Aku menyukai rambutnya. Panjangnya tepat untukku menjalankan jari-jariku melalui kelembutannya, lagi dan lagi. Jis mendesah puas, pipinya bersandar di dadaku dan aku membelainya dalam pelukanku.
Kami bertahan seperti itu cukup lama, dalam keheningan yang menyenangkan.
Ketika nafasnya mulai menjadi pelan, dan kupikir dia tertidur, dia mengangkat kepalanya, mencium dadaku dimana pipinya tadi berada dan mata kami bertemu.
"Tinggallah denganku akhir minggu ini."
"Kupikir kita telah memutuskan itu," jawabku.
"Benar, sial." Dia menciumku cepat lalu menggulungku, dan berjalan ke kamar mandi. Ya, dia mempunyai pantat yang indah.
"Aku punya satu pertanyaan," aku berkata padanya di dalam kamar mandi.
"Tanyakan," jawabnya.
"Apa kau menggunakan peran pengganti untuk memperlihatkan tubuh bagian belakangmu di film?" aku menarik gaun ku dari atas kepala dan menjalin rambutku, mengikatnya di belakang.
"Uh..." aku mendegar aliran air di wastafel dan dia menjulurkan kepalanya keluar dari pintu.
"Tidak."
"Oh." Bagaimana perasaanku tentang ini?
"Kupikir kau tidak menonton film ku?" dia melemparkan senyum separuhnya padaku. Swoon!
"Aku tidak. Itu adalah adegan khusus favorit Anna." Jelasku.
"Ah." Dia menghilang lagi, kembali ke kamar mandi untuk beberapa menit lalu muncul dalam boxer merah yang segar – air liur menetes – memakai jeans nya kembali dan kemeja berkancing.
"Aku tak tahu bagaimana perasaanku tentang itu." Gumamku ketika aku melihatnya berpakaian.
"Kenapa?"
"Aku pikir aku tidak suka jika semua orang di dunia ini bebas melihat pantatmu."
Dia menarikku dari atas ranjang ke arah dadanya yang keras, mengaitkan jarinya di punggung bawahku.
"Kenapa, Put, kau cemburu?"
"Dari sekitar seratus juta gadis yang bermain mata dengan mu?" aku menaikkan alis ku.
"Mengapa harus cemburu?"
"Tentu saja bukan apa-apa." Dengan lembut dia menyapukan bibirnya padaku dengan caranya yang membuat lututku menjadi lemas.
"Mata dan tanganmu adalah satu-satunya yang kuinginkan berada di pantatku, baby."
"Okay," bisikku di mulutnya.
"Jika aku tinggal di sini akhir pekan ini," aku mundur menjauh dari lengannya dan meraih tangannya. "Aku perlu kembali ke rumah dan mengambil beberapa barang. Aku tidak mempunyai rencana liburan akhir pekan."
"Ayo pergi sekarang, lalu kembali lagi ke sini."
"Kau ingin menghabiskan sepanjang akhir pekan di rumah?"
"Sebagian besar, ya." Dia membawa tanganku ke bibirnya. "Kita bisa berkencan di sini hari ini, lakukan apapun yang kau mau. Aku akan memasak untukmu dan menjaga mu."
Mulutku terbuka, tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Dan besok, aku ingin kau pergi ke rumah orang tuaku, bersama ku untuk makan malam."
"Apa?"
"Mereka mengadakan acara keluarga setiap hari Minggu, dan kupikir adikku berada di kota selama akhir pekan."
"Aku tidak bisa bertemu dengan keluargamu!" aku menarik tanganku darinya dan membungkus lenganku di sekitar perut. Bertemu keluarganya!
"Kenapa tidak?"
"Kau baru mengenalku kurang dari seminggu!"
"Lalu?"
"Lalu? Lalu! Jis..."
Dengan cepat dia meraih tanganku lagi dan tersenyum malas pada mataku yang panik.
"Itu hanya acara dengan beberapa burger di pemanggang, Put. Bukan acara yang besar. Aku ingin kau bertemu dengan keluargaku."
"Apakah kita melangkah dengan cepat?"
Dia cemberut dan menunduk melihat tangan kami lalu kembali menatap mataku.
"Kau tinggal denganku akhir pekan ini. Sebagian dari akhir pekan ku adalah menghabiskan waktu siang bersama dengan keluargaku. Aku ingin kau datang."
Dia ingin aku bertemu keluarganya! Aku hanya tidak bisa memikirkan hal ini.
Tapi dia terlihat sangat berharap, dan aku harus mengakui, sebagian dari diriku sangat penasaran untuk bertemu orang tuanya dan melihat dimana dia tumbuh.
"Okay, aku akan datang."
Matanya bersinar dengan kegembiran anak laki-laki.
"Kau mau?"
"Ya, tampaknya aku tidak bisa melawan daya tarikmu," kataku sarkastik.
"Ayolah," dia memukul pantatku dan mengarahkanku ke tangga.
"Ayo pergi mengambil barang-barangmu sebelum aku melucuti gaun itu dari tubuhmu lagi."
.
Aku duduk di ruang makan Jis, mengedit foto. Kami menghabiskan satu jam atau lebih untuk mengumpulkan baju-bajuku, kebutuhanku dan laptopku, kamera dan kartu memory dari rumahku, lalu menghabiskan setengah jam untuk membereskan sarapan kami.
Segala sesuatu berjalan dengan cepat jika kita tidak terlalu sibuk menyentuh, berciuman, dan mencuri pandang sepanjang waktu.
Tiba-tiba, lagu Katy Perry Teenage Dream membuat semuanya masuk akal.
Aku memandang ruang tamu yang terang sampai ke sofa Jis, dimana dia duduk santai, kaki telanjang nya menyilang di pergelangan kaki, setumpuk naskah film berada di atas sofa. Dia membuka satu naskah di pangkuannya, dan dia menggigit ibu jarinya ketika membaca.
Bayanganku berada di atas pangkuan Jis dan melempar naskah-naskah itu ke belakang sofa membuatku tersenyum, tapi aku kembali ke gambar di layar laptop ku.
Aku mengedit foto yang kuambil ketika aku dan Jis berada di air terjun beberapa hari yang lalu. Ada sekitar dua puluh lima di antaranya yang menjadi favoritku, dan aku akan mencetak dan membingkainya, menawarkan mereka di sekitar kota.
Ketika aku menutup file foto air terjun, aku merasakan Jis berdiri dan berjalan ke dapur.
"Kau menginginkan sesuatu untuk diminum?"
"Air putih saja, terima kasih." Aku tersenyum padanya dan membuka file berikutnya untuk diedit.
Ini akan menjadi lebih menyenangkan.
Pasangan yang aku potret kemarin memenuhi layarku. Jis berjalan di belakangku dan meletakkan air untukku di atas meja.
"Wow."
Aku mendongak dan menyeringai.
"Mereka terlihat bagus, bukankah begitu?"
"Ya. Mereka hanya perlu sedikit bersantai."
Aku tertawa.
"Dua puluh foto pertama terlihat menegangkan ketika diambil. Itu membutuhkan waktu yang cukup lama bagi klien untuk bersantai."
Aku melewati sekitar dua puluh foto dan berhenti.
"Lihat? Mereka bahkan sudah tidak menyadari kalau aku berada di sana." Perempuan berambut pirang memakai baju tidur hitam yang terbuka. Laki-laki berambut gelap duduk di atas ranjang, kaki menyilang, dan si perempuan duduk di atas pangkuannya, lengannya mengalungi lehernya dan jari-jari yang berada di rambutnya, menciumnya.
"Yeah, lebih baik." Dia mulai menggosok bahuku selama dia melihatku bekerja.
"Kapan kau mengambil foto-foto itu?" tanyanya.
"Kemarin." Aku bersandar di tangannya dan mengerang. Dia sangat luar biasa dengan tangannya.
"Setelah pertengkaran kita."
Itu bukanlah sebuah pertanyaan.
"Ya. Ya Tuhan, jangan berhenti."
Dia mencium kepalaku dan aku merasakan dia tersenyum. "Aku lebih memilih mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seksimu ketika kau telanjang."
Aku tertawa dan mengangkat kepalaku, melihatnya ke atas dan ke bawah.
"Nanti. Aku harus menyelesaikan ini. Klien ku sudah menerima pengembalian uang, dan aku ingin mereka memiliki gambar mereka secepatnya."
"Kenapa mereka mendapatkan pengembalian uang? Put, foto-foto ini sangat luar biasa."
"Karena itu bukan sesiku yang menyenangkan seperti biasanya. Aku merasa buruk."
"Maafkan aku." Dia mencium kepalaku lagi.
"Jangan. Mereka akan senang dengan foto-foto itu, dan dengan mendapatkan uang mereka kembali. Beri aku satu jam."
"Oke, gunakan waktumu Sayang." Dia kembali ke belakang membaca naskahnya, melarikan tangannya melewati rambutnya yang berantakan, aku hanya bisa menyeringai, menikmati kebersamaan kami.
Aku memberikan sentuhan terakhir pada foto seksi terakhir ku dengan klienku yang menawan dan aku menyeringai puas. Meskipun suasana hatiku memburuk kemarin, tapi aku bisa membuat foto ini menjadi luar biasa.
"Oke, lihatlah kemari."
Jis bangkit dengan anggun dari sofa dan berdiri di belakangku lagi. Aku membuka setiap gambar yang telah selesai, bangga dengan hasilnya.
"Mereka sangat luar biasa." Dia mencium pipiku lembut dan aku tersenyum lebar, bersinar karena pujiannya.
"Terima kasih. Ku harap mereka menyukainya."
"Mereka bodoh jika tidak menyukainya. Kau sudah selesai untuk hari ini?"
"Yep, hanya ini pekerjaanku. Semua sudah ku selesaikan hingga sesi hari Senin."
Aku mematikan laptopku dan berdiri, meregangkan tubuhku.
"Bagaimana bacaannya?" tanyaku, menunjuk setumpuk naskahnya.
"Membosankan. Semuanya hanya omong kosong hari ini."
"Tidak ada hal mengejutkan di tumpukan itu?" aku menjalankan tanganku turun ke pipinya, tidak sanggup menahan diriku dari menyentuhnya.
"Tentu saja tidak." Dia berbalik dan mencium telapak tanganku, dan aku merasa darahku mulai bergolak.
"Maafkan aku, aku menjadi pasangan yang membosankan siang ini." Kedua tanganku menyapu bahu dan lehernya, menariknya mendekat dan mencium dagunya.
"Tidak ada yang membosankan tentang mu, Sayang." Dia memiringkan kepalanya, memberikanku jalan ke tenggorokannya dan aku memberikan ciuman, turun ke tulang selangkanya.
"Lagipula, sekarang kita berdua sudah menyelesaikan pekerjaan..."
"Ya?" jariku di rambutnya sekarang, menarik bibirnya turun ke bibirku.
"Kita bisa melakukan sesuatu yang sedikit menguras tenaga."
"Apa yang ada dalam pikiranmu?" aku suka merasakan cara tangannya bergerak kecil di punggungku ketika dia menarikku mendekat padanya.
"Apa kau tetap telanjang di balik gaun ini?"
"Aku tak tahu," kataku sarkastik, dan melebarkan mataku.
"Mungkin kau harus memeriksanya."
"Itu pekerjaan yang sulit, Sayang." Dia mengumpulkan rok dengan jarinya, menariknya ke atas di sekitar pinggulku dan menangkup tubuh bawahku dengan tangannya.
"Aku suka pantatmu." Dia menggigit bibirku dan meremas pantatku dengan berirama.
Mmmm... rasanya sangat baik. Satu tangannya turun di antara kaki ku dan meluncurkan satu jari ke dalam diriku dari belakang membuatku melengkungkan tubuhku.
"Oh, Jis..."
"Kau sudah sangat siap untukku, sayang."
"Aku terus melihatmu di sofa ketika kau membaca."
"Kau melakukannya?" senyumnya terlihat senang dan dia melanjutkan siksaan dengan jarinya.
"Ya, itu membuatku terangsang."
"Sial, Put, melihatmu membuatku terangsang."
"Kemarilah." Aku bersandar di sofa dan mengisyaratkannya untuk duduk. Dia mengikuti dan menatapku dengan mata hitam bersinar penuh nafsu.
Aku tidak duduk di atas pangkuannya, melainkan berlutut di antara kedua kakinya dan meraih sabuk di celana jeansnya.
"Kau menggunakan terlalu banyak pakaian."
Suaraku terengah.
Aku membuka jeansnya dan dia mengangkat pinggulnya sehingga aku dapat menariknya turun dan membuangnya.
Ereksinya menggantung bebas, dan dia sudah begitu keras dan siap untukku.
Aku menjilat bibirku.
Bahkan kejantanannya terlihat indah, yang tidak pernah terpikirkan olehku. Kejantanannya besar, dan keras, berada di pertemuan kecil dari rambut ikal berwarna pirang. Tidak ada penghilang bulu di sini, tapi dia tidak membutuhkannya juga.
Aku menyentuh pinggulnya dan mencengkeramnya dengan kedua tanganku. Dia menarik nafas melewati giginya, rahangnya menegang dan matanya berapi-api.
Tanganku mulai bergerak naik dan turun, dan aku membungkuk dan menyapu ujungnya dengan lidahku, mengecap cairannya.
"Sial."
Dia menarik rambutku dari ikatannya dan mendorong jari-jari melewatinya, dan aku memainkan mulutku dengan lebih berani, bergerak semakin cepat dan menariknya lebih dalam, menggosokkan lidahku naik dan turun pada kejantanannya yang panjang. Tangan kiriku turun mencari bolanya dan dia menjadi marah.
"Cukup!" dia mencengkeram lenganku dan menarikku naik ke atasnya, duduk di pangkuannya dan mendorong ke dalamku dengan cepat, dan aku sangat berterima kasih karena tidak memakai celana dalam di bawah gaun ini.
"Ah!"
"Aku. Membutuhkan. Dirimu." Mata kami bertemu, tangannya berada di pinggulku, menggerakkanku naik dan turun, menghukumku, dengan irama yang manis, mendorong sangat jauh ke dalam tubuhku dan hampir terasa sakit. Aku menarik gaunku melewati kepala, dan bibir Jis menemukan putingku, menariknya tanpa henti ke dalam mulutnya, dan menghisapnya.
Aku berpegangan pada bagian belakang sofa di atas kepalanya, dan aku mundur, memberinya jalan yang lebih leluasa pada payudaraku, dan kemudian menyerah pada cengkeraman di perutku, pahaku mengendur, dan aku meledak di sekitarnya, tubuhku bergetar karena sensasinya.
Jis menarikku turun, keras dan mengeluarkannya di dalam tubuhku. "Oh ya, baby!"
***
Kami meregangkan badan di sofa, berbaring bersisian. Jis menelusuri tulisan di tulang rusukku dengan ujung jarinya.
"Itu untuk orang tuaku," bisikku.
"Mengapa kalimat ini?" jawabnya dengan berbisik pula.
"Karena sangat penting untuk mengingat momen itu. Itu bisa berakhir sangat cepat."
"Dan mengapa berada di sisi kirimu?"
"Karena itu dekat dengan jantungku."
Dia mencium dahiku dan menjalankan jarinya di punggungku, menenangkanku.
"Bolehkah aku bertanya tentang mereka?"
Tuhan, ketika dia berbisik seperti itu, dia bisa bertanya tentang apapun yang dia mau!
"Tentu."
"Apa yang terjadi pada mereka?"
Aku mendesah dan mencium dahunya. "Mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat sekitar tiga tahun yang lalu. Ayahku harus terbang dan dia mempunyai pesawat kecil yang biasa mereka gunakan untuk perjalanan akhir pekan."
"Itu sebuah hobi yang mahal."
"Ya, dia mampu melakukannya." Aku mengambil nafas dalam dan menatap mata Jis yang menangkan. "Ku kira aku sudah menyebutkan kalau dia adalah seorang pengacara kelas atas."
"Ya."
"Dia hebat dalam hal itu. Dia melakukannya dengan sangat baik, dan ketika mereka meninggal bersama, aku menjadi satu-satunya ahli waris."
"Hey, aku tidak bertanya tentang keadaan keuanganmu." Dia menyentuh pipiku dengan bagian belakang jarinya.
"Aku tahu." Aku mengangkat bahu. "Dan juga, mereka harus pergi ke Rainbow City untuk berakhir pekan. Aku seharusnya ikut pergi bersama mereka."
Lengan Jis memelukku erat dan aku menjalankan jari-jari ku di bulu dadanya.
"Aku memutuskan pada menit terakhir untuk tetap tinggal di rumah karena aku mempunyai ujian akhir di sekolah pada minggu berikutnya."
"Aku ikut sedih." Dia mencium dahiku sekarang, dan aku meringkuk di pelukannya, menyerap kekuatannya, kehangatannya.
"Mereka pasti orang yang luar baisa."
"Mengapa kau berkata seperti itu?" aku mendongak dan mencari mata Hitamnya.
"Karena kau luar biasa, Sayang."
Astaga, daya tarik bahkan tidak bisa menggambarkan laki-laki ini.
"Mereka luar biasa," bisikku. "Aku tahu bahwa ayahku selalu menginginkanku untuk menjadi sesuatu yang lebih besar daripada seorang fotografer, seperti dokter, atau pengacara, atau bekerja di perusahaan keuangan, sesuatu yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi kau tahu?"
"Apa?"
"Mereka tidak marah ketika aku berkata aku ingin hidup dengan menjadi seorang fotografer. Mereka hanya menyayangiku. Mereka hanya ingin aku bahagia. Pekerjaan ayahku sangat kejam dan penuh tuntutan, dan dia bisa menjadi sangat brengsek di ruang siding. Aku pergi melihatnya satu kali, dan aku bahkan tidak bisa mengenalinya. Dia hampir membuatku takut. Tapi ketika dia berada di rumah, dia menjadi sangat lembut. Dia laki-laki yang besar, tinggi, dengan tangan yang besar. Dan dia selalu tercium seperti pewangi pakaian dan kopi. Dan bahkan ketika aku sudah besar, dia akan tetap membiarkanku meringkuk di pangkuannya dan memegangku."
Jis menelan ludah dengan susah payah.
"Apa?" tanyaku.
"Kau tidak mempunyai seseorang yang akan menjagamu lagi."
"Aku sudah menjaga diriku sendiri sejak lama, sayang. Bahkan ketika orang tua ku masih di sini."
Dia menutup matanya sejenak dan menggertakkan rahangnya, sama seperti ketika dia marah, atau merasa frustasi. Apa yang telah aku katakan?
Dia bersandar dan menyapukan bibirnya di bibirku, menggelincirkanku di bawahnya, dengan lembut, bercinta denganku.
.