Chereads / Datang Padaku / Chapter 7 - Chapter 27

Chapter 7 - Chapter 27

"Hai, Put! Terima kasih kau sudah memilih menemuiku disini, daripada menyuruhku mengambil ini ke tempatmu."

Aku tersenyum pada Bertand memberinya pelukan berputar. Kami bertemu di Starbucks jadi aku bisa memberikan foto yang sudah selesai padanya untuk dimasukkan ke portofolionya sebelum dia mengikuti beberapa audisi siang ini.

Kami duduk di meja ditemani dengan minuman kami saat dia melihat-lihat fotonya.

"Wow, kau memang hebat."

"Aku punya obyek yang bagus," aku mengedipkan mata padanya dan menyesap kopiku. Hari ini terasa semakin dingin dan hujan semakin sering saat mendekati musim gugur, dan aku bersyukur memesan moka hangat.

Bertand tersenyum malu dan melanjutkan melihat fotonya.

"Kau membuatku terlihat bagus. Kapan aku bisa menjadwalkan pemotretan lagi?"

"Well, Bertand, itu bisa menjadi masalah."

Aku menyeringai dan memikirkan Jis. Sial, Jis bahkan tak akan menyukainya jika dia tahu aku minum kopi bersama Bertand.

"Oh?" dia menaikkan alisnya.

"Kekasihku tidak suka aku memotret pria lajang sendirian. Itu permasalahan keamanan utama untuknya." Aku mengangkat bahu dan tersenyum meminta maaf.

"Aku tak akan pernah melukaimu, Put." Bertand mengernyit dan aku merasa buruk.

"Aku tahu itu. Mungkin aku bisa mengatur agar Anna bisa disana juga, jadi kita tidak sendirian saja. Jis mungkin akan menyetujuinya."

"Begitu juga tak apa-apa. Hasil kerjamu bagus. Aku minta maaf jika sebelumnya aku terlalu lancang. Kau cantik, aku akan bodoh jika tidak mencoba, tapi aku mengerti kalau kau sudah ada yang punya. Tak apa. Aku akan bicara padanya jika kau mau." Bertand terlihat begitu tulus dan aku menepuk bahunya.

"Terima kasih, kita akan menemukan jalan keluarnya."

"Puput?"

Aku mendongak melihat mata biru yang familiar dan hatiku tenggelam ke perutku.

"Halo, Karina."

"Sudah kuduga ini kamu." Matanya tajam saat melihat Bertand secara keseluruhan, kemudian kembali padaku dan aku ingin menciut.

Sial! Dari semua orang yang melihatku disini bersama Bertand!

"Kau akan datang kan ke pesta Ayah dan Ibu?" Dia bertanya, memberikan senyum palsu di wajahnya yang cantik.

"Ya, Jis dan aku akan datang."

"Kita akan bertemu nanti." Dia berjalan keluar kedai kopi dan aku menggeram, memegangi kepalaku.

"Siapa dia?"

"Kakak perempuan Jis."

"Kelihatannya dia tidak menyukaimu."

Aku melihat padanya dan tertawa kecil. "Tidak, dia tidak menyukaiku."

"Kenapa?"

"Ceritanya panjang. Aku senang kau menyukai fotomu. Aku akan memberitahumu jika aku sudah sempat berbicara pada Anna dan Jis tentang merencanakan janji pemotretan yang lain."

"Ok, baguslah. Hei, aku serius, aku akan bicara pada Jis jika itu membantu dan memberitahunya kalu aku tidak ada apa-apa denganmu."

"Aku akan mengingat hal itu. Terima kasih kopinya."

"Dengan senang hati."

Sial.

Bagaimana aku akan menjelaskan pada Jis tentang pertemuan dengan Bertand hari ini? Aku tahu Karina akan mengatakan sesuatu padanya dan aku berdoa Karina tidak meneleponnya terlebih dahulu sebelum aku tiba di rumah untuk menjelaskan sendiri padanya.

Jis sangat posesif bila menyangkut tentang Bertand, dan aku tahu aku seharusnya bilang padanya sebelumnya, tapi rasanya konyol meminta ijin untuk bertemu klien di tempat umum.

Aku rasa aku akan berada dalam masalah.

Mungkin aku bisa mengalihkan perhatiannya dengan sex.

"Sayang, aku pulang!" Aku masuk ke dalam rumah, menggunakan kunci yang dia berikan padaku saat kami pulang dari Golden Cove.

"Di dalam kantor," jawabnya.

Aku menaruh tas tanganku di sofa dan membawa dua buah tas belanjaan besar, berat, ke ruang kantornya.

Dia menyambutku dengan senyum yang hangat dan mengangkat alisnya terkejut saat dia melihat tas-tas itu.

"Apa yang ada di dalam?"

"Aku melakukan beberapa hal untuk anniversary orang tuamu." Aku tersenyum padanya, cemas.

"Oh ya?" dia menyeringai, menyenangkanku. "Apa itu?"

"Well, aku minta tolong pada Ayahmu minggu ini." Aku mulai mengeluarkan pigura-pigura itu.

Semua ada delapan. "Aku meminta padanya foto Ayah dan Ibumu yang hanya berdua setiap lima tahun selama menikah, dimulai dengan foto pernikahan mereka."

Setelah mengeluarkan pigura terakhir, aku menatanya di meja Jis. Matanya memperhatikan kesemuanya dan berakhir pada yang terakhir.

"Aku membuat foto saat pernikahan mereka dan foto ini yang kuambil saat pesta ulang tahunku, dengan ukuran yang paling besar, dan yang lain bisa ditata di sekitarnya."

Dia mengambil foto yang kuambil saat ulang tahunku dan dia memandanginya lama.

Mereka berdua berpose untukku, dengan gerak tubuh dan senyum yang kaku, lalu Jis membuat lelucon tentang sesuatu, membuat kami semua terkikih. Di foto ini, Lusi tertawa pada kamera dan Chandra tersenyum menunduk padanya, wajahnya mendekat ke wajah Lusi, dan cinta yang tergerak di antara mereka terasa sangat menyentuh.

Ini adalah foto favoritku hari ini.

"Kau sangat berbakat, baby. Merka akan menyukai ini. Ibuku akan menggantungnya di ruang keluarga." Dia menaruh pigura di meja dan menarikku kearahnya, menciumku dengan caranya yang lembut yang membuat lututku lemas.

"Kuharap mereka menyukainya."

"Kau sangat manis. Kau tak perlu repot-repot begini. Aku sudah mencantumkan nama kita berdua pada kado yang aku persiapkan untuk mereka."

"Aku tahu." Aku memeluknya erat dan mengubur wajahku di dadanya. "Tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Aku telah sangat disayangi oleh orang tuamu. Aku juga menaruh namankita berdua di hadiah ini."

Aku merasakan dia tersenyum di kepalaku.

"Apa yang sudah kau persiapkan untuk mereka?"

"Kita," dia menekankan kata itu dan tersenyum. "Memberi mereka bulan madu kedua ke Perancis Selatan."

"Tentu saja kita memberikannya." Aku tertawa dan mencium tulang dadanya.

"Apakah itu lucu?"

"Tidak." Aku menarik kepalaku dan menengadah melihat wajahnya yang luar biasa tampan. Dia tidak bercukur pagi ini, dan aku membelai turun pipinya menikmati kekasarannya.

"Aku menyukai betapa baik hatinya dirimu."

Dia mengangkat bahu dan kelihatan kurang nyaman.

"Mereka layak menerimanya."

"Ya, mereka memang layak."

"Apakah kau sudah memutuskan apa yang akan kau pakai Sabtu ini?" tanyanya sambil mengumpulkan pigura ke tasnya kembali.

"Yeah, aku sudah memilih satu tempo hari saat Anna dan aku membawa Stasi berbelanja. Terima kasih lagi untuk mengundang keluarganya Anna. Mereka antusias untuk pergi."

"Orang tuaku sangat menikmati waktu mereka bersama dengan keluarga Anna. Mereka akan senang bila keluarga Anna datang."

"Apakah kau punya banyak pekerjaan hari ini?" aku bertanya, menguatkan diriku untuk memberitahukannya tentang Bertand.

"Tidak, aku sudah selesai. Kau?"

"Kebetulan tidak ada rencana apa-apa lagi di sisa hari ini."

"Hmm...apa yang bisa kita lakukan di hari yang hujan? Dia menaikkan jarinya ke bibir dan pura-pura berpikir keras dan aku tertawa, kemudia aku ingat bahwa ada suatu tempat yang ingin kudatangi, dan moodku berubah, dan Bertand dan pertemuan dengan Karina adalah hal yang paling jauh dari pikiranku.

"Sebenarnya, aku minta maaf merusak khayalanmu, tapi aku harus melakukan sesuatu."

Aku menunduk memandangi tanganku dan kembali melihat padanya, menggigit bibirku.

"Ok, apakah kau ingin ditemani?"

"Kau tidak perlu pergi jika kau tak ingin."

"Aku selalu ingin bersamamu. Kau akan pergi kemana?" dia terlihat memperhatikan, bersandar di mejanya, dengan lengan yang menyilang di dadanya.

"Ke pemakaman." Aku mengangkat bahu dengan gugup.

"Kenapa?"

"Aku hanya pergi kesana dua kali dalam setahun. Di hari ulang tahunku, yang tidak sempat aku lakukan tahun ini karene pacarku yang luar biasa seksi mengajakku ke surga tropis." Aku menyeringai lancang dan dia balas menyeringai padaku.

"Dan saat ulang tahun mereka."

"Ulang tahun mereka?" tanyanya, bingung.

Aku mengangguk. "Mereka memiliki hari ulang tahun yang sama, lebih tepatnya selisih tiga tahun. Meraka selalu merayakannya, dengan pesta yang besar atau melakukan perjalanan ke suatu tempat. Mereka selalu mengajakku, jadi aku ingin mengenangnya untuk mereka." Kata-kata terakhir adalah bisikan.

Dia mendekatiku dan mencium keningku. "Ayo kita pergi."

Perasaan melankolis menyelimutiku saat kami semakin dekat ke pemakaman. Kami mengendarai mobilku karena aku yang tahu letaknya di dalam pemakaman yang luas, dan aku butuh menyibukkan pikiranku.

Jis akan menyetir perjalanan pulangnya.

"Maaf, sayang, mungkin ini akan menjadi hari yang sedih untukku. Aku tidak sering begini, tapi biasanya aku tidak menjadi teman yang menyenangkan setelah dari tempat ini."

Dia mencium tanganku lembut dan menghela nafas berat. "Aku harap kau tak pernah mengalami hal itu, Put. Hal ini adalah sesuatu yang tak bisa kuperbaiki, dan aku akan melakukan apapun jika aku bisa."

"Aku tahu," bisikku.

Aku parkir di jalan kecil yang cukup untuk satu mobil beberapa baris sebelum nisan orang tuaku. Setelah keluar dari mobil, aku mengambil dua buket bunga di kursi belakang, lili untuk ayahku dan bunga matahari untuk ibuku. Semuanya adalah kesukaan Ibuku.

Aku berjalan menuju tempat peristirahatan mereka Jis berjalan beberapa langkah di belakangku, memberiku ruang. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membuatku nyaman. Aku harus berterimakasih padanya nanti.

Bagian dari pemakaman ini terletak diatas bukit dengan pemandangan kota yang ramai, padat, dan selat. Aku memandang di sekitarku, merasakan pemandangan, dan kemudian kembali ke nisan marmer besar berwarna hitam.

Aku berlutut di depan makam, tidak mempedulikan tanah yang masih basah, dan menyapu dedaunan dan rumput dari makam, membersihkannya, membuat diriku sibuk dan mataku teralihkan dari nama mereka dan tanggal lahir dan kematian.

Aku menaruh bunga di bawah nama mereka dan duduk diatas tumit kakiku dan melihat keatasnya.

Tertulis dengan besar NADIA, tulisan tebal berada di paling atas, nama mereka dan tanggal ada di bawahnya. Di paling bawah tertulis Aku milik kekasihku dan kekasihku adalah milikku.

Aku mencondongkan badanku ke depan dan meletakkan telapak tanganku ke marmer lembut dan dingin menyentuh tiap nama mereka yang berharga dan menutup mataku, membiarkan kenangan-kenangan membanjiri pikiranku.

Jis berlutut di sebelahku dan meletakkan tangannya di tengah-tengah punggungku.

"Ceritakan tentang mereka, baby." Suaranya berat dan dia menggosok punggungku dengan lembut.

Aku tak menoleh padanya, aku tetap menutup mataku dan memegang batu nisan, tapi aku bercerita.

"Ibuku suka memanggang kue. Kami selalu memanggang kue setiap akhir minggu, bahkan saat aku sudah kuliah. Dia cantik dan selalu memelukku setiap saat." Air mata kini mengalir, keluar tanpa bisa dicegah dan disembunyikan, turun ke wajahku, menyatu dengan hujan yang menyirami kami.

"Dia meraih gelar MBA dari Stanford, tapi daripada meninggalkanku di penitipan anak, dia lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah dan membesarkanku sendiri. Dan dia selalu bilang kalau itu adalah hal terbaik yang pernah dia lakukan dan dia sangat bersyukur memiliki kesempatan untuk merawatku dan ayahku. Dia sangat cerdas dan lucu dan dia adalah sahabatku." Aku berbisik dan menyeka air mata dari pipiku sebelum kembali memegang nisan marmer.

"Ayahku juga lucu, tapi agak kaku. Dia tergila-gila pada Ibuku. Matahari terbit dan tenggelam bersama Ibuku selama ada Ayahku. Dia selalu memanjakan Ibu, ini adalah salah satu hal yang mengingatkanku padanya jika memikirkanmu."

Aku tersenyum pada diriku sendiri.

"Tak peduli betapa sibuk pekerjaannya, dia selalu pulang pada kami, setiap malam. Dia adalah pengusaha yang bertangan dingin, tapi dia adalah pria yang paling lembut yang pernah kukenal. Dan saat membela putrinya, dia menjadi agresif dan gigih dan tak ada yang bisa menghentikannya."

"Mereka adalah pusat duniaku."

Aku menyandarkan kepala di tanganku, gemetaran, membiarkan kesedihan membanjiriku. Jis melingkarkan lengannya membawaku ke dadanya, mengguncangkan badanku untuk menenangkanku, menggumamkan kata-kata yang tak aku mengerti di atas kepalaku. Dia menciumku dan mengucapkan turut berdukacita.

Akhirnya saat sudah tidak ada lagi air mata tersisa, aku menghapus hidung dengan lenganku dan memandang kearah batu hitam, membaca nama mereka, tanggal dan tulisan yang terpahat di bawahnya.

"Mereka juga sudah menikah selama tiga puluh lima tahun di tahun ini." Dia menghembuskan nafas dan menciumku lagi. "Mereka mencoba untuk punya anak selama tujuh tahun. Mereka sudah mencoba semuanya, sampai mereka menyerah dan pasrah untuk tidak punya anak, atau mungkin akan mengadopsi. Ibuku bergabung dengan sebuah firma dan menjalani hidup tanpa anak."

"Dan tiba-tiba, di tahun ke-delapan, Ibuku hamil. Dia hampir kehilanganku pada bulan ke-lima, dan menjalani istirahat total selama berbulan-bulan, tapi disinilah aku, aman dan sehat."

"Syukurlah," bisik Jis.

"Aku merindukan mereka." Aku mulai menangis lagi.

"Aku tahu, baby."

Kami berlutut disana, di tanah yang basah dengan hujan yang membasahi kami untuk waktu yang lama. Terasa seperti berjam-jam, tapi mungkin hanya beberapa menit. Akhirnya Jis berdiri dan mengangkatku ke dalam lengannya, memelukku di dadanya dan membawaku ke mobil.

Dia merebahkanku di kursi dan mencium keningku. Kemudian berjalan ke sisi pengemudi, aku menarik lututku dan memeluknya,nmeringkuk seperti bola dan menangis sepanjang perjalanan pulang.

Jis membawaku masuk dan naik ke kamar tidurnya. Aku sudah tidak menangis lagi tapi aku lelah, mataku sakit, dan aku sedih.

Dia meletakkanku dengan lembut di sisi tempat tidur dan melepaskan sepatuku.

"Berdiri, baby." Aku menurut dan dia melepas jinsku yang kotor.

"Tangan keatas," dia bilang dan menarik kaos keatas kepalaku.

Dia melepas braku dan menggenggam bahuku, menuntunku kembali ke tempat tidur. Dia berjalan ke lemari dan mengeluarkan kaos putih, berjalan kembali padaku dan memakaikannya melewati kepalaku. Dia melepaskan pakaiannya yang kotor dan mengambil kaos dan celana piyama.

Jis menarik selimut di bagian kaki tempat tidur dan menyelimutiku.

"Ini tengah hari," aku protes, tapi dia mencium keningku membelai pipiku.

"Tidur siang. Kau kelelahan, baby. Aku akan mengambil laptop dan duduk disini bersamamu, ok?"

"Terima kasih." Aku memegang tangannya membawanya ke wajahku,nmenyusupkan wajahku ke telapak tangannya.

"Terima kasih untuk hari ini. Aku sangat mencintaimu. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dirimu." Aku merasa air mataku mulai jatuh dan aku menahannya.

"Hei, hush, baby." Dia mencium kening dan pipiku, dengan tangan satunya yang bebas menggosok naik turun punggungku.

"Tak akan ada yang terjadi padaku. tidurlah. Aku akan segera kembali."

Dia mengeluarkan ponsel lalu mematikannya dan melakukan hal yang sama pada ponselku, menarik selimut menutupi bahuku dan berjalan keluar ruangan.

Beberapa menit kemudian dia kembali dengan sebotol besar air dan laptop miliknya.

Dia naik ke atas tempat tidur di sebelahku dan aku membalikkan badanku sehingga menghadap ke arahnya. Tangannya terangkat dan dia membelai rambut belakangku dengan jari-jarinya dan tersenyum lembut padaku.