Chereads / Datang Padaku / Chapter 13

Chapter 13

Aku terbangun sendiri di sofa. Selimut ringan menutupiku, dan aku masih telanjang dari percintaanku dengan Jis. Kulitku terasa sensitif dan hangat di bawah selimut. Aku bisa meringkuk dan tidur di sini sepanjang malam.

Wow. Aku belum pernah merasakan seks yang lembut, manis dan penuh cinta sebelumnya, dan aku harus mengakui, ada banyak hal yang harus dikatakan untuk itu.

Aku duduk dan meregangkan badan, melihat sekitar ruangan besar. Di luar sudah gelap, mengejutkanku. Berapa lama aku tidur?

Aroma yang sangat enak datang dari dapur, tapi Jis tidak berada di sana. Aku berdiri dan membungkus tubuhku dengan selimut lalu mencarinya.

Ketika aku berjalan ke dapur, aku dapat mendengar Jis berbicara dan melihat ke arah teras. Dia duduk di kursi empuk, berbicara di telepon. Aku berbalik untuk naik ke lantai atas dan mandi untuk memberinya privasi, namun aku mendengar namaku dan aku berhenti untuk mendengar apa yang dia katakan.

"Kau akan menyukainya."

Mungkin keluarganya?

"Tidak, Karin, bukan seperti itu. Dia berbeda. Aku tidak akan membawanya kepada Ibu dan Ayah jika masalahnya seperti itu. Lihat, aku hanya ingin memberitahukanmu bahwa aku akan membawanya bersamaku besok. Aku sudah berbicara pada Ibu dan dia sangat ingin bertemu dengannya. Jangan bersikap seperti kakak yang over protective besok. Kumohon."

Aku tersenyum.

"Aku serius, Rin. Bersikap baik lah. Aku juga mencintaimu. Sampai jumpa besok."

Dia mengakhiri panggilannya dan mengusap rambutnya, berdiri untuk masuk ke dalam dan melihat ku dari pintu. Aku memberikan senyuman kecil padanya, melihat ketampanannya dalam jeans pudar dan kemeja putih.

"Kakak yang over protective , huh?"

"Kau tak tahu."

"Aku dapat mengatasinya, Mr. Jis."

Dia bergabung denganku di dalam dan aku membuka selimutku sehingga dia bisa meluncurkan lengannya di sekitar pinggangku, dan aku membungkus punggungnya dengan selimut.

"Aku tahu, tapi dia bisa menjadi kejam. Karin dan aku sangat dekat karena jarak usia kami yang kurang dari dua tahun. Dia mempunyai pemikiran bahwa dia perlu melindungiku, jadi jangan terkejut jika dia terlihat sedikit dingin padamu besok."

"Dia tidak pernah menyukai mantan-mantan kekasihmu?"

"Dia tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak pernah mengenalkan mereka kepada keluargaku sebelumnya."

"Mengapa aku?"

Dia menunduk dan menciumku lembut dan aku mendesah. "Karena kau tidak mengetahui siapa aku. Dan kau sudah menjadi milikku. Dan aku berpikir bahwa aku tidak akan pernah bosan denganmu."

"Aku ingin mengenalmu lebih baik," bisikku, sengaja mengalihkan pembicaraannya.

"Begitu juga denganku, sayang."

"Kau mengenalku lebih baik dari siapapun."

"Masih banyak hal yang harus dipelajari." Dia merapikan rambut di wajahku dan aku menggenggam pergelangan tangannya sehingga aku bisa mencium telapak tangannya.

"Berapa lama aku tertidur?"

"Hanya sekitar satu jam."

"Baunya sangat enak di sini." Dia menyeringai kepadaku.

"Tumis untuk makan malam?"

"Mmm... kedengarannya bagus. Apakah aku punya waktu untuk mandi terlebih dahulu?"

"Tentu sayang. Mandilah dan aku akan menyiapkan makan malamnya." Dia menarik selimutnya dan melepaskanku.

"Aku bisa jadi terbiasa dimanjakan seperti ini," sindirku.

Aku berbalik membelakanginya dan berjalan ke arah tangga ketika aku mendengar dia menggumam, "Aku akan memperhitungkannya."

.

Perjalanan ke rumah orangtua Jis cukup singkat. Hujan di hari Minggu siang, jadi kami mengendarai mobil Mercedes SUV hitam milik Jis. Berapa banyak mobil yang dia punyai? Aku melihat ke kiri dan mengambil nafas dalam, mencoba menghilangkan rasa gugup. Perutku seperti diikat.

Aku takut bertemu dengan orang tuanya.

Akhir pekan ini sangat indah.

Semalam, setelah makan malam kami meringkuk di sofa dan menonton komedi lama dari tahun 90-an dan tertawa sepanjang malam. Lalu dia membawaku ke ranjang dan bercinta denganku seperti yang dia lakukan di sofa sebelumnya.

Wow, dia bisa menjadi sangat lembut. Aku mengingat ketika dia menampar pantatku ketika pertama kali kami bercinta, dan aku bertanya-tanya kapan dia akan melakukannya lagi.

Variasi adalah bumbu kehidupan.

Mungkin kami akan bermain ketika kami kembali ke rumahnya nanti.

Dia terlihat sangat tampan, duduk di sini dengan t-shirt hitam dan jeans biru pudarnya. Tangan kuatnya memegang setir, dan aku gemetar ketika memikirkan rasanya ketika tangan itu menyentuhku.

"Kau kedinginan?" dia menyentuh pengatur suhu di dashboard, tapi aku menghentikan tangannya.

"Tidak, aku tidak kedinginan."

Dia melirikku, dan kemudian melirikku lagi, menaikkan alis matanya.

"Aku suka tanganmu," kataku ketika aku membelitkan tanganku dengan tangannya. Dia mengangkatnya ke bibir dan mencium buku-buku jariku.

"Mereka hanya tangan." Dia memberi ku senyuman licik dan membuat perutku menegang.

"Mereka melakukan hal gila terhadapku," bisikku.

"Berhati-hatilah, atau aku akan menepikan mobil ini dan bercinta denganmu." Aku terkejut dengan kata-katanya. Sikapnya sangat berbeda dari tadi malam, dan terus terang, ini hot. Tubuh bawahku mendamba dan aku tersenyum ketika aku memutuskan untuk sedikit bermain dengannya.

"Jangan membuat janji yang tidak bisa kau pegang."

"Oh sayang, percaya padaku, itu tadi adalah sebuah janji yang sepenuhnya bisa ku pegang."

Aku berpura-pura mengambil benang di gaun merahku. Aku mengenakan jaket denim berwarna biru lembut di atasnya, dan juga sandal peep-toe.

"Buktikanlah."

Dia memiringkan kepalanya dan memicingkan mata. "Maaf?"

"Kau mendengar ku," bisikku dan menarik ujung gaunku ke atas di sekitar paha atas ku, menjentikkan jariku di bagian sensitifku.

"Kau ingin bercinta di mobil dalam perjalanan untuk bertemu dengan orang tua ku?" suaranya seolah tak percaya, tapi matanya berapi-api dan nafasnya mulai berat.

"Ya, kumohon."

Dia mengambil pintu keluar tol dan memarkirkan mobil di belakang pusat perbelanjaan, dan tidak ada lalu lintas di belakang gedung yang panjang ini.

Dia memarkirkan di ujung jalan dan mematikan mobilnya, lalu menarikku melewati konsol ke atas pangkuannya, satu tangan tenggelam di rambutku dan tangan yang lain di bawah lipatan gaunku dan menangkup pantatku.

"Kau sangat seksi. Aku menginginkanmu sepanjang waktu."

"Aku menginginkanmu juga."

Aku terengah dan membutuhkannya, membutuhkannya berada di dalam ku sekarang.

"Duduki aku, sayang." Jis memundurkan sandaran kursi dengan tombol otomatis, dan aku memundurkan punggungku hingga menyentuh setir ketika dia membuka resleting celananya, membebaskan ereksinya.

Dia menangkup pantatku dengan kedua tangannya, menarik celana thong ku ke sisi dan menurunkan tubuhku.

"Ya, Jis."

"Argh!"

Aku bergerak naik dan turun dalam keterbatasan ruang di mobil ini. Tangannya tetap berada di pantat ku, membimbingku, mata kami terkunci, mulut terbuka terengah-engah.

"Sial, aku hampir datang."

"Ya, sayang, datang lah untukku."

Aku menumbuknya sekali, dua kali dan kemudian meledak, memijat kejantanannya dengan otot ku dan aku merasa dia datang terpisah di bawahku, menghabiskan cairannya ke dalam diriku.

Aku menunduk, mengistirahatkan dahiku di atas dahinya sambil menenangkan nafas.

"Sialan, Put, itu tadi sedikit tidak terduga."

Aku melepaskan diri darinya dan kembali ke tempat dudukku, membereskan gaunku.

"Melihatmu menyetir membuatku bergairah."

"Well, sial, ayo kita melakukan banyak perjalanan, sayang." Aku tertawa dan menyadari bahwa itu membantu menenangkan keteganganku.

Jis menutup celananya kembali, membenahi kursinya dan menjalankan mobil.

.

Kami sampai di rumah orang tua Jis beberapa saat kemudian, hanya terlambat beberapa menit. Aku memeriksa rambut dan dandananku di kaca, menyadari mataku yang bersinar dan pipiku yang merona, pujian yang sangat memuaskan tentang seks di dalam mobil.

"Gugup?" dia bertanya padaku.

"Ya." Aku mengakui dan memberikannya senyuman.

Dia bersandar di konsol dan mengambil daguku dengan ibu jari dan telunjuknya lalu memberiku ciuman yang lembut.

"Mereka akan menyukaimu. Kau tidak mempunyai hal yang harus dikhawatirkan."

"Kuharap kau benar."

"Ayo."

Dia melompat keluar dari mobil dan berjalan memutar untuk membuka pintu untukku sebelum mendahuluiku masuk ke dalam rumah yang indah dan besar.

Rumah ini bergaya colonial berwarna putih dengan pekarangan yang indah dan bunga yang berwarna-warni.

"Ibumu berkebun?" tanyaku.

"Ya, dia tertarik dengan bunga-bunga," jawabnya dan aku menyeringai. "Apa?"

"Seperti anaknya. Ruang tamuku bisa menyaingi kebun mawarnya sekarang."

Dia tertawa ketika kami mencapai pintu dan mencium tanganku.

"Apa kau mengeluh?"

"Tidak juga."

Pintu merah terbuka dan wanita berambut hitam dengan badan mungil menyapa kami dengan senyuman yang lebar.

"Oh, sayang, kau di sini!" Jis menunduk sehingga dia bisa mencium pipinya dan memberikannya pelukan hangat.

"Hai, Bu. Aku ingin mengenalkanmu pada Puput."

"Puput, ini sebuah kebahagiaan. Selamat datang di rumah kami."

Dia menjabat tanganku dengan hangat dan aku secara langsung menyukainya.

"Terima kasih sudah menyambutku Mrs."

"Kumohon, panggil saja aku Lusi. Masuklah, kalian berdua."

Kami mengikutinya melewati serambi, menuju bagian belakang rumah, yang aku perkirakan dimana dapur berada. Aku sekilas melirik ruang tamu formal dengan furniture putih dan sebuah ruang makan formal yang besar. Jis tetap memegang tanganku dan mencium buku jariku. Aku menatapnya dan dia tersenyum hangat padaku, terlihat jelas bahagia mendapati ku berada di sini.

Sial, dia tampan.

"Jis dan Puput ada di sini!" Lusi mengumumkan ketika kami memasuki dapur. Dapurnya sangat indah dan luas, dengan nuansa coklat dan perunggu. Meja semua dengan granit berwarna coklat tua, peralatannya dengan stainless steel dan kompornya sangat besar. Setiap chef akan menginginkan dapur ini. Ada ruang makan santai, terbuka sampai ruang keluarga dengan televisi ukuran besar dan mewah, furniturenya bernuansa lebih coklat, tembaga dan perunggu.

Ini luar biasa dan nyaman.

"Selamat datang, Puput." Seorang laki-laki yang sangat tinggi dengan rambut pirang sibuk bekerja di dapur. Dia mengelap tangannya dengan sebuah handuk dan datang menghampiriku.

"Kami sangat senang bertemu denganmu."

"Put, ini Ayahku, Chandra."

"Saya juga senang bertemu dengan Anda, Sir." Dia menjabat tanganku dengan tegas dan mata hitam nya yang ramah tersenyum padaku. Jis adalah cetakan dari ayahnya.

Adik laki-laki Jis, Denis, yang juga terlihat seperti ayah dan kakak laki-lakinya, membantu Chandra di dapur.

"Apa kabar, Put."

"Kau pasti Denis." Aku tersenyum padanya dan dia mengangguk.

"Yep, aku yang paling tampan di sini, selain yang di samping mu." Dia memberiku senyuman kucing, dan aku hanya bisa tertawa. Laki-laki keluarganya semua tampan seperti sebuah dosa dan sangat menawan!

"Dan ini," Jis menginterupsi kami, melirik adik laki-lakinya, "adalah kakak perempuanku, Karina."

Karina duduk di salah satu sofa mewah dengan sebuah iPad di pangkuannya dan segelas wine di tangannya. Dia cantik dan mungil seperti ibunya, berambut hitam dan bermata hitam, dengan ciri-ciri halus, tapi matanya licik dan dia tidak tersenyum atau menyambut kedatanganku.

"Puput." Dia mengangguk padaku sekali dan kemudian kembali kepada teknologi mengesankannya.

Aku menatap Jis, tapi dia menatap Karina. Aku dapat merasakan ketegangan di dirinya, dan mengingat pembicaraan mereka di telepon tadi malam, aku meremas tangannya sehingga dia melihat ku. Sangat jelas, Karina akan menjadi orang yang paling sulit untuk didekati di keluarganya.

Aku mengangkat bahu dan tersenyum padanya, dan dia tersenyum kembali, beberapa ketegangan telah pergi dari bahunya.

"Puput, kemarilah duduk denganku, kita bisa berbincang sementara para laki-laki memasak. Jis, ambil celemek, Nak. Ku pikir ayahmu membutuhkan bantuan untuk memasak steak."

"Aku tidak membutuhkan bantuan," Chandra terlihat tersinggung, tapi aku dapat mengatakan bahwa ini adalah sebuah lelucon dalam keluarga. "Aku dapat memasak steak."

Lusi memutar matanya dan membimbingku ke ruang makan. "Kau ingin segelas wine, sayang?"

"Ya, ku mohon."

Kami duduk di meja makan dengan minuman kami dan aku menyesap wine nya, mempersiapkan diriku untuk pertanyaan-pertanyaan yang akan datang.

"Jadi katakan padaku, apa pekerjaanmu, Put?"

"Aku seorang fotografer." Aku melirik Jis di dapur bersama dengan ayahnya dan mulutku mengering melihat tiga orang tampan, laki-laki jantan yang sibuk di dapur. Ada apa dengan seorang laki-laki yang bisa memasak?

"Oh, sangat menarik. Foto apa yang biasa kau ambil?" Lusi menyandarkan siku tangannya di meja dan menyesap wine nya. Dia sungguh tertarik denganku, dan ini membuatku rileks.

"Kebanyakan aku mengambil foto alam. Aku tinggal di pantai White Water, tidak jauh dari rumah Jis, aku mempunyai banyak keuntungan untuk mengambil foto laut, kapal, dan sebagainya. Dan aku menikmati perjalanan di sekitar daerah untuk memotret bunga dan hal-hal umum lainnya." Aku menyesap wine ku lagi dan Jis menangkap mataku dengan seringaian nakal. Dia tersenyum dan kembali mengiris sesuatu.

"Aku akan sangat senang melihat pekerjaanmu. Kau mempunyai website?"

"Tidak, aku menjual pekerjaanku di toko di sekitar pantai White Water dan di pusat kota dekat dengan pasar."

"Aku akan melihatnya." Lusi tersenyum padaku dan aku memajukan tubuhku agar hanya dia yang dapat mendengarku.

"Aku ingin berterima kasih padamu tentang sesuatu." Bisikku.

Matanya melebar tertarik dengan ucapanku dan senyumannya melebar. "Apa, sayang?"

"Terima kasih karena mengajari anak laki-lakimu memasak. Dia sangat luar biasa di dapur."

Dia tertawa, terbahak-bahak dan menepukkan tanganku dengan tangannya.

"Oh, sayang, sama-sama."

Aku melirik ke arah dapur dan Jis menatap kami dengan mulut terbuka. Dia mengernyit dan aku tersenyum pada diriku sendiri.

"Apa yang kalian berdua bisikkan?"

"Bukan apa-apa," jawab Lusi polos. "Bagaimana steak ku?"

.

Kami semua duduk di meja dapur. Chandra di ujung, dan Lusi di ujung lainnya. Aku duduk di sebelah kanan Riski dengan Jis di sampingku, Karina dan Denis berada di seberang kami.

Para laki-laki menyiapkan steak iga, kentang baby red panggang dan asparagus panggang dengan bawang putih dan bacon. Jis mengisi gelas wine ku ketika piring saji sudah siap di meja.

"Jadi, Puput," Chandra memberiku sekeranjang penuh kue kering.

"Apa kau berasal dari sekitar sini?"

"Ya, aku besar di White Water City."

"Oh? Itu tidak jauh dari sini. Apakah aku mengenal orang tua mu?"

Garpu Jis berhenti di tengah jalan di antara piring dan mulutnya ketika mendengar pertanyaan ayahnya.

"Ayah..."

"Tidak, tidak apa-apa," gumamku lembut dan tersenyum pada ayah Jis.

"Orang tuaku meninggal beberapa tahun yang lalu, tapi mungkin kau mengenal mereka. Sarwo dan Lesly."

Alis mata Chandra naik. "Pengacara Sarwo?"

"Ya, Sir." Aku memakan sepotong steak.

"Dia bekerja untuk kami di Microsoft pada beberapa kesempatan."

Aku mendongak dan mendapati Karina sejenak terlihat cemberut sebelum dia mengembalikan wajahnya ke ekspresi netralnya semula dan meminum hampir setengah gelas wine di depannya sekali teguk. Dia mengisi gelasnya dan meminumnya lagi.

"Aku ikut sedih tentang orang tua mu, Put," kata Lusi lembut.

"Aku mendengar kematian mereka di berita ketika itu terjadi."

"Terima kasih." Dengan putus asa aku ingin mengubah topik pembicaraan, dan Denis datang sebagai penyelamatku.

"Bagaimana kalian bertemu?"

Aku tersenyum puas ke arah Jis dan menjawabnya. "Jis mencoba merampok ku di suatu pagi."

Semua mata menatap Jis dan aku tertawa. Pipi Jis merona ketika dia menatapku.

"Kau harus tahu adikku tidak perlu untuk merampok siapapun." Suara Karina dingin dan mengejek dan sangat jelas dia tidak menganggap ku lucu. Denis menyikut nya.

"Dia bercanda, Rin." Jis mengambil tanganku di bawah meja dan aku melanjutkan makan dengan tangan kiriku, membiarkan tangan kanan ku berada dalam genggamannya.

"Aku memotret di pantai suatu pagi, dan dia dengan salah mengira aku mengambil fotonya, jadi dia menghampiriku. Cukup marah, sungguh."

Lusi memberi putranya tatapan peringatan dan menatapku kembali.

"Bagaimana reaksimu, Put?"

"Aku marah. Aku pikir kameraku akan dirampok."

"Kau pikir Jis Khalifa mencoba merampok mu?" suara Karina terdengar tidak percaya.

"Aku tidak tahu siapa dia sebelumnya." Aku mengangkat bahu dan menyesap wine ku.

"Benar." Dengus nya.

"Karina..." peringatan Jis diabaikan oleh kakaknya.

"Ngomong-ngomong," lanjutku, "Kami berakhir dengan bertemu lagi di hari yang sama ketika dia sedang keluar untuk membeli hadiah untuk ulang tahunmu."

"Yang akan kupertimbangkan lagi berdasarkan perilakumu," Jis menambahkan.

"Jadi kau bermaksud untuk mengatakan padaku bahwa kau tidak mengetahui pekerjaan adikku?" wajahnya menunjukkan permusuhan sekarang.

"Karina, ada apa denganmu?" wajah Lusi memerah dan dengan jelas dia malu karena tingkah laku anaknya.

"Tentu saja sekarang aku tahu pekerjaan Jis, Karina,"

jawabku sebelum Karina bisa. "Tapi aku tidak mengenalinya pertama kali, tidak."

"Jadi kau tidak tidur dengan adikku hanya karena dia bintang film yang kaya?"

Sialan.