Chereads / Datang Padaku / Chapter 12 - Chapter 32

Chapter 12 - Chapter 32

Tangisanku mulai surut dan aku menarik nafas dalam saat perawat Mo mengganti botol infusku.

Bagaimana aku mengatakan pada Jis bahwa aku hamil? Aku tahu dia menginginkan anak, dan aku juga, tapi bukan sekarang. Kami bahkan belum menikah. Aku tak bisa menahan diri jika dia mengira aku mencoba menjebaknya ke dalam sesuatu yang tidak di dinginkan.

Anna menyalakan TV dan memindah-mindah channel, dan berhenti saat dia menemukan acara gossip malam.

"Kami memergoki Jis Khalifa hari ini."

Sial!

"Dia telah makan siang romantis dangan Vanessa, salah satu artis pendampingnya dalam film Nightwalkers Apakah Jis akhirnya memperlihatkan kembali cintanya bersama si cantik Vanessa? Mereka bertunangan selama setahun sebelum akhirnya berpisah awal tahun kemarin. Kami mencium bau cinta di udara! Kami akan memastikan anda akan mendapatkan berita terbaru tentang Jis dan Vanessa saat kami mendapat lebih detail."

Terdapat serangkaian foto berputar muncul di layar, yang diambil hari ini. Aku mengenali kaos hitam dan celana jins yang dia pakai saat naik ke pesawat. Dia dan si cantik Vanessa memang keluar dari restoran, Jis melingkarkan lengan di bahu Vanessa dan tersenyum padanya, hidung Jis menekan di telinganya.

Kemudian ada foto Jis memeluk bahu Vanesssa untuk berciuman.

Sudut kameranya sangat buruk sehingga aku tak bisa bibir mereka bertautan, tapi terlihat jelas apa yang mereka lakukan. Di foto selanjutnya, Vanessa masuk ke mobil dan Jis membuka pintu untuknya. Di foto terakhir, Jis masuk ke mobil yang sama di sisi pengemudi.

"Sialan, dia selingkuh dariku."

"Kita tidak tahu itu."

"Aku baru saja melihat dengan mata kepalaku sendiri!"

"Put, itu pekerjaan paparazzi. Mereka membesar-besarkan berita."

"Foto-foto itu tidak bohong. Aku tahu itu lebih dari siapapun. Kau lihat caranya menyentuh dan memandangnya. Dia menciumnya."

Kecemburuan merasuki diriku. Hatiku berdentam. Aku bernafas.keras, dan aku merasa wajahku memanas.

Kalau aku tidak meminum obat anti mual aku pasti muntah lagi.

"Puput," Anna bergumam dan memegang tanganku. "Aku yakin ini tidak seperti yang kau pikirkan."

Aku menggelengkan kepala dan menyerah pada air mata. "Ini sudah selesai."

"Tidak, Put. Tidak. Bicaralah padanya besok."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan." Aku menggelengkan kepala lagi, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kulihat.

"Aku tak bisa mempercayainya. Aku tak bisa menjalani kehidupan selebriti itu dengannya."

"Kau mulai konyol."

"Diam! Kau seharusnya memihakku! Kau teman baikku, bukan temannya. Dia menyelingkuhiku! Baru saja aku lihat buktinya, jadi tunjukkanlah kesetiaan teman, Ann."

"Aku minta maaf." Dia mulai menangis juga, aku merasa sangat.buruk.

"Kemarilah." Aku segera mendekat dan dia perlahan naik tempat tidur, memelukku saat dia juga ikut menangis.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Cobalah ambil waktu untuk menenangkan diri. Kau baru saja mengetahui kehamilanmu setelah muntah-muntah hebat. Kau tak bisa berpikir jernih.

Tenangkanlah dirimu." Dia menyibakkan rambutku dan aku sangat berterimakasih padanya.

"Ok."

Ponselku berbunyi ping, dan ada pesan dari Jis.

'Hampir selesai dengan meeting hari ini, baby. Aku akan meneleponmu malam ini. Aku Mencintaimu.'

"Pembohong." Aku melempar ponsel dan tidak membalasnya, tapi airmata membanjir. Lima menit kemudian ada pesan lagi.

'Aku belum mendengar kabarmu seharian. Aku merindukanmu. Apa Kau baik-baik saja?'

"Put, kau harus bicara dengannya."

"Tidak." Aku mematikan ponsel dan membuangnya ke tas tanganku.

Beberapa menit kemudian Dr. Andre kembali dengan memberi.resep untukku dan memberikan instruksi.

"Kau boleh pulang, Puput. Semoga Beruntung."

Aku membutuhkan keberuntungan itu.

Anna menyetir menuju ke apotik kemudian ke rumah kami. Aku dibekali dengan obat-obatan dan berbagai vitamin.

Saat kami tiba di rumah aku naik ke kamarku dan perlahan naik ke tempat tidur, melingkar seperti bola dan menangis yang tidak pernah kulakukan sejak kedua orang tuaku meninggal. Aku merasa duniaku seakan runtuh secara harafiah dan memang begitu secara esensialnya. Aku tak bisa bersama Jis. Dia akan membuat alasan tentang apa yang kulihat hari ini, tapi dia tak bisa merubah itu. Dia bergandengan dengan wanita itu, secara intim. Dia dulu bertunangan dengannya, dan dia berbohong saat dia bilang dia tak pernah berbicara dengan mantan tunangannya.

Aku memegang perutku. Oh, Tuhan, dan apa yang harus kulakukan dengan bayi ini? Menjadi orang tua tunggal? Kurasa aku bisa melakukannnya, aku tak melihat pilihan lain. Tapi memikirkannya membuat hatiku menangis.

Aku tertidur di tengah tempat tidur, menangis dan berduka atas hubungan terbaik yang pernah kualami, kehilangan satu-satunya orang yang ingin kuajak bersama menghabiskan waktu di sisa hidupku.

***

"Bangunlah, Put." Aku bangun karena kaget mendengar suara Jis.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Matanya cemas dan dia mencondongkan badannya ke arahku, wajahnya memucat.

"Aku tak bisa menghubungimu seharian dan aku sangat cemas jadi aku pulang. Kenapa kau tak bilang kalau kau sakit?"

"Siapa yang bilang kalau aku sakit?" aku duduk dan menarik diri dari genggamannya dan dia mengernyit, bingung.

"Anna bilang kau sakit hari ini dan dia membawamu ke gawat darurat. Baby, kau tidak terlihat sehat."

"Yeah, aku mungkin menular. Sebaiknya kau pulang." Aku memeluk diriku sendiri dan aku tak sanggup menatap wajah itu.

"Puput, apakah ada yang salah?"

"Aku hanya merasa tidak enak badan."

"Bohong, lihat aku. Mana cincinmu?" matanya menatap tangan kiriku.

"Di kotak perhiasanku."

"Kenapa tidak kau pakai?" Suaranya meninggi dan dia mulai terlihat putus asa, dan aku terdiam sedih dan marah dan terpengaruh oleh hormon dan aku tahu ini tidak akan berjalan baik.

"Jis, kurasa kau harus pulang."

"Tidak, katakan padaku apa yang salah."

Aku tak bisa menahan air mata bercucuran di wajahku. Jis meraihku tapi aku menarik diri ke belakang.

"Biarkan aku menyentuhmu."

"Tidak." Aku menggelengkan kepala.

"Aku hanya ingin kau pulang."

Jis menekan tangan ke rambutnya dengan frustasi.

"Put, biarkan aku menolongmu. Bicaralah padaku."

"Yang kau lakukan sudah cukup."

"Apa artinya itu?"

"Pulanglah saja!" Aku berteriak.

"Tidak!" Dia berteriak kembali.

Aku memegang kepalaku dan membenci diriku sendiri yang menangis di depannya.

"Pergilah," aku berbisik.

"Kau membuatku takut setengah mati. Apa yang salah?"

"Aku melihatmu." Aku mengangkat wajahku dan menatap tepat di matanya.

"Aku melihatmu dengan Vanessa di luar restoran di Rainbow aku melihatmu memeluknya dan hidungmu menempel di telinganya, kau menciumnya dan kau berada di mobil yang sama dengannya."

Dia mengernyit dan menelan ludah.

"Sekarang keluarlah."

"Puput, itu adalah rapat saat makan siang untuk film yang aku meminta dia untuk membintanginya. Ada tiga orang di sana. Apakah kau melihat mereka juga di foto?"

"Aku tak peduli."

"Aku tidak bohong padamu."

"Aku tahu apa yang aku lihat."

"Kau melihat persis apa yang paparazzi sialan itu inginkan! Aku sudah bilang padamu sejak awal, kau perlu berbicara padaku, Put."

Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. "Kau berbohong padaku saat kau bilang kau tidak bicara dengan mantan tunanganmu. Kau marah padaku tentang Bertand, memintaku menghormati perasaanmu saat bekerja bersama pria, tapi kau tidak memberitahuku bahwa kau akan rapat dengan wanita yang tidak hanya pernah kau tiduri, tapi juga hampir kau nikahi? Menurut foto itu kau tidak hanya berbicara dengannya. Apakah kau menidurinya di mobil itu?"

"Tuhan, tidak! Apakah itu yang kau pikirkan?"

"Pergilah. Aku tak bisa mempercayaimu dan aku tak ingin kau berada di sini."

"Kau berlebihan. Aku sudah bilang, itu rapat pekerjaan."

"Ok. Aku masih tidak menginginkanmu disini."

"Sial, Put." dia berdiri dan berjalan di ruangan, memandang ke segala arah, mengacak rambutnya.

"Kenapa kau tidak mau percaya padaku?"

"Kau berbohong padaku, dan itu adalah batas yang tak bisa kutoleransi."

"Aku tidak berbohong!" dia berteriak.

"Aku tidak pernah berbicara dengannya sampai minggu ini saat aku memintanya untuk bermain di film ini!"

Oh, kenapa dia tidak pergi saja? Air mataku datang lagi.

"Baby, jangan menangis. Aku berjanji, aku tidak berbohong padamu tentang ini." Dia melangkah kearahku tapi aku mengangkat tanganku, menghentikan dia.

"Kau perlu tahu apa yang kulihat. Kau tidak terlihat seperti rekan kerja, Jis. Kau memegang tangannya dan ekspresi wajahmu seperti saat kau tersenyum padaku."

Dia menelan ludah dan aku meneruskan. "Kau secara efektif sudah merobek hatiku dan menginjak-injaknya jadi debu hanya dengan dengan satu pandangan. Sekarang, aku sedih dan terluka dan terganggu secara hormonal dan aku tidak bisa berurusan denganmu malam ini. Aku butuh ruang, dan aku butuh itu sekarang karena aku tidak bisa melihatmu lagi."

"Puput, kita berdua melakukan sesuatu yang kita sesali. Sial, seluruh tubuhmu adalah peta kesalahan-kesalahanmu."

Aku mengerjapkan mata padanya. Apa dia benar-benar serius mengatakan itu padaku?

"Kurasa ini akan menjadi pengalaman yang akan kutambahkan dalam petaku. Sekarang keluar dari rumahku sebelum aku telepon polisi."

"Aku mencintaimu." Dia menatap tepat di mataku, mata birunya menyala ketakutan. "Ini belum berakhir. Aku akan memberimu waktu, tapi ini, Put, ini belum berakhir."

Dia meninggalkan kamarku dan membanting pintu di belakangnya. Beberapa detik kemudian aku mendngar pintu depan juga dibanting lalu aku mendengar mobilnya -Lexus?- melewati jalan.

Aku berbaring di tempat tidur, terlalu lelah untuk menangis atau, ironisnya, tidur.

"Aku tidak cerita tentang bayi ini," aku berkata pada Anna saat dia masuk ke kamarku.

"Aku tahu itu. Apakah dia menyangkalnya?"

"Dia bilang itu adalah rapat bisnis tentang film dimana dia minta padanya untuk bermain di film itu." Suaraku terdengar monoton.

"Bisa saja dia mengatakan yang sebenarnya."

Aku melotot padanya dan dia melanjutkan.

"Put, jika kau tidak mendapat kabar tentang bayi ini lima detik sebelum kita melihat acara itu, apakah kau akan bereaksi sama seperti ini?"

"Ya."

"Kurasa tidak." Anna naik ke atas tempat tidur kearahku, tapi tak menyentuhku.

"Sayang, kurasa hari ini adalah hari dimana emosimu sedang seperti roller-coaster."

"Itu kebenarannya." Aku menghembuskan nafas dan menutup wajah dengan lenganku.

"Kami saling melukai dengan buruk malam ini."

"Aku mendengarnya."

Aku melotot padanya lagi dan dia mengangkat bahu.

"Kamarku berjarak lima belas kaki dari sini dan kau berteriak."

"Bagaimana menurutmu?" aku bertanya karena aku sayang padanya dan dia menyayangiku dan dia akan mengatakan kebenaran.

"Kau ingin aku mengatakan yang sebenarnya, atau melakukan sikap setia kawan?

"Um, keduanya."

"Ok." Dia mengambil nafas dalam dan menunduk menatapku.

"Jis adalah hal terbaik yang pernah terjadi padamu. Aku tidak percaya dia selingkuh darimu hari ini. Aku rasa dia perlu mengingat supaya berhati-hati dalam berperilaku, terutama di depan publik, karenan paparazzi akan memutar balikkan semuanya menjadi berita yang menarik. Tapi dia sudah menjauhinya selama bertahun-tahun sekarang, dan aku bisa memahami kenapa dia sudah tidak terlalu berhati-hati."

Dia berhenti dan menatapku intens.

"Put, dia mencintaimu. Ada air mata di matanya saat dia keluar dengan emosi dari sini. Dia tahu dia berbuat kesalahan. Tidak hanya itu."

Dia menaikkan tangannya untuk menghentikanku berbicara. "Kau harus memikirkan bayinya juga. Aku tidak bilang kau harus tetap bersamanya untuk untuk kepentingan bayinya, tapi aku berkata bahwa dia perlu tahu, dan kau perlu mengingat bahwa kau sedang sangat terpengaruh secara hormonal."

Aku mencoba memproses semua yang dia katakan. Dia benar. Mungkin aku terlalu membesar-besarkan ini melebihi porsi yang seharusnya.

"Aku tidak ingin dia berpikir aku mencoba untuk menjebaknya tetap bersamaku karena bayi ini." Bisikku.

"Sayang, kenapa dia harus berpikir begitu? Kau tidak bermaksud melakukannya."

"Aku takut."

"Semua akan baik-baik saja." Dia melingkarkan lengannya padaku dan memelukku erat.

***

Keesokan harinya aku mulai merasa konyol. Semalam tidurku luar biasa, sebuah anti mual dan tangisan yang hebatlah yang membuatnya bisa begitu.

Sekarang, bagaimana aku akan memperbaikinya?

Aku mandi dengan lama dan mengernyit pada mata bengkakku saat bersiap untuk memulai hari. Aku terlihat mengerikan. Aku mengenakan jins dan sweeter dan mengeluarkan cincinku dari kotak perhiasan dan memakainya kembali di tanganku.

Kami perlu membicarakan banyak hal, tapi kami akan bisa melaluinya.

Anna berada di dapur saat aku menuruni tangga.

"Kau terlihat mengerikan."

"Terima kasih. Aku merasa sedikit lebih baik."

"Bagus. Akan pergi ke sana?"

"Yeah."

"Bagus."

"Ok, kurasa aku akan berangkat."

"Semuanya akan baik-baik saja."

"Terima kasih. Untuk semuanya Ann."

"Aku menyayangimu. Sekarang kejarlah priamu."

Kami saling menyeringai dan aku meninggalkan rumah, jalan kaki.

Aku akan berjalan kaki ke rumahnya, melakukan sedikit olah raga dan udara segar.

Dia tidak tinggal terlalu jauh dari rumahku.

Saat aku berjalan aku memikirkan semua cara yang dia lakukan selama dua bulan ini untuk menunjukkan bahwa dia mencintaiku. Kopi-kopi itu, pesan-pesan, bagaimana dia selalu begitu perhatian tentang apa yang kurasakan atau apa yang kupikirkan. Bahkan keposesifannya adalah bentuk dari cinta. Dan bunga-bunga itu! Semua ratusan bunga-bunga itu.

Belum termasuk ulang tahunku, dan mengajakku ke Golden Cove. Menjagaku di pesawat.

Caranya menjagaku di pemakaman. Tuhanku, dia sangat mencintaiku. Dan aku membuang itu semua padanya semalam. Aku harus minta maaf. Aku harus memperbaikinya.

Aku berjalan lebih cepat dan sampai di rumahnya kurang dari lima belas menit. Aku memutuskan untuk mengetuk pintu rumahnya daripada menggunakan kunciku karena aku belum yakin bagaimana dia akan menerimaku, tapi dia tidak menjawab. Aku memencet bel lagi dan lagi, tapi masih tak ada jawaban.

Aneh.

Aku membiarkan diriku menggunakan kunciku dan menelusuri rumah memanggil namanya. Dia tidak ada. Aku naik ke atas dan dia tidak ada disana juga. Tempat tidurnya terlihat seperti tidak digunakan sejak kami keluar kemarin pagi untuk pergi ke bandara.

Sial. Dimana dia?

Aku mengeluarkan ponsel-ku dan meneleponnya. Terdengar suara dering dan dering dan kemudian voice mail.

"Hei, ini aku. Aku berada di tempatmu, tapi kau tak ada disini. Tolong telepon balik. Aku khawatir." Aku merasa munafik saat aku menutup telepon setelah dia datang padaku semalam karena dia khawatir dan aku mengusirnya.

Aku mengiriminya pesan juga, untuk berjaga-jaga kalau dia tidak memeriksa pesan yang kutinggalkan, dan berjalan ke bawah.

Aku keluar beranda dan mencium bunga-bunga ku. Mereka tetap terlihat sangat segar, terima kasih pada cuaca awal musim gugur yang dingin. Aku duduk di love seat kami dan teringat saat Sabtu malam setelah pesta ulang tahun pernikahan orang tua Jis saat dia melamar ku.

Aku menunduk menatap cincinku dan menyeringai.

Dimana dia?

Aku mencoba meneleponnya lagi tapi masuk ke voice mail.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi dan dan aku membukanya. Ternyata Karina.

"Terima kasih Tuhan kau disini." Dia memelukku dan aku otomatis memeluknya balik penuh rasa kaget.

"Apa ada yang salah?"

"Aku sudah mencari-carimu. Aku tak tahu nomor teleponmu. Aku hanya ke rumahmu dan Anna bilang kau datang kemari."

"Apa ada yang salah?" aku mengulangi.

"Tentang Jis. Put, dia kecelakaan. Kita harus segera pergi ke rumah sakit."

Oh, Tuhan, tidak!