Aku belum tidur sepanjang malam. Perutku bergejolak dan terasa sedikit mual. Aku tahu ini karena Jis berangkat pagi ini, dan ini membuatku cemas. Aku akan terus khawatir dengannya sampai dia pulang dengan selamat. Aku benci dia terbang.
Ini tidak seperti dia pergi ke Rainbow untuk satu hari.
Cahaya hijau dari jam alarm menunjukkan ini lima pagi. Jis ingin bangun pagi dan bersiap untuk penerbangan jam delapan pagi, jadi aku mulai membangunkannya.
Aku suka membangunkannya.
Aku mencium pipinya dan menelusupkan jari ke rambutnya.
"Bangun, cintaku."
"Humph."
"Ayolah," jawabku, menertawainya.
"Bangun. Kau harus siap-siap untuk berangkat."
Dia berbalik kearahku dan memelukku, membenamkan wajahnya di leherku.
"Kembalilah tidur," dia bergumam.
Oh, aku suka berada di lengannya yang kuat.
"Jika kita kembali tidur, kau akan melewatkan penerbanganmu."
Aku mencium bibirnya dan meneruskan belaianku di rambutnya.
"Kuharap kau ikut denganku."
"Kau akan pulang besok."
"Aku tak suka meninggalkanmu."
Aku tersenyum dan hatiku sedikit terasa sulit.
"Aku akan baik-baik saja."
"Apakah kau akan mengantarkanku ke bandara?"
"Tentu saja."
Dia menghembuskan nafas, matanya menatap serius pada wajahku.
"Apakah kau baik-baik saja?" Aku menggesekkan tanganku ke pipinya yang kasar.
"Aku sudah merindukanmu."
"Oh, itu buruk sekali, Mr. Jis Khalifa."
Jis tertawa dan menggulingkanku hingga terlentang. Dia menjalankan punggung tangannya di pipiku dan menciumku dengan caranya yang lembut sehingga membuatku meleleh.
"Ya, sepertinya memang begitu."
"Aku juga," bisikku.
"Aku senang mendengarnya."
Dia menyapukan hidungnya ke hidungku saat aku menaikkan kakiku ke pinggangnya.
Kami masih telanjang sejak bercinta tadi malam. Dia bergeser sehingga miliknya yang keras berada di lipatanku dan bergerak dengan lembut maju dan mundur.
Aku tahu ini akan sangat berbeda dengan caranya menyetubuhiku di sofa tadi malam. Ini akan pelan dan manis.
Dia menciumku dengan lembut, matanya menatap mataku. Dia memundurkan pinggulnya, dan meluncur masuk ke dalam diriku oh dengan sangat pelan.
"Jis," aku menghembuskan nafas di mulutnya.
"Aku mencintaimu," dia berbisik.
Dia tidak mempercepat temponya, dia meneruskannya dengan ritme yang pelan dan stabil, masuk dan keluar, menangkup wajahku dengan tangannya dan itu sangat indah aku tak bisa menahan air mata jatuh dari sudut mataku.
"Jangan menangis sayang." Dia menyapu air mata dengan jarinya dan menggosokkan hidungnya ke hidungku lagi.
"Aku sangat mencintaimu," aku balas berbisik padanya.
"Kumohon, pulanglah dengan selamat." Matanya melebar, dan aku tahu dia bisa melihat kerapuhan di mataku, dan dia akhirnya mengerti ketakutanku akan perjalanannya.
"Oh, sayang." Dia memejamkan matanya erat-erat dan menguburkan kepalanya di leherku. Aku melingkarkan lenganku padanya, memeluknya erat-erat, saat dia berangsur-angsur meningkatkan tempo dan tekanannya di dalam diriku dan aku mencapai klimaks, bergetar memeluknya, saat dia mengosongkan dirinya di dalam diriku.
"Mereka akan segera memanggil penerbanganmu. Sebaiknya kau segera melewati petugas keamanan." Jis mengenakan topi baseball dan kacamata berharap tidak ada yang mengenalinya di bandara.
Dia terlihat tampan.
Dia selalu terlihat tampan.
"Bersenang-senanglah dengan Anna malam ini." Dia menarikku ke pelukannya dan menciumku pelan dan lama.
"Baik-baik ya." Aku menaikkan alisku padanya dan dia tertawa.
"Sampai ketemu besok. Aku akan meneleponmu saat tiba di hotel."
Dia menciumku lagi, lalu mendaratkan bibirnya ke keningku dan menarik nafas panjang, seolah tak ingin melepaskanku.
"Ok, semoga perjalananmu aman, cintaku." Aku menurunkan tanganku ke dadanya dan mundur ke belakang dan melihatnya berjalan menuju petugas keamanan dan terminalnya.
"Put?" Anna memanggil saat aku membuka pintu depan rumahku. Aku hampir tak pernah disini sepanjang minggu.
"Yeah, ini aku." Aku merasa agak tidak enak badan, dan aku rasa ini bukan karena perjalanan Jis.
"Apakah Jis berangkat pagi ini?"
Aku berjalan ke dapur. Anna sedang mengoleskan mentega di atas bagel dan saat aromanya tercium di hidungku perutku bereaksi.
"Oh, sial." Aku berlari ke kamar mandi dan muntah, hampir terlambat sampai di sana.
"Hei, apakah kau baik-baik saja?" dia berdiri di pintu, mengawasiku. Anna adalah satu-satunya orang di dunia yang kubiarkan tetap berdiri di sana dan melihatku seperti ini.
"Mungkin aku terkena flu. Aku sudah merasa mual sejak tadi pagi. Ku pikir itu karena rasa khawatir, tapi rupanya bukan karena itu."
Perutku bergejolak lagi dan aku mencengkeram toilet saat aku muntah hebat.
Anna menghilang dan kembali dengan segelas air untuk mencuci mulutku dan sebuah lap badan yang dingin. Dia meletakkan gelas di wastafel dan menekan lap ke leherku dan aku merintih.
"Terima kasih."
"Ayo kita ke atas dan ke ranjang. Berbaringlah sejenak dan kita lihat apakah perutmu lebih tenang."
"Ok."
Anna mengikutiku ke atas. Aku tidak merasa sakit, hanya merasa mual. Aku benci muntah.
Ponsel-ku mengeluarkan suara ping di sakuku saat aku naik ke tempat tidur. Pesan dari Jis.
'Akan segera take off. Tak ada yang mengenaliku. Aku sudah rindu padamu, cantik.'
Aku tersenyum dan langsung membalas.
'Aku juga merindukanmu. Semoga selamat. Aku ingin kau kembali dengan utuh. Kumohon.'
Dan, aku mual lagi. Aku berlari ke kamar mandi, dan berada di sana hingga tiga puluh menit kemudian. Anna berada terus di dekatku dengan lap basah dan air, dia melatakkan handuk di lututku.
"Kurasa kita harus ke E.R (Emergency Room / IGD)."
"Tidak, aku baik-baik saja." Kembali merasa mual.
"Ya, aku bisa lihat kau butuh pertolongan," jawab Anna datar.
"Jangan berlebihan."
"Put, aku khawatir. Kau tak bisa berhenti muntah."
"Sudah tak ada lagi yang tersisa untuk dimuntahkan."
"Tapi kau masih terus muntah. Ini tidak normal, bahkan saat sakit flu. Kau juga tidak demam."
Perutku mulai sakit dan aku terus muntah diatas toilet.
"Put, jangan buat aku menelepon Ibuku."
"Dia akan setuju denganku," jawabku.
"Baik, aku akan menelepon Jis."
"Tidak, dia tidak akan bisa melakukan apapun dari Rainbow bagaimanapun juga."
Kembali muntah. Tuhan, sudah tak ada yang bersisa di perutku! Apa yang salah.
Ok, Put... masuk ke dalam mobil. Pegang baskomnya." Anna memberikan baskom plastik besar di bawah wajahku dan membantuku berdiri.
"Satu jam muntah tak terkendali itu tidak wajar. Kau mungkin dehidrasi."
Dia membantuku masuk ke mobil dan membawaku ke gawat darurat rumah sakit terdekat.
Secara mengejutkan, disana cukup sepi dan proses dari pemeriksaan hingga masuk ke kamar perawatan berlangsung cepat. Aku bersyukur Anna bersamaku untuk memberikan mereka informasi pribadiku aku tak bisa berhenti muntah cukup lama untuk mengeluarkan satu kalimatpun.
Aku memberikan contoh urinku dan berganti baju rumah sakit.
"Puput, saya Mo. Saya akan menjadi perawatmu hari ini. Letakkan pil ini di bawah lidahmu. Ini disebut Zofran, dan ini membantu menghilangkan mual."
Dengan senang hati aku menerima obat dari perawat mungil, baik hati ini dan mengambil nafas dalam.
"Mari kita periksa lagi." Mo tersenyum dan memeriksa temperatur tubuhku, tekanan darah dan detak jantung.
"Semuanya normal. Itu bagus. Dr. Andre akan datang sebentar lagi."
"Terima kasih." Anna menarik kursi ke dekatku dan ponsel-ku mulai berbunyi.
Itu Jis. "Halo?"
"Hei, baby, aku sudah di hotel. Semuanya baik-baik saja?"
"Ya, semuanya baik. Aku sedang keluar dengan Anna." Anna memutar matanya dan berkata 'Apa yang kau lakukan?' padaku.
Dan aku menyuruhnya diam.
"Ok, bagus. Aku sedang menuju rapat pertamaku. Aku akan kirim pesan kalau aku sempat."
"Baiklah, semoga rapatnya lancar. Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu." Aku mendengar senyum di suaranya saat dia menutup telepon.
"Puput..."
"Hentikan. Dia tak bisa melakukan apa-apa dari Rainbow tak perlu mengkhawatirkan dia. Lagipula dia akan pulang besok."
"Dia harus tahu kalau kau berada di gawat darurat." Ya Tuhan dia sangat keras kepala.
"Pil yang mereka berikan membantu mengatasi muntahku. Mereka mungkin hanya akan menyuruhku pulang."
"Tok, tok." Pria pirang bertubuh kecil memunculkan kepalanya dari balik pintu.
"Saya Dr. Andre. Saya dengar anda tidak enak badan, Puput."
"Aku sudah muntah-muntah selama satu setengah jam."
"Terjadi terus menerus, atau kadang- kadang?"
"Terus menerus. Tak bisa berhenti sampai perawat memberiku pil anti mual."
"Apakah ada gejala lain seperti diare, demam, sakit perut?" dia menulis di tabel catatanku saat kami mengobrol.
"Tidak ada, hanya muntah. Aku merasa sedikit mual tadi pagi, tapi kupikir itu hanya karena terlalu cemas. Lalu mulai muntah."
"Ok, well, sepertinya itu sudah kita atasi." Dia menekan kulit di tanganku dan melihat ke dalam mulut dan hidungku.
"Sepertinya kau kehilangan banyak cairan, jadi aku akan memberikan infus untuk memasukkan cairan, kami akan menganbil contoh darah dan mengetes urin dan kita lihat saja nanti, ok?" dia tersenyum tulus padaku.
"Ok, apakah aku boleh pulang hari ini?"
"Sepertinya begitu. Mari kita lihat hasil tesnya dan saya akan kembali sebentar lagi."
"Kau lihat?" aku berkata pada Anna setelah dokter pergi.
"Aku mungkin hanya terkena flu."
Perawat Mo segera kembali ke kamarku dan memulai memasang infus untukku.
"Oh, tidak, aku keluar dari sini!" Anna melompat dan berlari keluar kamarku. Aku menyeringai pada Mo.
"Dia benci jarum seperti kebanyakan dari kita membenci laba-laba."
Mo tertawa, mengambil darah dan segera keluar lagi, meninggalkanku dengan Anna.
"Bagaimana rasanya?" tanyanya.
"Lebih baik. Masih sedikit mual, tapi aku sudah tak ingin muntah lagi."
"Bagus. Kau mulai membuatku takut."
Kami duduk dalam keheningan untuk sesaat, kami berdua memeriksa ponsel masing-masing dan sedikit menonton TV. Kami menunggu cukup lama, sekitar dua jam, sebelum kami bertemu dokter lagi.
"Maaf harus menunggu. Saya ingin melakukan beberapa tes darah dan itu butuh sedikit waktu." Dia menarik kursi ke dekatku dan sepertinya bersiap untuk melakukan pembicaraan yang panjang.
Sial, apa yang salah dengan diriku?
"Saya mempunyai kabar baik, dan kabar lain yang tidak bisa dibilang baik atau buruk, tergantung bagaimana cara Anda melihatnya."
"Ok, aku pilih kabar baik dulu, kumohon."
"Anda sangat sehat. Semua organ Anda normal, hasil lab menyatakan semua baik."
"Bagus."
"Kecuali, ini kabar lainnya, Anda hamil."
Aku mendengar Anna menahan nafas di sebelahku, tapi aku tak paham.
"Apa yang Anda katakan tadi?"
"Anda hamil."
"Tidak, itu tidak mungkin." aku menggelengkan kepala dengan keras. Pasti ada kesalahan.
"Oh?" dokter menaikkan alisnya.
"Kenapa?"
"Saya mengkonsumsi pil pengendali kehamilan. Saya tak pernah lupa mengkonsumsinya. Tak pernah."
"Pil akan sangat efektif mencegah kehamilan, tapi seperti pengendali kelahiran lainnya, itu bisa gagal."
"Tidak, jika aku mengkonsumsinya dengan benar, seperti yang sudah kulakukan, aku tak akan hamil."
Aku melihat Anna mengambil ponsel-nya dan mulai mengetik di layar dangan cepat saat dokter tersenyum sabar padaku menepuk kakiku.
"Puput, pil itu sembilan puluh sembilan persen efektif saat dikonsumsi dengan benar. Masih ada satu persen kemungkinan bahwa itu bisa gagal, dan kelihatannya Anda termasuk yang satu persen."
"Apa?!" dunia seakan meruntuhiku.
"Dia betul, Put." Anna menunjukkan ponsel ke depan wajahku.
"Tak peduli apakah kau Doktor Kesehatan sekalipun, tapi web kesehatan ini dikatakan bahwa itu benar. Sembilan puluh sembilan persen efektif."
"Saya anggap ini sebagai kabar buruk?" tanya Dr. Andre.
Aku melihat ke arah Anna dan dia terlihat kaget seperti yang kurasakan.
"Aku tidak tahu."
Dokter melihat ke cincinku dan tersenyum lebar.
"Mungkin hanya kaget. Kami mengetes urin dan darah untuk mengkonfirmasinya.
Saya akan melakukan ultrasound untuk mendeteksi sudah berapa lama kehamilannya."
Perawat Mo keluar ruangan dan kembali dengan mesin ultrasound kecil dengan roda. Daripada melakukan pemeriksaan di perutku yang rata, dokter meletakkan kakiku diatas pijakan kaki sehingga dia bisa melakukan pemeriksaan vaginal.
"Bayinya terlalu kecil untuk dilihat dengan pemeriksaan eksternal," dia menjelaskan.
Bayi? Oh. Tuhan.
Perawat mematikan lampu saat kami melihat ke layar alat itu.
Tiba-tiba ada lingkaran hitam, ukuran kecil, dan di dalamnya ada denyut.
"Ini dia!" Dr. Andre tersenyum.
"Saya bisa katakan kehamilanmu sudah berumur enam minggu."
Anna menggenggam tanganku dan kami memandang ke layar dengan terpesona.
"Apakah itu jantung?" aku bertanya, menunjuk denyut di layar.
"Yep. Sulit untuk melihat lebih dengan alat ini, tapi area hitam adalah cairan amniotic, dan denyut itu adalah jantung. Anda mual dan muntah adalah sesuatu yang kami namakan hyperemesis gravidarum. Ini ratusan kali dari morning sickness. Anda mungkin akan sering mual selama kehamilan. Jadi saya akan meresepkan obat anti mual untuk dikonsumsi di rumah. Itu tak akan mempengaruhi bayinya. Juga segera hentikan pil anti kehamilan, mulailah mengkonsumsi vitamin untuk kehamilan yang mengandung folic acid dan buatlah janji temu dengan dokter kandungan anda empat minggu lagi."
Dia menekan tombol di mesin dan foto dari tayangan ultrasound tadi keluar dari printer.
"Ini, untuk dipamerkan." Dia mengedipkan mata padaku. "Kami akan menahanmu sebentar, untuk menambah cairan ke tubuh Anda dan memastikan muntah-muntahnya sudah terkendali, lalu Anda boleh pulang."
"Ok."
Dia pergi dan Anna dan aku saling memandang.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Tidak." Aku merasa kaku.
"Aku suka cincinmu. Foto yang kau kirimkan Sabtu malam tidak cukup memuaskan."
"Terima kasih."
"Ok, mari kita bicarakan tentang ini secara rasional." Anna menggenggam tanganku dan menatap mataku.
"Dia mencintaimu."
"Dia akan berpikir aku menjebaknya."
Anna tertawa - tertawa - dan meremas tanganku.
"Put, itu bahkan tak akan terlintas di pikirannya."
"Keluarganya akan berpikir begitu."
"Siapa yang peduli?"
"Dia baru saja melamar."
"Sekarang kau melantur. Put, lihat aku."
"Ini terlalu cepat." Mataku terasa penuh saat menatapnya. Terima kasih Tuhan dia di sini bersamaku.
"Kami baru saja bertemu, kami masih saling mempelajari satu sama lain, Ann. Kami baru bertunangan kurang dari seminggu. Ini terlalu cepat."
Airmata akhirnya turun saat ponsel-ku bordering lagi. Aku langsung mengalihkannya ke pesan suara.
"Put, kau harus bicara dengannya."
"Aku tak akan bilang padanya di telepon."
"Tidak, dia akan mengkhawatirkanmu jika kau tak menjawab teleponnya, bodoh."
Teleponku berdering lagi, tapi aku menangis terlalu keras untuk menjawab teleponnya.
"Kau yang jawab. Bilang aku sedang di kamar mandi atau apa."
"Teleponnya Put," jawab Anna.
"Tidak, maaf Jis, dia di kamar mandi. Kau ingin aku menyampaikan kalau kau ingin dia menelepon balik? Uh huh. Ok, aku akan sampaikan. Bye."
"Jadi?" aku bertanya saat dia menutup telepon.
"Dia akan rapat lagi tapi dia akan meneleponmu nanti."
"Bagus." Aku menjatuhkan kepalaku di tempat tidur.
"Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan?"
"Kau ini bicara apa? Kau dan Jis akan menjadi orang tua." Anna memegang tanganku lagi.
"Put, kau akan menjadi orang tua yang hebat."
"Ini terlalu cepat," aku berbisik dan meletakkan kedua tangan ke wajahku dan menangis.