Aku berdiri di dek pondok kami yang indah, mengarahkan kameraku ke bawah memotret ikan-ikan berwarna cerah. Aku mengambil selusin foto, kemudian mendongak dan memotret pulau. Matahari hampir tenggelam dan aku tak sabar untuk mengambil foto siluet pohon palm dalam cahaya matahari terbenam.
"Hai, sayang." Jis memelukku dari belakang dan menguburkan hidungnya di leherku.
"Bagaimana kabarmu?"
"Kurasa aku akan sedikit sakit besok, tapi aku baik-baik saja. Aku lupa betapa melelahkannya menyelam." Aku tersenyum dan tersenyum padanya.
Dia merenggut semua nafasku dengan mudahnya.
Dia bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek hitam yang menggantung seksi di pinggulnya, memamerkan otot di dadanya hingga ke bawah dan tersembunyi di balik celananya. Dia terpapar sinar matahari sejak kami sampai disini, membuat kulitnya menjadi keemasan.
Mulutku mengering setiap aku melihatnya.
Dan karena aku bisa, aku menaikkan lensaku dan memotret. Dia tersenyum, malu, dan aku mengambil foto lagi.
"Aku suka memotretmu."
"Aku tahu itu. Kau mengarahkan benda itu padaku lebih dari apapun selama tiga hari sejak kita tiba disini."
"Itu tidak benar." Aku tertawa dan dia mengambil kamera dari tanganku dan tiba-tiba aku yang menjadi objek foto. "Hei! Aku berada di sisi yang salah dari lensa itu."
"Saling bergantian itu adil, sayang. Beri aku senyum yang manis." Aku bersandar pada pagar dan berpose jenaka, mencondongkan salah satu pinggul ke sisi dan meletakkan tanganku diatas pinggul yang memakai sarung.
"Kita harus sering-sering kesini," katanya dan terus memotretku.
"Kenapa?"
"Karena aku senang melihatmu berjalan-jalan seharian dengan bikini. Aku bisa melihat tatomu."
Aku tersenyum dan berbalik sisi kiriku terekspos padanya, kuangkat lengan kiriku ke sebelah muka, melihat kearahnya di belakang melalui lekuk sikuku.
"Fotolah tato ini, dan kau bisa melihatnya kapanpun kau mau."
"Tuhan, kau pandai berpose." Dia memotret, matanya bersinar dengan humor dan gairah, dan aku tersenyum padanya.
"Ok, tunggu." Aku melepas sarung dan menjatuhkannya di lantai dek dan matanya membesar. Aku suka caranya menikmati tubuhku. Ketidaknyamananku yang dulu sudah lama hilang. Aku berputar membelakanginya dan menarik rambutku keatas bahu.
Tanganku merentang berpegangan pada pagar. Aku tahu dia bisa melihat tato di punggung dan pangkal pahaku. "Silahkan."
Aku mendengar suara kamera menyala dan nafas Jis berubah.
"Sudah selesai dengan yang tadi?" tanyaku.
"Ya," dia berbisik. Aku berbalik menghadapnya dan naik ke pagar untuk duduk.
"Hati-hati!"
"Aku baik-baik saja, aku tak akan jatuh." Aku duduk membentuk sudut dan mengangkat kakiku untuk bersandar di pagar. Tatoku terekspos. "Fotolah."
Dia menzoom kakiku dan menekan tombol sekitar sepuluh kali.
"Aku benci mengecewakanmu," aku berkata, "Tapi tato yang terakhir akan mengingatkan pada rahasia kecil kita."
Matanya menggelap dan dia melangkah ke belakang dan mengambil fotoku lagi.
"Jadi tak ada orang lain yang melihat tato ini?" dia bertanya dengan tetap memegang kamera di depan wajahnya.
"Kebanyakan dari mereka."
"Apa maksudnya itu?" Dia menurunkan kameranya dan membelalak padaku.
Sial.
"Yang di pubisku adalah yang paling baru, dan tak ada yang tahu kecuali kau dan artis yang membuatnya. Yang di punggungku bisa kadang terlihat bila aku memakai atasan atau gaun tertentu, tapi tak ada yang pernah menanyakan arti tato itu. Pada kenyataannya, tak ada yang tahu artinya kecuali kau."
"Dan yang di sisi dan kakimu?" dia bertanya.
Aku mengangkat bahu. "Aku bukan perawan saat aku bertemu denganmu."
Dia mengernyit dan terlihat murung dan aku mati-matian untuk menaikkan moodnya.
"Hei." Melompat turun dari pagar dan mendekatkan jarak diantara kami. "Masa lalu telah berakhir, Jis. Untuk kita berdua."
"Aku tahu." Dia menelan ludah dan memandangku dengan matanya yang biru."Hanya saja itu membuatku sedikit gila bahwa lelaki lain pernah menyentuhmu."
"Sayang," aku tersenyum dan membelai wajahnya. "Sentuhanmu adalah hal yang paling penting. Kau telah memperkenalkanku pada perasaan yang aku tak tahu pernah ada. Tak usah mengkhawatirkan yang telah lalu. Hanya kaulah yang aku lihat. Lagipula," Aku mengambil kamera darinya dan memasang penutup lensanya, "Kau, cintaku, pasti juga bukan perjaka."
"Bagaimana kau tahu? Mungkin aku memang perjaka." Dia tertawa kecil.
"Tidak mungkin kau bisa sehebat itu di ranjang dan tetap perjaka."
"Oh? Memangnya sebagus apa aku?" dia mengedipkan mata padaku dan menarikku ke lengannya, menjalankan tangannya menuruni punggungku yang hampir telanjang.
"Hmm...kau lumayan." Dia tertawa tiba-tiba membungkuk dan meletakkan ciuman selembut bulu di sisi mulutku.
"Lumayan, hah?"
"Yah, aku menahan diri. Demi kesenanganmu."
"Kau hanya menahan diri?" dia meneruskan melakukan ketrampilan itu, bibir lembut itu melintasi rahangku dan naik ke telingaku.
"Itu sungguh sulit, tapi entah bagaimana aku menemukan pengendalian diri."
Dia tertawa kecil dan menangkup wajahku dengan lembut, menyapukan bibirnya di atas bibirku, maju mundur ringan, lalu masuk dan menciumku dalam-dalam, tapi lembut. Dengan penuh cinta. Seakan kami mempunyai waktu sepanjang hari. Aku memegang pinggulnya. Mengaitkan jari tengah menelusuri lingkaran garis pinggang celananya, sebagian tanganku di kain dan sebagiannya lagi diatas kulitnya.
Ya Tuhan, lelakiku ini pandai mencium.
Dia mundur ke belakang, masih memegang wajahku, menatap mataku.
"Wow." Bisikku dan wajahnya penuh humor.
"Apakah kau menahan yang tadi dengan baik?"
"Kau benar-benar pintar melakukannya tadi."
"Begitu juga kau. Apakah kau membawa gaun?"
Aku mengerjap akan topik pembicaraan yang baru ini.
"Ya, kenapa?"
"Aku berencana untuk makan malam."
"Oh. Aku ingin mengambil foto matahari terbenam."
"Kau masih bisa. Bawa saja kameranya."
"Ok. Kapan kita berangkat?"
"Setengah jam lagi."
"Kemana kita akan pergi?" tanyaku.
"Ini sebuah kejutan, gadis yang berulang tahun." Dia tersenyum dan menjalankan jarinya di bibir bawahku.
"Ulang tahunku sudah selesai."
"Ini adalah liburan ulang tahunmu, jadi kau masih gadis yang berulang tahun."
Dia menciumku tulus, lalu menggandeng tanganku masuk ke dalam.
Pondok kami, walaupun tak bisa disebut pondok sebenarnya, sangat menawan. Sebuah bungalow di atas air. Pondok penginapan kecil tidak akan layak untuk kekasihku.
Ruangannya besar, dengan dua kamar tidur, sebuah ruang akan yang besar dan dua kamar mandi. Dari dua kamar mandi, yang paling besar terdapat bak berendam yang muat untuk dua orang yang terletak di teras yang terbuka, dengan pemandangan terbuka berupa lautan. Pada kenyataannya, hampir semua ruangan terbuka dengan tirai-tirai ringan untuk memberikan sedikit privasi. Lantainya terbuat dari kayu hitam, tapi ada lantai kaca di banyak ruangan sehingga ikan-ikan di bawah bisa terlihat.
Perabotannya mewah, mahal dan nyaman. Ranjang utama berukuran besar dengan seprei putih lembut, selimut dan bantal. Di ruang makan terdapat banyak warna; oranye, kuning dan merah. Sangat indah.
"Apakah kau pernah kemari sebelumnya?" tanyaku saat mengeluarkan gaun dan hak tinggi.
"Tidak, ini pertama kalinya. Kau tak perlu hak tinggi."
"Oh, ok. Flip flop?"
"Ya."
"Apakah kita akan ke tempat yang berpasir?"
Dia tersenyum dan mengedipkan mata. Ok, dia tak akan memberitahuku.
"Apakah kau akan berganti baju?"
Dia memakai kemeja berlengan pendek dan membiarkannya tak berkancing.
"Nah, sudah berganti."
Aku tertawa dan meletakkan tangan di punggungku untuk melepas bikiniku, membiarkannya jatuh di tanganku. Membungkuk dan melakukan hal yang sama dengan celana bikiniku. Aku berjalan telanjang ke meja rias dan mengambil thong.
"Tidak usah pakai pakaian dalam." Aku berbalik dan melongo padanya. Matanya menyala.
"Tapi..."
"Tidak usah pakai pakaian dalam."
Astaga. Dia begitu bossy. Dan aku menyukainya.
Aneh.
"Ok." Aku memakai gaun hitam bertali yang meluncur lembut di tubuhku dan memakai flip flopku. Aku menyisir rambutku dengan semangat dan mengikatnya sederhana di sisi kiri sehingga jatuh ke dada kiriku. Aku memakai mascara coklat dan berbalik melihat Jis sedang memperhatikan aku, ekspresinya tak terbaca.
"Aku siap."
Dia menggoyangkan kepalanya menarik semua pemikiran yang ada di kepalanya dan tersenyum lembut padaku. "Ayo berangkat."
.
"Jadi sejauh ini bagian mana yang paling kau suka dari liburan ini?" aku bertanya pada Jis sambil menggigit steak. Dia memberiku kejutan makan malam di pulau kecil pribadi. Pihak resort membawa kami dengan perahu, dimana sudah tersedia meja kecil dengan makanan dan minuman untuk kami, meja dan kursi terletak diatas air dangkal berwarna bening dengan pasir putih.
Ini skala romantisnya hampir setara dengan kebun anggur.
"Menyelam tadi menyenangkan." Dia menyesap anggurnya dan mengangkat bahu. "Bagian favoritku adalah disini bersamamu."
Aku menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Menawan sekali."
Dia tertawa dan melanjutkan makannya. "Bagaimana denganmu? Yang paling favorit?"
"Aku juga menikmati menyelam tadi. Ikan manta tadi begitu menakjubkan. Tapi aku juga menikmati saat menjelajah kota kemarin. Terima kasih sekali lagi untuk gelangnya."
"Keliatan cantik untukmu."
"Apa yang akan kita lakukan besok?" tanyaku. Aku mengayunkan kakiku di air.
Rasanya menyenangkan di antara kakiku.
"Aku ingat kau pernah mengatakan sesuatu tentang menghabiskan waktu seharian di tempat tidur."
"Oh." Mataku membesar.
"Besok adalah separuh dari waktu liburan kita, sepertinya itu waktu yang bagus." Dia mengangkat alisnya padaku dan aku menyeringai.
"Berenang telanjang! Kita bisa menakuti ikan-ikan."
"Dan tetangga kita." Dia menyeringai.
"Tidak, di belakang kamar kita tidak ada tetangga. Aku sudah memeriksanya."
Dia memandangku, kaget, dan kemudian tetawa. Aku tersenyum puas padanya dan meminum anggurku.
"Ini indah sekali." Aku memandang ke arah air dan menghembuskan nafas. Matahari mulai terbenam, dan kami sudah menyelesaikan makan kami.
"Apakah kau keberatan kalau aku memotret?"
"Silahkan saja, baby." Dia menuangkan anggur ke gelasnya dan bersandar untuk memperhatikanku. Aku mengalungkan tali kamera di leherku –aku tak ingin menjatuhkannya di air- dan berdiri, menyeberangi air yang dangkal. Terasa hangat hingga di mata kakiku, pasirnya lembut, dan cahayanya sempurna.
Aku mengambil sekitar seratus foto, memotret air, pepohonan dan pulau kecil itu sendiri. Seperti sebuah topik untuk kalendar pulau tropis. Kemudian aku memutar lensa ke arah pacarku yang sedang bersantai dan memotretnya beberapa kali tanpa dia menyadarinya. Dia memandangi gelas anggurnya, ekspresinya seperti sedang berpikir dalam tentang sesuatu. Dia mengangkat kepalanya dan memberiku separuh senyumnya yang seksi dan sempurna. Kemeja putih yang sempurna, celana pendek hitam, rambut pirang dan kulit keemasan, duduk santai di meja romantis untuk dua orang yang diatasnya terdapat sebatang mawar merah di vas.
Pemandangan ini membuat hati luluh.
Tiba-tiba, dia berdiri dan berjalan menuju kearahku dan mengambil kamera dariku. Dia meraihku kesisinya, memutar lensa kearah kami dan memotret kami berdua.
Tiga hari terakhir ini, saat kami berjalan-jalan, jika aku membawa kamera dia akan meminta seseorang untuk mengambil foto kami berdua.
Ya, kami memotret banyak kenangan, dan itu membuatku tersenyum.
Dia menaruh kembali tali kamera di leherku dan mencium dahiku.
"Terima kasih makan malamnya. Itu sangat enak dan romantis."
"Dengan senang hati."
"Kapan kita akan dijemput?" aku membelai dadanya, di bawah kemejanya yang terbuka.
"Sekitar dua puluh menit lagi."
"Ok, ayo kita berjalan-jalan di pulau. Ini kecil, seharusnya cukup sepuluh menit saja."
"Ayo." Jari-jarinya mengait di jariku dan kami berjalan, melintasi air yang dalamnya semata kaki.
Saat kami kembali ke meja, kendaraan untuk menjemput kami kembali ke pondok tiba. Kami menaiki perahu kecil dan menyeberangi air yang semakin gelap.
.
Aku bangun karena sinar matahari yang menimpa wajahku tubuh telanjangku tidak tertutup oleh apapun. Wajah Jis berada diantara kakiku.
"Sial!" aku bangun dan menyandarkan diriku di siku, dan memandang kaget Jis yang mengangkat pinggulku sehingga dia bisa membenamkan wajahnya di pusat tubuhku, menjilat dan menggoda klitorisku.
"Selamat pagi, baby," bisiknya di pusatku dan meniup di titik yang paling sensitif.
"Oh Tuhan," hanya itu yang bisa kukatakan, kembali terbaring di ranjang. Aku merasakan dia menyeringai dan menyelipkan dua jari ke dalam diriku, membuat gerakan 'datang kemari' dan sebuah cahaya meletus di dalam diriku.
Sial.
Aku tidak bisa menahannya lagi dan akhirnya aku meledak seiring dia terus menghisap klitorisku memainkan jarinya di dalam diriku, ototku mengejang di sekelilingnya. Akhirnya dia mencium tattooku dan melakukan sihir ajaibnya sampai ke atas tubuhku hingga akhirnya dia berbaring di sisiku, menyingkirkan rambut dari wajahku.
"Selamat pagi," gumamku. "Bukan cara yang buruk untuk membangunkan tidur."
"Aku senang kau setuju." Dia menciumku dan aku merasakan diriku di mulutnya dan itu menyalakan libidoku kembali.
Mengejutkan dirinya, aku mencengkeram bahunya dan mendorongnya berbaring di ranjang, berbaring diatasnya dan menyandarkan pusatku diatas miliknya yang keras. Melakukan permainannya, aku mengaitkan jariku padanya dan mengangkat tangan kami keatas, ke sisi kepalanya dan menahannya.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?"
Dia menyeringai, matanya bersinar dengan gairah. Aku menggerakkan pinggulku padanya dan dia menghembuskan nafas tajam.
"Well," aku turun dan menggigit lehernya lembut, lalu menghukumnya dengan lidahku.
"Setelah panggilan bangun yang fantastik tadi, kurasa aku akan menidurimu."
"Benarkah?" dia berusaha menarik tangannya tapi dengan segala kekuatan aku menahannya. Kita berdua tahu bahwa dia dengan mudah dapat melapaskan diri dariku, tapi dia bekerja sama.
"Aku tak akan menghentikanmu, sayang."
Aku terus menyandarkan diriku ke depan hingga aku menemukan ujung miliknya dengan bibir bawahku lalu aku membenamkan miliknya hingga sepenuhnya dia terkubur di dalam diriku.
"Sial," Dia berbisik diantara giginya yang mengatup.
"Kau sangat nikmat."
Aku mulai bermain, pelan dan dangkal, maju dan mundur, menggodanya. Dengan setiap gerakan turun aku mengetatkan otot-ototku di sekitar miliknya, dan melepaskannya dan memainkannya lagi. Aku menyapukan bibirku di bibirnya dan menggoda ujung hidungnya dengan hidungku.
Saat aku merasa dia siap untuk keluar aku berhenti dan mengendorkan otot-ototku.
"Oh, kau memang penggoda. Aku harus memukul pantatmu."
"Aku menahan tanganmu." Jawabku dan aku mulai bermain lagi.
"Jadi begitu." Matanya memejam dan menggigit bibir saat aku meningkatkan tempo dan kenikmatannya berlebihan. Aku melepaskan tangannya dan duduk, menungganginya cepat dan keras.
"Berpegangan di rangka ranjang." Aku suka menjadi bos, matanya semakin melebar. Dia menurut.
Dengan cepat aku turun darinya dan menggenggam miliknya di tanganku, memasukkannya di mulutku, menghisapnya keras.
"Sial!" dia menggenggam kepalaku tapi aku menarik kepalaku dari genggamannya dan membelalakkan mata padanya.
"Di. Rangka ranjang."
Dia tersenyum dan menurut dan aku melanjutkan siksaan manis itu, menjilati manisnya miliknya, menggerakkan tanganku naik dan turun pada miliknya yang keras, dan dia keluar di mulutku.
Saat dia mulai tenang, aku mencium tubuhnya, bermain-main di perutnya yang terpahat, menggoda pusarnya dengan gigiku. Aku menjalankan ujung jariku di sisi tubuhnya membuatnya kegelian dan tertawa. Aku mencium lehernya, dagunya, dan akhirnya meletakkan ciuman yang tulus mulutnya.
"Saling bergantian adalah adil," aku membisikkan kata-katanya yang kemarin dia ucapkan dan dia mengerang.
"Tuhan, Put, kau akan membunuhku."
"Ah, tapi dengan cara yang hebat."
Dia tertawa dan menciumku lembut, lalu tiba-tiba berdiri dan menarikku kearahnya, melemparku ke atas bahunya yang telanjang.
"Aku punya pemandangan terbaik dari pantatmu sekarang, cintaku." Aku memberinya sedikit tamparan dan dia membalasnya di pantatku.
"Akan kemana kita?"
"Berenang telanjang!" dia berjalan cepat dengan membawaku di bahunya keluar dari dek dan menuruni tangga yang menuju ke air, dan melemparkanku kedalam air.
Aku jatuh di permukaan yang hangat dengan ceburan yang keras dan banyak percikan air. Ini tidak terlalu dalam, hanya enam kaki, dan saat aku menyingkirkan rambut yang basah dari wajahku, aku melihat Luke masuk ke air dengan posisi kepala terlebih dahulu. Dia berenang ke arahku dan aku tidak bisa tidak mengagumi caranya menggerakkan otot-otot punggungnya.
"Hai," aku tersenyum malu-malu saat dia muncul di permukaan di depanku dan melingkarkan tangan dan kakiku padanya.
"Hai." Dia menyeringai dan meletakkan tangannya di pingganggku, mengangkatku ke atas dan membenamkanku kembali di air.
Oh, kami akan bermain! Telanjang!
Aku memekik ketika aku muncul di permukaan dan menyipratkan air padanya dan dia balas menyipratkan air padaku dengan tertawa.
Dia berenang kembali padaku dan aku mencoba melarikan diri, tapi dia menangkapku dan melemparkanku lagi.
"Apakah kau ingin menenggelamkanku?"
"Mungkin aku akan melakukan pernafasan buatan dari mulut ke mulut."
"Kau tidak perlu membunuhku untuk melakukan itu! Aku yakin itu."
Aku terkekeh dan menyipratinya lagi, menikmati tubuh telanjangnya di dalam air yang bening, merefleksikan mata birunya yang sempurna.
"Tuhan, kau terlihat cantik saat ini," katanya.
"Aku juga sedang memikirkan hal yang sama tentangmu." Aku berenang dan masuk ke pelukannya lagi.
"Aku senang bermain denganmu," katanya dan mencium hidungku.
"Aku juga, di dalam dan di luar ranjang." Aku tersenyum lancang dan dia menggigit bibirnya.
"Aku harus bilang, pagi ini adalah yang pertama untukku."
"Yang pertama bagus atau yang pertama buruk?" aku menjalankan jari-jariku ke dalam rambutnya yang basah, senang merasakan tubuh telanjang kami berangkulan di hangatnya laut pasifik.
"Yang pasti bagus, walaupun aku harus mengakui, aku lebih memilih memegang kontrol."
"Yah, variasi adalah bumbu kehidupan. Aku suka membuatmu terkejut sesekali."
Aku mencium dagunya dan dia tertawa kecil.
"Tidak ada protes, sayang."
"Hmm... bagus."
Dia mengangkatku dan mengejutkanku dengan meluncur masuk ke dalam diriku. Aku menyandarkan keningku di keningnya saat dia masih memasukiku.
"Aku mencintaimu."
"Oh sayang, Aku mencintaimu juga. Ayo kita menakuti ikan-ikan."