Chereads / Datang Padaku / Chapter 10 - Chapter 30

Chapter 10 - Chapter 30

Aku mengernyit, lalu memucat dan aku menoleh kepada Jis. Alisnya naik hampir menyentuh garis rambutnya. Ruangan hening.

"Aku bertemu klien untuk menyerahkan pekerjaan yang sudah dia beli."

Mataku tak meninggalkan Jis tapi wajahnya berubah, dan hilanglah priaku yang riang dan bahagia. Dia tahu persis siapa yang kubicarakan dan dia marah.

Sial.

Aku lupa untuk memberitahunya tentang pertemuan dengan Bertand karena itu adalah hari yang sama saat kami pergi ke makam.

"Siapa namanya?" Karina bertanya dan menyesap kopi.

"Bertand." Aku bergumam, melihat Jis menghela nafas dan memegang kepalanya.

"Aku lupa memberitahumu karena kita ke pemakaman waktu itu." Suaraku rendah dan kecil.

Karina mengernyit sesaat dan menelan ludah dan dia hampir terlihat merasa bersalah.

Jis menatapku, matanya dingin dan aku merasakan air mata tertahan.

"Jangan marah, aku hanya memberinya foto, dan dia bertanya apakah dia bisa membuat janji temu lagi, tapi aku bilang kalau kau tak akan menyukainya. Dia menawarkan untuk meneleponmu sendiri dan bilang padamu bahwa dia tidak tertarik padaku seperti itu. Tidak ada apa-apa."

"Kenapa kau tidak cerita saat kau sampai dirumah?"

"Aku benar-benar lupa. Itu bukan sesuatu yang penting."

"Itu tidak seperti tidak ada apa-apa saat kau tersenyum dan menggosokan tanganmu ke bahunya."

Karina mengangkat bahu dan tersenyum puas dan aku terkesiap.

"Karina," Suara Lusi tajam dan keras.

Mata Jis tidak meninggalkanku dan aku mengelengkan kepala.

Aku menatap Karina dengan kemarahan dan mengepalkan tangan.

Berani-beraninya dia?

"Ada apa denganmu?" Suaraku bergetar karena marah.

"Apa yang kulakukan?" Dia melebarkan matanya merasa tak bersalah.

"Aku bertemu dengan klien. Aku menepuk bahunya saat dia menunjukkan kegugupannya tentang berbicara dengan pacar protektifku tentang kemungkinan untuk mengajak orang lain menemani kami melakukan pemotretan. Kami mengobrol ditempat umum. Apakah ini yang akan selalu terjadi, Karina? Kau mempertanyakan motivasiku bersama adikmu enam puluh tahun kedepan? Apakah kau tahu berapa uang yang kumiliki tanpa Jis? Aku tidak butuh uangnya atau koneksinya. Saat orang tuaku meninggal aku menerima warisan dua puluh juta dolar."

Karina memucat dan aku mendengar Lusi terkejut, tapi aku meneruskannya.

"Adikmu terkenal. Lupakan hal itu. Cintaku padanya tak akan berkurang walaupun dia bekerja sebagai tukang burger jika memang itu yang dia sukai. Sepertinya hanya kau yang peduli dengan pekerjaannya. Aku akan menikah dengannya, Karina. Hubungan kami jangka panjang. Aku ingin memiliki hubungan baik denganmu. Kurasa jika kau memberiku sedikit kesempatan kau akan menyukaiku. Tapi aku tak akan terus menerus menerima perlakuan tidak terhormat darimu. Aku tidak layak mendapatkan hal itu."

"Aku tidak percaya padamu," Dia berbicara dengan gigi yang mengatup.

"Aku juga tidak mempercayaimu, jadi kurasa kita sama." Aku melihat kearah Jis untuk melihat apa yang dia pikirkan.

Tangannya berada di saku dan dia memandang kearahku dengan penuh pertimbangan.

"Kau ingin aku pergi?"

"Tidak, jangan pergi!" Lusi mendatangiku dan membelalak pada putrinya.

"Karina, kelakuanmu konyol."

Aku terus melihat kearah Jis dia belum menjawabku. Chandra dan Denis juga melotot ke Karina.

"Jadi?" Aku menaikan alis pada Jis.

"Tidak, ini adalah rumahmu," dia berkata dengan sungguh-sungguh dan matanya hangat. Oh terima kaaih tuhan.

"Karina," Jis berkata dengan sungguh-sungguh dan berjalan mengitari meja kearahnya. Karina masih melotot kepadaku tapi Jis meraih dagu kakaknya agar pandangannya beralih padanya. Lusi mengengam tanganku dan aku tersenyum tipis padanya. Tubuhku gemetar.

"Hentikan ini, aku akan menikah dengan Puput. Aku mencintainya, Karina. Dia tidak seperti wanita-wanita di masa laluku. Kau harus mengubah pemikiranmu, dan melanjutkan hidupmu. Aku telah melakukannya."

Dia menyusupkan tangan ke rambut dan melihat kearahku, dan kembali menaruh perhatian kepada kakaknya.

"Kalau kau tak mempercayainya, percayalah padaku. Beri dia kesempatan. Dia belum melakukan apapun padamu."

Karina mengelengkan kepala dan memejamkan mata, dia tiba-tiba terlihat lelah.

"Aku tak tahan melihatmu terluka lagi."

"Kau yang membuatku terluka, Karina."

Karina terkejut seolah dia telah dipukul.

"Apa?"

"Saat kau melukainya, kau melukaiku. Berhentilah. Ini adalah rumah kami, dan jika kau tak bisa menghormatinya, kau tidak perlu berada disini."

Astaga. Dia membelaku dari kakaknya dan aku ingin memeluknya dan menciumnya, tapi aku tetap berada disini, terpaku.

Aku memandang keseluruh ruangan, Lusi, Chandra dan Denis, dan memutuskan bahwa ini sudah berjalan terlalu jauh.

"Aku lapar." Suaraku tenang dan ringan.

"Ayo kita makan. Kurasa Denis akan menghabiskan semua bacon sendirian."

Lusi tersenyum padaku dan meremas tanganku saat kami menuju ke dapur untuk meletakan makanan dimeja, Denis dan Chandra membantu kami menata, dan aku melihat dari sudut mataku Jis sedang mengumamkan sesuatu pada Karina. Dia memeluknya dengan lembut dan bergabung denganku di dapur.

"Aku minta maaf." Aku memeluknya tubuh bagian tengahnya dan menghirup wangi tubuhnya.

"Tidak perlu. Kau tidak melakukan kesalahan. Aku minta maaf atas kelakuan Karina."

Aku mengelengkan kepala.

"Ayo kita makan."

"Okay."

Kami menikmati makanan kami yang lezat, dan suasana membaik. Aku lega percakapan-percakapan kami tidak dipaksakan atau tidak nyaman setelah perselisihanku dengan Karina. Dia terus memandangku dengan spekulatif dari sebrang meja, tapi dia tidak memelototiku lagi, jadi aku merasa kami sudah melewati satu rintangan.

"Put, biarkan aku melihat cincinmu." Lusi mencondongkan badan kearahku dan aku menujukan cincinku yang cantik, seringai konyol menghiasi wajahku.

Lusi tersenyum pada putranya.

"Aku membesarkanmu dengan baik."

Jis tertawa dan mengangguk.

"Kau sudah melakukannya. Seleranya bagus."

Jis mencium tanganku dan tersenyum padaku, matanya melembut dan penuh cinta.

Setelah makan kami membersihkan meja.

Lusi, Karina dan aku membersihkan kotoran dan bergabung dengan para pria di ruang tamu dengan kopi yang segar.

"Hadiah!" Aku melompat dan bertepuk tangan, gembira karena memberikan hadiah kepada orang tua Jis. Semua orang tertawa dan aku menyeringai.

"Aku senang memberikan hadiah."

"Kau tidak perlu memberi kami apapun."

"Kau hanya merayakan ulang tahun perkawinan ke tiga puluh lima sekali seumur hidup." Aku memutuskan untuk mencoba berbagi kesenangan ini dan menoleh kearah Karina.

"Maukah kau membantuku membawa masuk kado ini dari ruangan sebelah?"

Matanya melebar karena terkejut, lalu dia mengangkat bahunya santai.

"Okay."

Aku tersenyum dan mendahuluinya masuk ke kantor Jis dimana sebuah kotak besar diletakan dimeja.

"Wah, itu kotak yang besar."

Aku tertawa.

"Aku tahu, aku menghabiskan banyak waktu untuk membungkus benda ini. Kemarilah, kau angkat dari sisi itu dan aku akan dari sisi ini."

Kami mengangkatnya bersama, tidak berat sebenarnya, hanya agak canggung, dan membawanya keluar ke ruang tamu.

"Apa yang kau lakukan, membelikan mereka perabot?" Denis bertanya. Aku menjulurkan lidah padanya lalu aku dan Karina meletakan kotak itu di lantai di depan Chandra dan Lusi.

"Bukalah." Aku duduk di sebelah Jis di sofa dan dia meletakan tangan nya di bahuku.

"Oh my." Tangan Lusi menutupi mulutnya saat dia melihat isinya. Dia mulai mengeluarkan foto-foto berpigura hitam dari kotak, satu-persatu, dan Chandra menerima foto-foto itu darinya, menatanya di lantai. Di dasar kotak tersapat dua foto yang lebih besar saat pernikahan mereka dan pesta ulang tahunku.

"Ini indah." Mereka memegang foto yang diambil saat ulang tahunku di depan mereka dan mengamatinya.

"Puput, kau sangat berbakat."

Aku tersipu, tersanjung karena mereka menyukai kado mereka.

"Terima kasih."

Jis mencium tanganku.

"Ada lagi."

"Apa?" Chandra mengernyit merasa tidak diikut sertakan dalam kado yang ini dan aku terkekeh.

"Kami mengirim kalian untuk bulan madu kedua ke Perancis Selatan. Semua sudah dilunasi, dan kalian bisa berangkat kapanpun kalian suka."

Mulut mereka terbuka dan Lusi kembali memandang foto-foto mereka dan mulai menangis.

"Jeez, Mom, apa ada yang salah?" Denis dengan canggung menepuk punggung, jelas tidak nyaman dengan air mata wanita.

"Kurasa, aku sedikit meluap-luap. Pertama pesta tadi malam, lalu putraku memberiku menantu yang cantik, dan sekarang kami akan pergi ke Perancis. Banyak hal indah yang harus diterima dalam waktu yang singkat."

Chandra mencium kening Lusi dan memberinya sapu tangan. Aku tidak tahu kalau para pria masih membawa benda itu.

Aku mengisi kembali kopi semua orang, dan kami duduk dan mengobrol tentang pernikahan sejam selanjutnya.

"Apakah kalian sudah menentukan tanggal?" Tanya Lusi.

"Belum." Aku terkekeh dan melihat kearah Jis.

"Dia melamarku dua belas jam yang lalu."

"Pernikahan di musim dingin merupakan hal yang indah."

"Aku akan membutuhkan bantuan, dan juga," Aku mengernyit dan menatap tajam pada Jis dan dia membelai punggungku.

"Apa ada yang salah?"

"Aku tidak ingin paparazzi mengetahuinya."

"Apakah kau ingin pesta pernikahan yang besar?" Chandra bertanya.

"Tidak, hanya keluarga dan teman dekat." Aku mengangkat bahu.

"Aku tak pernah benar-benar memikirkan hal itu."

"Semua gadis memikirkan tentang pesta pernikahan mereka. Itu membuat kami para pria ketakutan setengah mati." Denis meneringai.

Aku mengelengkan kepala.

"Aku tak pernah merencanakan pernikahan. Itu bahkan tidak ada dalam radar ku."

"Aku punya ide." Karina berkata dengan lembut.

"Bagaimana kalau sebuah pernikahan di suatu tempat tempat tujuan tertentu? Kau bisa mengajak semua orang ke suatu tempat dan membuat pesta pernikahan kecil di suatu tempat yang indah, seperti Tahiti atau semacamnya."

Ide itu sangat masuk akal di otakku dan aku tersenyum. Memandang Jis dan dia tersenyum kepadaku.

"Bagaimana menurutmu?" Tanyaku padanya.

"Aku kan laki-laki. Kau tinggal mengatakan padaku kapan dan dimana aku harus muncul dan apa yang harus kupakai dan aku akan ada disana."

Aku menyeringai pada Karina. "Aku suka ide itu. Kita akan membicarakannya lebih jauh nanti."

Karina tersenyum kepadaku – tersenyum padaku! - dan aku membayangkan Luke dan aku akan menikah di pantai berpasir dengan kristal air biru di sekeliling kami.

"Jadi apa rencanamu besok malam dengan Anna?"

Jis dan aku meringkuk di sofa. Ini Selasa malam, dan dia akan melakukan perjalanan besok, dimana aku dengan susah payah mencoba untuk tidak memikirkannya. Aku tak ingin dia pergi.

"Kurasa kami akan di studio."

Jis menaikkan alisnya dan menunduk memandangku.

"Kenapa?"

"Dia ingin aku memotretnya." Aku mengangkat bahu.

"Aku tak yakin kenapa, dia sudah punya banyak koleksi."

"Apa maksudmu?"

"Kau pasti tidak membaca Playboy."

"Tidak sejak aku remaja labil. Kenapa?"

dia terlihat bingung saat aku berbalik di atas sofa untuk menghadap padanya, kenyataan mulai dibuka dan matanya melebar.

"Kau bercanda."

"Tidak. Dia berpose untuk mereka saat kuliah." Aku tertawa mengingat saat itu.

"Dia adalah orang yang paling banyak kupotret untuk latihan sehingga bisa sebagus sekarang ini. Dia bekerja untuk Playboy beberapa tahun, lalu tiba-tiba berhenti. Dia bilang itu sudah lebih dari cukup, dan sudah waktunya untuk berubah."

"Wow."

"Jangan membuka internet dan mencoba mencari foto telanjang Anna." Aku menyipitkan mata padanya dan menyilangkan tangan ke depan dadaku.

Jis tertawa. "Tidak terima kasih. Anna memang cantik, tapi aku sudah tumbuh dengan perasaan sebagai kakak laki-laki padanya. Aku tidak ingin melihatnya telanjang."

"Aku lega mendengarnya."

"Tidak, ada satu orang wanita yang ingin kulihat telanjang."

"Oh?" aku bertanya tanpa merasa bersalah.

"Siapakah perempuan beruntung itu?"

"Hanyalah perempuan berambut coklat yang kukenal. Tubuhnya berisi dan punya tato paling seksi yang pernah aku lihat dalam hidupku." Dia meraihku ke pangkuannya, sehingga lututku mengangkangi pinggulnya. Aku mengenakan salah satu kaosnya dengan celana dalamku karena kami telah menonton TV sebalum tidur.

"Apakah aku mengenalnya?" tanyaku.

"Aku tidak tahu. Dia selalu mencuri kemejaku, dan dia memakai cincin yang menarik di tangan kirinya." Dia menarik kaos keatas kepalaku dan menggesekkan hidungnya ke putingku.

"Kurasa aku tahu siapa yang kau bicarakan," aku berbisik dan menutup mataku saat dia mengirimkan hawa dingin turun di punggungku lewat hidung itu.

"Kau tahu?"

"Hmm...dia jatuh cinta setengah mati padamu." Aku menggesekkan pusat tubuhku di atas ereksinya,

merasakan kenikmatan celana jinsnya padaku.

"Sial, baby, aku bisa merasakan betapa panas dan basahnya dirimu dari dalam celana jinsku."

Tangannya berada di pinggangku dan dia menekan kearahku.

"Aku menginginkanmu." Aku mencium bibirnya.

"Sekarang."

Dia menurunkanku ke lututnya, membuka jinsnya dan menurunkannya hingga ke pinggul. Tangannya yang besar meraih pantatku dan mengangkatnya keatas, lalu menurunkan kepada dirinya.

"Oh, Tuhan! Jis, kau terasa sangat nikmat." Aku mulai memutar pinggul, menaikinya, menatap ke bawah ke dalam mata hitamnya.

Mulutnya terbuka, nafasnya menderu keras dan cepat. Dia menghisap keras putingku dan aku berteriak. Putingku menjadi ekstra sensitf akhir-akhir ini.

"Lembut," aku terengah dan dia melepaskan putting dari bibirnya dan membelaikan lidah keatasnya.

"Oke?" tanyanya.

"Oh ya, lebih dari oke."

Dia berdiri dengan satu gerakan mulus, dengan aku tetap dalam pelukannya dan tanpa melepaskan kontak kami yang berharga. Dia membaringkanku di atas lengan sofa dan menindihku. Dia menaikkan kaki kiriku, menekannya di atas dadaku dan ke atas bahunya, merentangkanku dan mulai menghantam ke dalam diriku.

"Jis," Aku berteriak saat sensasi bergulung di dalam diriku. Pinggulku bergerak ke arahnya, dia menunduk menatapku dengan penuh rasa kepemilikan, sebuah kebutuhan liar mendatangiku dengan ganas.

"Ya," Dia melepaskan kakiku dan keluar dariku secara tiba-tiba, membalikkkan badanku. Dia menarik pantatku keatas dan kembali menenggelamkan miliknya ke dalam diriku, menampar pantatku saat melakukannya.

"Sial!" aku memekik dan menggenggam sofa dengan kepalan tanganku.

Dia meraih rambutku dengan tangannya yang kuat dan menariknya, cukup untuk menyentak, dan mencengkeram pinggulku dengan tangan yang lain, menarikku keras dan cepat pada kejantanannya yang keras.

Aku menyukainya saat dia menyetubuhiku.

Nafasnya menjadi keras dan cepat.

"Keluarkan lagi."

"Aku tak bisa." Jika aku keluar lagi sekarang aku akan lepas kendali.

"Keluarkan. Lagi." Dia menarik rambutku lebih keras dan menampar pantatku lagi dan aku tak bisa menghentikannya. Ototku menegang dan gemetar dalam orgasme paling intens yang pernah aku rasakan. Aku berteriak tak terkendali, memukulkan tinjuku ke sofa saat tubuhku menekan ke arah Jis dan dia meraungkan namaku saat dia meluap.

"Sial." Dia menarik keluar miliknya dan menarikku ke arahnya, menciumi wajahku, pipiku, hidung, menangkup wajahku dengan tangannya.

"Apakah kau baik-baik saja?"

"Tentu saja," aku mengernyit tidak mengerti.

"Kenapa kau kira aku tidak baik- baik saja?"

"Aku tak pernah sekasar itu padamu. Tuhan, Put, kau menghancurkanku. Kau membuatku lupa diri."

Dia membelai punggungku, menenangkanku.

"Sayang, aku suka seks kasar denganmu. Kau tahu itu. Aku percaya padamu sepenuhnya. Aku baik-baik saja." Aku tersenyum padanya.

"Kau bisa menampar pantatku kapan saja. Itu menggairahkan."

Jis tertawa, masih menata nafasnya, dia meremasku dalam pelukannya.

"Ya Tuhan, aku mencintaimu."