Nirvana tiba di sebuah desa yang cukup padat. Letaknya berdekatan dengan kota Juno. Kota Juno berada disebelah utara dari Geffenia. Jarak antara Geffenia menuju kota Juno sangat jauh. Sama saja menempuh lima kota dalam sekali perjalanan. Nirvana pun turun dari hipogriffin.
Nirvana lagi berada di kadipaten Vilenchia utara.
"Kita sampai di desa Anvile kak!" Anna menatap Nirvana, seolah memastikan apa benar disini.
"Ya." Nirvana nampak lelah.
"Alamatnya disini kan, di desa ini bukan?" Anna memastikan.
"Benar kok," balas Nirvana.
"Perjalanan tadi panjang banget. Seharusnya cari tempat istirahat. Jangan pulang sekarang, soalnya selain lelah sampai Geffenia pasti kemalaman sekali. Kita pulangnya besok saja ya." Bujuk Anna.
Tentu disana ada semacam tempat penitipan hewan tunggangan.
Anvile village.
Desa tanpa dikelilingi dinding kayu ataupun batu. Tanahnya tak datar, dengan bagian menanjak pada sisi yang perbatasan dengan kota Juno. Sejak tiba di gerbang depan desa, pegunungan tinggi terlihat. Itulah pegunungan tempat kota Juno. Ada dua tiga gunung, dua gunung itu merupakan distrik dari kota Juno yang terbagi dua. Tiap distrik akan terhubung dengan jembatan besar yang menghubungkan gunung.
Satu gunung lainnya yaitu wilayah pertambangan pemerintah.
Gerbang depan desa Anvile sendiri mengarah ke Geffenia. Sementara gerbang belakang mengarah ke kota Juno. Dengan struktur tanah makin meninggi seiring perjalanan ke kota Juno. Untuk sarana pengangkut tambang, digunakan airship mesin uap, berbahan bakar batu bara.
Nirvana berdiri di depan bangunan kandang kayu besar. Inilah tempat penitipan hewan tunggangan, dari mulai naga darat, unggas darat, hipogriffin. Hewan sekelas Griffin ataupun wyvern punya tempat khusus tersendiri. Karena mereka tergolong tunggangan kelas berat.
Nirvana masih berdiri disana. Tak lama munculah Anna, keluar dari tempat penitipan tunggangan.
Atau biasa disebut mount cavaleri.
"Maaf ya kak, kalau lama." Anna nyengir.
Mereka segera berjalan menyusuri jalan desa. Mencari penginapan setempat. Desa Anvile termasuk kedalam desa yang ramai. Mereka mencari papan tanda penginapan. Saat berjalan berdampingan, Anna tanpa alasan menggenggam tangan Nirvana. Nirvana sedikit canggung. Membaca wajah Nirvana, Anna menjelaskan sekadarnya, berdalih.
"Pegangan ya, supaya tidak hilang." Anna cengengesan.
"Memangnya aku ini anak kecil?" Nirvana memberi protes kecil.
"Kakak juga! Waktu itu, pake bantu Anna sampe kelas. Emangnya aku orang tua lemah. Waktu itu kakak terlalu manjain aku, padahal Anna bisa jalan sendiri. Kakak pernah bilang, perlakukan orang seperti kamu mau diperlakukan. Karena kakak terlalu perhatian, aku akan membalas seperti ini kak." Anna mengukir senyum paling ceria.
Anna sedikit menarik tangannya ketika berpegangan.
"Aku pegang supaya tidak hilang, apalagi nyasar," canda Anna.
*************
Lantai satu penginapan.
Lantai satu dipenginapan pada umumnya untuk tempat makan. Selain menu makanan, ada juga minuman dan lainnya. Mereka berdua lagi duduk disana, sedang memesan sesuatu. Langit sudah merah, tempat cukup ramai.
"Jangan pesan dua kamar kak, Satu kamar ada dua kasur." Anna duduk berhadapan dengan Nirvana.
"Wah, itu tidak benar." Nirvana menolak.
"Ini tandanya aku percaya. Kalau bukan kamu kak, aku mana mau." Anna menahan senyum hingga pipinya membentuk lesung pipi.
Tidak lama kemudian, pesanan datang.
Point of view.
Malam segera datang. Kala rehat, Nirvana penasaran dengan area sekitar. Memanggil major spirit Casper untuk mencari informasi. Menjelajahi desa Anvile, tak ada seorang pun yang melihat Casper.
Casper mencurigai sekelompok Kombatan non militer kerajaan. Casper mencurigainya sebagai kelompok bandit atau kelompok bayaran. Di antara sekian banyak manusia, hanya mereka lah yang dicurigai Casper. Sub ras spirit sebagai ghost membuat aktivitas memata-matai amat mudah bagi Casper. Malah terasa seperti cheat.
Sepertinya informasi tak mungkin digali dalam waktu sehari.
Waktu berlalu, pagi telah tiba.
POV end....
Berada di lantai dua, Nirvana lagi berdiri didepan jendela. Mencoba melihat pemandangan dari sana. Udara sejuk pun dihirupnya agar rileks. Tak lama, Anna terbangun.
"Kok tidak terjadi apa-apa huhuhu." Anna kelihatan kesal.
"Maksudnya?" Nirvana menoleh.
"Kamu terlalu innocent. Anna kan berharap terjadi sesuatu seperti di novel itu. Aku Heroine nya. Antara Hero dan Heroine terjadi sesuatu yang romantis cenderung dewasa adalah hal wajar kan," keluh Anna.
"Walah, setahuku kamu masih berusia 16 tahun. Kenapa kamu matang terlalu cepat? Nikmatilah masa-masa polos lebih lama lagi!"
Nirvana menasehati, tapi segera dibantah Anna. Mereka bertukar argumen pada akhirnya.
"Kamu suka gadis tipikal innocent seperti nonya Stella? Beliau sudah berusia dua puluh tahun tetapi pemikirannya masih lurus seperti putri kecil bangsawan berusia sepuluh tahun saja. Yang seperti itukah yang kakak suka? Tipe mu adalah yang seperti itu, kan." Anna menyanggah, juga mengomel.
"Kamu salah! Tidak harus begitu. Setiap orang beda-beda. Satella memiliki keunikannya tersendiri seperti yang kamu bilang. Cukup menjadi kamu apa adanya, kamu memiliki keistimewaan tersendiri. Tidak peduli seberapa istimewa seseorang yang kamu lihat, kamu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain.
"Apa kamu melupakan bahwa aku peduli terhadap mu?"
Anna menyimak ucapan Nirvana. Mencerna tiap kata, meniadakan kecemburuan dalam pikirannya.
"Maaf kak, ego ku jelek. Ayo kita selesaikan tujuan awal kita ke sini!" Anna membuang muka, melipat tangan. Raut wajahnya agak malu.
***************
Berikutnya bergegas menuju pada lokasi sesuai alamat.
Tiba di suatu rumah ala pedesaan dengan struktur kayu dominan.
Mengetuk.
"Hai, hai...." Anna bantu mengetuk.
Tidak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang sebaya dengan Anna. Gadis dengan rambut hitam berkacamata. Rambutnya pendek.
"Ada apa, ya?" Tanya gadis rambut hitam itu.
Spontan Anna menoleh kearah Nirvana, menatap sebal.
"PEREMPUAN!"
Nirvana menjawab, "Memang iya."
"Ku kira siswa pria kak!" Anna cemberut.
"Ada apa, ya?" Gadis rambut hitam pun mengulang pertanyaannya.
"Apa benar kamu Maya?" Nirvana bertanya.
"Iya, aku sendiri," jawabnya.
Nirvana telah bertemu Maya.
Tentu saja Maya cantik, bagaimana Anna tidak kesal.
"Apa kamu memutuskan berhenti sekolah?" Tanya Nirvana.
"Iya, benar." Maya mengiyakan.
"Kenapa?" Tanya Nirvana.
"Sudah jelas kan! Aku sama sekali tidak berbakat," jawab Maya.
"Tapi, ada kemungkinan kamu berhasil memanggil familiar yang overpower. Misalnya kamu tidak berbakat, tapi kalau seandainya kelebihan kamu di bidang partner sihir bagaimana? Penyihir punya partner berupa peliharaan sihir. Apakah kamu tidak mau coba?"
Nirvana sudah berusaha untuk membujuk. Maya terdiam sejenak, seolah-olah sedang berfikir. Menimbang arah keputusan, diam beberapa saat.
Beberapa saat berlalu....
"Ada benarnya," ucap Maya.
"Jadi bagaimana?" Tanya Nirvana.
"Aku akan menyelesaikan pendidikan sihir sampai tuntas!" Maya telah memutuskan.
Dengan ini tugas Nirvana di desa Anvile pun selesai.
Waktu bergerak maju. Nirvana kembali ke kastil akademi sihir.
*************
Ruang guru.
Nirvana duduk menghadap guru pertahanan terhadap ilmu hitam. Seperti biasa, Violetta menghisap tembakau dari pipa kayu. Masih dengan lekuk suram pada bibir Gothik hitamnya, mata setengah menutup sayu. Suara menguap.
"Well, kamu menyelesaikan quest. Aku akan jadikan Maya sebagai navigator. Aku akan mengasahnya sebagai seorang navigator. Apabila navigator kita semakin banyak, itu semakin bagus." Violetta tampak mengantuk, malah hampir saja menyenderkan kepala kalau saja tidak ingat sedang ada tamu.
Violetta menguap, sekali lagi.
"Padahal masih jam 9 pagi. Tapi, rasanya ngantuk. Aku sama sekali tidak insomnia. Hanya saja, seolah ini sudah kebiasaan." Violetta sesekali menghisap tembakaunya agar bisa mengurangi kantuk.
"Oh, hantu kecil itu pasti kamu perintahkan mengintai?" Violetta baru saja menerawang kedalam Nirvana, dan melihat itu.
Mungkin inilah kenapa ia disebut, seer.
"Benar," kata Nirvana.
"Ada sesuatu?" Tanya Violetta.
"Mereka adalah kombatan dalam kelompok yang dipimpin seorang dhampir," ujar Nirvana.
"Setengah pamvire?" Violetta melebarkan mata.
"Aku tidak tahu nama aslinya, tapi mereka menyebut ketua kelompok sebagai Alucard," ujar Nirvana.
Atas penjelasan Nirvana, Violetta tersenyum penuh arti.
"Sepertinya akan ada sesuatu yang terjadi." Violetta menduga-duga.
Violetta menghisap pipa kayunya, menghela napas asapnya. Violetta terlihat menenangkan dirinya.
"Bulan ini gak ada bulan darah. Persiapan untuk menghadapi sang villain akan lebih panjang lagi. Untuk bukan purnama nanti, bersantai lah!"" Violetta semakin intens menghisap dan menghembuskan asap tembakau.
"Baguslah," balas Nirvana.
Tidak banyak pembicaraan lagi, Nirvana bergegas pergi.
***************
Lorong sekolah.
Berjalan dilorong, menjalani rute patroli sekolah.
Selang beberapa menit, Nirvana bertemu dengan Mark.
Mereka saling tegur sapa.
"Terimakasih telah membujuk sepupuku." Mark berterima kasih kepada Nirvana.
"Sama-sama," balas Nirvana.
"Ayo kita razia anak-anak bandel!" Mark melangkah kesisi lorong lain.
Mereka berdua hendak patroli dilorong.
"Ngomong-ngomong, Maya cantik bukan." Mark mencoba memulai pembicaraan yang agak terbuka.
"Apa--" Nirvana terkejut.
"Bercanda," seru Mark.
Ternyata ada satu orang pelajar pembolos. Bahkan dia berani tuk menunjukkan wajahnya didepan penjaga sekolah. Siswa kelas tiga dengan rambut pirangnya.
Berada dipertigaan lorong. Jovan memanggil dua penjaga.
"Kalian," seru Jovan.
"Jovan?" Mark terkejut.
"Tidak usah terkejut, dasar penjaga amatiran." Jovan berdiri dengan ekspresi yang angkuh, bikin kesal.
"Tengil!" Mark mengepal tinju.
"Aku mau bicara dengan rekan barumu!" Jovan menatap Mark sambil menunjuk Nirvana.
"Silahkan, pirang." Mark dengan jengkel membuang muka.
"Kamu yang sering bersama Anna bukan?" Tanya Jovan.
"Iya." Nirvana mengangguk.
"Hati-hati terhadapnya. Anna itu entitas yang melampaui manusia biasa. Mata mistiknya berbahaya. Rumornya ada anak Nagini yang berada dibeberapa sekolah. Tentu Nagini tidak bisa beranak-pinak karena Nagini adalah mahluk mitos, sana seperti Phoenix. Ada semacam sihir kuno yang bisa menyalin kekuatan sihir mahluk mitos pada seorang manusia." Itul penjelasan Jovan, iamengetahui banyak. Jovan bukan orang sembarangan.
"Sekali lagi hati-hati!" Jovan yang biasanya berbuat onar dan juga pelanggar aturan, kini memberi tindak-tanduk yang lebih friendly.
Tiba-tiba seseorang muncul dari belokan dipertigaan lorong ini.
"Pantas saja aku mencium aroma nostalgia. Sudah kuduga anak itu berbau ular Nagini." Seorang yang berseragam butler muncul.
"Kamu siapa?" Tanya Jovan, yang memberi respon kaget.
"Sejatinya aku adalah Phoenix. Aku pernah berhadapan dengan Nagini dalam beberapa waktu. Nagini asli, bukan copy. Aku adalah Servant tuk pewaris house of Charlotte. Namaku adalah Theodore."
Setelah memberi gestur hormat, Theodore menunjukkan wujudnya yang asli. Menjadi burung merah dengan banyak ekor bercabang, ekornya panjang. Sayapnya merah keemasan. Ada udara panas dari kepakan sayapnya.
~Bersambung~