Oh. Tuhanku.
Pandanganku terkunci kepadanya dan semua nafasku serasa menghilang dari tubuhku.
Menikah dengannya! Menikah dengannya?
Ini terlalu cepat. Kami baru saling mengenal, apa, kurang dari dua bulan? Dua bulan yang luar biasa.
Matanya menatap cemas padaku, dari Hitam ke Hijau, dan aku tahu dalam hatiku jawabannya adalah iya. Setelah semua yang kami lalui selama dua bulan terakhir, semua yang kami bagi, aku tak bisa membayangkan hidup tanpanya juga.
Dan aku tak perlu.
Dia ingin menikahiku!
"Sayang, kau sedang membunuhku disini." Jis bergerak untuk membuka kotak biru kecil, tapi aku meletakkan tanganku diatas tangannya, menghentikannya. Dia menoleh kearahku terkejut, tapi aku tersenyum menenangkannya.
"Ada beberapa hal yang ingin kukatakan." Sekarang aku merasa pusing, jungkir balik, berdebar-debar, tapi dengan ajaib dari luar aku terlihat tenang.
"Silahkan." Dia bergumam dan masih terlihat sedikit takut dan ragu.
"Saat aku melihat masa depanku, Jis, aku melihat dirimu. Aku melihat dirimu, bukan uangmu atau pekerjaanmu, atau siapa temanmu. Aku mencintaimu untuk kebaikan, kedermawanan, penuh kasihnya dirimu. Aku menginginkan yang dimiliki orang tuaku apa yang orang tuamu bagi. Aku akan sangat merasa terhormat untuk menjadi istrimu, memberimu anak, dan hidup denganmu."
Saat aku berbicara air mata jatuh ke wajahku. Mata Jis melembut dan lengannya semakin erat memelukku.
"Apakah itu berarti ya?" dia berbisik dan aku terkekeh sedih.
"Ya.
"Terima kasih Tuhan." Dengan lembut dia menyapukan bibirnya ke bibirku dan tanganku menangkup pipinya.
"Kau membuatku khawatir selama beberapa menit," bisiknya di bibirku.
Oh, aku suka bisikan Jis.
"Kau membuatku sangat terkejut. Aku rasa aku lupa bernafas."
"Bisakah aku memperlihatkan ini sekarang?" Dia memegang kotak cincin ke atas dan menyeringai padaku.
"Tentu saja."
Dia mendudukkanku di sofa kecil dan berlutut di depanku. Oh my. Melihat pria seksiku, rambut hitam yang berantakan, mata hitam terang, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi longgar berlutut di hadapanku, memegang kotak cincin biru kecil adalah sebuah gambaran yang akan kuingat selamanya.
"Saat melihat ini, aku tahu bahwa ini untukmu. Aku memilikinya sejak hari dimana aku membeli mutiara untukmu."
Aku menahan nafas, mataku melebar. Dia ingin menikahiku sejak malam di kebun anggur!
"Lalu kupikir kau belum siap."
Dia tertawa kecil saat aku menggelengkan kepalaku.
Dia membuka kotak, dan di tengah-tengah kain beludru terdapat berlian yang sempurna. Berlian princess cut (berlian dengan potongan berbentuk persegi) dan besar, tapi bukan besar yang keterlaluan. Berlian itu didekap oleh platinum, dengan dua garis berlian kecil di tiap sisinya melingkar dan dipertemukan dengan berlian besar di tengahnya.
Air mata memercik lagi saat dia mengambilnya dari kotak, memakaikannya di tangan kiriku dan menciumnya.
"Terima kasih, ini sempurna."
"Seperti dirimu." Dia mencondongkan badannya dan menciumku, penuh hasrat, dan aku melingkarkan lenganku menariknya kearahku.
Dia mengumpulkan rok panjangku dan mengangkatnya hingga ke pahaku, menjalankan tangannya sepanjang pahaku dan naik ke balik rok untuk mencengkeram pinggulku.
"Tuhan, aku suka kebiasaan barumu tidak memakai pakaian dalam."Aku tersenyum di bibirnya. "Kita tulis di janji nikah. Tidak ada pakaian dalam untukmu."
Aku tertawa, dan menahan nafas saat dia menarik pinggulku ke depan dan mendorongku mundur ke bantal empuk di loveseat.
Dia menarik dirinya dengan nafas yang gemetar saat menunduk menatapku, terekspos dari pinggang ke bawah, rok hitamku terangkat hingga mengenai mutiaraku.
"Apakah kau tahu betapa terlihat cantiknya kau sekarang?"
"Kau membuatku merasa cantik."
Dia duduk di atas tumitnya dan mendorong satu jarinya ke dalam diriku, matanya menatap pusat tubuhku, mengamati tangannya.
"Kau adalah wanita tercantik yang pernah kutemui dalam hidupku, sayang."
Aku mengerang saat dia terus menyiksaku dengan jari itu. Nafasku tersentak dan aku mulai terengah-engah. Ya Tuhan, apa yang dia lakukan padaku hanya dengan satu jari.
"Jis, aku menginginkanmu."
"Oh, percayalah, kau akan mendapatkanku." Dia menarik keluar jarinya yang basah dan menghisapnya.
"Rasamu enak."
Dia membungkuk dan melebarkan pahaku dengan telapak tangannya, membuka labiaku. Aku mencengkeram bantal, bersiap pada invasi dahsyat dari mulutnya, dan melawan pinggulku saat mulutnya menyelimutiku, lidahnya menyusup diantara kedua bibirku.
"Oh Tuhanku!" tanganku tenggelam di rambutnya, pinggulku melingkar. Dia mencengkeram pantatku, mengangkat tulang pinggulku lebih tinggi dan dia terus membuatku gila dengan mulutnya yang terlatih.
Dia menggesekkan ujung hidungnya di klitorisku dan aku menyerah dalam orgasmeku, berteriak dan gemetar, memenggil namanya.
Dia menggigit paha dalamku saat tubuhku mulai mereda.
"Sial, kau hebat melakukannya," Aku terengah-engah dan menjalankan jariku ke dalam rambut pirang kusutnya.
"Mmmm, aku senang kau setuju, sayang. Berdirilah untukku." Dia bangkit dan melepas jas, dasi dan kemejanya, membuangnya di lantai beranda.
"Setelah yang kau lakukan padaku, kakiku lemas seperti jelly. Kurasa aku tak sanggup berdiri."
Dia meraih tanganku dan menarikku berdiri dan melingkarkan lenganku ke bahu telanjangnya.
"Berpeganglah padaku."
"Dengan senang hati," aku bergumam di lehernya saat tangannya meluncur di punggungku, membuka resleting gunku. Aku merendahkah lengan kananku agar dia bisa melepas gaunku membiarkannya jatuh menggelembung di kakiku.
"Ya Tuhan, tanpa bra juga? Untung aku tidak mengetahuinya lebih awal, aku pasti akan mengunci kita berdua di kamar mandi dan membuatmu telanjang semalaman." Tangannya membelai punggungku sampai ke pantatku.
"Kau tidak telanjang."
"Oh, apakah kau ingin aku telanjang juga?"
Dia bertanya tanpa dosa dan aku menggigit tulang selangkanya.
"Buka. Baju."
"Menuntut hal kecil, ya?"
"Kenapa kau tidak telanjang?" tangannya menjelajah dari pantatku, naik ke punggungku dan mulai melepas jepit rambutku, membiarkan rambutku terurai.
"Aku menyukai rambutmu," dia bergumam dan menatap rambutku jatuh dalam satu untaian.
"Aku juga menyukai rambutmu." Aku mendorong jemariku ke dalam rambutnya dan dia tersenyum.
"Aku tahu."
Saat rambutku sudah terurai, dia meraih tanganku den menciumnya, di tiap buku-bukunya satu persatu, matanya menatapku. Dia mundur dan udara dingin malam berhembus, membuat tubuhku menggigil, dan putingku mengkerut.
"Aku menyukai tubuhmu. Aku suka tubuhmu berisi, namun kuat dan fit." Matanya menatap rakus pada lekuk tubuhku ke atas ke bawah.
"Aku bersyukur." Aku tersenyum malu. "Kau tetap tidak telanjang."
Alisnya meninggi. "Tidak sabar?"
"Aku ingin tunanganku bercinta denganku," bisikku dan matanya membesar.
"Katakan lagi." Bisiknya.
"Bercintalah denganku." Bisikku lagi.
"Bukan yang itu, bagian yang lain."
Senyum kecil mengembang di bibirku.
"Tunanganku."
"Tuhan, kau berkata ya." Dia menelan ludah, matanya berputar, lalu dia tersenyum, senyum yang lebar penuh keriangan dan melelehkan hati, dan aku jatuh cinta padanya sekali lagi.
Aku mengangguk dan menunduk memandang cincin cantikku. Aku tak sabar untuk memakaikan cincin di tangannya juga.
"Apakah kau akan kira aku akan berkata tidak?"
"Tidak, aku hanya..." dia menelusupkan tangan ke rambutnya. "Aku hanya sangat gugup."
Aku menutup jarak diantara kami dan mencium bibrnya dengan lembut. "Kau tak perlu merasa gugup denganku. Kau memiliki hatiku sejak lama. Jadi sekarang, tunanganku yang tampan, bawalah aku ke ranjang dan bercintalah denganku."
Dia mengangkatku dengan lengannya dan membawaku ke kamar tidurnya, menciumiku dengan lembut sepanjang perjalanan kesana.
"Hei, cantik, bangun." Jis menggigit telingaku dan dengan enggan aku memutar tubuhku kehadapannya.
"Kau membuatku tetap terjaga sampai larut malam." Aku bergumam, tanpa membuka mataku. Aku mendengar dia terkekeh.
"Maaf. Tapi kita harus bangun dan mulai mempersiapkan brunch." Dia mencium pipi kemudian hidungku.
Mataku membuka dan berkedip-kedip dan aku meletakkan telapak tangan kiriku di pipinya, dan cincinku berkilau terkena sinar matahari pagi. Aku tersenyum cerah kepadanya dan dia menyeringai dan menciumku lembut.
"Ayo kita tetap di tempat tidur sepanjang hari dan bercinta."
"Terdengar bagus," dia berguling turun. "Semua orang akan tiba disini dalam dua jam, dan banyak yang harus dipersiapkan. Kopi untukmu di meja. Pergilah mandi dan kita bertemu di dapur."
"Aku mencintaimu."
Dia memperlihatkannya senyum angkuhnya padaku. "Aku juga mencintaimu. Bangun. Kita bertemu di bawah."
Dia meninggalkan ruangan dan aku duduk di tempat tidur selama beberapa menit dan menyeringai bodoh, memandangi cincinku. Akhirnya aku menggelengkan kepalaku dan mengambil kopiku, mengambil jalan pintas ke kamar mandi.
"Ok, apa yang bisa kubantu?" aku bertanya saat masuk ke dapur. Jis di depan kompor, serbet putih tersampir di pindak kirinya. Dia memakai kemeja berkancing rendah berwarna putih dengan bahan linen dan celana jins biru pudar dan kaki telanjang.
Yum.
"Kemarilah, potong buah-buahan." Dia mengeluarkan melon, strawberry, anggur dan peach dari kulkas dan aku mengambil papan talenan dan pisau tajam dan langsung memulai tugasku.
"Jadi, Ishak tadi malam cerita kalau kau mengajak para pria makan siang tempo hari."
Aku mengambil melon dan membelahnya jadi dua, mengeluarkan bijinya dan mulai memotongnya memanjang.
"Dia bilang begitu?" Jis sedikit mengernyit dan mengaduk adonan pancake.
"Yeah. Hanya itu yang dia katakan, selain bahwa dia menyukaimu, selama kau tetap bersikap sopan. Aku bilang aku lebih suka kalau kau tidak sopan." Aku menyeringai dan mulai menyiangi tangkai-tangkai strawberry.
"Aku ingin bertanya pada mereka apakah mereka mengijinkan aku untuk melamarmu."
Aku memutar tubuhku saat mendengar yang dia katakan, mulutku terbuka. Dia mengangkat bahu dan menuangkan adonan ke wajan ceper diatas kompor.
"Kenapa?"
"Karena mereka adalah keluargamu. Mereka mencintaimu dan melindungimu dan itu adalah tradisi." Dia menyesap kopinya dan memandangku dengan pandangan spekulatif.
Wow.
"Apa yang mereka katakan?"
"Aku sudah melamarmu, kan?"
"Bagaimana jika mereka berkata tidak?"
Dia tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Bagaimanapun aku sudah bertanya."
Dia membalik pancake dan aku mendekat padanya membawa sebutir strawberry, menyuapkan ke mulutnya.
"Ini." Dia menggigit sekali dan aku menaruh sisanya di mulutku. "Mmm, ini enak."
Aku menjilat jempolku dan dia meraih pergelangan tanganku lalu menjilat jari tengahku. "Aku suka melihatmu makan."
Gairah menyala, cepat dan panas, dalam diriku.
"Yeah?"
"Yeah."
Aku kembali ke tempat buah dan memetik anggur dari tangkainya. Dan saat aku membalikkan badan, Jis sudah mengangkat pancake dari wajan dan mematikan kompor.
Aku sungguh menyukai cara pikirnya.
Aku menggosokkan anggur ke bibirku, lalu memasukkannya ke mulutku dan mengunyah pelan.
"Mau?" aku menawarkan anggur dengan tanganku padanya. Perlahan dia menutup jarak diantara kami, dan mengambil anggur dari tanganku dengan bibirnya.
"Aku menyukai permainan ini," dia berbisik dan aku menyeringai. Dia mendudukkanku di meja sehingga kakiku menggantung, masuk diantara kedua kakiku, dan meletakkan strawberry lain di bibirku. Aku menggigitnya di gigiku, dan membungkuk supaya dia bisa menggigit dari bibirku dan menciumnya di saat yang sama.
Bibirnya berasa strawberry dan Jis dan aku mengerang di mulutnya.
"Tuhan, kau sangat seksi."
Aku menarik kaos hijauku melewati kepala dan menjatuhkannya ke lantai, lalu braku mengikuti. Mengambil strawberry yang lain, aku menatap matanya, menggigit bibir, dan memutar buah merah itu di sekitar putingku, membuatnya mengerut. Nafas Jis menjadi cepat dan jarinya semakin mengetat di pantatku memberitahuku kalu dia menyukai pemandangan di depannya.
Aku menjalankan strawberry di sepanjang kulitku, naik ke dada, ke dagu dan mendorongnya ke mulutku, menikmati manisnya sari buah strawberry.
Dia tidak bergerak, hanya mengamatiku, tangannya mencengkeram saku belakang jinsku, aku telanjang dari pinggang keatas, dan aku sedang menggoda tunanganku yang seksi.
Aku mendorong sepotong melon ke mulut Jis, dan membungkuk dan menciumnya, menghisap sari buahnya kedalam mulutku.
"Kau membuatku gila," dia berbisik di mulutku.
"Itu intinya," bisikku kembali.
Dia tiba-tiba mengangkatku, dan aku melingkarkan kakiku padanya saat dia berputar dan menyerbu meja makan. Dia membaringkanku ke meja aku mengangkat pinggulku saat dia menarik celana jinsku ke bawah bersama celana dalamku.
Dia melepas kemejanya melewati kepala, tidak mempedulikan kancingnya dan menurunkan jins birunya ke paha.
"Aku tak pernah puas denganmu." Dia menyelimutiku dengan tubuhnya, tangannya di rambutku dan wajahnya terkubur di leherku, mencium dan menghisap kulit sensitifku.
"Aku tak ingin kau merasa puas denganku." Aku melingkarkan kakiku di pinggulnya dan miliknya meluncur ke dalam diriku, menanamkan semua batangnya dan aku berpegangan padanya.
Tangan kirinya mencengkeram tangan kananku dan menariknya ke atas kepalaku dan mulai bergerak, masuk dan keluar dari dalam diriku, dengan mantap terus menerus.
"Itu membuatku bergairah melihatmu makan. Mulutmu yang manis adalah afrodisiak (zat perangsang) paling seksi yang pernah aku lihat." Bibirnya menemukan bibirku dan hilang dalam kata-katanya, dalam gerakan tubuhnya yang nikmat dan mantap diatasku.
Aku menjalankan tanganku di punggungnya menuju pantat kencangnya dan berpegangan erat saat dia mempercepat dorongannya.
"Oh, Tuhan," Aku mengerang.
"Lihat aku," dia menggeram dan mataku menatap matanya. "Aku ingin melihat kau klimaks."
Sial.
Dan hanya itu yang dibutuhkan untuk mengirimku melewati batas. Dia menghempas padaku dua kali, lalu terdiam dan menggigit bibirnya saat dia meledak di dalam diriku
"Tuhan, Put, kau akan membunuhku,"
Dia menciumku lembut, lalu menarikku, membantuku turun dari meja yang keras.
"Aku tak bisa menahannya kalau kau memiliki hasrat seksual dengan makanan." Aku menampar pantat telanjangnya dan mengumpulkan pakaianku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berpakaian.
Saat aku bergabung dengannya di dapur, dia sudah berpakaian lengkap dan punya lebih banyak pancake yang dimasak di wajan.
Aku mencium pipinya dan melanjutkan memotong buah-buahan.
"Aku harus pergi ke Rainbow minggu depan."
Jis membalik pancake-pancake itu dan menghadap padaku.
"Kenapa?" aku selesai memotong tangkai strawberry dan beralih ke peach.
"Aku ada rapat yang harus kuhadiri sendiri. Seharusnya aku hanya pergi satu malam."
"Oh, okay." Aku mengernyit. Ini akan menjadi malam pertama yang kami habiskan terpisah sejak malam ajaib di kebun anggur.
"Ikutlah denganku," sarannya.
"Aku tak bisa. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan dengan klien-klien yang tertunda sejak liburan kita. Jadwalku penuh minggu depan." Aku membuang biji ke tempat sampah dan mengambil peach yang lain.
"Hanya satu malam." Dia bergumam dan aku menyadari dia berdiri di belakangku. Aku tiba-tiba merasa lemah, dan aku tak tahu kenapa. Ini hanya satu malam! Aku yakin aku akan dapat melaui satu malam tanpa dirinya.
Aku berbalik dan tersenyum, tak ingin dia melihat ketidaknyamananku. "Semua akan baik-baik saja.
Hari apa kau pergi?"
"Hari Rabu pagi. Aku akan pulang Kamis siang."
"Rapat yang panjang." Aku menaikkan alisku.
"Aku akan melakukan beberapa rapat di sana, mumpung aku ada di sana. Kau yakin kau akan baik-baik saja?"
"Tentu saja. Aku mencintaimu, tapi aku rasa aku akan bertahan tanpa dirimu untuk satu malam. Jules dan aku akan melakukan malam para gadis."
"Ok." Dia mencium hidungku dan kembali ke pancake-nya dan meletakkan beberapa bacon ke dalam oven.
"Apa yang akan kita lakukan dengan bunga-bunga diluar?" aku bertanya, mengganti topik.
"Maksudmu?"
"Apakah kau tak ingin makan di beranda?"
"Tidak, kita akan makan disini. Kita bisa membawanya masuk kalau kau mau."
Aku berjalan ke pintu kaca dan melihat bunga-bunga cantikku, mencoba menyingkirkan mood melankolisku mengetahui Jis akan pergi sepanjang malam minggu depan.
"Bunga-bunga itu indah. Aku tak tahu dimana kita akan meletakkan semuanya."
"Tinggalkan saja dulu, kita akan mengurusnya nanti."
"Ok." Aku menata meja makan untuk enam orang, menuangkan jus jeruk dan kopi ke teko yang terbuat dari tanah liat. Dan menatanya di meja saat bel pintu berbunyi.
"Aku akan membukanya." Jis tersenyum dan aku sedikit santai, tidak sabar bertemu dengan orang tuanya dan memberikan mereka hadiah.
"Halo, sayang." Lusi mencium pipi Jis dan masuk ke ruangan besar.
Chandra dan Denis mengikuti dengan Karina di belakang. Mereka jelas telah banyak menghabiskan waktu di rumah Jis. Mereka nyaman berjalan-jalan di ruangan, dan aku tetap berdiri sebentar, menikmati pemandangan Jis dan keluarganya.
Keluargaku sekarang.
"Semuanya, aku ingin memperkenalkan kalian pada tunanganku yang cantik, Puput." Aku tertawa saat Jis mendekatiku dan mencium tanganku.
"Ya," aku tersipu, "Kami sudah pernah bertemu."
"Oh, Put, aku sangat senang kau akan menjadi anggota keluarga kami." Lusi memelukku erat dan aku berkedip menahan airmata yang akan keluar.
"Terima kasih."
"Dan aku kira kau sudah memilih saudara pria yang benar." Denis menggelengkan kepala seolah menyesal dan berpura-pura cemberut.
"Aku sudah melakukannya." Aku tertawa melihat wajahnya dan memberikan dia pelukan singkat.
"Jangan cemberut. Kita akan menemukan gadis yang baik untukmu."
Denis tertawa dan menuju ke dapur untuk mencuri sepotong bacon.
"Tidak perlu. Aku ganteng."
"Menjauh dari bacon itu!" seru Jis.
Chandra memelukku dan menangkup wajahku dengan tangannya, matanya yang baik menunjukkan kebahagiaan. "Apakah kau bahagia, gadis manis?"
"Iya, terima kasih."
"Bagus."
Kedua orang tua Jis sangat baik dan ramah.
Karina, bagaimanapun, memutar matanya dan menuangkan secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
"Jadi," matanya memancarkan kebencian dan dia melihat ke arah Jis, kemudian kembali padaku dan aku menguatkan diri untuk kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Siapa pria ganteng yang bersamamu waktu itu di kedai kopi?"