Sudah tengah malam ketika Anna dan aku sampai di rumah.
Film dengan genre action petualangan berkecepatan tinggi dengan Vin Diesel sebagai tokoh utamanya adalah benar-benar apa yang aku butuhkan untuk menghindari kenyataan selama beberapa jam. Setelah itu aku berbelanja bersama bisa, aku, Puput Nadia, membeli sepatu baru? Itu adalah sifat burukku.
"Louboutin merah yang kau pilih itu sangat pantas untuk kau beli," Anna dan aku menarik tas-tas belanjaan keluar dari bagasi Lexus ku.
"Aku tahu. Aku menyukainya. Aku tidak tahu kapan aku akan mengenakannya, dan aku tidak bisa menolak untuk membelinya." Aku meraih tas sepatu dan kami berjalan ke pintu depan.
Kami berhenti dengan tiba-tiba ketika kami melihat apa yang menunggu kami di depan pintu rumah. Berlusin-lusin buket mawar, dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna, menutupi beranda, tangga, setiap permukaan yang memungkinkan. Baunya sangat harum. Mungkin ada sekitar lima puluh lusin mawar di sini.
"Oh, Put." Mata Anna membelalak, dan wajahnya menjadi lembut, melihat semua ini.
Aku tidak bisa melakukan apapun selain melakukan hal yang sama dengannya.
"Wow." Itu semua yang dapat aku katakan, dan aku hanya sangat lega. Mungkin ini belum berakhir?
Kami berjalan ke tangga, berhati-hati untuk tidak menginjak apapun itu, dan aku melihat sebuah amplop tertempel di pintu dengan nama ku tertulis di atasnya.
"Ini!" Anna menariknya dan menyerahkan padaku. Terlalu gelap untuk membacanya dengan baik, kami masuk ke dalam dan meletakkan tas kami. Anna mulai mengangkuti buket-buket itu masuk.
"Dimana harus kuletakkan ini semua?"
"Um...Aku tak tahu. Letakkan saja di manapun."
Anna tersenyum sangat lebar. "Dia harus mendapatkan pujian untuk ini."
"Yeah." Aku merasakan senyum lebarku dan melihat ke arah amplop lalu membuka nya perlahan.
'Dear Puput, ini adalah mawar-mawar untuk setiap waktu aku memikirkanmu hari ini. Ku harap kau mau berbicara padaku dan membiarkanku menjelaskan mengapa aku tidak memberitahumu siapa diriku, dan aku sangat meminta maaf bahwa kau harus mengetahuinya dari temanmu. Banyak yang harus ku jelaskan padamu, dan kuharap kau memberikanku kesempatan untuk menjelaskannya kepadamu.
Tolong telpon aku nanti jika kau siap untuk berbicara.
Yours, Jis.'
Oh, ya, dia sangat manis. Aku meletakkan note itu di saku dan membantu Anna membawa semua bunga-bunga itu ke dalam, meletakkannya di setiap sudut rumah. Itu terlihat seperti akan diadakannya acara pemakaman atau pernikahan di ruang tamuku, dan itu membuatku terkekeh geli.
"Lihat?" Anna menyeringai. "Aku sudah memberitahumu kalau dia tergila-gila padamu."
"Atau hanya gila," jawabku sambil tertawa.
"Sebaiknya kau meneleponnya dan berterima kasih."
"Ya, Nyonya." Aku memutar mataku padanya.
Kami mengunci pintu setelah buket terakhir dibawa masuk. "Ini, ambil beberapa untuk kamarmu."
"Tidak perlu menyuruhku dua kali!" Anna menyelipkan satu buket di tiap tangannya dan berjalan ke atas dengan barang belanjaannya.
Aku menyambar ponselku, yang mati sepanjang hari, sepatu baruku dan rangkaian indah mawar merah bertangkai panjang dengan mutiara terselip di kelopaknya dan pergi ke kamarku. Aku menendang sandalku, mengatur vas di samping ranjang, meletakkan sepatu baru di rumah barunya di lemari.
Kembali ke bunga, aku bahagia melihatnya dan mengubur hidungku di kelopaknya yang harum dan lembut. Aku menyadari ada note lain, terselip di batang dan menariknya, duduk di ranjang ketika aku mulai membaca note itu.
'Ini mengingatkanku pada kaki panjang mu yang indah dan bibir merah mu yang nikmat. Dan suatu hari nanti, aku akan senang melihatmu tidak mengenakan pakaian, hanya menggunakan mutiara.'
Oh my. Inikah rasanya mendapatkan perlakuan romantis? Aku tidak pernah tahu, tapi ku pikir aku menyukainya. Dan ini memang terjadi padaku, bahwa dia selalu memperlakukanku dengan romantis, makan malam di rumahnya, berpelukan di terasnya sambil menikmati sunset, piknik makan siang kami yang luar biasa kemarin. Dia benar ketika mengatakan dia akan bercinta dengan ku malam tadi. Seks belum pernah seintim ini untukku. Tapi dia berbohong, walaupun itu sebuah kelalaian, dan itu adalah prinsipku.
Aku memutuskan untuk memberikannya satu kesempatan untuk menjelaskan. Aku akan pergi ke rumahnya besok dan mendengarkannya. Aku sudah merindukannya, sentuhannya, senyumannya, tawanya yang terbahak-bahak, perasaan ketika rambut hitam lembutnya berada di jemariku. Dengan sangat putus asa aku menginginkan sesuatu yang bagus terjadi dengan laki-laki ini, dan mungkin itu yang paling membuatku takut, bahkan melebihi status selebritinya dan fakta bahwa dia mungkin mempunyai perempuan glamour yang kurus di planet ini.
Jika hal ini berjalan terlalu jauh, dia mungkin akan menyakitiku. Tapi pemikiran tidak bertemu dengannya lagi membuat dadaku sakit.
Aku mengambil ponselku dan surat Jis dari dalam saku. Aku menghidupkan ponsel dan tidak sabar menunggunya menyala.
Tiga panggilan tak terjawab, dua pesan suara, dan dua pesan teks.
Tidak ada satupun berasal dari Jis.
Dua pesan suara dari klien, aku menyimpannya dan mengingatkan diriku untuk menelepon mereka, besok pagi.
Aku menggeser turun layar hpku, mencari nama Jis dan menekan tombol 'Call'.
Dia menjawab pada deringan pertama.
"Hai." Jawabnya, dengan lembut.
"Hai." Bisikku, menutup mataku ketika mendengar suaranya.
"Terima kasih untuk bunga-bunga yang indah."
"Kau menyukainya?" aku mendengar senyumannya.
"Mereka luar biasa. Dan sangat cantik." Aku tertawa kecil.
"Aku memikirkanmu sepanjang hari ini."
"Kelihatannya begitu."
"Put, maafkan aku…,"
"Tidak, Jis," aku memotong ucapannya, kesakitan dalam suaranya adalah sumber kehancuranku. "Maafkan aku juga. Aku mungkin terlalu berlebihan."
"Tidak, aku mengerti. Seharusnya aku mengatakan sesuatu kemarin."
"Yeah, seharusnya." Desahku. "Aku tidak ingin membicarakan tentang ini lewat telepon. Kau sibuk besok pagi?"
"Kau ingin bertemu denganku besok?" aku mendengar antusias di suaranya dan membuatku meleleh.
"Well, aku tadi berpikir bahwa mungkin aku harus ke rumahmu dan kita bisa bicara."
"Ya. Datanglah sekarang."
Aku tertawa dan berpindah ke sisi ranjang, merasakan perutku mulai merasa tenang pertama kalinya sejak pagi ini.
"Aku lelah dan merasa tidak bisa bangun untuk percakapan panjang malam ini."
"Apa yang kau lakukan hari ini?" tanyanya.
"Anna dan aku pergi berbelanja."
Haruskah aku mengatakannya tentang menonton film?
"Apa yang kau beli?" Tuhan, aku menyukai suara seksinya.
"Sepatu."
"Kau suka sepatu?"
"Aku perempuan. Aku bisa dipastikan, akan sangat mencintai sepatu."
"Seperti apa sepatu baru itu?"
"Stiletto merah, Louboutins." Aku meringis ketika membayangkan sepatu seksiku.
Dia bersiul. "Wow."
"Ya, wow." Aku tertawa.
Tiba-tiba suasana menjadi sunyi dan kupikir panggilanku telah terputus.
"Jis?"
"Yeah, maaf, aku baru saja membayangkan kau tidak berpakaian, tapi hanya menggunakan sepatu itu dan kalung mutiara."
"Wow," bisikku.
"Ya, wow." Suaranya rendah, aku mendengar seringaiannya dan aku ingin menyentuhnya.
"Apa lagi yang kau lakukan hari ini?" tanyanya, menginterupsi pikiranku.
"Well, cukup miris, kami pergi ke bioskop."
Aku mendengar dia terkejut."Ku pikir kau tidak terlalu suka menonton film."
"Memang, tapi aku mengalami pagi yang sulit dan aku ingin melupakannya sejenak, kami makan banyak popcorn dan soda, dan dada telanjang Vin Diesel."
"Apakah itu bagus?"
"Dada telanjang Vin Diesel selalu bagus." Balasku sombong.
"Kau melukai ku, Put."
"Dada telanjang Jis lebih bagus," bisiku.
"Itu lebih baik," dia menjawab dengan bisikan juga.
"Aku menyukainya ketika kau berbisik."
"Kau suka? Kenapa?"
"Itu hot."
"Benarkah?"
"Sangat hot." Oh, aku suka godaan yang kami lakukan.
"Aku akan mengingatnya."
Tiba-tiba aku berharap aku akan menerima tawarannya untuk pergi ke rumahnya sekarang, jadi sebelum aku dapat membuat kekacauan pada diriku sendiri, aku mengakhiri panggilannya.
"Besok jam Sembilan pagi?" tanyaku.
"Aku akan membuat sarapan dan menunggu," gumamnya.
"Selamat malam."
"Selamat malam, cantik," bisiknya.
Aku terbangun karena suara bel pintu yang terus menerus. Aku melirik ke jam beker. Siapa yang memencet bel di jam 7.30 pagi seperti ini? Aku meraba-raba mencari celana yoga dan kaus, kemudian menggerutu dan bersusah payah turun ke lantai bawah.
Di depan pintu rumahku ada seorang gadis pirang, berumur sekitar enam belas tahun, memegang cup Starbucks dan setangkai mawar merah.
"Kau Puput?" dia bertanya sambil tersenyum.
"Ya."
"Ini untukmu." Dia terlihat sangat bersemangat ketika menyerahkan dua benda itu kepadaku.
"Uh, terima kasih." Aku mengambil benda itu darinya, mendorong mawarnya ke hidungku.
"Ada surat juga." Dia menyerahkan padaku, dan menepukan tangannya. "Ini adalah hal paling romantis yang pernah kulihat dalam hidupku!"
Aku tertawa melihat kegembiraannya dan membuka pintu ku lebih lebar agar dia dapat melihat lusinan buket mawar di ruang tamu.
Matanya seperti akan keluar dari kepala kecil cantiknya.
"Sial! Wow. Kau sangat beruntung. Bye!" dia melambaikan tangan dan pergi.
Aku menyesap kopinya – Ya Tuhan, ini enak. Bagaimana bisa dia tahu kalau white mocha adalah favoritku? – dan membuka suratnya.
'Selamat pagi, Cantik. Hadiah kecil untuk memulai harimu. Aku tidak sabar menunggu untuk bertemu denganmu. Jis'
Ya tuhan, dia sangat manis. Anna turun dari tangga dan menguap.
"Siapa yang datang?"
"Apakah Starbucks melakukan delivery?" tanyaku.
"Uh, kuharap." Dia melihat kopi dan mawarku.
"Seorang gadis yang mengantarkannya."
"Ya ampun, ini mulai membuatku mual." Anna berjalan ke dapur dan aku tertawa, mengikutinya.
"Aku akan bertemu dengannya pagi ini."
"Bagus. Aku tidak membutuhkan detilnya." Dia membuat kopinya sendiri. "Tunggu. Kau akan melakukan seks. Ya, aku membutuhkan detil. Dan foto-foto."
Aku meringis dan membenamkan hidungku di mawar itu lagi. "Aku tidak akan tidur dengannya. Kami hanya akan berbicara."
"Benar."
"Ya."
"Okay. Beritahu aku nanti bagaimana kelanjutannya." Dia mulai mengatur mesin pembuat kopi, lalu tersenyum padaku. "Aku senang kau memberikannya kesempatan."
"Hanya karena dia Jis Khalifa?"
"Bukan, karena dia adalah pria baik yang akhirnya memperlakukanmu dengan cara yang pantas kau dapatkan."
"Apa yang aku lakukan pada diriku?"
"Sesuatu yang menyenangkan." Dia mengangkat bahu. "Berhenti terlalu memikirkannya dan nikmati saja."
"Okay. Aku mau mandi dan pergi ke rumahnya untuk sarapan."
"Hati-hati." Katanya setelah aku pergi.
"Selalu." Jawabku.
Aku berdiri di depan pintu rumah Jis dan berhenti sebelum menekan bel. Apakah aku berdandan terlalu berlebihan? Aku melirik ke bawah ke gaun musim panas kuning dan sandal hitam bergarisku. Musim panas berjalan dengan ganas, dan hari ini akan menjadi hari yang hangat. Mungkin seharusnya aku menggunakan kaus.
Mungkin aku seharusnya berhenti menunda-nunda dan mulai memencet belnya.
Beberapa detik kemudian Jis membuka pintu dan sebelum aku dapat mengatakan satu kata dia memelukku dan menciumku dengan sebuah kebutuhan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dia menjalankan satu tangannya turun ke punggungku, menarikku merapat padanya. Tangannya yang lain memegangi sisi kepalaku sementara mulutnya bergerak tangkas di atas bibirku, berbolakbalik, lidahnya mendorong ke dalam mulutku, menari dan bergerak bersama dengan lidahku.
Ya Tuhan, aku merindukannya! Ini baru dua puluh jam, tapi rasanya seperti aku tidak bertemu dengannya seharian. Aku menjalankan tanganku di punggungnya, di bawah kausnya, merasakan kulit lembutnya dan mengerang di mulutnya. Dia memperlambat ciumannya, dengan lembut menyentuh bibirku dengan bibirnya, dan ketika aku membuka mataku, dahinya bersandar di dahiku.
"Apakah kau selalu membukakan pintu dengan cara seperti ini?" bisikku.
"Ya Tuhan, Put, aku sangat takut aku tidak bisa bertemu denganmu lagi." Suaranya serak terdengar menderita, dan aku membawa wajahnya dengan tanganku, memohon padanya untuk melihat mataku.
"Aku di sini."
"Terima kasih Tuhan." Dia mundur dan aku membiarkan mataku mengamati dirinya. Tubuhnya terlihat luar biasa dengan kemeja berkancing putih, lengan yang digulung sampai siku, dan celana jeans. Dia bertelanjang kaki. Rambutnya berantakan dan seksi dan jariku memohon untuk dapat menyentuhnya.
"Kau terlihat luar biasa. Masuklah, anggaplah rumah sendiri."
Aroma dari dapur tercium, dan perutku menggeram. "Kau memasak?" tanyaku, menatap balik dirinya.
"Aku menjanjikanmu sarapan."
"Kau telah mengirimiku kopi, yang sangat lezat dan tak terduga. Terima kasih." Aku bersandar dan menciumnya.
"Sama-sama." Dia tersenyum. "Ku harap kau suka roti bakar Perancis, bacon, buah dan kopi."
"Sempurna."
"Sudah ku atur di luar."
Aku mengikutinya keluar ke teras yang mengagumkan dan dia mengisyaratkan agar aku berjalan di depannya. Apakah aku berada di sini beberapa hari yang lalu? Itu terasa seperti sudah sangat lama, banyak hal yang terjadi sejak hari itu.
Meja telah tertutup dengan taplak putih. Makanan sudah berada di piring, di bawah penutup bundar berwarna perak. Ada kopi dan jus, tapi apa yang menarik perhatianku adalah mawar merah. Tiga lusin mawar merah berada dalam tiga buket terpisah diletakkan di setiap kaki meja.
Air mata menggenang di mataku dan aku merasakan tangan Jis berada di bahuku dari belakang. Aku merasa bersalah kepadanya terutama setelah aku mengeluarkan kata-kata jahatku kepadanya.
Aku berbalik dan melihatnya, mata hitam indahnya. "Terima kasih banyak."
"Dengan senang hati, sayang. Aku sudah mengatakan padamu di mobil, kita mempunyai banyak hal yang harus dilakukan. Biasakan itu."
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan. Dia menarikku dalam pelukannya dan mencium dahiku.
"Ayo, kita makan. Aku sudah kelaparan."
Kami duduk di kursi yang sama dengan yang kami duduki malam sebelumnya. Dia membuka piring kami dan aku mencium aroma yang lezat di hidangannya.
"Aromanya luar biasa." Aku menuangkan sirup hangat di roti bakar Perancis ku dan menggigit bacon. "Mmmm...bacon."
Dia tertawa dan menggigit bacon miliknya. "Aku suka melihatmu makan."
"Kenapa?" aku bertanya dengan mulut penuh dengan roti bakar yang lezat dan lembut.
"Karena kau sangat jujur dengan itu. Seperti semua yang kau lakukan, ku kira. Aku menyukainya bahwa kau menikmati makanan."
"Sangat jelas. Apakah kau melihat ukuran pantatku?"
Matanya berapi-api ketika dia menatapku di balik mug kopinya. "Jangan pernah merendahkan dirimu seperti itu lagi, Put."
Sialan. Aku mengernyit dan menatap piringku.
"Aku tak tahu sudah berapa kali aku mengatakan atau menunjukkan padamu bagaimana cantiknya dirimu bagiku, untuk kau tanamkan dalam pikiranmu."
"Jis…," dia meraih daguku dengan jari panjangnya, mendongakkan kepalaku untuk melihat mataku.
"Lihat aku. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang tubuhmu. Makanlah apapun yang kau inginkan. Aku menyukai melihatmu makan. Aku akan senang berolahraga denganmu, hanya karena aku menyukai melihatmu bergerak. Lekuk tubuhmu sangat indah, dan aku tidak sabar untuk menyentuhnya lagi."
"Okay."
Apa lagi yang harus aku ucapkan?