Kereta naga berjalan menyusuri padang rumput. Matahari hampir terbenam, hanya menyisakan rona kemerahan sudut bawah langit. Bagian atas langitnya hampir gelap. Fenomena yang disebut sunset.
Akhirnya tiba di gerbang kastil kementerian sihir. Kusir memberi unjuk surat undangan, penjaga mempersilahkan kereta beserta pengawal yang menunggangi naga darat.
Area parkir kereta naga ada batu kerikil ditata sebagai jalan kecil didalam bentengnya. Ada banyak peserta pesta berdiri di parkirannya.
Satella turun bersama Nirvana. Ternyata banyak yang mengenal Satella, karena ia putri ke-tiga keluarga bangsawan Charlotte.
"Ternyata bersama seseorang."
"Siapakah orang yang beruntung tersebut."
"Aku jadi iri."
Pesta akan di adakan di dalam aula kastil kementerian sihir.
******************
Kama village.
Gedung tingkat dua merupakan bangunan balai kota. Di dalamnya terdapat kepala desa dan seorang penguasa baru. Diablo bersama antek-anteknya sudah merebut kepemilikan desa ini dari tangan seorang bangsawan kelas Marques.
"Kita gagal melakukan uji coba terhadap putri bangsawan itu. Bagaimana kedepannya, baginda rajaku?" Tanya jendral iblis ungu, Belphegor.
"Kita biarkan saja anak itu. Putri kencur itu sulit dikalahkan. Putri kecil itu membuat sumberdaya ku terbuang percuma," balas Diablo.
Jendral iblis pergi, meninggalkan tuannya sendirian.
Seorang arc mage juga anteknya memasuki balai kota.
"Selamat datang sekutuku." Kata sambutan diberikan oleh Diablo.
Seorang ahli sihir berusia 50 tahun lebih, beserta enam ahli sihir lain mengikutinya. Duduk satu meja dengan Diablo. Kebanyakan kru pendekar pedang tanpa zirah yang berkeliaran adalah antek-anteknya Diablo. Pertemuan sedang terjadi antara Diablo dan arc mage ini.
"Saya sangat ingin jabatan sebagai menteri sihir. Benarkah anda bisa membantu saya?" Tanya arc mage.
"Saya bisa menyingkirkan pesaing politik anda! Tapi anda harus jadi sekutu saya," balas Diablo.
"Saya Cornelus Grindelwald akan menjadi sekutu anda, tuan raja iblis Diablo." Sikap hormat diberikan Grindelwald.
"Berapa banyak pengikut mu, hei sekutu manusia?" Tanya Diablo.
"Saya memiliki sekutu berjumlah sebelas penyihir arc mage. Ratusan mage yang menganggap saya ini mentor sihir mereka. Kalau harus memperbanyak pengikut, aku bisa melakukannya," ujar Grindelwald.
"Baguslah," sahut Diablo.
Diablo POV.
Di duniaku, aku dikudeta oleh jenderal ku sendiri. Adalah iblis kebanggaan, Lucifer yang telah memimpin pemberontakan itu.
Pengikut ku memulihkan jiwaku, membangkitkan ku. Wadah yang digunakan adalah seorang budak manusia setengah demon. Wadah yang sekarang, membuat kekuatan penuh ku tak bisa keluar. Jendral setiaku, Belphegor membuat siasat seperti ini bukan tanpa alasan.
Bila aku dihidupkan kembali dan memakai budak manusia setengah demon sebagai vassal, tak ada yang mencurigai keberadaan ku. Diriku berada di dunia baru, agar dapat mengumpulkan segala sumber daya untuk melakukan balas dendam.
Tunggu saja, aku akan membangun sumber daya untuk melawan balik.
POV end....
*****************
Aula pesta.
Satu meja yang bundar ada empat kursi. Hanya ditempati tiga orang. Nirvana duduk berhadapan dengan Satella, juga seorang pengawalnya.
"Boleh aku minta privasi, Silvia?" Secara halus, Satella minta supaya pengawalnya pergi.
Silvia menoleh kearah Nirvana. Ia ingin berterimakasih pad Nirvana karena saat ia sedang menjalankan tugas mengawal, justru dialah yang diselamatkan. Tapi Silvia masih malu untuk berbicara.
"Baiklah, aku akan mengawasi dari jauh nyonya ku." Silvia pun pergi.
Sekarang Nirvana hanya berdua dengan orang yang membawanya pergi ke dunia alternatif ini. Ialah Satella, gadis dua tahun diatasnya tetapi parasnya seimut putri kecil.
"Pestanya meriah kan?" Satella tersenyum riang.
"Pesta yang mewah," balas Nirvana.
Tau-tau datanglah seorang yang dikenal Satella.
"Selamat malam nyonya Stella. Aku terkejut, anda bisa datang kemari." Jack frost menyapa.
"Meski saya tidak aktif, saya masih seorang arc mage yang memiliki hak kursi di dewan penyihir loh. Tentu, aku juga diundang sih," kata Satella.
"Saya, merasa ada yang kurang saat saya tidak menjadi bawahan nyonya Stella lagi," ucap Jack Frost, dengan wajah tertunduk.
"Oh, jadi, kangen aku Jack?" Tanya Satella, dengan aksen usilnya.
"Sial...."
Melihatnya Nirvana kurang suka. Adalah momen yang terganggu. Mungkin suatu saat, Satella akan menjadi minat romance nya. Tapi melihat seorang mendekati nya sekarang, Nirvana kian badmood.
"Kalau gitu, aku harus pergi ke belakang." Nirvana berdiri, lalu menuju ke sudut lain.
Ternyata tidak sulit bagi Nirvana menemukan toilet. Terutama, ia hanya mencuci muka saja sejenak.
Disaat keluar dari toilet, Nirvana dikejutkan sesuatu.
"Silvia?" Nirvana terkejut.
"Iya benar, aku Silvia Mercedes." Wajahnya sangat berwibawa dan memberi kesan kedewasaan.
"Maksudku, untuk apa disini. Anu, bukankah harusnya itu, mengawal Satella?" Tanya Nirvana.
Sekilas Silvia menunduk ke bawah. Menoleh kesamping, raut wajahnya kelihatan malu-malu.
"Bisa ikut aku sebentar." Silvia berusaha berkata tenang.
"Iya," balas Nirvana.
Selanjutnya Silvia mengarahkan Nirvana ke suatu tempat. Berjalan dengan Nirvana mengikuti dari belakang. Entah bagaimana, Silvia terlihat lebih pemalu dari biasanya.
Mereka masih berjalan. Sambil berjalan, Nirvana berkomentar.
"Kamu terlihat tidak biasa dengan gaun pesta ini."
"Ah--"
Atas komentar Nirvana, Silvia berhenti melangkah. Menunduk dengan mimik malu-malu.
"Aku bertugas mengawal nyonya di acara pesta. Makanya aku memakai gaun pesta. Apa aku salah?" Tanya Silvia.
"Tidak salah. Aku terkejut saja melihatnya. Ternyata kamu cukup cantik." Nirvana menyanjung.
Memasang ekspresi malu-malu, ia membalas.
"Ca-- cantik? Kulit ini, aku terkena luka bakar parah loh. Rupa yang nampak dibalik perban ini, apakah kamu tidak jijik kalau aku kasih unjuk?" Tanya Silvia.
"Sama sekali tidak," kata Nirvana.
Silvia pun terdiam beberapa saat dengan wajah pemalu nya.
"Ayo cepat ikut! Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan." Silvia kembali mengarahkan Nirvana. Mereka pun menuju ke halaman luar kastil. Seperti menuju ke taman samping dekat bangunan utama kastil ini.
***
Kastil kementerian sihir. Taman samping.
Akhirnya mereka berdiri saling berhadapan. Alih-alih menatap, dengan wajah pemalu nya Silvia menatap kesamping.
"Mau bicara apa?" Tanya Nirvana.
"Se-- sebentar!" Silvia dengan nada malu-malu.
Silvia terdiam beberapa saat tuk mengumpulkan keberanian.
Air mancur indah, tepat berada dibelakang Silvia. Suara jangkrik, terdengar intens. Suasana yang canggung, membuat suara jangkrik lebih terdengar daripada dialog percakapannya. Langitnya sudah gelap, banyak bintang disana.
Satu lagi adalah.
Bulan purnama. Jangan lupakan bulan yang indah itu.
Di taman kecil ini, selain rumput terdapat aneka bunga.
Di taman ini, Nirvana memandang kearah air mancur indah itu.
"Tatap kesini, jangan lihat kearah lain-lain! Aku yang sedang bicara denganmu. Hargailah orang yang sedang bicara dengan," kata Silvia.
"Habisnya dari tadi diam terus." Nirvana membalas, sementara itu Silvia terdiam. Jari telunjuknya bersentuhan satu sama lain. Silvia malah sibuk memainkan jarinya, mengumpulkan keberanian.
Nirvana memandang ke wajahnya Silvia. Nirvana melihat pesona dari gadis yang pemalu namun dengan wajah dewasa yang tegas.
"Te-- te, te-- TERIMAKASIH." Saking malunya dia berbicara. Tak sengaja nadanya meledak.
"MAAF--"
"Eh--"
Menyadari nadanya terlalu tinggi, Silvia membungkam diri sendiri. Segera memalingkan wajahnya.
"Apa sesulit itu bagimu berbicara?" Nirvana mengerutkan dahi.
"BUKAN. Eh--"
"Maksudku, aku--"
Nirvana mulai jengkel karena kelakuan pemalu Silvia.
"Berseker itu harusnya pemarah loh. Kok ada berseker yang pemalu kaya gini," kata Nirvana.
"Anu--"
Melawan rasa malu-malu, wajah Silvia memerah.
"Tugasku adalah mengawal kamu menuju ruang evakuasi. Tapi aku--" berhasil menyuarakan maksudnya, terhenti ditengah jalan karena rasa malu kembali meledak.
"Tapi aku--" Silvia malah sibuk memainkan telunjuknya.
"Maksudnya peristiwa bulan kemarin?" Tanya Nirvana.
"Uh--" Perlahan Silvia mengangkat kepalanya, menatap Nirvana.
"Iya.... Justru malah kamu lah yang selamatkan aku. Harusnya kan aku. TERIMAKASIH." Diakhir kalimat, ketika Silvia akan mengucapkan terimakasih, rasa malu meledak. Sehingga tanpa sengaja nadanya meninggi kembali.
"Oke, sama-sama," ucap Nirvana.
Silvia bernapas panjang.
"Akhirnya, ini berakhir." Silvia merasa lega telah melawan sifat pemalu nya.
"Lalu--"
Nirvana menyimak kala Silvia tertahan dalam mengatakan hal lainnya.
"Apa tadi kamu bilang. Apa kamu tidak jijik dengan luka bakar yang terdapat dibalik perban ini?" Tanya Silvia.
Silvia tidak memakai seragam ala kesatria bangsawan. Silvia memakai gaun pesta. Walau pakai gaun, tapi terdapat beberapa balutan perban yang menjadi minus bagi tampilan Silvia saat ini.
"Hanya luka bakar. Kamu tetaplah cantik. Aku tidak jijik hanya karena luka setitik. Secara keseluruhan, kamu adalah gadis yang berhati baik loh," ucap Nirvana.
"Anu, kamu tahu apa yang kamu katakan?"
Silvia melihat kenyamanan dari pernyataan terakhir Nirvana. Ia kembali bersuara. Berbeda dari sebelumnya, sifat pemalu nya agak sedikit berkurang.
"Tunangan ku menolak bersama denganku lagi. Alasannya adalah, karena kulitku cacat permanen. Sementara kamu yang belum lama aku kenal, memberi jawaban yang aku butuhkan. Yang kamu katakan, meredakan depresi yang kurasakan beberapa hari kebelakang." Silvia mulai sering menatap lurus pada Nirvana. Rasa malu-malu nya kini mulai berkurang.
"Syukurlah, bila itu baik untukmu, Silvi," kata Nirvana.
"Sebenarnya ini bohong. Kulitku dapat dipulihkan lagi. Aku hanya kepingin tahu. Adakah orang yang lebih memandang aku walaupun kulitku cacat. Orang tidak akan menyukai kulit luka bakar. Akan persis seperti kulit mayat. Seperti kulit ular malah, mirip sih. Makasih kamu mau berkata seperti itu. Iya, walau kamu bohong sekalipun, aku senang kamu bohong demi hibur diriku," kata Silvia.
"Aku gak bohong."
Nirvana menyanggah. Hal itu bikin Silvia sedikit senang. Mode pemalu Silvia pun kambuh lagi.
"Apa kata--"
"A-- APA KATAMU?"
"Ma-- maaf, sangat malu makanya nadaku ketinggian." Silvia kembali dengan sikap malu-malu nya.
Nirvana diam mendengarkan.
"Silvi mau ngomong. Ta-- ta, tapi, NANTI LAGI." Menyadari nadanya meninggi tanpa kendali, Silvia secepatnya balik badan, nunduk.
"A-- aku mau disini. Bisa tolong tungguin sebentar. Aku mau kamu diam disini. Ma-- maaf kalau aku diemin kamu saat nanti kamu nemenin--" Silvia men-jeda barang sebentar. Duduk didekat sarana air mancur. Membelakangi Nirvana, meredakan pemalu nya dalam beberapa detik. Lalu lanjut bicara.
"Habisnya aku pemalu. Aku juga bingung mau ngomong apa juga. BUKAN, tapi, pemalu," ucap Silvia.
Nirvana diam menemani Silvia beberapa saat.
Meski yang dilakukan hanyalah berdiri seperti asbak.
~Bersambung~