Untuk kedua kali Monika mengecek kembali barang bawaannya dalam ransel miliknya, memastikan beberapa pakaiannya memang sudah cukup untuk seminggu ke depan.
Iya, mereka berdua akan pergi selamaseminggu untuk berbulan madu kemudian setelah itu kembali bekerja.
Dan tidak menggunakan mobil seperti biasa, Alfando memilih menggunakan motor kesayangan yang jarang di pakai oleh nya dengan alasan agar lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
Tidak seperti Monika, pria itu malah tampak tidak membawa barang apapun selain dirinya sendiri.
"Kau tidak membawa pakaian?" Tanya Monika melempar pandangan bingung ketika melihat suaminya tersebut turun dari lantai atas tanpa membawa apapun dengan penampilan yang sudah sangat tampan dan keren dalam balutan pakaian khas touring.
Berjalan santai sambil mengunyah permen karet dalam mulut, menghampiri Monika yang tengah duduk manis menunggu pria itu.
Hari ini mereka berdua memutuskan untuk memakai pakaian khas touring alhasil penampilan mereka begitu tampak serasi.
"Apa kau lupa?kita akan pergi ke villaku jadi tentu aku sudah memiliki banyak pakaian di sana. Dasar bodoh." Senyuman manis mengembang di bibir Alfando begitu selesai menguntip kalimat terakhir.
Senyum yang jarang sekali ditunjukan oleh suaminya ini.
Terlebih kedua lesung pipi milik suaminya itu menambah pesonanya.
Alfando membuang permen karet bekasnya ke dalam keranjang sampah, menarik jemari Monika agar beranjak dari sofa. Mengambil helm full face di atas meja.
Memasangkan helm tersebut dengan perlahan pada kepala sang istri, mengetuk-ngetuk pelan disekitar helm agar memastika helm itu sudah terpasang dengan benar dan dapat melindungi kepala pemakainya.
Demi apapun, hampir saja Monika jatuh cinta pada suaminya ini kalau saja tidak segera ingat bahwa suaminya adalah seorang gay.
"Terimakasih." Seru Monika disertai senyuman tulus di bibir begitu Alfando selesai memakaikan helm.
Alfando berdehem, menganggukkan kepala pelan.
Giliran Alfando memakai helm full face miliknya.
Handphone Alfando berbunyi bertanda ada panggilan masuk, segera diangkatnya telepon begitu dia tahu itu berasal dari Jefri asisten pribadinya yang disuruh mengambil motor miliknya di rumah kakek-neneknya.
" Bagus," jawab Alfando singkat lalu kembali menutup teleponnya.
"Ayo kita turun sekarang."
Tanpa menunggu kalimat balasan dari Monika, dia langsung menarik jemari sang istri untuk keluar dari apartemen mereka menuju parkiran.
sepanjang perjalanan menuju parkiran, Monika sangat menyadari suaminya telah menjadi pusat perhatian banyak kaum hawa baik muda maupun tua.
Padahal suaminya ini hanya terlihat matanya saja dari balik helm tapi tetap saja aura pesona Alfando tidak bisa menipu mata kaum hawa, memang suaminya masih sangat tampak begitu mempesona meskipun wajah tampannya sudah ditutupi oleh helm.
Setelah sampai di teras apartemen, tidak lama kemudian jefri datang dengan menggunakan motor milik Alfando.
Berhenti tepat di depan mereka, tersenyum ramah ke arah mereka berdua.
Jefri turun dari motor dan menghampiri kedua atasanya tersebut.
"Selamat siang bos,nyonya." Sapa Jefri penuh sikap hormat sambil menyerahkan kunci motor pada Alfando.
"Siang juga,Jefri." Dengan sikap ramah Monika membalas sapaan Jefri.
Alfando memberikan tanda agar Jefri segera menyingkir dari hadapan mereka, disertai raut wajah dingin.
Jefri mengangguk tanda mengerti dengan yang dimaksud sang bos dan segera melakukan apa yang diperintahkan padanya.
Tentu saja dengan sikap kikuk karena merasa takut akan tatapan bosnya itu.
Setelah kepergian Jefri, dengan santai Alfando menarik Monika agar ikut bersama dengannya menaiki motor sport miliknya.
Menoleh ke belakang untuk memastikan istrinya ini sudah benar-benar siap.
"Peluk erat aku, kalau kau tidak mau jatuh nanti." Ucap Alfando yang lebih terdengar seperti perintah.
Monika mengangguk pelan tanda mengerti. "Apa kau akan mengebut?" tanya Monika disertai raut khawatir.
"Menurutmu?" Bukan mejawab Alfando malah balik bertanya sambil melempar pandangan tajam.
Selalu saja seperti itu membuat kesal Monika, apa susahnya si tinggal menjawab? Kenapa malah balik bertanya.
"Aku harap tidak, aku takut naik motor dengan kecepatan tinggi." Monika berganti memasang raut memelas.
"Kenapa? Apa kau trauma?" Suara Alfando terdengar parau.
Monika menggeleng,"Aku hanya takut saja,lagipula aku masih mau hidup."
"Haha...jadi kau takut mati? Konyol."
"Aku rasa bukan hal konyol jika manusia takut mengalami kecelakaan dan mati sia-sia, memangnya kau tidak takut?" Tingkah Monika sedikit memberontak, tidak terima ledekan suaminya ini.
Mamangnya hal itu lucu apa?
"Tidak, karena aku bukan orang penakut sepertimu." Kali ini ada nada meremehkan dalam nada suara Alfando yang membuat Monika jadi jengkel.
Benar sekali dia itu penakut tapi dia tidak akan membiarkan pria itu menginjak harga dirinya hanya karena kelemahannya yang satu itu.
"Me..Memangnya berdosa jika jadi seorang penakut hah?!"
"Kau marah?kenapa? Bukankah itu fakta?kau seorang penakut." Kedua mata Alfando melempar pandangan meremehkan.
"Paling tidak aku bukan sepertimu yang...sudahlah lupakan." Hampir saja Monika kelepasan ingin mengatakan mengenai fakta suaminya, beruntungnya segera tersadar dan tidak melanjutkan perkataannya yang akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
"Bukan seperti aku,apa maksudmu? Aku tidak akan menjalankan motor ini sebelum kau melanjutkan kalimatmu." Nada suara Alfando terdengar mengacam.
"Bukan pamarah seperti dirimu,puas?" Monika berhasil menciptakan alibi untuk sang suami.
Dan terlihat raut wajah Alfando kembali normal, tidak ada urat emosi seperti beberapa waktu lalu.
Alfando tidak menjawab malah memalingkan pandangan ke arah depan,menyalahkan mesin motor.
"Kita berangkat sekarang."
*****
Sepanjang perjalanan menuju puncak, mereka sering terjebak macet terlebih Alfando selalu membawa motor bak pembalap profesional yang sedang bertanding dan mengejar juara satu.
Sering menyela kendaraan lain setiap kali dia memiliki kesempatan.
Membuat jantung Monika berdetak diluar batas normal, membuat perempuan cantik ini sering berteriak ketakutan.
Masalahnya mereka sudah sering hampir bersenggolan dengan kendaraan lain baik motor atau mobil.
Tapi hebatnya Alfando selalu berhasil menghindari bentrokan antar pengendara lain.
sudah tiga kali mereka berhenti hanya untuk sekedar beristirahat atau makan.
"Apa kau tidak bisa membawa motor dengan kecepatan normal?" protes Monika untuk kesekian kali begitu mereka terjebak dalam macet.
"Kalau kau masih membawa motor seperti orang gila, aku akan turun dan tidak akan ikut ke puncak bersamamu!!!"
Alfando hanya tersenyum mendengar protes istrinya dari balik helm, ternyata istrinya ini bisa galak juga.
"Kau ini sungguh cerewet, baiklah aku tidak akan mengebut lagi." Alfando menoleh kebelakang untuk mengecek keadaan sang istri, dari balik helm wajah Monika terlihat pucat.
Kedua tangan Monika yang tengah melingkar pada pinggang Alfando terasa bergetar.
"Kau kenapa?" Tanya Alfando heran.
"Aku takut, kau membawa motor sudah seperti pembalap. Kau berhasil membuatku hampir terkena serangan jantung!!"
Monika mengusap-usap dadanya, membuka helm dan mengeluarkan sebotol air mineral lalu meminumnya.
Setelah berhasil menghabiskan setengah isinya,Monika Kembali menyimpan botol air mineral ke dalam ransel dan memasang helmnya kembali dengan raut muka masih cemberut.
Alfando terkekeh geli melihat tampang istrinya sekarang.
"Haha..Kau ini benar-benar penakut."
*****
Langit tiba-tiba berubah mendung, angin berhembus kencang.
Menyadari hujan segera turun, Alfando menepikan motor sportnya ditepi jalan.
Mengeluarkan satu set jas hujan.
"Pakai ini." Alfando menyerahkan setelan jas hujan pada Monika.
"Kau sendiri bagaimana?" Monika masih ragu mengambil jas hujan tersebut dari tangan Alfando.
Pria ini mengerti jalan pikiran istrinya, dia melebarkan jas hujan berukuran panjang hingga selutut dan memasangkan secara paksa pada Monika.
"Aku hanya memiliki satu, pakai saja. Jangan pikirkan aku." Ucap Alfando santai setelah selesai memasangkan jas hujan.
Hujan pun turun dengan deras disertai angin kencang, banyak penggendara motor memutuskan menepi dan tidak melanjutkan perjalanan.
Bagaimanapun mungkin mereka tidak mau memgambil resiko kecelakaan, terlebih cuaca sungguh buruk.
"Ayo berangkat, aku rasa hujan akan terus berlangsung untuk waktu lama, Aku tidak mau membuang waktu menunggu hujan berhenti entah sampai kapan." Alfando kembali memakai helm, menyuruh Monika agar segera kembali naik ke motor.
"Cepatlah naik, tunggu apa lagi?"
"Tapi hujan sangat deras, kau bisa sakit."
"Jika aku sakit, aku tinggal minum obat dan beristirahat." suara Alfando mulai terdengar sakartis.
Itu artinya suami killernya sudah mulai marah, tidak ingin terjadi pertengkaran Monika segera mengikuti kata suaminya tersebut.
"Baiklah, ayo kita berangkat."
Angin sungguh terasa kencang ditambah lagi hujan semakin deras, Monika memeluk erat Alfando.
Menyandarkan kepalanya pada punggung bidang pria itu, Keadaan Alfando sudah basah kuyup karena terpahan air hujan.
Bahkan Monika bisa merasakan seluruh tubuh suaminya terasa menggigil kedinginan.
sementara kendara lain berlaju dengan cepat, Alfando malah menggunakan kecepatan standar, ternyata suaminya itu menepati janji tidak lagi memgebut.
Dalam hati Monika mengagumi sikap suaminya itu.
Siapa sangka seorang pria keras kepala dan egois seperti suaminya tersebut bisa begitu baik mengabulkan permintaannya.
*****
Tttteeet....ttteeett..
Suara klakson mobil dari belakang mereka sungguh menggangu, jelas-jelas jalan masih luas di samping.
Kenapa mobil sport dibelakang mereka terus saja meminta jalan?
Beruntungnya hujan sudah mulai redah, mobil sport itu kembali menyalahkan klakson.
Bahkan sekarang semakin kencang.
Jenuh dengan kelakuan si penggendara mobil sport, Alfando segera menepikan motor di pinggir jalan.
Dan mobil sport itu ikut berhenti di depan mereka.
Alfando turun dari motor dan menghampiri si pengendara mobil sport tersebut.
Mengetuk kasar kaca mobilnya, muncullah seorang pria yang tidak asing baginya dari dalam mobil.
Tersenyum ke arahnya..
Berjalan menghampiri Alfando yang tengah syok.
Tubuh Alfando membeku, bak orang bodoh.
Dia hanya bisa diam melihat pria dari masa lalunya itu berjalan menghampirinya.
"Hei Al, apa kabar? Lama tidak bertemu." sapanya sambil membuka kacamata hitamnya Kemudian tersenyum.
"Kau, sejak kapan kau kembali ke indonesia?" Tanya Alfando disertai raut terkejut, dia melangkah mundur saat pria itu melangkah maju mendekatinya.
"Sebulan, ternyata ini benar kau.
Saat aku melihatmu menepikan motor dan memasangkan jas hujan pada perempuan cantik itu, aku kira aku salah lihat orang tapi ternyata aku tidak salah." pria itu menoleh sekilas pada Monika yang berada di belakang mereka. "Apa dia pacarmu?"
"Dia istriku."
Pria itu bersiul, "Kau pintar memilih istri, sepertinya dia belum tahu fakta mengenai suaminya, bagaimana reaksinya jika seandainya dia mengetahui rahasia mu?"
"Apa kau mencoba mengacamku? Aku tidak takut, brengsek!" Alfando merucingkan mata dan mendorong pria di hadapannya sehinggar menyingkir dari pandangannya.
"Ckck..kau masih belum berubah? Masih sama seperti dulu, pemarah."
"Menjauhlah dari hidupku dan istriku atau kau akan menyesal!" Ancam Alfando penuh penekanan pada setiap kalimat yang diucapkannya disertai tatapan tajam.
Alfando pergi meninggalkan pria itu seorang diri dan kembali naik motor untuk segera melanjutkan perjalanan.