Chereads / Datang Padaku / Chapter 5

Chapter 5

Sial! Aku terlambat!

Jis akan sampai di sini untuk menjemputku sebentar lagi, dan aku masih berlari mengitari rumah, menyambar peralatan kameraku, tas selempang dan sandal. Aku mengumpulkan rambutku di atas dan mengikatnya ketika bel berbunyi.

Sial!

"Hey!" aku tersenyum ketika membuka pintu, lalu mulutku menetes ketika melihatnya. Rambut hitam gelapnya masih basah sehabis mandi dan semuanya acak-acakan dengan caranya sendiri, dia memakai t-shirt abu-abu yang simpel dengan kaca mata yang menggantung di kerah bajunya, dan celana cargo berwarna khaki.

Yumm.

Mata hitamnya bersinar ketika dia tersenyum padaku. "Hi, cantik. Kau terlihat mempesona dengan baju merah." Aku merasa pipiku memanas. Aku suka atasan merah tanpa lengan ini, dan memutuskan untuk memakai celana pendek jeans yang pas di bagian belakang tubuhku. Hanya untuknya.

"Sudah siap?"

"Hampir," aku mundur, mempersilahkan dia untuk masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Aku sedikit terlambat. Pagi yang sibuk, tapi aku hampir selesai."

"Tidak bisa tidur lagi?" dia mengernyit ke arahku.

"Kebalikan, sebenarnya. Tidur terlalu nyenyak, hampir terlambat untuk yoga, dan harus melakukan beberapa tugas." Aku mengambil tas kameraku dan menyambar tas selempangku dari meja di samping pintu. Aku benci merasa berantakan!

Jis mengambil tas kamera dariku, menyampirkan di bahunya, dan aku menyeringai ke arahnya, berterimakasih. "Bagaimana denganmu? Tidur nyenyak?"

"Sangat, terimakasih."

"Aku ingin mengajakmu berkeliling, tapi aku akan sangat senang jika kita segera berada di jalan. Bagaiman kalau lain kali saja?"

"Tentu. Ayo."

Aku bersiul ketika melihat mobil sporty Lexus dengan bak terbuka miliknya terparkir di jalan masuk rumahku. Dia menyimpan tas kameraku di kursi kecil di belakang lalu membukakan pintu untukku dengan seringaian lebar kucing-makan-burung kenari di wajah tampannya.

"Mobil yang bagus."

"Aku pikir ini akan menjadi hari yang bagus untuk berkendara."

"Terdengar menyenangkan untukku." Jok kulitnya rendah dan lembut membuatku sedikit terkesan. Dia mempunyai selera yang bagus.

Kami meluncur di jalan bebas hambatan melewati White Water City dan menuju luar kota. Mobil ini melaju cepat! Matahari bersinar hangat, angin semilir, dan Jis memutar lagu kesukaannya. Tidak perlu berbincang, kami hanya menikmati ini masing-masing, dan aku menemukan diriku bersantai di jok dan menikmati kerimbunan, pemandangan hijau di sepanjang perjalanan kami menuju air terjun.

Sangat jelas Jis tau dimana Air Terjun Snoqualmie berada, dan ketika kita hampir sampai dia memelankan suara musik, lalu meletakkan tangannya di paha kiriku. Hanya sentuhan kecil membuat libidoku naik, dan aku menarik nafas untuk meredakan debaran jantungku.

"Kau sudah pernah ke sini sebelumnya."

Jis tersenyum padaku. "Ya, orang tuaku sering mengajak kami ke sini ketika kami masih kecil untuk piknik dan lainnya."

"Apakah tidak apa-apa kalau aku meninggalkan tas kameraku di dalam mobil? Aku akan mengambil kamera nya saja."

"Tidak masalah, aku akan menutup atasnya."

Jis dengan sabar menungguku mengumpulkan apa yang kuperlukan dari dalam tas, lalu menutup atap mobilnya, menguncinya dan kami pergi, menyusuri jembatan menuju hotel dan akses ke air terjun dimana turis bisa ber ooh dan aah ketika melihat keindahannya.

Aku menyelempangkan kamera di leherku dan memeriksa pengaturannya ketika berjalan.

"Sudah berapa lama kau menjadi fotografer?" tanya Jis. Dia memperhatikanku dengan intens ketika menyesuaikan pengaturan.

"Seumur hidupku, sebenarnya. Ayahku membelikanku kamera digital ketika aku berumur sepuluh tahun, dan aku tidak pernah ingin melakukan hal yang lainnya." Ingatan itu membawa senyuman di wajahku dan aku melihatnya.

"Dia pasti sangat bangga padamu," dia menggumam.

Rasa sakit itu melaju cepat dan dengan keras menghantamku. "Dia sudah pergi."

"Pergi?"

"Ibu dan ayahku terbunuh hampir tiga tahun yang lalu." Brengsek! Aku tidak bermaksud mengatakan itu!

"Sial, Puput, maafkan aku." Jis berhenti berjalan dan menarikku ke dalam lengannya, memegangku erat, kameraku menggantung di antara kami, dan aku malu karena merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak ingin hari ini menjadi hari yang sedih.

"Aku baik-baik saja." Aku meletakkan tanganku di dada datarnya yang keras dan mendongak melihat wajahnya. "Aku baik-baik saja. Jangan bersedih hari ini."

Jis mengernyitkan dahinya, matanya penuh dengan kasih sayang, meringankanku, dan mengasihani. Aku tidak ingin dia merasa besalah padaku.

"Hey, aku baik-baik saja. Sungguh." Aku menangkup pipinya di tanganku dan dia mencium telapak tanganku.

"Oke." Dia melepaskanku dan kami melanjutkan perjalanan ke air terjun. Tidak membutuhkan waktu lama karena air terjun itu tidak terlalu jauh dari jalan besar.

Aku memandang ke arahnya, dan dia masih terlihat murung, kerutan kecil terlihat di wajahnya.

"Jis, bergembiralah. Kau tidak mengatakan sesuatu yang salah. Aku senang kau berada di sini."

Dia melihat ke dalam mataku lagi dan memberikan senyum separuhnya. Aku bersantai sejenak, senang karena mood sudah membaik dan mengangkat kameraku ketika kami berbelok di tikungan untuk melihat air terjun.

"Aku sangat senang tidak ada orang lain di sini hari ini," aku mencoba untuk mengubah topik.

"Aku terkejut tidak ada orang di sini." Balasnya.

"Well, musim panas sudah hampir berakhir, dan ini di pertengahan minggu, jadi kupikir kita mempunyai tempat yang sepenuhnya untuk kita." Aku mulai mengambil foto.

Jis mundur ke belakang dan melihat aku bekerja. Aku bergerak ke atas dan ke bawah untuk mendapatkan angle yang berbeda, berhenti hanya untuk menyesuaikan pengaturanku dan mengambil gambar bunga, jaring laba-laba dan hal lainnya yang terlihat oleh mataku. Pohon-pohon mulai untuk berubah warna, jadi aku mengarahkan kameraku ke atas dan mengambil foto dari pohon-pohon itu juga.

"Siap untuk melanjutkan?" aku melihat ke arahnya. "Ku harap, aku tidak membuatmu bosan."

Dia menggelengkan kepalanya, kedua tangannya menyilang di depan tubuhnya dan dia menyandar di sebuah pagar. Dia terlihat santai, tapi matanya melihatku dengan intens.

"Melihatmu tidak akan pernah membosankan, Put."

Oh.

Dia membuka dirinya dan mengambil tanganku, mencium ruas-ruas jariku, sebelum membimbingku lebih jauh ke jalan yang kotor untuk mendapatkan jepretan di bawah air terjun. Dia mundur lagi dan membiarkanku bekerja. Aku merasakan matanya mengikutiku ketika aku bergerak, dan aku tersenyum pada diriku sendiri.

Setelah sekitar dua puluh menit aku terpesona dengan jepretan yang sudah aku ambil.

"Oke, aku pikir ini sudah bisa dibungkus."

Aku berputar menemukan matanya membelalak terkejut.

"Apa?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Kau sudah selesai?"

"Well," aku memeriksa kameraku. "Aku sudah mengambil hampir empat ratus foto. Aku yakin aku akan mempunyai beberapa foto bagus di antaranya."

"Aku yakin akan sangat indah."

Aku meringis dan memasang penutup lensa, hati-hati untuk tidak mengarahkan padanya, dan membiarkan kamera jatuh di pinggulku.

Aku tidak mengerti mengapa dia tidak suka diambil fotonya, tapi aku bisa menghargai itu. Kuharap aku bisa berbicara padanya agar mau berpose untukku. Dia akan menjadi sebuah kejutan untuk difoto.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya ketika kami mendaki jalan setapak kembali ke mobil. Dia berada di sampingku, tangannya berada di punggung bagian bawahku.

"Mengapa kau tidak suka jika gambarmu di ambil?" matanya bertemu denganku, lalu dia dengan cepat mengalihkan pandangannya. Dia mengangkat bahu acuh, tapi aku dapat melihat dia menyembunyikan sesuatu.

"Lihat aku." Aku berkata dengan lembut, dan tersenyum.

Mata hitam lebarnya bertemu dengan mataku, seperti berkata dia akan menuju ke mana dengan ekspresi itu.

"Kau dapat mengatakan padaku."

Kami berhenti di jalan setapak, saling memandang, dan karena tanah yang tidak rata mataku hampir sejajar dengan matanya. Aku meletakkan tanganku di bahunya. Mata Jis melebar dan dia menelan ludah, terlihat dia akan mengakui sesuatu. Perutku mengepal. Katakan padaku!

Dia menggelengkan kepalanya tiba-tiba dan segera menutup matanya.

"Aku hanya tidak bisa."

Aku mengernyit, tapi dia menggelengkan kepalanya lagi dan berbisik, "Hanya bagian dari phobiaku akan keramaian. Itu bodoh, aku tahu."

Aku ingin menyelidikinya lebih lanjut, tapi dia melepaskan tanganku di bahunya, mengaitkan jarinya denganku dan meletakkan lengan kami di sekitar punggungku, menarikku lebih dekat.

Dia menggosokkan hidungnya di atas hidungku, mata hitamnya menatap intens.

"Aku baru saja berpikir tentang menciummu sepanjang hari."

"Kenapa kau hanya berbicara tapi tidak melakukkannya." Aku terkejut dengan respon lancangku, atau aku bisa merespon semuanya dengan jantungku yang berdebar dengan kencang.

Jis tersenyum di bibirku, dan menyapuku dalam ciuman panas dan kuat. Dia membebaskan tanganku dan menemukan pantatku seperti yang dia lakukan di malam sebelumnya, menarikku. Aku menggenggam wajahnya di tanganku, menyentuhnya, dan hanya seperti itu aku hilang di dalam dirinya. Mulutnya sangat ahli! Dia mengecap bibirku, dan lidahnya bergerak dengan lembut dan sabar di mulutku. Aku mengerang dan mendorong tanganku ke dalam rambutnya, mencengkeramnya kuat.

"Permisi!"

Aku melirik ke belakang dan melihat sekumpulan pendaki hendak melewati jalan setapak. Oops! Jis tertawa dan menarikku ke samping jalan agar mereka bisa turun ke jalurnya.

"Aku kira kita tertangkap." Jis berbisik di telingaku, menyelipkan untaian rambut di belakang cuping telingaku dan mencium pipiku.

"Aku pikir begitu," aku terkekeh, dan kami melanjutkan pendakian menuju mobil seksinya.

"Kau membawa makanan?" aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan di suaraku ketika Jis menarik pendingin kecil dan selimut keluar dari kotak di belakang mobil. Aku mengemasi kameraku dan bersandar di mobil.

Dia memberikan senyum malu-malunya. "Ya, aku menyiapkan makan siang. Aku tahu tempat kecil yang bagus di atas jalan setapak itu untuk bersantai sejenak. Kuharap itu tidak apa-apa? Katamu kau tidak mempunyai sesi hari ini."

"Terdengar bagus untukku, aku kelaparan."

"Bagus. Kemarilah." Dia mengambil tanganku dan mengarahkanku ke jalan setapak yang lain. Pohon-pohon dan pakis tumbuh rimbun di sekitar kami, tidak membiarkan terlalu banyak sinar matahari masuk. Setelah beberapa menit berjalan, jalurnya semakin jelas.

Disana ada padang rumput yang indah dengan rumput hijau yang tinggi. Sebuah pohon oak yang tinggi dan rimbun tumbuh tegak di tengahnya. Pohon itu sangat besar, cabang-cabang hijaunya menyediakan naungan yang rimbun.

"Oh, ini sangat indah!" aku melepaskan tangannya dan berjalan tergesa melewati rumput ke pohon megah dan memandang ke atas cabang-cabangnya. "Pohon ini seharusnya sudah berumur dua ratus tahun."

Aku melirik Jis, senyum lebar menghiasi wajahku. Dia berdiri di dekatku, kotak dan selimut berada di kakinya, sementara tangannya berada di kantong celananya.

"Aku senang kau menyukainya."

Aku melihatnya lagi. "Jis, aku sangat menyukainya."

Aku membantunya membentangkan selimut besar berwarna hijau yang kita gunakan untuk meringkuk di bawah rimbunan pohon.

"Buat dirimu nyaman."

Aku melepas sandalku dan duduk di atas selimut lembut itu, kakiku terjulur di depan dan aku bertumpu ke belakang dengan tanganku.

Jis juga melepas sepatunya – mmm, bertelanjang kaki – dan berlutut di atas selimut, membuka kotak.

Dia mengambil salad buah, sandwich, dan hummus dan cracker.

Perutku berbunyi dan kami berdua tertawa.

"Kau membuat semua ini?" dia memberikanku sepotong sandwich dan aku kemudian menggigitnya. Mmmmm….

"Ya, aku menyiapkan semua ini pagi tadi." Dia memberikan buah untukku dan menggigit cracker yang penuh dengan hummus di dalam mulutnya. "Aku menyukai perempuan yang suka makan."

Aku berhenti mengunyah dan melihatnya, mengerutkan dahi, mengingat perut, paha, dan pantat bulatku. "Apa maksudmu?"

"Seperti yang aku katakan tadi. Aku suka perempuan yang menikmati makanan." Dia mengangkat bahunya dan mengernyit atas ekspresiku. "Apa yang kau pikirkan?"

Sial. "Aku tak tahu." Aku memakan strawberry.

Matanya menyempit. "Jangan katakan kau mempunyai masalah dengan badan."

"Jangan konyol." Sialan!

"Put, kau cantik, kau tidak punya alasan untuk rendah diri."

"Tidakkah kau melihat bagaimana aku melahap sandwich itu? Aku tidak rendah diri."

Berhenti membicarakan hal ini.

Dia menggelengkan kepalanya.

"Ini enak." Aku tersenyum manis.

Dia tidak terlihat memperhatikanku mengganti topik pembicaraan, tapi dia membiarkannya dan mulai membereskan sisanya ke dalam kotak.

Aku berbohong dan mengambil nafas penuh dan dalam. Oh, ini bagus. Hari yang hangat di penghujung musim panas, makanan yang enak, dan seorang pria yang seksi…

Ya, ini hari yang sangat bagus. Tiba-tiba, Jis menarik kakiku ke atas pangkuannya dan mulai memijat. Membuat hari ini menjadi lebih baik lagi.

"Oh, my. Kau memasak dan memberikan pijatan kaki. Aku pasti berhalusinasi." Aku mendengarnya terkekeh.

"Hey, apa ini?" dia menjalankan ibu jarinya di atas lekukan di kaki kanan bagian dalamku. Oh, itu.

"Sebuah tattoo."

Dia menggelitik kakiku dan aku menggeliat dan tertawa.

"Sangat jelas. Apa artinya?"

"Itu 'Satu Langkah pada Satu Waktu'." Jawabku dan menghela nafas ketika dia melanjutkan pekerjaan ajaibnya di telapak kakiku.

"Dalam bahasa apa?"

"Italia." Jawabku.

Jarinya menelusuri kalimat itu dan aku mendorong sikuku kemudian memandangnya. Matanya berkilat ketika bertemu dengan mataku, ototnya menurun, menurun di kepalan perutku.

"Ini seksi." Dia menyeringai.

"Terimakasih." Aku membalas seringaiannya.

"Apa kau mempunyai yang lain?" dia memiringkan kepalanya ke samping dan meraih kakiku yang lain.

"Ya."

Matanya menatap tajam lagi dan menyempit.

"Dimana?"

"Berbagai tempat."

"Aku tidak melihat yang lain." Matanya menelusuri kaki, lengan dan dadaku.

"Satu yang di kakiku adalah satu-satunya yang terlihat dengan aku berpakaian lengkap, dan itu hanya terlihat jika aku bertelanjang kaki," bisikku. Oh, ini menyenangkan.

Dia melepaskan kakiku.

"Hey! Aku sedang menikmati pijatan kakinya."

Dia memegang tumitku dan melebarkan kakiku, lalu merangkak naik ke atas tubuhku bertumpu pada tangan dan lututnya sampai hidungnya hampir menyentuhku.

"Aku ingin tahu dimana letak tattoo yang lain, Put." Ucapnya sexy.

Aku menggigit bibirku dan menggeleng. Siapa yang bisa berbicara dengannya ketika tubuhnya begitu dekat?

"Kau tidak ingin memberitahuku?" dia bersandar dan mencium ringan ujung bibirku.

Lagi aku menggelengkan kepala.

"Mungkin, aku harus menemukan mereka."