Dikala kakak laki-laki Satella ada di ruang rawat, menjenguk kepala kesatria, datang seseorang.
"Siapa itu?" Masih berbaring, Silvia menengadahkan lehernya kearah sumber suara.
"Siapa anda?" Tanya Duke Pegasus, tapi beberapa saat kemudian mengingat siapa orang itu. Pegasus menanggapi diam.
"Apa kamu baik-baik saja bos?" Orang tersebut menyeru kepada Silvia.
"Siapa itu?"
Silvia berseru, bertanya. Orang itu masih berjalan di balik tirai kala memanggil.
"Ini aku, James Norington!"
"Oh, Norington, ketua regu, anak buah ku sendiri."
Akhirnya Silvia bernada lega setelah tahu siapa yang datang menjenguk.
"Ah, mohon maaf, aku tidak tahu kalau tuan besar berada disini," ujar James.
"Tidak, santai saja," balas Pegasus.
"Bos, apa kamu baik-baik saja? bos ku yang bahenol." Norington menghampiri Silvia, namun dibalas nada meninggi, jengkel.
"BAHENOL GUNDUL MU SIAL, JANGAN KOMEN TENTANG BODI KU!" Silvia pun membentak dengan jengkelnya.
"Stt ... mohon tenang ya, ini ruang rawat!" Pegasus menyela, dengan nada sarkastik.
"Mohon maaf." James Norington segera menunduk dan malu.
"Aku, sebel," Silvia memalingkan wajah.
James Norington adalah kesatria di kamp militer Keluarga Charlotte. James memiliki rambut cokelat, posturnya sejajar dengan Silvia, wajah yang standar untuk ukuran di kerajaan ini. Nampaknya relasi Norington dengan Silvia lumayan baik walau saat bercanda, mereka akan sedikit tidak akrab.
"Apa yang terjadi padamu boss?" Tanya Norington.
"Aku tidak tahu!" Silvia seperti enggan tuk menjawabnya sekarang.
"Kepala kesatria, Silvia, baru menghadapi entitas yang bernama demon witch. Mage pada umumnya, dengan kekuatan demon. Segel sihir, curse mode, kekuatan itu asalnya dari raja iblis yang datang dari dunia lain. Demon witch sangat kuat, hingga kepala kesatria ku dikalahkan." Duke Pegasus menjelaskan, ketika Silvia terbungkam.
"Apa kamu dikalahkan, bos?" Norington bernada heboh.
"Berisik, pergi sana, ganggu saja!" Silvia menanggapi dengan jengkel, dan emosi.
"Menarik, sungguh menarik." Pegasus berbicara sendiri.
Sepertinya Pegasus memiliki keahlian mirip-mirip penerawang. Atau mungkin semacam kode mistik dengan fungsi demikian miripnya.
"Yang mengalahkan demon witch hanya remaja biasa. Bukan ahli sihir, bukan juga orang militer, sama sekali bukan kesatria. Apakah kalian mau tau bagaimana bisa ia mengalahkan boss nya?" Tanya Pegasus.
"...." Silvia lebih memilih memalingkannya wajahnya. Mood nya sedang buruk untuk mengingat ulang kejadian saat purnama.
"Bagaimana bisa?" Norington dikagetkan dengan fakta itu, ia bernada heboh.
"Saint grafik. Seorang ahli sihir veteran, mewariskan kesaktian melalui perantara sebuah benda. Saint grafik pasti berada didalam senjatanya. Penyihir yang telah mewariskan kekuatan sihirnya, seorang penyihir legendaris empat abad lalu. Tidak heran, ia bisa memenangkan boss figth."
Selepas Pegasus berbicara, Silvia segera mengumpulkan keberanian untuk bicara. Membuang gengsi karena gagal untuk menolong, lalu berakhir dengan ditolong.
"Aku berhutang terimakasih pada orang tersebut," gumam Silvia.
"Katakan siapa? Biar aku yang membayar hutang budi itu, bos." Norington membela harga diri Silvia sebagai kepala kesatria.
"Jangan menghinaku! Aku bisa membalas hutang budi ku sendiri!" Silvia mengartikan lain. Justru harga dirinya sebagai kesatria terinjak oleh niat baik Norington.
"Tidak, kepala kesatria ku menjalankan tugasnya dengan baik. Yang terjadi bukan untuk disesali. Biar aku yang membayar hutang budi karena kepala kesatria ku ditolongnya." Akhirnya Pegasus sukses memulihkan harga diri Silvia.
Senyum tipis mulai nampak di wajah Silvia Mercedes.
****************
Ruang VIP.
Sementara di ruang pemilik sekolah baru, seorang tamu datang. Satella lagu duduk berhadapan dengannya. Memiliki pedang terpasang di pinggang, mungkin seorang pendekar pedang. Rambutnya panjang berwarna hitam, di ikat seperti ekor kuda.
"Maaf, aku terlalu banyak kenalan. Aku juga kurang ahli menghapal wajah orang, jadi aku suka lupa. Bisa bilang, siapa kamu?" Tanya Satella.
"Namaku Wilhelm. aku seorang kepala kesatria di faksi pangeran Romane. Aku datang untuk menyampaikan pesan dari tuanku."
"Oh, jadi begitu, jadi begitu." Satella hanya menanggapi santai, seolah tidak ada hal penting disini.
Dalam kerajaan sedang diadakan pemilu. Setelah keluarnya dekrit raja, seluruh anak resmi raja akan bertanding dalam seleksi kerajaan. Dekrit ini meniadakan tradisi mengangkat anak tertua menjadi penerus tahta kerajaan. Enam anak raja bersaing di dalam pemilu. Berlomba mengurus kota administratif masing-masing. Kepuasan warganya, adalah poin raja untuk menilai.
"Tolong bantu kami, masalah di wilayah perbatasan Vilenchia bagian barat sangat sulit. Pangeran Romane percaya, bahwa dukungan dari putri Charlotte, Miss Satella, adalah jalan pintas menuju kemenangan."
Atas penyampaian kepala kesatria, Satella menampakkan wajah girang. Dalam hati, Satella merasa geer karena sanjungan dari salah satu kandidat. Pangeran Romane merupakan salah satu teman masa kecil Satella di lingkungan istana utama Keluarga kerajaan Vilenchia.
"Aku akan bantu, tapi nanti."
Itulah balasan Satella. Melihat ekspresi tak puas di wajah Wilhelm, Satella memberikan teguran kepadanya.
"Aku bilang nanti. Kenapa, tidak senang!" Satella menatap agak sedikit sinis.
"Tidak bukan itu masalahnya." Wilhelm menunduk, seolah memikirkan masalah.
"Lalu apa?" Tanya Satella.
"Akhir-akhir ini teman lama pangeran berkunjung. Beliau menjadi tamu tetap di istana kota Ustgard. Aku khawatir beliau membawa pengaruh buruk pada tuan pangeran." Kepala kesatria menjelaskan kekhawatiran.
"Pengaruh buruk, jangan asal dalam hal menilai orang loh!" Satella mengabaikan ucapan kepala kesatria.
"Namanya Stride, susah untuk dijelaskan, tolong nilai sendiri. Mampir ke istana kota Ustgard untuk menyaksikan." sang Kepala kesatria, Wilhelm bernada pasrah karena ceritanya tidak dipercaya.
"Hei, aku kenal Stride. Dia salah satu anak daripada tuan tanah kecil. Dulu Stride memang sering berada di area taman belakang istana, bermain dengan kami. Setahun Stride kecil cukup dikenal baik dikalangan anak-anak darah biru ataupun anak-anak di lingkungan istana." Satella menerka kembali ingatan masa kecilnya.
Mendengar argumen Satella, Wilhelm menghela napas panjang. Wilhelm paham bahwa pendapatnya tak akan diterima.
"Mohon maaf atas argumen ku yang tadi. Miss Charlotte, tolong abaikan ucapan ku tentang Stride ya tuan Stella. Dan sekali lagi saya mohon maaf." Wilhelm menyatakan pernyataan menyesal atas argumen nya.
"Wilhelm...." Satella menatap iba karena Wilhelm semangat yang pupus itu.
"Untuk ditugaskan menemui anda dan meminta pertolongan atas nama tuan pangeran, saya adalah diplomat amatiran yang buruk." Sekali lagi Wilhelm menjadi rendah diri.
"Tidak, kamu benar. Stride memang sosok orang yang tidak baik." Satella mendukung argumen Wilhelm.
Atas pernyataan percaya dari Satella, raut wajah Wilhelm membaik.
"Stride kecil adalah anak yang baik juga memiliki idealisme bagus. Idealisme yang kuat, disaat anak-anak seusia kami pada waktu itu tidak punya idealisme dan tidak paham juga tentang idealisme. Tapi Stride mulai berubah, bertumbuh menjadi sosok yang berbeda."
Satella menceritakan kisah masa kecil, beserta pandangan tentang seorang yang bernama Stride. Wilhelm Kembali ke inti permasalahan yang ia bawa.
"Tentang permintaan tuan pangeran?"
"Nanti kan, kubilang! Aku akan membantu, tapinya tidak sekarang loh."
Wilhelm menjelaskan masalahnya.
"Kalau begitu berikan surat untuk tuan pangeran. Aku tidak bisa memberitahu dengan cara seperti itu, aku bisa ditagih apabila nantinya anda lupa. Tolong tulis sebuah surat, agar aku bisa membuktikan ucapan ku pada tuan pangeran. Supaya ucapan ku bisa dipercaya."
"Jadi itu sebabnya."
Setelah menanggapi argumen Wilhelm, Satella mulai mengambil kertas dan pena. Menulis beberapa patah kata dengan cepatnya, seolah menulis surat adalah rutinitas yang biasa. Tulisannya sangatlah rapih seperti sastrawan.
Satella memiringkan wajah saat melihat keatas kertas, membaca ulang tulisannya, suratnya. Di akhiri dengan Satella yang memberikan amplop berisi sepucuk surat.
"Terimakasih banyak Miss Charlotte. Aku, Wilhelm, kepala kesatria tuan pangeran mohon pamit." Memberi gestur hormat, bertutur kata sopan, Wilhelm pun pergi.
*****************
Satu hari kemudian, Owner baru sekolah mengikuti rapat. Di sana ada Minerva yang menjadi ibu kepala sekolah muda. Juga dihadiri beberapa Jaran guru. Violetta ada disebelah kepala sekolah. Violetta nampak selalu menguap ngantuk. Mulai membakar tembakau dari pipa kayu antik. Merokok dengan niat menghilangkan rasa kantuk.
"JANGAN ADA YANG MEROKOK DI SAAT RAPAT!" Kepala sekolah dengan tegas memberikan teguran. Nada teguran amat tinggi, tatapannya cukup tajam dan sinis. Minerva menegur sambil memukul meja dengan keras. Wajah galak Minerva sukses membuat ciut nyali beberapa orang.
"Halah, kaku sekali. Mohon santuy sedikit dong, ibu kepala sekolah muda." Dengan santainya, Violetta mengindahkan nada teguran tegas dari Minerva.
Sang peramal seperti Violetta bukanlah penyihir sembarangan. Tentu Minerva tak berani macam-macam. Kalau saja bukan karena Violetta yang menganggap sosok Minerva sebagai teman sekolah, mungkin Violetta akan sedikit memberi pelajaran.
Setelah keringat mengalir dari pelipisnya, Minerva yang ciut berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan tata tertib rapat.
"Aku hanya ingin menjalankan tata tertib!" Minerva mengambil paksa pipa rokok dari tangan Violetta.
Minerva berusaha membangun citra nya sebagai orang tegas. Violetta mengalah karena mereka teman. Minerva mencoba membangun citra tegasnya saat menatap guru-guru yang lain.
"Bagi yang melanggar tata tertib, akan aku berikan sangsi!" Minerva menatap galak ke sekelilingnya.
"Oke lanjut!" Minerva memejamkan kedua mata. Tidak ada yang lebih cantik daripada wajah galak Minerva.
Wajah apatis Violetta yang cantik, wajah galaknya Minerva, wajah bengong Satella, adalah wajah cantik dengan karakteristik masing-masing.
"Kita akan membahas pengadaan mata pelajaran baru yang belum pernah ada di akademi ini sebelumnya. Apakah ada yang mau memberi usulan?" Tanya Minerva.
"Aku usulkan untuk mengadakan mata pelajaran yang umumnya ada di institut. Adalah mata pelajaran familiar, penyihir bakalan cocok bila didampingi partner penyihir berwujud satwa sihir." Satella memberikan usulan.
"Ada yang mau menyanggah?" Minerva mengatur jalannya rapat.
Violetta mengangkat tangan, dengan sigap Minerva menunjuk Violetta, "Iya, silahkan."
"Mengaplikasikan mata pelajaran yang umumnya dipelajari di institut magic tuk diaplikasikan di akademi sihir adalah pelanggan aturan." Violetta menyanggah.
"Aku akan mendapatkan surat keputusan menteri sihir agar dapat mengaplikasikan mata pelajaran tersebut." Satella membela argumennya.
"Aku bisa menerima itu." Violetta tak menyanggah lagi.
Selain Satella dan dua teman semasa sekolahnya, ada tujuh pengajar lainnya. Setelah kejadian bulan darah, lima belas pengajar mengundurkan diri. Kebanyakan adalah pengajar tua berumur, beberapa pengajar yang takut mati memilih resign.
Tapi untungnya ada beberapa ahli sihir lulusan institut, melamar untuk menjadi pengajar di akademi sihir. Mereka masih dalam tahap wawancara oleh sang kepala sekolah. Jumlah pelamar tak melebihi pengajar yang resign.
Rapat terus berlangsung....
Selanjutnya waktu akan maju dua minggu kemudian.