Chereads / Datang Padaku / Chapter 8 - Chapter 28

Chapter 8 - Chapter 28

Malam ini adalah pesta orang tua Jis, dan aku sangat antusias. Aku memoles sentuhan terakhir make up ku – aku mulai pandai dalam hal ini! – sementara Jis berpakaian di kamarku. Anna terus keluar masuk ruangan untuk meminjam barang-barang, mengomeliku, atau hanya mengobrol karena dia juga gugup.

Aku mencintainya.

Aku mendengar Jis tertawa dan aku keluar dari kamar tidur. Dia sedang menelepon dan aku melihat matanya menggelap dan berkilat dan aku mengangguk puas.

Misi selesai.

Aku mengenakan gaun hitam yang tergantung di satu bahuku. Terdapat rhinestones (permata buatan dari pasta atau kaca yang seringkali berkilau seperti berlian) sepanjang pinggang ke bawah hingga menyentuh ke sepatu Louboutins merahku. Rambutku tertata keatas, terima kasih atas pekerjaan tangan Anna, dan mutiaraku.

Aku merasa mempesona dan seksi.

"Ok, Dad, aku harus berangkat. Kita bertemu di klub. Bilang saja pada Mom kalau kau mengajak untuk makan malam. Ok, sampai ketemu."

Dia menutup telepon dan menuju padaku.

Dia begitu tampan mengenakan setelan hitam dan kemeja putih dengan dasi hitam. Rambut pirangnya tertata rapi, tapi aku yakin tidak lama lagi aku akan membuatnya berantakan.

Dia menyapukan pandangan ke gaun dan rambutku dan menjalankan jarinya di bawah mutiara menyentuh kulitku. "Kau adalah wanita paling cantik yang pernah kulihat."

Dia menciumku, dengan cara yang membuatku pingsan, dan aku membelai pipinya yang halus.

"Terima kasih. Kau mendandani dirimu dengan sangat baik, tampan. Apakah kau akan baik-baik saja dengan orang-orang yang ada disana?"

"Yeah, aku akan baik-baik saja. Aku adalah aktor, kan? Aku bisa berperan dengan baik untuk satu malam ini."

"Aku tak ingin kau merasa tak nyaman." Dia tidak membohongiku. Aku melihat kegugupan di matanya dan caranya memegang dasi dengan gelisah.

"Aku akan mengenal sebagian besar orang-orang disana. Orang tuaku tak akan mengundang orang asing, jadi seharusnya semua akan baik-baik saja." Dia mencium keningku dan salah satu sudut bibirnya naik keatas. "Apakah kau mencemaskanku?"

"Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku mencintaimu."

Matanya melembut. "Aku juga mencintaimu."

"Hei, Put, bisakah aku meminjam...Oh, Tuhan. Kita tidak punya waktu untuk ini." Anna menggelangkan kepala sebal dan menghentakkan kaki ke lemariku, keluar mengenakan sepasang antingku. "Bolehkah aku meminjam anting ini?"

"Ya," Aku tertawa. "Gaun itu bagus sekali."

"Aku tahu, betulkan?" dia menyeringai seperti kucing dan berputar pelan untuk menunjukkan gaun strapless merahnya. Dia terlihat menarik mengenakan warna merah.

"Apakah kau akan mengajak Jonathan malam ini?" tanyaku.

"Sama sekali tidak, tidak akan mengenalkannya pada keluarga." Anna menggelengkan kepalanya dengan keras dan aku membiarkannya. Dia masih tidak banyak membicarakan tentang Jo.

"Ok." Aku mengangkat bahu dan tersenyum. "Mau berangkat dengan kami?"

"Tidak, Ishak dan Stasi akan menjemputku. Kita bertemu disana."

"Sudah siap, baby?" Jis bertanya padaku.

"Ayo kita berangkat."

Pesta diadakan di klub country di Bellevue yang dimiliki oleh keluarga Jis. Ruang dansa sudah dihias indah, dengan bunga warna warni di tengah, cahaya berkelip dan lilin. Terdapat bangku kayu untuk duduk dua orang di dekat pitu masuk dilengkapi dengan spidol hitam untuk para tamu memberikan tanda tangan, menggantikan buku tamu. Chandra akan meletakkannya di taman bunga favorit Lusi di rumah.

"Jis, ini indah. Karina dan ayahmu melakukan pekerjaannya dengan baik. Ibumu akan kaget."

Jis tersenyum lebar, "Dia akan menyukainya. Ayo, aku akan mengenalkanmu kepada beberapa orang."

Dia menyambar dua gelas sampanye dari pelayan dan memberikannya padaku saat kami membicarakan tentang ruangan ini. Aku gembira melihat Rihana dan Steve sudah datang dan aku memeluk mereka berdua.

"Oh Tuhan, kalian berdua terlihat sangat luar biasa!" Rihana terlihat menarik dengan rambut pirang model pendek membingkai wajahnya, dan dia mengenakan gaun malam berwarna biru royal. Steve berpakaian rapi dengan setelan hitam dan dasi.

Aku sangat bangga pada mereka.

"Sayang, kau mempesona." Rihana memelukku erat, matanya bersinar penuh cinta dan kebahagiaan.

"Terima kasih kalian berdua sudah datang. Orang tuaku akan senang bertemu kalian." Jis menjabat tangan Steve dan mencium pipi Rihana.

"Terima kasih sudah mengundang kami. Kau terlihat sangat tampan, sayang."

"Senang berada disini," Steve merespon dan mengedipkan mata pada Jis.

Huh? Aku melihat kearah Jis, bertanya-tanya apa arti kedipan mata tadi, tapi wajah Jis tidak memberikan jawaban apapun.

Ruangan ini terisi orang-orang dengan cepat, dan Jis selalu berada di sisiku, tangannya di punggungku, memperkenalkanku pada keluarga dan temannya.

Akhirnya, kami sendirian, dia memberikan segelas sampanye yang segar dan berbisik di telingaku,

"Kau luar biasa indah malam ini. Dan kau mempesona semua orang di ruangan ini." Senyumnya posesif dan penuh cinta dan aku kata-katanya menghangatkanku.

"Kaulah yang mempesona. Apakah kau merasa senang?"

"Yeah, sebenarnya, aku tak sabar untuk melihat reaksi Ibuku." Dia melihat ke jam tangannya.

"Saatnya untuk menyiapkan orang-orang."

Dia berbicara pada pemimpin band yang kemudian mengumumkan.

"Hadirin sekalian, silahkan duduk. Tamu kehormatan akan segera tiba."

Jis dan aku duduk di meja utama dengan orangtuanya, Karina dan teman kencannya dan saudara laki-laki Jis, Denis.

"Jis, Puput, ini teman kencanku, Paul."

Jis menjabat tangannya sambil memberikan tatapan yang spekulatif, dan aku tersenyum pada diriku sendiri.

Adik yang overprotektif.

"Hai, cantik." Denis memberiku seringai khas keluarga Khalifa dan memelukku. "Senang melihatmu masih bertahan dengan kakakku yang menyebalkan ini. Bila kau sudah merasa bosan dengannya, telepon aku ya." Dia menunduk mengedipkan matanya padaku dan aku tak bisa menahan diri untuk tertawa.

"Berhentilah memuji pacarku. Carilah gadismu sendiri." Jis menarikku dari genggaman Denis lalu Denis menyeringai padanya.

Ya, para pria keluarga Khalifa ini memang pemikat. Jis meraih tanganku dan mencium jari-jariku seraya mengajakku duduk diantara dia dan Denis.

Tiba-tiba pintu ruang dansa terbuka, dan seluruh ruangan meledak dengan tepuk tangan.

Chandra menunduk tersenyum penuh cinta pada pengantin perempuannya, saat mulut Lusi ternganga dan memandang ke seluruh ruangan yang besar ini, menyadari bahwa dia mengenali semua orang disini.

Dia menoleh pada Chandra dengan senyum kaget dan Chandra menunduk ke arah Lusi dan menciumnya dengan lembut. Aku tak bisa mendengar apa yang Chandra katakan, tapi aku cukup yakin dia berkata,

"Selamat ulang tahun pernikahan, cintaku."

Aku tak bisa berhenti tersenyum.

Lusi mengenakan gaun malam hitam yang cantik dan Chandra mengenakan setelah hitam dan dasi merah. Mereka terlihat muda dan bahagia dan penuh cinta.

Saat mereka melewati keramaian menuju meja kami, mereka berhenti untuk menjabat tangan dan memberikan pelukan pada para tamu. Aku menoleh pada Jis dan tersenyum padanya.

"Mereka terlihat sangat bahagia, aku ikut senang untuk mereka."

"Aku juga." Dia mencium keningku, dan aku memutuskan untuk menjadi orang yang lebih dewasa disini, untuk membuat sesuatu yang lebih baik dengan kakak perempuannya.

"Karina." Aku bersandar di dekat Jis ke arah kakaknya untuk mendapat perhatiannya.

"Ini adalah pesta yang hebat. Kau melakukan pekerjaanmu dengan fantastis."

Dia terlihat bingung untuk beberapa saat, lalau memasang senyum palsu di wajahnya, dan hatiku menciut. Malam ini tidak berjalan mulus. "Terima kasih Puput."

Aku melihat kearah Jis dan mengangkat bahu. Dia menggelangkan kepalanya penuh sesal dan kami kembali memperhatikan orang tuanya.

Lusi memelukku erat saat menuju kursinya. "Oh, Puput, ini luar biasa!"

"Aku sangat senang kau terkejut dan bahagia, Lusi. Selamat ulang tahun pernikahan."

"Terima kasih." Dia mencium pipiku dan memeluk Jis.

"Halo, sayang." Chandra menyapuku ke dalam pelukannya, semua tersenyum. "Apakah kau akan menyelesaikan proyek yang sedang kau kerjakan?"

"Ya, dan aku akan membawanya besok saat brunch (acara makan antara pagi-siang hari)". Kami mengadakan brunch besok untuk memberikan kado kepada orang tuanya Jis dan merayakan secara privat.

"Sempurna, terima kasih." Dia tersenyum murah hati padaku, dan berjalan mengitari meja.

"Orang tuaku menyukaimu," Jis bergumam di telingaku.

"Kami saling menyukai."

Kami duduk di kursi masing-masing dan Chandra berdiri, mengetukkan gelas airnya dengan sendok dan seluruh ruangan hening. Sesorang memberika microphone padanya.

"Saya ingin berterima kasih atas kedatangan kalian semua malam ini, dan menyampaikan terima kasih teristimewa untuk putri kesayanganku, Karina, yang telah menjadi patner kejahatanku beberapa bulan terakhir. Sulit rasanya sudah menyimpan rahasia ini dari pengantinku yang cantik."

Dia menunduk tersenyum pada Lusi dan Lusi merona dengan cantiknya. "Aku adalah pria yang sangat beruntung. Aku mendapatkan kehormatan telah menghabiskan setiap hari dengan orang terbaik yang pernah aku kenal selama tiga puluh lima tahun. Lusi, kau adalah teman terbaikku, cinta dalam hidupku, dan aku akan melakukannya terus setiap hari. Terima kasih sudah menerima tanpa mengeluh menghadapi kegilaanku, untuk tiga orang anak yang luar biasa, dan untuk mengajariku bagaimana caranya memasak steak."

Saat kami semua tertawa, Lusi menghapus air mata dari sudut matanya dan tersenyum pada suaminya.

"Selamat ulang tahun pernikahan, cintaku. Ini untuk tiga puluh lima tahun lagi." Lusi berdiri di tengah tepuk tangan dan Chandra menciumnya dengan keras.

Band mulai memainkan musik blues dan makan malam yang lezat dihidangkan.

"Jadi, Put, bagaimana Golden Cove?" Lusi tersenyum hangat melintasi meja kearahku.

"Hangat, romantis, dan sangat sempurna." Aku merespon dengan mengedipkan mataku. "Aku tak ingin pulang."

Jis mencium jemariku. "Kita akan kembali ke sana lagi."

Band mulai memainkan At last oleh Etta James, dan Chandra berdiri.

"Aku rasa ini adalah lagu kita, cantik."

Chandra memegang tangan Lusi dan kami semua memperhatikan saat dia menggerakkan Lusi menyeberangi lantai dansa dengan mudah. Mereka saling memandang seolah-olah hanya ada mereka berdua di ruangan ini.

"Orang tuamu sangat penuh dengan cinta," aku bergumam pada Jis.

"Yeah, jadi sedikit risih jika dilihat anak-anak." Dia menggelengkan kepalanya, tapi matanya penuh humor. "Bisakah kita bergabung dengan mereka?"

"Tentu."

Saat Jis menuntunku keluar ke lantai dansa, aku melihat pasangan lain, termasuk orang tua Anna berdiri untuk berdansa dalam musik yang manis. Jis menarikku kedalam lengannya dan kami meluncur di lantai.

"Aku suka berdansa denganmu." Aku menjalankan jariku menuruni pipinya dan mata hitamnya menyala.

"Kita harus melakukannya lebih sering kalau begitu."

"Ya, kita harus." Aku tersenyum padanya dan matanya tiba-tiba menjadi serius.

Apa ada yang salah? Apakah dia masih gugup karena keramaian?

"Put, Aku..."

Anna berayun dalam lengan salah satu sepupu Jis. "Aku benar-benar bersyukur aku datang sendirian," dia bergumam padaku saat dia melewatiku, tersenyum dan mengangkat bahu, kemudian memberikan kami lambaian, jelas terlihat dia menikmati malam ini.

"Apa yang sedang kau katakan tadi?" aku bertanya pada Jis.

Dia menarik nafas dan menarikku lebih erat, menggesekkan hidungnya ke telingaku, dan berbisik,

"Aku mencintaimu."

Malam berlalu dengan cepat, dan ajaib. Jis terus menyimpanku di sisinya sepanjang malam, melotot pada siapapun yang berani mengajakku berdansa, dan aku tak bisa menahan diri untuk tertawa pada priaku yang posesif.

Tidak ada yang meminta tanda tangan, dan Jis bersikap sopan kepada fotografer yang disewa Karina untuk acara ini, karena dia tahu foto itu akan menjadi properti keluarga.

"Kau disini rupanya!" aku menuju ke suara Stasi yang antusias dan memeluknya erat.

"Well, halo gadis cantik! Aku sudah bilang saat kita membelinya, gaun ini keren." Aku mundur ke belakang dan mengagumi gaun putih bermodel lengan rendah. Gaun itu sempurna di badannya dan dia bersinar bahagia.

"Terima kasih. Gaunmu juga indah."

Ishak menarikku ke pelukannya. "Hei, anak nakal. Terima kasih sudah menolong Stasi memilih gaun itu. Ini adalah penyiksaan. Aku harus bersabar dua minggu lagi untuk bisa menyentuhnya dan sepertinya aku akan mati."

Kami semua tertawa karena ekspresi penderitaannya dan aku menepuk pipinya. "Kasihan. Aku rasa dengan adanya Sofia itu semua setimpal"

"Yeah," wajahnya berubah menjadi senyuman manis. "Dia memang layak, hei, dansa denganku?"

Aku melihat kearah Jis dan dia mengangkat bahunya dan beralih ke Stasi. "Bolehkah, cantik?"

Wajah Stasi merah merona dan meyambut tangan Jis yang menuntunnya ke lantai dansa. Aku tahu apa yang dia rasakan, Jis memang mendebarkan.

Ishak juga tidak terlalu buruk. Dia tinggi dan berkulit kecoklatan, dengan rambut pirang yang gelap dan mata coklat yang maut. Aku pernah naksir padanya selama bertahun-tahun.

"Apakah kau bersenang-senang?" tanyaku padanya.

"Yeah, terutama Stasi, jadi aku tak bisa protes. Jis pria yang baik. Aku tidak begitu yakin dengannya saat pertama kali, tapi aku menyukainya."

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

"Ayah dan aku mengobrol dengannya waktu itu."

"Apa?" Kenapa aku tak tahu soal ini?

"Yeah, saat kau bekerja, dan dia mengundang para pria untuk makan siang di luar." Dia mengangkat bahu dan tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu. Aku mengenal Ishak. Pria ini seperti benteng. Jika ada suatu rahasia, dia tak akan membocorkannya.

"Oh. Dia tidak cerita tentang ini."

"Dia tidak cerita?" dia mengangkat bahu lagi, seperti itu bukan suatu masalah besar. "Well, maksudku adalah, aku menyukainya."

"Wow, aku mendapatkan stempel persetujuan dari kakak laki-laki?"

Aku melebarkan mata dan menganga dengan sarkastik.

"Selama dia tetap berlaku baik dan sopan, ya."

"Aku suka saat dia berlaku tidak sopan." Aku mengedipkan mata dan tertawa saat wajahnya memperlihatkan kengerian.

"TBI (Terlalu Banyak Informasi) Tuhan, aku tidak ingin tahu tentang itu. Apakah kau bahagia?" dia memandang tajam kepadaku, serius, dan aku merasa dicintai.

"Aku merasa bahagia. Dia lelaki yang baik Ishak. Dia mencintaiku. Ini bukan tentang pekerjaannya, atau tentang masa laluku, atau seberapa banyak uang yang kami punya. Ini tentang siapa diriku saat bersamanya." Aku mengangkat bahu, sedikit merasa malu. "Dia membuatku merasa istimewa."

"Ah, Put. Kau istimewa. Sayang, aku senang akhirnya kau mengetahuinya. Senang melihatmu jatuh cinta." Dia mengedipkan matanya padaku. "Sekarang, sebelum aku menjadi cengeng, bisakah kau menjaga bayi ku malam ini? Aku benar-benar butuh waktu berduaan dengan istriku."

***

Saat malam semakin larut, Jis mengajakku ke lantai dansa untuk dansa yang terakhir. Kakiku sudah terasa sakit, tapi aku tak bisa menolaknya. Aku suka berayun di lengannya.

Aku menyadari band memainkan lagunya Norah Jones 'Come Away With Me' dan membuatku memandangnya dengan tatapan yang bersinar. Dia menunduk tersenyum lembut padaku.

"Aku percaya bahwa ini adalah lagu kita. Kau terlihat sama cantiknya seperti malam itu, di kebun anggur, dengan mutiara ini. Kau membuatku kehabisan nafas, Puput Nadia."

Oh.

Aku merasakan air mata di mataku, saat memandangnya. Aku menyusupkan tanganku kedalam rambut pirangnya yang lembut. "Kau benar-benar tahu bagaimana membuat seorang gadis melentingkan kakinya (merasa benar-benar tersanjung), Jis Khalifa."

Matanya menelusuri wajahku sambil terus mengayunkanku di ruangan. Aku bersumpah, hanya kami yang berdansa di ruangan ini dan aku tak peduli siapa saja yang memperhatikan kami.

Dia membungkuk dan dengan lembut menekankan pipinya ke pipiku. "Terima kasih," bisiknya.

"Untuk apa?" bisikku kembali.

"Untuk menjadi milikku."

***

Saat kami sampai di rumah Jis dia membimbingku ke dalam dan menutup pintu depan. Dia menyentakkan tanganku dengan lembut, menarikku ke lengannya.

"Kau luar biasa malam ini. Kau mempesona banyak orang," dia bergumam di rambutku.

"Aku merasakan malam yang hebat. Keluargamu luar biasa." Aku menyusup ke dadanya dan menghirup wangi Jis yang seksi.

"Apa kau yakin kau tidak keberatan pagi ini kita mengundang seluruh keluarga untuk brunch?"

"Tentu saja. Aku akan membantumu memasak."

Dia terkekeh. "Terima kasih atas pelayananmu."

"Itu alasan yang bagus. Ayo kita tidur."

Aku menariknya tapi dia menghentikanku, matanya tiba-tiba menjadi serius.

"Belum."

"Apakah kau baik-baik saja?"

"Aku lebih dari baik. Ada sesuatu yang ingin keperlihatkan."

"Oh, ok."

Dia menggandengku masuk ke ruangan. Dia berhenti di sound system dan menyalakan iPod dan suara musik blues yang lembut mulai mengalun dari speaker. Dia mendahului kearah beranda, membuka pintu Perancis, dan menyalakan lampu dan nafasku terhenti.

Beranda telah berubah menjadi tempat yang lembut dan romantis. Buket-buket bunga mawar merah dengan mutiara kecil terselip di daunnya menutupi semua permukaan. Lampu putih berkelap-kelip, sepanjang langit-langit ruangan, dan di sebelah loveseat tertata sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat es dan sampanye dan dua buah gelas.

Aku berputar dan memandang kearahnya, mataku melebar. "Kapan kau mengerjakan ini semua?"

"Aku melakukannya sebelum kita berangkat ke rumahmu untuk bersiap-siap ke pesta."

"Jis, ini ajaib." Aku kembali memandang ke ruangan yang indah itu, menahan nafas. Dia sangat romantis.

Dia memelukku dari belakang dan membenamkan wajahnya di leherku.

"Apakah kau menyukainya?"

"Aku menyukainya. Terima kasih."

"Ayo, duduk." Dia mengajakku ke kursi dan kami duduk. Gaunku melayang di sekitar kakiku saat aku duduk, dan terasa lembut di kulitku. Aku tersenyum pada diriku sendiri, teringat kalau aku tak memakai pakaian dalam. Jis akan menyukainya bila dia tahu.

Dia menuangkan sampanye ke tiap-tiap gelas, mendentingkan gelasnya ke gelasku dan aku meyesap minumanku.

"Ini malam yang indah. Bahkan tidak terlalu dingin." Aku menyandarkan kepalaku ke bantal dan menutup mataku, mendengarkan suara air yang tidak bisa kami lihat di kegelapan.

Jis mengangkat kakiku ke pangkuannya dan aku menoleh untuk melihatnya.

Dia melepas sepatuku dan mulai menggosoknya.

"Oh, Tuhanku, Aku mencintaimu."

Dia tertawa. "Kakimu sakit?"

"Sedikit. Sepatu itu memang layak."

"Memang benar. Apakah aku sudah bilang kalau kau terlihat cantik malam ini?"

"Sekali atau dua kali." Aku mengedipkan mata padanya dan menghembuskan nafas saat dia menekankan jempolnya di lengkungan telapak kakiku. "Kau pandai menggunakan tanganmu."

"Aku senang kau setuju."

"Aku bisa terbiasa dengan semua ini, tahu. Semua bunga-bunga ini dan pijatan kaki dan sampanye dan kau, pacarku yang tampan."

Dia mengernyit dan hatiku terdiam sesaat. Apakah kata-kataku salah?

"Hei," aku menarik kakiku dari pangkuannya, dan kearah dirinya, berbaring di pangkuannya. Dia melingkarkan lengannya padaku, mendekapku di dadanya, dan aku menangkup wajahnya dengan tanganku.

"Ada apa ini?"

Matanya menatap mataku, warna hitamnya intens dan serius, dan aku tahu ada sesuatu yang penting dalam pemikirannya.

"Bicaralah padaku, baby." Aku melanjutkan membelai wajahnya, dan dia memiringkan kepalanya untuk mencium telapak tanganku.

"Kurasa aku tidak ingin menjadi pacarmu lagi."

What?

Aku terdiam dan menyipitkan mataku padanya.

"Ok, aku akan membereskan barang-barangku." Aku bergerak untuk bangun tapi dia mempererat pelukannya, mengetatkan rahang dan menutup erat matanya.

"Tidak, bukan itu yang kumaksud. Aku tidak putus denganmu."

"Apa yang kau lakukan?" Aku berbisik.

"Aku berusaha mengatakannya." Dia membuka matanya dan aku melihat ketakutan, keinginan, dan cinta.

Apa ini?

"Aku ingin melakukan ini sepanjang malam, tapi aku tak bisa menemukan saat yang tepat, dan aku bersyukur karena memang seharusnya di sini, saat kita sendirian." Dia menelan ludah dan mengambil nafas dalam. "Puput, sejak aku mengenalmu, duniaku berubah. Aku menemukan sesuatu denganmu sesuatu yang telah hilang tanpa kusadari, tapi sangat kuinginkan. Kau adalah wanita yang sangat cantik, dari dalam dan dari luar. Kau membuatku tak berdaya. Aku tak bisa melapaskanmu. Kau begitu seksi, dan menyenangkan dan cerdas. Mulutmu yang lancang membuatku gila." Dia tersenyum menunduk kearahku dan membelai bibir bawahku dengan ujung jarinya.

Aku tak bisa berkata-kata, dimana hal itu bagus, karena sepertinya Jis belum selesai berbicara.

"Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa dirimu. Kau adalah pusat kehidupanku, Put. aku ingin mencintaimu, melindungimu, bertengkar denganmu, mempunyai bayi denganmu memanjakanmu di sisa hidupku."

Dia mengambil nafas panjang dan mengeluarkan kotak Tiffany biru kecil dari saku celananya. Mataku terasa membesar, jantungku seperti sedang lomba lari dan nafasku terhenti.

Mataku mencari-cari ke dalam matanya saat dia memegang kotak kecil itu di tangan indahnya.

"Puput, jadilah istriku, menikahlah denganku. "