Chereads / Datang Padaku / Chapter 6 - Chapter 26

Chapter 6 - Chapter 26

"Empat untuk Rough Shot, please." Aku memberikan kartuku ke gadis penjual tiket di bioskop dan tersenyum padanya. Kami datang terlalu pagi, tapi kami ingin segera ke tempat duduk di belakang jadi kami tidak terlihat mencolok dan pergi setelah semua orang meninggalkan ruangan saat film berakhir.

"Ini adalah terakhir kalinya kau membayariku di manapun." Jis mengeluh di belakangku.

Anna dan Jo menertawainya dan aku jelas hanya tersenyum.

Kami membeli dua pop corn ekstra besar dan sekeranjang soda untuk dibagi dan menemukan kursi kami. Walaupun kami sudah tiba tiga puluh menit lebih awal aku terkejut melihat segerombolan orang sudah duduk di bioskop.

Kami naik ke baris paling atas dari tatanan kursi model stadium dan duduk di tengah-tengah, Anna dan aku duduk diantara para lelaki.

Jis menjalankan kedua tangannya menuruni pahanya dan mengambil nafas dalam.

"Apakah kau gugup?" aku berbisik di telinganya.

Dia menunduk tersenyum padaku dan mencium keningku. "Sedikit."

"Apakah kau menonton film-filmmu?" tanyaku.

"Yeah, tapi biasanya menunggu sampai akhir minggu pembukaan untuk melihat reaksi penonton. Minggu pembukaan adalah saat yang menggelisahkan, dan biasanya sibuk."

"Aku bersyukur kita di sini. Ini menyenangkan."

Dia tertawa dan mengambil segenggam popcorn dari wadahnya.

"Aku juga. Kuharap kau menyukainya."

"Aku akan menyukainya."

Bioskop terisi dengan cepat dan akhirnya lampu dimatikan dan preview dimulai

Aku bingung melihat bahwa dua dari lima film di preview terdapat keterangan diproduseri oleh Jis E. Khalifa. Aku mendongak melihatnya, bingung, dan dia menunduk tersenyum malu padaku. Aku menggelengkan kepala dan mendorong beberapa pop corn ke mulutnya, membuatnya tertawa.

Aku antusias saat Rough Shot dimulai, dan ingin berdiri dan bersorak saat nama Jis muncul di layar saat pembukaan film. Tapi aku lebih memilih menciumnya keras-keras dan memberinya senyum bangga yang konyol.

Sulit untuk dikatakan, tapi kurasa dia sebenarnya merona.

Filmnya fantastik, saat adegan Channing yang hampir telanjang berjalan melintas di layar, Anna dan aku saling berpandangan dan mulai tertawa. Kami tak bisa menahannya. Jis melempar pop corn padaku dengan sebal.

Ini adalah film dua jam yang cepat yang membuatmu tetap duduk di kursimu sampai akhir untuk mengetahui "siapa yang melakukannya". Di film itu memang sungguh banyak adegan action dan ledakan. Ada juga adegan percintaan yang intens antara Channing  dengan aktris pendampingnya dan aku tidak bisa melihatnya tanpa pemikiran klinis, mengetahui bahwa Channing sudah menikah dalam kehidupan yang sebenarnya, bertanya-tanya bagaimana istrinya menghadapi adegan seperti ini.

Aku juga luar biasa senang bahwa Jis telah memilih untuk mengambil peran berbeda di bisnis perfilman.

Satu adegan berdarah membuatku dan Anna sama-sama mengerutkan badan.

"Oh, Tuhan, benarkah?" aku menutup mulut dengan tanganku saat aku menyadari aku telah berteriak terlalu keras Jo dan Jis menertawakan kami bersamaan.

Saat daftar penutupan ditayangkan, aku tak bisa berhenti tersenyum. Aku bertepuk tangan, dengan tanpa menarik perhatian, saat nama Jis muncul lagi dan dia menyeringai padaku. Kami menunggu sampai semua penonton pergi dan lampu menyala untuk meninggalkan bioskop. Saat kami berdiri aku melingkarkan tanganku pada Jis dan memeluknya erat, menguburkan wajahku di dadanya dan menghirup aromanya yang seksi. Aku menarik kepalaku ke belakang dan mendongak melihat mata hitamnya yang bersinar.

"Aku menyukainya. Aku sangat bangga padamu. Kita akan melakukan ini untuk semua film. Aku mau jadwal."

Dia menjalankan jarinya menuruni wajahku dan tersenyum manis.

"Aku akan memberimu satu." Dia menciumku lembut.

"Um, Put? ini adalah kencan ganda. Berhentilah bersikap berlebihan dengan pacar terkenal super kerenmu, tolong." Aku tertawa dan memandang balik kearah Anna.

"Aku hanya menghargai karya seninya." Kataku dengan sopan.

"Lakukan penghargaanmu di tempat yang privat. Ayo, jalan." Anna dan Jo berjalan mendahului kami keluar bioskop. Aku bergerak untuk mengikuti, tapi Jis menahan sikuku, menarikku kembali.

Aku berbalik padanya dan dia menciumku lagi, kali ini dengan penuh gairah, penuh cinta.

Dia menarik dan menyandarkan keningnya di keningku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Terima kasih untuk malam ini. Aku mencintaimu, Sayang."

"Aku juga mencintaimu."

...

Kami semua memutuskan untuk melanjutkan perayaan dan keluar untuk minum-minum. Dan kami berakhir di dekat tempat kami tinggal di Celtic Swell, dan aku harus tersenyum saat teringat pertama kali aku dan Jis minum bersama adalah di tempat ini. Terasa sudah lama sekali.

Bar ini cukup ramai dikunjungi oleh orang lokal, dan tak ada yang memperhatikan kami saat kami masuk menuju pojok di dekat belakang.

"Mereka membuat margarita yang enak disini," Jis berkomentar dan menunduk tersenyum padaku. Dia juga mengingatnya!

Aku menyeringai dan mengangguk, dan kami semua memutuskan untuk memesan margarita.

Jis memesan untukku sebagaimana yang aku suka.

"Jadi Jo," aku menyesap margarita Enak.

"Bagaimana menurutmu tentang filmnya?"

"Filmnya bagus sekali, aku sudah menduga akan bagus. Kau?"

"Tentu saja, aku terkecoh, tapi aku sungguh menyukainya. Kecuali bagian berdarah-darahnya."

"Yeah, ada apa dengan laki-laki dan darah?" Anna memencet hidungnya dengan cantik.

"Aku laki-laki. Aku menyukai darah." Jo meninju dadanya dan tawa kami pecah.

"Channing yang hampir telanjang selalu memanjakan mata," aku dan Anna saling memandang dan kami saling mengedipkan mata.

Jis mendorongku dengan sikunya dan Jo melotot pada Anna dan aku terkekeh.

"Aku percaya filmmu akan menjadi hits, Sir." Aku mencium pipi Jis yang halus dan dia memberiku seringai separuhnya yang seksi.

Pingsan!

"Aku lega kalian semua menyukainya."

"Menurutmu bagaimana?" Tanya Anna.

"Aku senang dengan hasilnya. Aku rasa pemain dan kru bekerja dengan bagus, dan filmnya menghibur. Para penonton sepertinya menyukainya."

Aku tahu ada seringai bodoh di wajahku saat dia berbicara tapi aku tak bisa menahannya.

"Apa?" dia bertanya padaku.

"Aku hanya berpikir kalau kau keren." Aku mengangkat bahu.

"Kau cukup keren juga."

"Oh, aku tahu." Aku menyesap minumanku dan mengedipkan mata pada Jo yang menertawakan kami.

"Apa yang sedang kau kerjakan sekarang?" tanyaku.

"Aku sedang memulai pembicaraan dengan studio tentang film komik Marvel yang lain yang akan dirilis musim panas yang akan datang. Film yang kuselesaikan sebelum pergi ke Golden Cove adalah sebuah komedi romantis yang diperankan oleh Anna Hathaway yang akan dirilis di musim semi."

Mendengar dia bercerita tentang pekerjaannya terasa begitu...seksi. Aku menjalankan ujung jariku naik turun di pahanya saat dia berbicara. Dia menggenggam tanganku dan membawanya ke mulutnya, mencium buku-buku jariku, dan membawa tangan kami di pangkuannya.

"Sebelum aku lupa," Jis meneguk minumannya. "Ayahku merencanakan kejutan besar pesta anniversary (ulang tahun pernikahan) untuk ibuku Sabtu malam berikutnya. Ann, kau dan keluargamu diharapkan untuk datang.

Aku tersenyum padanya, gembira dia menginginkan keluargaku di pesta orang tuanya.

"Oh, menyenangkan sekali! Aku akan memberitahu mereka. Apakah ini pesta yang formal?" Tanya Anna.

"Yeah, Ayahku akan mengadakannya besar-besaran. Ini adalah anniversary ke tiga puluh lima mereka."

"Wow." Aku menyesap minumanku.

Tiga puluh lima tahun.

"Apa?" Jis menunduk memandangku dan aku menelan ludah.

"Itu waktu yang lama." Aku mengangkat mengangkat bahu.

"Orang tuaku sudah menikah selama empat puluh tahun." Anna menambahkan.

"Orang tuamu masih bersama, Jo?" tanyaku.

"Tidak, ayahku yang membesarkanku. Dia selalu melajang."

"Bolehkah aku membantu pestanya?" tanyaku pada Jis.

Dia menunduk memandang hangat ke arahku dan mencium keningku.

"Tidak, kurasa Ayah dan Sam sudah mengatasinya. Datang saja denganku."

"Jadi aku hanya akan menjadi teman kencan, hanya itu?" aku mengerutkan kening merasa terluka dan Jis tertawa.

"Oh, kau lebih dari sekedar teman kencan, sayang." Dia menciumku lembut, dan Anna membuat suara lucu saat Jo tertawa.

"Kita sebaiknya pergi selagi kita bisa memisahkan mereka," kata Anna dan melambai pada pelayan untuk meminta nota.

.

Aku bangun di Sabtu pagi mendapati ranjang kosong. Aku duduk dan meregangkan badan, seprei putih yang lembut meluncur turun dari tubuhku dan terkumpul di pangkuanku. Aku mendengarkan keseluruhan suara di rumah Jis, mencoba menguraikan suara untuk mengetahui dimana dia mungkin berada, tapi semuanya hening.

Aku mengusapkan kedua tanganku ke mukaku dan menyadari mug Starbucks dan mawar merah di meja malam, dengan sebuah notes.

Oh, dia memanjakanku.

Aku menyesap kopi. Masih panas, jadi belum lama diletakkan di sini. Aku menghirup mawar yang cantik dan membuka notes.

Bekerja pagi ini. Di kantor di bawah. Aku mencintaimu. – Jis

Kantor? Aku tak ingat melihat kantor. Ada satu ruangan di bawah yang dia bilang tempat penyimpanan saat awal aku mengelilingi rumah ini. Aku bertanya-tanya apakah itu.

Dan kalau iya, kenapa dia bilang itu tempat penyimpanan?

Aku mengangkat bahu dan minum kopi lagi di ranjang indahnya yang besar. Hari ini hujan dan jendelanya yang besar tertutup tetesan air. Membuat ombak yang bergulung diatas selat terlihat samar.

Aku mengambil kemeja biru Jis yang dipakainya kemarin dan pergi mencarinya.

Semakin yakin, saat menuruni tangga dan tiba di ruang besar, ruangan yang disebut Jis sebagai tempat penyimpanan, terbuka dan aku bisa mendengarnya berbicara di telepon.

"Ya, aku melihat angkanya pagi ini. Itu kabar yang bagus. Aku lega kau senang. Tidak, kita akan menunggu hingga angka hari Senin untuk membuat keputusan. Ok, kita akan membicarakannya." Dia menutup telepon saat aku masuk ke ruangan.

"Jadi, tidak berlebihan untuk sebuah ruang penyimpanan." Aku melihat-lihat kantornya dan rasanya berada dalam filmku sendiri.

Ini adalah tempat dia menyimpan memorabilia filmnya. Poster dari film Nightwalker yang dibintanginya terpigura dan tergantung di dinding.

Ada penghargaan dan sertifikat, foto dirinya dengan selebritis dan orang-orang penting berserakan di seluruh ruangan.Dia terlihat lebih muda di kebanyakan foto.

Aku berbalik melihat lelakiku, duduk di mejanya yang mengesankan. Dia bersandar ke belakang, mengenakan kaos putih dan jins, memperhatikanku dengan pemuh kekuatiran.

"Apa?" aku bertanya dan memiringkan kepalaku ke sisi.

"Apakah kau marah?"

"Bahwa kau berbohong tentang ruangan ini?"

"Ya."

"Tidak."

"Oh." Alisnya terangkat dan dia terlihat lega.

"Aku tahu kenapa kau melakukannya. Apakah ada kejutan lagi di sekitar sini?" aku bertanya seraya mengitari mejanya.

"Tidak."

"Bagus."

Jis memundurkan dirinya dengan cepat dan aku duduk di meja di depannya, mengangkat kakiku di lengan kursinya saat dia mendekat dengan cepat dan membungkuskan lengannya kepinggangku dan menguburkan wajahnya di perutku.

Aku menyusupkan tangan ke rambutnya dan membungkuk untuk mencium kepalanya.

"Baumu wangi," gumamku. "Kau sudah mandi tanpaku ya?"

"Yeah, aku bangun lebih pagi. Pagi hari setelah rilis selalu sibuk. Ditambah aku harus membelikanmu kopi."

Aku tersenyum di kepalanya. "Terima kasih untuk kopinya."

"Sama-sama."

Teleponnya berdering. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan menjawabnya, tetap meletakkan satu tangannya melingkar di pinggangku.

"Khalifa." Jawabnya pendek dan formal, dan aku menunduk tersenyum padanya.

"Hai, Channing, terima kasih sudah meneleponku balik. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku menonton filmnya tadi malam. Kau melakukan pekerjaanmu dengan luar biasa." Dia mendengarkan sejenak dan tertawa. "Aku tahu. Aku bersyukur kau bisa selamat. Bagaimana kabar istrimu yang cantik? Bagus. Hei, aku punya proyek lain yang sedang kulihat untuk tahun depan, bagaimana kalau kukirimkan skripnya? Itu lumayan bagus."

Jis menyusup ke perutku lagi dan aku samar-samar mendengar Channing-Channing terkenal! berbicara dari ujung lain.

"Ok, aku akan memberikannya setelah minggu depan. Selamat menikmati akhir minggumu, kau layak mendapatkannya. Bye."

"Dia terdengar bahagia," aku bergumam.

"Pasti, pagi ini angkanya bagus."

"Apakah tadi malam aku sudah mengungkapkan betapa bangganya aku padamu?"

"Kau sudah mengatakannya. Aku suka mendengarnya terutama saat kau telanjang." Dia memberiku seringai nakalnya dan aku tertawa.

"Aku juga menyukainya."

"Pada kenyataannya," dia menangkup pantatku dengan tangannya dan menarikku lebih erat padanya. "Kau tidak mendapat ijin untuk memakai kemeja ini."

"Gosh, aku harus berhenti melakukan ini."

"Aku tahu, kau harus mulai sekarang pikirkan kau harus belajar apa yang akan terjadi saat kau memakai kemejaku."

"Tapi aku menyukai kemejamu." Aku menunduk cemberut padanya.

"Aku suka melakukan ini." Dia pelan-pelan membuka setiap kancing dan aku mengangkat bahu keluar dari kemeja yang lembut itu, membiarkannya jatuh keatas meja di belakangku.

Dia menarik nafas dalam, matanya sejajar dengan dadaku, mata hitamnya yang indah memandangi seluruh tubuhku, seperti ingin memakanku hidup-hidup dengan pandangannya.

"Tuhan, kau sangat cantik." Dia condong ke depan dan menggesekkan ujung hidungnya ke puting kananku maju mundur, melingkar dan putingku mengerut saat dia memandangnya. "Aku suka bagaimana tubuh indahmu ini meresponku."

Dia melakukan hal yang sama pada puting sebelah kiriku dan aku mengerang pelan.

Dia duduk di kursi, dengan pakaian lengkap, dan aku hampir melepas orgasme hanya karena hidungnya saja.

Tak bisa dipercaya.

Dia mendongak melihatku saat dia memasukkan putingku ke mulutnya dan melumatnya, lalu menjilat dan menciumi sepanjang perjalannya menyeberang ke dadaku yang lain untuk melakukan hal yang sama. Tangannya memeluk dan meremas pantatku saat ciumannya turun ke tubuhku.

"Bersandarlah ke belakang dengan tanganmu, sayang."

Aku melakukan yang dia minta dan dia mencium tindik pusarku.

"Sangat seksi. Sudah berapa lama kau memiliki ini?"

"Aku memasangnya saat ulang tahunku yang ke delapan belas."

"Ini hot." Dia mencium lagi dan menggigit ketika menyusurinya turun ke tatoku.

Dengan tiba-tiba dia menarikku ke pinggir meja, membuatku bersandar ke belakang lebih rendah lagi bertumpu pada sikuku, mengekspos diriku padanya. Dia menempatkan ciuman lembut diatas tattooku. "Jangan berbaring, aku ingin kau melihat."

Sial. Mungkin ini adalah hal paling seksi yang pernah dia katakan padaku.

"Okay," suaraku berat oleh kebutuhan dan dia menyeringai padaku, mata hitamnya melelehkan.

Dia membungkuk dan dengan ujung lidahnya, menjilatku dari klitoris menuruni lipatanku dan kembali naik, memainkan lidahnya lagi dan lagi, dan kemudian melumatnya lembut.

Aku melemparkan kepalaku ke belakang dan mengerangkan namanya dengan keras dan mengangkat kepalaku lagi untuk melihatnya.

Itu sangat menggairahkan saat mulutnya berada di milikku.

Dia meluncurkan salah satu tangannya dari pantatku, menelusuri pahaku dan menelusupkan jarinya masuk ke dalamku.

Aku menggelinjang di atas meja, kaki masih tertanam di kursi, tapi dia memegangiku erat dengan mulutnya. Lidahnya meluncur maju mundur di klitorisku, dan jari itu bekerja dengan ajaib di dalam diriku. Mata hitamnya yang dalam memandangiku saat aku meledak, keras.

Dia menjalankan ciumannya naik turun di pahaku dan menarik jarinya keluar dariku.

"Oh Tuhan, rasamu nikmat. Aku menginginkanmu setiap saat, Put. Aku tak pernah merasa cukup denganmu."

"Ke dalam diriku. Sekarang." Aku terengah-engah dan aku membutuhkan dirinya.

Dia berdiri dan menarik turun jinsnya ke paha. "Lingkarkan pahamu padaku, sayang."

Dia mengisiku saat aku melingkar di dirinya, membungkuk untuk menciumku, menangkup pipi kananku dengan satu tangan dan menggenggam pinggiran meja dengan tangan yang satu, dia mendorong ke dalam diriku dengan kejam.

"Oh, Tuhan." Tanganku berada di pantatnya, menariknya keras. Aku merasa orgasmeku mulai merasuk di dalam diriku.

"Keluarlah untukku, cantik." Dia berbisik di telingaku dan suara bisikan seksi itu mengirimku melewati batasan menuju klimaks fantastis yang lain yang membuat tumit kakiku menekan keras ke pantatnya.

"Tuhan, Put." dia memengejang saat dia keluar di dalam diriku, menghujani wajahku dengan ciuman, mendorong tangannya ke dalam rambutku.

"Aku merekomendasikan seks di meja," aku bergumam dan menyeringai malas padanya.

Dia tertawa dan menarikku ke posisi duduk. "Ya, ayo kita lakukan ini lebih sering."