Aku telah bertekad bahwa kembali ke dunia nyata tidaklah menyebalkan.
Kami telah kembali dari pelarian Golden Cove romantis kami selama seminggu, dan telah kembali pada rutinitas kerja kami yang nyaman, saling berkirim pesan sepanjang hari, mengikuti gym atau yoga bersama dan memlilih berada di tempatnya atau tempatku pada malam hari.
Malam ini, kami bermalam di tempatku dan kami makan malam bersama Anna.
"Bukan begitu caranya memasak pasta!"
Anna terlihat cantik, seperti biasa, dia membelalakkan mata ke pacarku dan aku menyeringai.
"Memang bagaimana caramu membuatnya?" Jis frustasi padanya dan aku duduk di belakang dengan segelas anggur menikmati pertunjukan.
"Kau harus menambahkan garam ke air sebelum mendidih. Semua orang tahu itu."
"Kau tahu, kau saja yang lakukan. Aku mau bersama pacarku." Dia meninggalkan Anna untuk menyelesaikan makan malam itu dan datang ke meja untuk menciumku.
"Apakah dia menjahatimu?" tanyaku dan membelai wajahnya.
"Tidak, dia hanya tak bisa memasak dan tidak mau mendengarkan nasehat."
"Aku bisa mendengarmu, kau tahu." Anna melotot pada kami dan kami tertawa.
Aku suka menghabiskan malam dengan mereka berdua. Mereka berdua adalah dunia bagiku dan aku senang mereka berteman dengan baik.
"Jadi, Jis, kapan film terbarumu keluar?" Anna mengaduk pasta.
"Jumat ini," dia merespon dan menyesap anggur.
"Apa?" seruku. Aku tidak tahu!
Kenapa dia tidak mengatakan padaku tentang hal ini?.
"Um, filmku akan rilis Jumat."
Aku memandangi dirinya, tercengang. Anna bolak-balik melihat kami dan kemudian menggumam, "Oops."
"Kenapa kau tak mengatakan padaku?" perasaanku terluka.
"Itu tak terpikir olehku." Dia mengerutkan kening dan mengangkat bahunya.
"Kau akan merilis film besar untuk ditonton jutaan orang, dan kau tidak berpikir untuk memberitahu pacarmu?" aku berbalik dan menghadapnya, masih duduk di kursiku.
Apa?
"Aku hanya melakukan produksi aku tidak membintanginya atau apapun itu."
"Aku tak peduli, Jis. Ini hal yang besar. Apakah kau akan datang di pemutaran perdana?
"Tidak, tentu saja tidak." Dia menggelengkan kepala dan menjalankan tangan di rambutnya.
"Kenapa? Kau harus pergi. Kau bagian dari film itu."
"Tidak." Dia menggeleng keras. "Aku tidak melakukan hal itu lagi."
"Bagaimanapun, kau seharusnya memberitahukanku. Kau tak pernah menceritakan tentang pekerjaanmu, dan kau tahu semua tentang pekerjaanku."
Ini adalah sesuatu yang selalu menggangguku, dan aku bersyukur Anna membicarakannya.
"Memangnya, apa yang dikerjakan seorang produser?" Anna bertanya saat dia mengeringkan pasta dan mulai membuat layer lasagna di wadah kaca.
"Tergantung produsernya. Ada berbagai tugas. Ada yang berada di lokasi sepanjang produksi dilakukan dan bekerja di sana. Ada yang bekerja di belakang layar, mengamankan uang dari studio atau merayu aktor dan sutradara. Ada banyak yang harus dikerjakan dan biasanya ada beberapa produser melakukan pakerjaan yang berbeda.
"Okay, jadi apa yang kau kerjakan, khususnya?" Aku bertanya, tiba-tiba merasa tertarik.
"Aku mengerjakan yang di belakang layar, kegiatan pra-produksi jadi aku bisa bekerja dari sini. Terkadang aku harus pergi ke Rainbow atau The Furnace untuk rapat singkat, tapi itu sudah jarang kulakukan akhir-akhir ini. Kebanyakan semuanya bisa dilakukan lewat telepon atau email. Jadi aku berkoordinasi dengan aktor atau sutradara, dan terkadang melakukan konferensi lewat telepon untuk mengamankan pendanaan proyek." Dia bercerita disertai dengan menggerakkan tangannya, begitu asyik dan antusias, dan aku dapat melihat bahwa, dia sangat menyukai yang dia kerjakan. Aku tersenyum padanya dan mencium pipinya.
"Aku bangga padamu."
"Kenapa?"
"Karena kau melakukan hal yang kau sukai dan hebat dalam hal itu."
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku tak akan bersama dengan orang yang menyebalkan." Aku merespon dengan lancang dan dia tertawa.
"Jadi, berapa banyak uang yang kau amankan untuk film yang keluar Jumat ini? Dan siapa yang membintanginya?"
Anna memasukkan lasagna ke oven dan bersandar di meja dapur mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Judulnya Rough shot dibintangi Channing. Ini film action, ada banyak stunt (pemeran pengganti) dan ledakan, jadi budgetnya tinggi. Sekitar seratus juta."
Anna dan aku berpandangan dan kembali kearah Jis.
"Maaf, apakah tadi kau bilang seratus juta dolar?" suaraku melengking. Itu mengganggu. Hampir sama mengganggunya saat pacarku menjadi penanggung jawab untuk melipatgandakan seratus juta dolar.
"Yeah." Dia tersenyum malu. Film aksi petualangan selalu berbudget tinggi karena banyak sinematografi yang terlibat, CGI, dan banyak hal yang aku tak terlalu paham tapi aku tahu kalau itu mahal."
Aku menelan ludah. Wow.
"Jadi, ini film box office besar kalau begitu."
"Yeah, kami berharap akan mendatangkan seratus lima puluh juta minggu ini."
Dia mengangkat bahu lagi, tapi aku melihat kebanggaan di matanya.
"Sekarang, aku akan menanyakan sesuatu yang lebih personal, dan kau bisa berkata untuk mengurus masalahku sendiri, tapi aku penasaran karena uang adalah hal yang kubutuhkan untuk hidup."
Mata Anna penuh rasa penasaran dan aku tahu persis apa yang akan dia tanyakan.
"Ok, silahkan." Jis menyeringai. Dia juga tahu.
"Well, aku tahu seberapa besar aktor dibayar untuk film berbudget besar. Tapi bagaimana dengan produser?"
"Saat semuanya sudah diselesaikan, setelah royalti dan sebagainya, dari film ini aku mungkin akan menerima sekitar lima belas."
Aku mendekatkan mataku padanya dan menggigit bibirku, tidak yakin bisa memahami kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Jis tidak melihat kearah kami. Dia menunduk memandangi anggurnya.
Akhirnya Anna berbicara. "Tolong katakan padaku kalau kau punya pengacara bagus yang ahli di bisnis hiburan dan akuntan yang juga ahli di dunia hiburan dengan reputasi yang bagus. Karena jika kau tidak punya, aku kenal beberapa diantara mereka." Dia benar-benar serius.
Jis menganggukkan kepalanya. "Yeah, semuanya sudah ditangani dengan baik selama bertahun-tahun."
"Bagus." Anna merespon.
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tahu dia kaya, tapi aku tak menyangka.
Akhirnya, Jis melihat kearahku. "Apakah kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja." Aku berbisik.
"Kau terlihat agak pucat." Aku menggelengkan kepalaku mengalihkan pandangan dan melihat kearah Anna.
"Put," katanya, "Kau kan tak asing dengan yang namanya uang."
"Tidak, aku tidak."
"Orang tuamu meninggalkan warisan sebesar dua puluh juta dolar."
Jis memucat.
"Aku tahu."
"Jadi, apa masalahnya?" dia bertanya lembut.
Aku mengernyitkan kening. "Well, aku rasa karena terlalu banyak yang harus kupahami." Aku melihat kearah Jis dan akhirnya, aku merasa butuh untuk menyentuhnya, menggenggam tangannya. "Aku minta maaf, sayang. Tentang uang itu bukan masalah buatku, kau tahu itu. Aku rasa aku hanya terkejut mendengar pacarku berurusan dengan para aktor dan film ratusan juta dolar dan berteman dengan Steven. Itu hal yang mudah terlupakan karena kita jauh dari kehidupan yang itu."
"Put, aku keluar untuk suatu alasan."
"Aku tahu."
"Jangan membuatku takut," bisiknya.
Aku tak menakutimu." Aku tersenyum, menemukan keseimbanganku.
"Um, bolehkah aku bertanya lagi?"
Anna menaikkan tangan seperti kita berada di kelas dan kita tertawa.
"Okay."
"Bolehkah aku meminta nomer telepon Channing?"
Tawa kami meledak, dan aku lega karena ketegangan sudah diturunkan.
"Dia sudah menikah, Ann."
"Sial." Dia mengerutkan dahi. "Semua yang bagus sudah diambil."
"Jis,"aku melompat turun dari bangku dan berdiri diantara kedua pahanya, membelai lengannya. "Aku ingin menonton filmmu minggu ini."
"Kau ingin melihatnya?" dia terlihat benar-benar kaget.
"Ya, ini adalah karyamu. Aku ingin mendukungmu. Ayo datang ke malam pembukaan."
"Aku sudah bilang, aku tidak pergi ke premier. Aku tak akan pergi ke Rainbow. untuk itu." Dia bersikukuh menggelengkan kepalanya.
"Tidak, yang kumaksud disini. Ayo kita pergi ke malam pembukaan disini, di White Water."
Anna melompat kegirangan. "Aku juga mau pergi! Aku yakin aku bisa mengajak seseorang untuk berkencan."
"Kita pergi malam saja, kita akan kencan ganda, nonton film, mungkin makan malam. Mari kita rayakan!"
Jis tersenyum, senyuman lebar 'melelehkan-celana-dalamku' dan untuk pertama kalinya, dia terlihat sungguh bangga dan senang dengan pekerjaannya. "Kau benar-benar ingin melakukannya?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu kurasa kita akan pergi. Tapi jangan di bioskop. Aku tak ingin malam kita rusak karena aku dikenali dan harus berdiri selama tiga jam untuk memberikan tanda tangan."
"Kita akan nonton pada tengah malam di pinggir kota setelah makan malam. Kau bisa memakai mantel dengan topi dan kacamata hitam." Aku menyeringai padanya dan dia menyipitkan matanya padaku.
"Kau adalah si pandai yang menyebalkan."
"Tapi kau mencintaiku." Aku tersenyum dengan manis.
"Oh Tuhan, cari kamar sana." Anna menarik lasagna dari oven.
.
.
.
"Aku gugup." Aku melihat kearah Anna dan ketakutan.
"Bagaimana kalau aku tak menyukainya?"
"Berarti kau akan berbohong, memperlihatkan gigimu yang indah dan berkata kau menyukainya. Itu yang dilakukan oleh kekasih, apapun pekerjaan pacar mereka."
Dia berjalan dengan menyeret kaki ke lemariku mencari sesuatu yang bisa dikenakan untuk menonton film malam ini.
"Siapa yang kau ajak malam ini?" tanyaku sambil menarik gaun hitam dari kepalaku dan memakai Manolo Blahniks hitamku.
"Jangan menguliahiku."
"Uh, okay."
"Aku mengajak bosku."
"Sial! Kukira kau tak menemuinya lagi." Apa yang terjadi?
"Kami tidak benar-benar bertemu."
"Apakah kalian tidur bersama?"
"Tidak, sudah pasti tidak. Dia tidak seburuk apa yang kukira. Saat kejadian memalukan itu berlalu... well, dia orang yang baik. Jadi kupikir kenapa tidak mengajak dia." Dia menggigit bibirnya dan memakai sepasang anting perakku.
"Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan Ann."
"Aku tak yakin yang kulakukan, tapi satu malam ini saja. Kumohon, tenanglah, okay?"
"Aku adalah lambing ketenangan. Aku tersinggung kau bilang yang sebaliknya. Lagi pula aku disini untuk makam malam juga."
Dia tersenyum padaku saat bel pintu berbunyi.
"Salah satu pria kita tiba," aku melongok ke pintu bersiap untuk pergi. "Aku akan membuka pintu."
Aku berjalan menuruni tangga dan membuka pintu dan menemukan sebuket bunga mawar merah besar terpampang di mukaku.
"Well, halo."
Kepala Jis muncul dari belakang bunga dan tersenyum padaku.
"Hai, cantik, ini untukmu."
"Terima kasih, cintaku." Aku membenamkan hidungku ke mawar itu dan menghirupnya saat dia masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia terlihat luar biasa memakai kemeja biru berkancing rendah yang cocok dengan warna matanya dan celana panjang berwarna khaki.
"Kau kelihatan tampan," aku bergumam dan mencium bibirnya dengan lembut.
"Kau mempesona." Dia menjalankan ujung jarinya menuruni wajahku dan aku merona.
"Ayo, aku akan memberi bunga ini air dan kemudianaku akan menonton film kekasihku malam ini."
Jis tertawa. "Oya? Itu keren."
"Aku tahu, dia sangat terkenal, tapi aku tak bisa bilang siapa dia karena kami orang yang menjaga privasi." Aku menganggukkan kepala seperti orang bijak padanya, mataku melebar.
"Apakah kau yakin aku tak bisa membuatmu mengatakannya?"
Dia melingkarkan lengannya ke bagian tengah tubuhku saat aku menata bunga di vas.
"Tidak bisa, mulutku terkunci."
"Sial, padahal aku berharap untuk mengajakmu keluar malam ini."
Dia menyusupkan wajahnya ke leherku dan aku menghembuskan nafas.
"Well, aku mungkin bisa pergi denganmu nanti, setelah kencanku yang lain."
Luke menggelitik igaku dan aku menjerit.
"Enak saja. Kau adalah milikku, sayang. Biasakanlah hal itu."
Aku masuk ke pelukannya dan menyusupkan tanganku ke rambutnya, tersenyum padanya.
"Kau adalah satu-satunya yang aku inginkan, cintaku."
Matanya melembut dan memberiku ciumannya yang membuatku berbunga-bunga. "Begitu juga denganku, sayang."
"Oh Tuhanku, apakah kalian berdua tidak pernah berhenti?"
Anna memutar matanya saat dia tiba di ruangan dan Jis tersenyum puas dan mencium pipiku.
"Tidak."
"Lelucon, Jonathan baru saja mengirim pesan, dia akan tiba di sini dalam beberapa..."
Kemudian bel pintu berbunyi.
"Dia akan tiba di sini sekarang. Aku akan membuka pintu."
Dia tersenyum dan berjalan ke depan pintu.
"Siapa pria itu?" Jis bertanya.
"Pria yang menjadi bosnya." Aku merespon dan alis Jis menyatu.
"Benarkah?"
"Yeah, ini mungkin akan menarik."
"Ayo masuk, dan bertemu dengan mereka." Anna berjalan masuk ke dapur lebih dulu di depan seorang pria yang sangat menarik mengenakan jins gelap dan kemeja hitam berkancing rendah berlengan panjang.
Dia tinggi seperti Jis dengan bahu yang lebar, bibir tipis, rambutnya panjang diikat model ekor kuda yang pendek di tengkuknya, matanya abu-abu dan dagu kotak yang bagus. Ya, dia tampan seperti yang pernah Anna ceritakan sebelumnya. Dia juga punya mata yang ramah, dan tak bisa mengalihkan pandangan dari wajah Anna saat kami diperkenalkan olehnya.
Dia terpesona olehnya.
"Jo, ini adalah teman sekamarku, Puput, dan pacarnya, Jis Khalifa."
Jo menjabat tangan kami berdua dan tersenyum pada Jis.
"Senang bertemu denganmu. Aku memang bukan fans film yang kau bintangi tahun lalu, tapi aku menyukai film yang kau produseri sekarang. Aku sudah menunggu Rough Shot keluar bulan ini." Dia tersenyum pada kami berdua dan mundur untuk merangkul Anna.
"Semoga kau menyukainya." Jis terlihat santai dan menghembuskan nafas lega dalam hati.
"Bisakah kita pergi? Aku kelaparan."
"Ayo." Jis menggandeng tanganku dan kami masuk ke SUV Mercedes miliknya, aku duduk di depan bersama Jis dan Anna bersama Jonathan di belakang.
"Kalian ingin makan di mana?" Jis bertanya pada kami.
Aku menoleh untuk menjawab dan melihat Jo mencium tangan Anna. Apanya yang hanya teman.
Aku akan menginterogasinya nanti.
"Bagaimana kalau restoran kecil yang kau ajak minggu lalu?" aku memberi usul.
"Disitu tenang dan mereka punya margarita yang enak."
Anna dan Jo mengangguk setuju.
"Restoran itu ya." Jis mengangkat tanganku dan mencium buku-buku jariku dan aku tersenyum malu padanya.
Restorannya tidak terlalu ramai untuk Jumat malam. Pemiliknya mengenal Jis, jadi mereka memandu kami ke pojok privat dekat belakang jadi kami tak akan terganggu.
Setelah keripik dan salsa diantarkan, dan kami memesan makanan, kami duduk dan menyesap margarita dan mencoba mengenal Jonathan.
"Jadi, Jo, apa pekerjaanmu?" tanya Jis.
"Aku bekerja di firma investasi yang sama dengan Julianna," dia merespon dan tersenyum pada Anna.
Alisku naik keatas hingga ke garis rambutku dan bertemu pandang dengan Anna.
Julianna? Tidak ada yang memanggilnya begitu.
Anna menyipitkan matanya padaku, secara telepati mengatakan padaku untuk menutup mulut.
"Sudah berapa lama kau bekerja?"
Jis bertanya, tidak menyadari percakapan hening kami.
"Sekitar delapan tahun."
Kami mengobrol ringan tentang bagian yang enak dari makanan kami. Jo adalah orang yang sopan, perhatian, dan jelas sepenuhnya terkesan dengan Anna.
Dan mereka sepenuhnya saling terkesan.
Jis meletakkan tangannya di pahaku dan meremasnya dan aku mengaitkan jemariku ke dalamnya.
"Kau pernah berlayar?" Jo memecah keheningan.
"Pernah beberapa kali, tapi sudah lama tidak melakukannya. Kau?"
"Sebenarnya ya, aku mempunyai catamaran (perahu dengan dua lambung) di dermaga White Water City. Apakah kalian berdua mau bergabung dengan kami di siang hari untuk berkeliling di sekitar Sound?"
Jis melihatku meminta persetujuan dan aku mengangguk dan tersenyum, melihat Anna mengangguk perlahan.
"Kedengarannya menyenangkan."
Nota tagihan datang tapi aku mengambilnya sebelum orang lain.
"Kau tidak akan membayari ini." Jis mengambil dompetnya tapi aku menjauhkan nota darinya.
"Ya aku akan melakukannya. Kita merayakan premier filmmu, jadi aku yang membayar."
"Tidak, berikan nota itu."
"Milikku." Aku menahannya di dadaku sambil mengeluarkan kartu dari dompetku.
"Ya ampun. Put..."
Aku menarik wajahnya ke wajahku dan menciumnya pelan dan lama.
Saat aku menarik diriku kami berdua kehabisan nafas. "Biar aku yang membayar. Aku bangga padamu, menyebalkan."
"Aku tak bisa berdebat denganmu jika kau melakukan itu." Dia mengomel dan terlihat jengkel, tapi aku melihat sinar lucu di mata hitamnya yang indah dan aku tersenyum puas aku memberikan nota dan kartuku ke pelayan.
Jo mengamati kelakuan kami dengan penuh keingintahuan dan berakhir dengan seringai lebar.
"Dude, kau buruk sekali." Katanya pada Jis.
"Kau tak pernah tahu," Jis mengeluh.