-bisik.
Sebelum membuka pintu, Jovan terkekeh.
"Pemimpin komplotan si kuping lancip, memang sering habiskan waktu disini," ucap Jovan.
"Kuping lancip? Jangan-jangan!" Bisikan kecil Anna.
Anna memasuki perpustakaan sekolah.
Berada di ruang perpustakaan. Ruangan sangat sepi, Anna lagi membuntuti Jovan dengan aura penyembunyian yang diperkuat.
"Semoga saja proses latihan aura penyembunyian ku, cukup bagus untuk membuntuti siswa kelas tiga sekelas Jovan." Bisik Anna.
Akhirnya Anna mengikuti sampai ke suatu titik.
"Umumnya pelajar sedang makan siang di kafetaria. Mana ada siswa berada di perpustakaan? Tapi tidak dengan seorang yang betah dengan kesendirian. Dasar forever alone!" Jovan memprovokasi seorang yang sedang duduk membaca buku dan memakan cake.
"Huh, forever alone? Kamu serius ngatain orang begitu? Kamu jahat!" Anna berbisik, mengomentari sifat Jovan von Ainsworth.
"Memangnya kenapa, ini bukan urusanmu!" Siswa yang membaca, mengacuhkan Jovan.
Jovan berjalan menuju kursi-kursi membaca di perpus.
Siswa pirang berhadapan dengan siswa rambut silver.
"Berhenti mengacuhkan ku Julius Eclaire!"
"Aku ingin para suku elves darah berhenti berpura-pura menjadi manusia," ujar Jovan.
"Permisi?" Julius menutup buku. Sekarang sudah tak konsen dalam membaca, teralihkan oleh Jovan.
Sementara Anna masih sembunyi dibalik rak buku, menguping.
"Sepertinya orang-orang harus mendapatkan pelajaran sejarah. Sebagai putra ningrat, aku pernah berkunjung ke kerajaan high elves. Bertemu raja elves, aku berbicara dengan raja elves. Mendapatkan banyak pengetahuan dari negeri tersebut." Julius mulai mendengar penjelasan Jovan.
"Di sana ada kamp konsentrasi. Itu tempat kaum blood elves di kurung. Bukan, lebih tepatnya kamp buruh. Tapi kenapa bangsa elves malah menindas ras nya sendiri. Kau tahu, walau elves terbagi-bagi menjadi beberapa sub ras, tapi kenapa raja elves melaksanakan itu? Tenanglah, setelah Philips menjadi raja, maka kepala king elves akan aku jadikan cenderamata. Seperti yang kau tahu, keluarga Ainsworth adalah bagian faksi politik prince Philips." Julius seperti kesal dengan ucapan Jovan.
"...." Julius seperti menahan emosi.
"Kenapa? Seharusnya kamu punya dendam terhadap king elves kan?" Tanya Jovan.
"Bukan urusanmu!" Tegas Julius.
"Bisa berikan aku alasannya? Dasar ras jajahan!" Umpat Jovan dengan sedikit kasar.
"Bisa kamu pergi!" Tegas Julius.
"Apa? Berduel? Pagi-pagi begini dirimu mau berduel," ucap Jovan.
"Aku tidak bilang!" Julius memukul meja, sedikit keras.
"Kalau mau berduel denganku. Akan aku persilahkan!" Tantang Jovan
"Tidak ada duel disini, maaf aku harus pergi," balas Julius.
Jovan menarik lengan atas Julius, meremas kasar.
"Permisi?" Julius menoleh kearah Jovan.
"Kerajaan elves, terutama rajanya selalu menilai manusia lebih lemah daripada elves. Tapi tidak untuk kalangan bangsawan! Aku akan tunjukkan betapa adidaya keluarga bangsawan, didepan king elves! Terutama keluarga Ainsworth yang membanggakan," ujar Jovan.
"Bukan urusanku!" Julius dengan sekuatnya menarik tangan dari cengkeraman Jovan.
"AKAN AKU BUKTIKAN KEPADA SI RAJA BEJAT! RAJA ELVES BEJAT!" Umpat Jovan.
"Apa katamu?" Tensi Julius naik.
"Sekarang saya tanya anda! Apa alasanmu untuk tidak benci raja elves? Raja bejat yang memiliki banyak Harem hasil perkosaan!" Padahal suku mu diperlakukan dengan buruk," ujar Jovan.
"Suatu saat akan ku bebaskan kaumku. Kaum Elodia dari tanah elves. Tetapi raja elves, juga tidak sepenuhnya salah," ucap Julius.
"Sudah kuduga." Jovan bernada sarkastik, tersenyum penuh arti.
"APA?" Julius sangat jengkel.
"Kamu adalah salah satu anak haramnya. Makanya kamu bela ayahmu! Seorang anak pastilah menghormati ayahnya. Tapi, apa kamu tidak paham penderitaan ibumu?" Tanya Jovan.
"Kalian para bangsawan juga sama bejatnya dengan raja elves bukan?" Julius balik memprovokasi.
"Kamu sok tahu, dasar anjing kampung!" Umpat Jovan.
"Begini saja, bagaimana kalau aku ladeni tantangan duel mu itu," kata Julius.
"Jangan sampai siapapun tahu. Ini hanya kita berdua. Di ruang duel! Tantang Jovan.
"Baiklah!" Julius pun menerima tantangan ini.
Anna melangkah mundur untuk menyembunyikan dirinya lebih senyap lagi.
"Ya ampun!" Bisik Anna, resah.
*****************
Duelist room.
Ruang duel adalah tempat murid melakukan praktik sihir. Terutama sihir pelumpuhan senjata.
Didalam ruangan ada dua siswa beserta satu siswi dalam wujud invicible. Anna masih memantau.
Jovan mengeluarkan pedang dari sebuah topi sulap.
"Trik mengeluarkan pedang dari sebuah topi, aku pelajari sejak aku berusia sepuluh tahun!" Jovan pun menodong pedang kearah Julius.
Sebelum duel dimulai, Anna pun berupaya melerai.
"Tolong hentikan itu!" Anna pun muncul secara tiba-tiba.
"APA.... Jangan ajak siapapun, AKU BILANG!" Jovan geram.
"Aku tidak tahu!" Balas Julius.
"Mau apa kamu datang kesini? Si gadis ular!" Jovan jengkel.
Anna mendesis kesal atau perilaku buruk Jovan.
"Sudah jelas kan! Aku ini melerai kalian!" Anna mengomel, menatap sinis kearah Jovan.
"Maaf, tapi kamu sedang berduel!" Jovan tak memperdulikan teguran dari Anna.
"Akan aku laporkan ini!" Anna mengancam.
Sebagai prefektur sekolah, harus pandai menegur siswa pelanggar aturan sekolah.
"Tidak ada yang akan percaya pada laporan mu!" Jovan, tak gentar.
"Tapi aku prefektur sekolah! Yang kukatakan, adalah sanksi yang akan menimpamu!" Anna mengancam.
"ORANG BODOH MANA YANG MENJADIKAN PUTRI NAGINI INI SEBAGAI PREFEKTUR!" Jovan pun mengumpat emosi.
"Jangan menghina orang yang memberikan aku kepercayaan!" Dengan tegas Anna menegurnya.
"Sebelum berduel, kita singkirkan pengacau ini dulu!" Jovan sedang menghunuskan pedang miliknya kearah Anna.
Telekinesis !!
Pedang itu melesat ke arah Anna. Perutnya tertusuk pedang sihir pelajar tersebut.
~Bersambung~