Rumah Jis sangat dekat dengan pantai, dan itu menyadarkanku bahwa tempat ini kurang dari seperempat mil dari tempatku. Dia menuntunku, menarik ke trotoar yang berpagar. Aku hanya bisa melihat jalur tunggal di depanku, tidak ada pemandangan rumah.
"Kodenya 112774," dia menuntunku.
"Wow, kau mempercayakan padaku kode pintu gerbangmu? " Aku mencoba untuk mempertahankan jarak di antara kami untuk menutupi kegugupanku dengan datang ke rumah ini. Akankah dia mengundangku ke dalam?
"Kau akan kagum pada apa yang aku percayakan padamu, Put." Aku meliriknya dan menangkap kerutannya. "Pada kenyataannya, beginilah aku."
Aku mengabaikan komentarnya dan menarik pintu gerbang yang berkelok ke kiri dan terkesiap pada rumah modernnya yang indah.
Tidak besar, ini sederhana, tapi pemandangan dari Pantai sangat menakjubkan, dan rumah putih itu sendiri baru, dengan garis yang bersih, jendela-jendela besar, hydrangea indah berwarna ungu dan biru memagari bagian depan rumah, dan semak-semak yang dipangkas memagari jalan mobil.
"Wow. Jis... ini indah."
"Terima kasih." Kebanggaan kembali pada suaranya, dan jelas dia mencintai rumahnya. Aku tersenyum padanya, sepenuhnya mengerti perasaan itu.
Aku memarkir mobil, jadi sisi penumpang menghadap pintu depan dan tidak membuatku bergerak untuk melepas sabuk pengamanku. Jis telah melompat keluar, dan mengejutkanku dengan berjalan di depan mobilku dan membuka pintu mobilku.
"Masuklah." Dia mengulurkan tangan padaku, tapi aku tidak menyambutnya.
"Aku harus pergi…"
"Aku akan sangat senang jika kau mau masuk ke dalam." Dia memberikanku seringaian yang menawan, dan aku merasakan diriku melembut. "Aku akan menunjukkan padamu pemandangannya. Mungkin mengajakmu makan malam. Hanya itu, aku janji." Matanya bersinar nakal dan aku tak bisa menolaknya.
Aku tak mau menolaknya.
"Aku tidak mengganggumu dari apapun?"
"Tidak. Aku pria bebas Put. Ayo."
Aku keluar dari mobil dan menyambut tangannya.
Wow. Sengatan listrik dari sentuhannya masih terasa, dan mataku melebar ketika mereka menemukan matanya. Senyumnya menghilang, dan dia menatap intens ke dalam mataku. Dia menarik tanganku ke bibirnya, lalu menutup pintu mobil di belakangku dan menuntunku ke pintu rumahnya tanpa melepaskanku, seolah-olah aku akan melarikan diri.
Aku menyukai bagaimana celana jeansnya menggantung di pinggulnya, membentuk pantatnya yang bagus. Kaus putihnya tidak dimasukkan, dan memeluk otot bahu dan lengannya dengan sempurna. Aku ingin memeluknya dari belakang dan menenggelamkan hidungku di punggungnya, menghirup aromanya, dan menciumnya di sana di antara tulang belikatnya.
Sangat tidak adil untuk menjadi begitu indah. Dia jelas sangat menjaga dirinya. Tiba-tiba aku merasa rendah diri. Dia bernilai sepuluh, dan aku beruntung jika aku mendapatkan nilai tujuh setelah aku dikilapkan dan dipoles di salon favoritku. Belum lagi, aku punya pinggul dan pantat dan sedikit tonjolan perut yang sebanyak apapun sit-up dan yoga yang aku lakukan tidak akan menghilangkannya. Aku tau aku tidak gemuk, tapi aku juga bukan super model kurus seperti Anna.
Dan sampai saat ini, itu tidak pernah menggangguku.
Jis membuka pintu dan berbalik ke arahku, dan pandangan matanya mengatakan bahwa dia tidak melihat kekuranganku. Dia terlihat baik-baik saja dengan apa yang dia lihat, dan berharap untuk mulai dekat denganku.
"Selamat datang, Put. Anggap saja seperti rumah sendiri." Aku mengikutinya masuk ke dalam dan tidak bisa menghentikan senyum ketika melihat rumahnya yang megah. Ruangannya besar, dengan langit-langit tinggi ganda dan dinding berwarna pucat khaki.
Dinding belakang semua kaca dan pemandangannya adalah Pantai White Water. Barang-barangnya besar, dengan warna biru dan putih dan sedikit sentuhan hijau. Aku bisa meringkuk di kursinya dan menatap ke luar sepanjang hari.
Aku berjalan-jalan melihat ruangan, sandalku menggema di lantai kayu yang gelap, dan memandang ke luar jendela sebentar. Matahari hampir tenggelam, di atas gunung, memantul di air biru yang berombak, dan perahu putih yang indah meluncur dengan anggun. Aku berbalik untuk melihat Jis yang masih berada di sisi lain ruangan memperhatikanku, lengannya menyilang di depan. Aku berharap bisa membaca pikirannya.
"Apa?" aku bertanya dan mencerminkan sikapnya, menyilangkan lenganku di depan, mendorong belahan dadaku naik sedikit, memperlihatkannya melalui kerah V dari kaus merahku.
"Kau sangat cantik, Put."
Oh.
Aku menjatuhkan lenganku dan membuka mulut untuk berbicara, tapi tak ada satupun yang keluar, jadi aku hanya menggelengkan kepalaku dan melihat ke arah kanan yang merupakan pemandangan dapur yang sangat indah.
"Kau mempunyai dapur yang hebat."
"Ya." Itu jawaban yang singkat, dan Jis bergerak, perlahan berjalan menuju ke arahku. Tidak ada rasa humor di matanya sekarang, itu kelaparan. Kelaparan akan diriku.
Aku tidak dapat bergerak walaupun aku ingin.
"Apakah kau suka memasak?" Suaraku menjadi lebih tinggi dari normal dan kegugupan itu kembali, tapi kegugupan ini tidak menakutkan.
Aku sudah pasti tidak takut padanya. Aku hanya sedikit terintimidasi olehnya.
"Ya." Dia berkata lagi, dan ketika dia mendekatiku dia mengarahkan jari panjangnya menyusuri pipiku. Aku kesulitan menelan dan menahan tatapan hitamnya.
"Kau tidak ingin membicarakan tentang dapurmu?" bisikku.
"Tidak." Dia balik berbisik.
"Oh." Aku melihat ke bawah mulutnya, dan kembali melihat mata hitamnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku tidak ingin bicara, Put." Sejak kapan sebuah bisikan menjadi sangat seksi? Pangkal pahaku mengencang, dan aku tiba-tiba basah dan panas dan terengah-engah.
Jis menggenggam wajahku di antara kedua tangannya, masih menatap mataku intens, seolah-olah dia sedang berusaha untuk menyampaikan pesan yang mendalam, atau mungkin dia meminta ijinku? Aku sedikit memiringkan kepalaku ke belakang, dan dia oh dengan perlahan menurunkan bibirnya ke bibirku. Dia meninggalkan mereka di sana yang terasa seperti bermenit-menit, hanya ciuman yang menempel, memimpin bibir lembutnya padaku.
Aku mengangkat tanganku dan menggenggam lengan bawahnya dan dia mengeram ketika dia memperdalam ciumannya, merayu bibirku agar terbuka dan menggelitik lidahku dengan lidahnya.
Ya Tuhan, baunya sangat enak, dan lidah berpengalamannya adalah candu yang tak dapatku tolak. Dia menyambut sisi mulutku, menggigit bibir bawahku kemudian menyerang mulutku lagi. Dia menarik ikat rambutku, membebaskan rambut merah jambu panjangku di sekitar bahuku dan menenggelamkan tanggannya di dalam rambutku.
"Kau. Sangat. Cantik." Dia menggumam di dalam mulutku, tiap kata di antara ciuman-ciuman manisnya dan aku sepenuhnya mabuk. Aku melarikan tanganku di atas bahunya dan memilin rambutnya dengan jariku dan memegangnya erat.
Oh, laki-laki ini pandai mencium!
Dia memperlambat ciumannya lagi, menangkup wajahku lembut, dan meninggalkan ciuman-ciuman manis di rahang, pipi, hidung, lalu menanamkan bibirnya di dahiku dan mengambil nafas yang sangat dalam. Aku menjalankan tanganku ke bawah bahunya – sialan, dia kencang! – melewati lengan seksinya dan memegang lengan bawahnya, dan aku lebih dari sekedar pusing.
Aku tak ingin dia berhenti.
Ketika pandangan buramku menjadi jelas, Jis bersandar ke belakang, masih menangkup wajahku dan tersenyum lembut kepadaku. "Aku ingin melakukannya sepanjang hari."
Darimana musik itu datang? Aku kemudian menyadari ponselku berdering dari dalam tas, masih tergantung di badanku dan aku memutuskan kontak intim kami untuk mencari dan menemukan ponsel ku. Senyuman Jis berubah menjadi seringaian ketika aku menjawab telepon.
"Hi, Anna." Aku melisankan teman sekamar padanya ketika dia menaikkan alisnya.
"Puput! Kau tidak menjawab pesanku. Kau baik-baik saja?" Dia terdengar kesal dan aku memutar mataku.
"Aku baik-baik saja. Maaf, aku tak melihat pesanmu. Ponselku ada di dalam tas, mungkin aku tak mendengarnya." Aku melangkah mundur dari Jis mencoba untuk menjernihkan kepalaku dan dia meletakkan tangannya di pinggul.
"Apa kau punya rencana makan malam?"
"Makan malam?"
Jis bersandar dan menggumam di telingaku yang bebas, "Aku akan membuatkanmu makan malam." Dia mengedipkan mata padaku – mengedipkan mata! – dan kemudian berjalan menuju dapur meninggalkan ku untuk menelepon.
"Um, yeah, aku punya rencana makan malam." Aku mengernyit.
"Oh?" aku tahu dia menaikkan alis dengan ahli. Aku juga tak ingin mempunyai percakapan ini dengan Jis yang mendengarkannya. Aku mendengar lantunan musik dan memutar melihat Jis tengah mengutak-atik iPod nya.
"Yeah, sesuatu baru saja terjadi. Kenapa? Apa yang terjadi?" Aku memperhatikan Jis yang berada di dapur sekarang, mengobrak-abrik lemari es, dan aku punya pemandangan yang bagus pada pantat yang tertutup jeansnya. Astaga.
"Aku tadi mengundang mu untuk pergi makan malam dengan beberapa teman kerjaku, tapi jika kau sudah punya rencana aku akan melihatmu nanti malam." Ada jeda. "Apakah ini si perampok?"
Aku terkejut. "Mungkin."
"Keren! Bersenang-senanglah, hati-hati, ambil fotonya jika kau bisa. Sampai jumpa!" dia memutus teleponnya dan aku tertawa padanya.
Oh, untuk sikap riang temanku.
"Jadi, itu tadi teman sekamarmu?" Jis bertanya ketika dia menuangkan wine putih ke dalam dua gelas. Aku menyesapnya dan terkejut oleh rasa manis buahnya.
"Yeah, dia memeriksa keadaanku." Aku duduk di bar sarapan berwarna ringan dan membuka pesanku. Aku punya tiga, semuanya dari Anna.
Hey Put, ingin pergi makan malam, malam ini?
Puput? Hidupkan ponselmu!
Puput, aku melakukan reservasi...
Makan malam?
Oops. Aku meletakkan iPhone ku di atas konter dan menenggak wine.
Jis memperhatikanku.
"Maaf, itu tadi kasar." Aku tersenyum meminta maaf. "Dia mengkhawatirkanku ketika aku tidak merespon pesannya."
Jis menggelengkan kepalanya. "Kau sama sekali tidak kasar, Put. Jadi, bagaimana pendapatmu tentang saus alfredo?"
Aku menyeringai pada nada menggodanya. "Aku punya affair cinta yang lama dengan saus alfredo."
"Benarkah?" dia terkekeh dan melipat untaian rambut berantakanku ke belakang telinga. "Saus alfredo yang beruntung."
Dia berbalik lagi dan mulai mengambil teko, penggorengan dan bahan-bahan dari lemari penyimpanan dan lemari es. Dia sangat….Ahli di dapur.
Ketika dia berbalik memulai urutan kekacauannya, dia melihatku sedang memperhatikan dirinya dan memberikanku senyum separuh.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Kau sangat ahli di dapur."
"Terima kasih." Dia membungkuk dengan anggun dan membuat ku tertawa.
"Siapa yang mengajarimu memasak?"
"Ibuku." Dia menuangkan air ke dalam teko untuk merebusnya dan mulai mengiris keju.
"Apa yang bisa ku bantu?"
"Duduklah di sana dan menjadi cantik."
Aku merona. "Sungguh… aku ingin membantu."
"Okay, kau iris keju ini dan aku akan mengurus ayamnya."
Aku dengan senang hati mengelilingi tempat ini dan mengambil alih mengiris keju, mengamati Jis mengelilingi dapur dengan mudah.
Segera ruangan ini beraroma ayam panggang, membuat mulutku berair. Jis pindah di belakangku dan meletakkan lengannya di sekelilingku, memeriksa kejunya, tanpa benar-benar menyentuhku.
Kulitku terasa terbakar. Sentuh aku! Pegang aku! Tapi dia tidak melakukannya, sebelum aku mengetahuinya dia telah beranjak dan tubuhku hampir bergetar karena kebutuhan.
Aku tidak ingat pernah merasakan ketertarikan secara fisik dengan seorang laki-laki sebelumnya. Ini sedikit mengerikan, tapi ini juga menyenangkan.
"Okay, aku pikir kita sudah hampir siap untuk menyajikannya. Bisakah kau menyaring pasta ini?" aku dengan senang hati membantunya ketika dia menyelesaikan sausnya, dan perut ku keroncongan.
Mmmm….Seorang laki-laki yang bisa memasak!
Jis menarik piring, alat makan berwarna perak dan serbet. "Mari makan di luar, sambil menikmati pemandangan."
"Ide yang bagus." Aku tersenyum ketika kami menyajikan makanan-makanan itu, memegang wine dan menuju ke beranda ruangan besar ini. Ruangan makan di luar sangat mengagumkan. Warnanya hangat dengan merah dan coklat, meja dengan enam kursi, dan ada pemanggang stainless yang besar dengan konter dapur di luar ruangan, lemari es dan wastafel.
Kami duduk dan kegugupanku dari ciuman lezat kami sebelumnya sudah hilang, aku hanya merasakan lapar.
"Lapar?" tanyanya, membaca pikiranku.
"Kelaparan!"
"Aku tahu."
Aku mengambil satu gigitan dan memejamkan mataku.
"Mmmmm…ini sangat enak."
Aku menutupi mulutku dengan serbet dan tertawa. Mata Sasuke menari dan dia menyeringai, meminum winenya.
"Aku senang kau menyukainya."
"Jadi," aku menyendok lagi. "Ibumu mengajarimu memasak?"
"Yeah, dia selalu mengatakan bahwa semua anaknya harus bisa memberi makan diri mereka sendiri setelah kami meninggalkan sarang." Aku memperhatikannya menusuk daging ayam dengan garpu.
"Berapa jumlah saudaramu?"
"Aku punya satu saudara laki-laki dan satu saudara perempuan."
"Kakak, adik?" tanyaku. Ya Tuhan, laki-laki ini pandai memasak.
"Kakak perempuan, adik laki-laki."
"Dan, apa pekerjaan mereka?"
"Naori, kakakku, adalah seorang editor untuk Konoha Magazine." Mata Sasuke terlihat bangga. "Sishui menyingkirkan kuliahnya untuk menjadi penangkap ikan di Kirigakure."
"Ku asumsikan kau tidak menyetujuinya?"Aku menaikkan alisku padanya ketika aku menyesap wine.
"Dia masih muda. Aku kira itu bagus ketika dia melakukan banyak hal yang menarik ketika masih muda." Sasuke mengangkat bahu.
"Orang tuamu?" aku suka mendengarkan dia membicarakan keluarganya. Sangat jelas dia sangat mencintai mereka.
"Mereka tinggal di Suna. Ayah bekerja di sebuah perusahaan dan Ibu adalah seorang ibu rumah tangga." Dia melirik ke piring kosongku.
"Itu tadi sangat enak, terima kasih." Aku bersandar di kursi dan meregangkan kakiku.
"Sama-sama." Dia terlihat sangat muda dengan senyum malu-malunya.
"Kau ingin lagi?"
"Oh tidak, aku sudah kenyang." Kutepuk perutku dan memandang keluar, ke arah air. "Ini adalah pemandangan yang sangat indah."
"Ya." Aku melihat ke arahnya, dan dia memandangku. Pipiku memanas.
"Kau sangat pandai memuji."
"Kau mudah untuk dipuji."
Aku menyeringai.
Dia memiringkan kepalanya ke samping dan mengangkat tanganku ke atas, membawanya ke mulut. Ini adalah pertama kalinya dia menyentuhku sejak ciuman – mengencangkan paha – itu dan aku mendesah akan sentuhan panasnya.
"Kau sangat cantik, Sakura. Kenapa kau tidak mempercayainya?"
Aku tertegun. Tidak ada seorangpun yang pernah memanggilku keluar dari rasa ketidakamananku karena aku tidak pernah menunjukkannya kepada orang lain. Aku mengangkat bahu.
"Kau pikir aku bahagia."
Dia mengernyit atas jawabanku tapi tidak menekanku. "Ya."
"Aku berharap aku punya kamera." Aku tidak sadar bahwa aku mengatakannya dengan keras dan aku merasa dia menegang di sampingku.
"Mengapa?" suaranya dingin, dan pandangannya berubah jadi sangat dingin.
"Karena pemandangan ini." Aku menunjuk air. "Ini bisa membuat gambar yang sangat indah."
Dia kemudian bersantai di sampingku. "Mungkin suatu hari nanti kau akan bisa mengambil gambarnya."
"Akan ada 'suatu hari' lagi." Aku tersenyum padanya dan dia tersenyum padaku juga.
"Suatu hari." Dia mengatakannya lagi dan aku merasa pusing di dalam. Aku sedikit menggigil ketika angin berhembus melalui terasnya. Senja telah datang, langit berwarna ungu dan oranye, dan menjadi dingin.
"Kau kedinginan?" tanyanya.
"Tidak, aku tidak apa-apa."
"Benarkah?"
"Aku sedikit kedinginan, tapi aku tidak mau masuk ke dalam."
"Aku akan segera kembali." Bersamaan dengan itu dia berdiri dan mengumpulkan piring-piring kotor.
"Hey, aku akan membersihkannya. Kau sudah memasak."
"Tidak akan. Kau tamuku, Sakura. Selain itu, aku punya pengurus rumah tangga yang akan melakukan itu semua besok pagi. Duduklah. Tinggal di sini." Dia mengunciku dengan tatapan yang serius, lalu masuk ke dalam rumah.
Dia sangat bossy. Ku pikir aku menyukainya. Tidak ada seorangpun yang pernah mempunyai keberanian untuk bertingkah seperti bos denganku sebelumnya. Ini sangat menyenangkan.
Aku mendengar suara iPod berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut dan melankolis dan beberapa waktu sesudahnya dia kembali dengan sebuah selimut hijau yang mewah dan iPhone ku.
"Lampu ponselmu tadi berkedip, aku pikir kau mungkin ingin mengeceknya." Dia memberikan ponselku, tapi sebelum aku bisa melihatnya dia memegang tanganku.
"Ikut denganku."
"Kita mau kemana?"
"Hanya di sana." Dia menunjuk kursi empuk mewah dekat dengan tepian teras.
Aku meraih tangannya dan dia memimpin kemudian mendudukkanku, tenggelam ke dalam bantal. Dia duduk di sampingku dan membungkus kami berdua dengan selimut. Lengannya melingkar di sekitarku.
"Ini cepat." Aku melihat ke dalam mata hitamnya, tidak yakin berada di lengannya seperti ini, kecepatan ini seluruhnya aman, secepatnya aku ingin berada disini.
"Kita hanya menikmati pemandangan, Sakura." Dia mendorongku lebih dekat dengannya, menjalankan tangannya di sisi tubuhku dan aku bersandar di bahunya. Aku teringat ponsel di tanganku dan aku mengeluarkannya dari selimut untuk membacanya, tidak perlu menyembunyikannya dari Sasuke.
Hey cantik, ada rencana malam ini?
Itu dari temanku Sasori, akhir-akhir ini kami tidak melakukan hubungan seks, kadang-kadang, jika kami sedang mabuk atau kesepian, kami melakukannya. Aku tidak mendengar kabarnya selama beberapa minggu, dan tentunya sekarang, ketika aku meringkuk di lengan laki-laki seksi ini dia mengirimiku pesan.
Sial, sial, sial. Sasuke menegang di sampingku, dan aku menunduk tapi menekan balas, masih tidak menyembunyikan ini dari matanya. Aku tidak punya sesuatu untuk disembunyikan.
Yeah, aku ada acara. Maaf.
Sasuke terlihat tidak santai di sampingku dan aku tahu dia marah.Sial.
Sasori membalas sangat cepat.
Besok?
Maaf Sasori, aku tidak tertarik.
Okay, bye Sakura.
Aku menaruh ponsel di saku ku dan menyandarkan kepalaku kembali di lengan Sasuke, tidak mengatakan apapun. Apa yang bisa aku katakan? Dia mendengus dan mengeratkan pelukannya padaku, tidak mengatakan apapun cukup lama.
Akhirnya aku menatapnya.
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Kenapa tidak?"
"Um, aku tak tahu. Hanya memastikan."
Dua kata terakhir adalah bisikan. Dia terlihat marah padaku, tapi aku tidak melakukan kesalahan. Aku mengatakan pada seseorang untuk menjauh!
Tiba-tiba dia bergerak dan mengambil iPhone nya dari saku.
"Berapa nomor ponselmu?"
Aku memandang lebar padanya dan dia menaikkan sebelah alisnya. "Apa nama belakangmu?"
"Nadia." Dia telah selesai memasukkan nama dan nomorku ke dalam ponselnya dan aku menutup mataku, menghirup aromanya sementara dia melanjutkan menggesek gadgetnya.
Ponselku berdering di saku.