Chereads / Datang Padaku / Chapter 14

Chapter 14

"Karina!"

"Apa-apaan ini!"

"Ya Tuhan!"

Semua anggota keluarga Jis serempak berteriak pada kakak perempuan Jis, tapi dia tetap bersikukuh, matanya seolah menyalahkanku.

Dengan mengagumkan, aku menghela nafas dan mendapatkan ketenangan yang sangat bukan diriku.

Aku mencengkeram paha Jis ketika dia memundurkan kursinya dengan marah.

"Karina, ada apa denganmu?"

"Jis, hentikan."

"Tidak, Put, aku tidak akan membiarkan orang berbicara seperti itu kepadamu, apalagi dari keluargaku sendiri!"

"Hey," aku mencengkeram pahanya lagi dan aku merasa semua mata tertuju padaku ketika aku melihat ke arahnya.

Aku kembali menatap kakaknya dan aku tahu mataku mengkhianati ketenangan ku yang tampak di luar. Aku hanya sangat marah.

"Pertama, dan aku tidak bermaksud untuk tidak menghormati keluargamu, Jis, beraninya kau mengatakan hal seperti itu tentang saudaramu."

Karina terkejut dan aku melanjutkan.

"Kau tidak hanya mengisyaratkan bahwa aku ini adalah seorang pelacur, tapi kau juga menyindir bahwa saudaramu mempunyai perilaku buruk untuk bersama dengan seorang perempuan yang mungkin mengambil keuntungan darinya karena status selebriti atau uangnya, dan dia baik-baik saja dengan itu. Aku tidak ingin atau membutuhkan uang Jis. Itu bukan urusanmu, tapi tidak apa-apa, terima kasih. Aku belum pernah menonton film nya, tapi aku tidak meragukan talenta yang dimilikinya. Yang aku tahu adalah dia luar biasa pintar, jujur dia laki-laki paling baik yang pernah kutemui, dan dia tampan, luar dalam. Aku tidak akan membiarkan seorangpun membicarakannya seperti itu, Miss Karina."

Aku menggeser kursi ku cepat dari meja dan berdiri.

"Puput," Jis menggenggam tanganku dan aku meremas meyakinkannya.

"Apakah ada toilet di dekat sini yang bisa kugunakan untuk menenangkan diri?" aku bertanya pada Lusi.

"Tentu sayang, di lorong sebelah kiri."

Aku menatap Jis dan kemudian melakukan sesuatu yang beresiko, menunduk untuk mencium bibirnya. "Aku akan kembali."

Ketika aku berjalan, lebih tenang dari yang kubayangkan, dari lorong kudengar

kemarahan mereka pada kakak Jis.

Bagus. Dia pantas mendapatkan semua itu.

Aku menemukan kamar mandi dan mengunci diriku di dalam. Menyandarkan tanganku di kotak rias, aku menggantungkan kepalaku, mencoba mengontrol keadaan. Aku tahu ini karena adrenalin, tapi aku tidak bisa menghentikannya.

Mungkin seharusnya aku tetap menutup mulut besarku, tapi dia membuatku marah! Aku tak tahu dia mempunyai masalah apa denganku, tapi dia sudah menunjukkan permusuhan sepanjang malam. Dan komentar terakhirnya telah mendorongku melewati batas.

Aku yakin orang tuanya sekarang membenciku karena secara verbal menyakiti anak perempuan mereka di meja makan. Meskipun mereka tampak lebih terkejut dari apapun ketika hal itu terjadi, dan Denis mempunyai seringaian lebar di wajahnya ketika aku pergi dari meja.

Oh, bagaimana aku harus kembali dan menghadapi mereka?

Aku mengambil nafas lima kali. Gemetar mulai mereda, dan aku tak tahu berapa lama aku terkunci di kamar mandi. Aku membuka pintu dan memulai perjalanan kembali ke meja makan.

Sebelum aku berbelok aku mendengar suara lembut Lusi.

"Sayang, dia jelas mencintaimu."

Aku menghentikan langkahku dan mendengarkan.

"Bu..." Jis akan mulai berbicara tapi Lusi menyelanya.

"Aku tahu ini bukan urusan kami, tapi sangat jelas bagaimana perasaannya tentangmu, sayang. Untuk apa lagi dia mempertahankanmu seperti itu?"

"Dia seorang penjaga," itu suara Denis, kurasa.

Aku memutuskan untuk menghentikan menguping dan berjalan ke dalam ruangan, menyadari bahwa Karina tidak lagi berada di meja makan.

Jis berdiri dan dengan cepat berjalan ke arahku, membungkus ku di lengannya yang kuat. "Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja." Aku mendorongnya dan tersenyum padanya, lalu kembali ke keluarganya. "Aku minta maaf atas caraku berbicara dengan putri Anda..."

Chandra mengangkat satu tangannya dan menghentikan ucapanku.

"Tidak, Put, kami minta maaf atas perilakunya. Kumohon, selesaikan makanmu. Karina tidak akan ikut bergabung dengan kita."

Aku menatap mata Jis dan dia terlihat gugup dan tidak yakin, matanya mencariku.

"Okay."

"Kau yakin kau baik-baik saja?" bisiknya.

"Ya, ayo selesaikan makan malam." Kami duduk kembali dan melanjutkan makan.

"Ini sangat lezat," aku tersenyum pada Chandra dan dia tersenyum kembali padaku.

"Aku senang kau menyukainya."

"Aku suka seorang laki-laki yang bisa memasak." Aku tersenyum pada Lusi, yang memberi sinyal padaku, dan menikmati sisa malam

.

Jis diam selama perjalanan kembali ke rumahnya setelah makan malam. Dia menggigit ibu jarinya, yang mana memberitahuku bahwa dia sedang berpikir. Dia tidak menyentuhku sejak kami pergi dari rumah orang tuanya, dan aku merasa sedikit khawatir.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku, memecah keheningan.

Dia melirikku dan mengernyitkan dahinya.

"Tentu."

"Okay, bagus." Aku menepukkan tanganku di pangkuanku dan memandang lampu-lampu kota di kejauhan dari jendelaku. Ketika kami sampai di rumahnya, keheningan semakin menjadi. Dia membukakan pintu untukku dan mengawalku di depannya untuk mendorongku masuk ke dalam. Dia menghidupkan lampu ketika aku berjalan ke dapur dan meletakkan tas ku di bar.

Aku berbalik untuk melihatnya dan terkejut mendapati dirinya tidak berada di ruangan. Kemana dia pergi?

Aku mengerutkan kening ketika kegelisahan menyebar di perutku. Ya Tuhan, aku mengacaukan semuanya. Dia pasti marah padaku karena caraku berbicara pada kakaknya tadi. Dimana dia?

Mungkin dia ingin aku pergi, dan dia memberikanku ruang untuk mengepak barang-barangku.

Aku naik ke atas dan berjalan ke kamarnya, mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak menangis sampai berada di rumah. Aku hanya akan mengepak barangku dan pergi dari sini. Lalu aku bisa menjadi gila.

Tepat sebelum aku melewati pembatas kamar tidurnya, ponselku berbunyi di saku ku. Aku menariknya keluar dan aku mendapatkan sebuah pesan. Dari Jis

Jis, maukah kau bergabung denganku di kamar mandi?

Huh?

Aku berjalan melewati kamar tidur ke pintu masuk kamar mandi dan menghentikan langkahku.

Dia mempunyai bak mandi besar dengan bentuk seperti telur dan aroma lavender menguar di udara. Ada lilin menyala di meja rias di sisi bak mandi. Jis berdiri di samping bak mandi hanya dengan menggunakan celana jeans nya, kancing atas nya terbuka.

Akhirnya, aku menemukan suaraku, tapi yang dapat ku katakan

hanya, "Hai."

"Hai."

"Ku kira kau marah padaku."

"Kenapa?" dia berjalan ke arahku dan menggenggam daguku dengan ibu jari dan telunjuknya, memiringkan kepalaku ke belakang jadi aku bisa melihat matanya.

"Karena kau menjadi sangat diam sejak kita meninggalkan rumah orang tuamu."

"Aku hanya sedang berpikir." Jari-jarinya di pipiku dan dia dengan lembut mencium dahiku.

"Tentang?" bisikku.

"Ayo mandi." Oh! Aku ingin dia tetap berbicara.

"Aku menggunakan terlalu banyak pakaian untuk mandi."

"Ya, sepertinya begitu sayang." Dia melepas jaketku dari bahu turun ke lenganku dan meletakkannya di kursi terdekat. Dia menarik gaunku dari atas kepala dan perlahan melipatnya dan meletakkannya di atas jaket.

"Lepaskan sepatumu."

Aku mematuhinya, tidak mampu mengenyahkan mataku darinya. Dia membungkusku dengan lengannya dan menunduk untuk mencium bahuku, sementara melepas kaitan bra ku dan menariknya turun dari lenganku. Ketika dia mundur, aku mengait thong ku dengan ibu jari dan mendorongnya dari pinggulku, membiarkannya jatuh ke lantai. Aku berdiri di depannya dan menikmati cara matanya berkaca-kaca dengan hasrat ketika dia melarikan pandangannnya naik dan turun di tubuh telanjangku.

"Kau memakai terlalu banyak pakaian juga," bisikku dan perutku menegang ketika aku melihat pupil matanya membesar.

"Begitu juga denganku." Dia membuka resleting jeansnya dan menariknya beserta boxernya dalam satu gerakan pelan, meninggalkan dirinya telanjang di depanku.

"Kemari." Dia memegang tanganku, membantuku masuk ke dalam air. Aku menjatuhkan diri dan mendesah ketika air panas menyelimutiku.

"Kau tidak bergabung denganku?"

"Ya." Dia melangkah masuk dan duduk sambil menatapku, kakinya berada di sisi lain kakiku, dan bersandar di sisi seberang.

"Ini nyaman." Ini sebuah kejujuran. Air rasanya menenangkan setelah pertemuan yang sulit dengan kakaknya, dan dia telanjang, yang membuat semuanya semakin baik.

"Ya, nyaman."

"Kau sangat monosilabik (menjawab dengan sangat singkat) malam ini, kau tahu."

Dia tersenyum malu-malu padaku. "Maafkan aku. Banyak hal yang kupikirkan di kepalaku."

"Katakan saja."

Dia menggelengkan kepalanya.

"Oh tidak. Apa yang terjadi dengan kepala indahmu, Jis?"

"Aku sangat minta maaf tentang cara kakakku memperlakukanmu malam ini."

Oh.

"Aku juga minta maaf untuk reaksi ku, Jis. Maaf karena aku membuatmu tidak nyaman, dan untuk berbicara seperti itu pada keluargamu."

"Tidak, jangan meminta maaf. Dia sudah keterlaluan. Aku punya perasaan yang tidak enak bahwa dia akan bertingkah seperti itu, itulah mengapa aku meneleponnya kemarin malam."

"Jis," aku mengangkat satu kakinya dan mulai menggosok. Matanya melebar dan kemudian dia menutup keduanya dan menyandarkan kepalanya di bak mandi dengan sebuah erangan.

"Aku tidak mempunyai saudara, tapi aku bisa mengerti keinginan untuk melindungi seseorang yang aku cintai. Apa yang tidak aku mengerti adalah, mengapa harus terang-terangan bermusuhan? Aku tidak mengerti itu."

"Well, sesuatu yang kau katakan malam ini sedikit mendekati kebenaran," gumamnya, lalu membuka matanya dan mendesah,melihat ke sekeliling dan mengabaikanku.

"Apa?"

"Bagian tentang aku yang menjadi cukup bodoh untuk bersama seseorang yang ku tahu ternyata memperalatku karena aku kaya dan terkenal."

Aku terkejut dan menjatuhkan kakinya. Ya Tuhan, ini memalukan.

"Aku tidak mengerti."

Dia mengambil kaki kananku dengan tangannya dan menggosokkan ibu jarinya di atas tattoo ku, mengerutkan kening.

"Hubungan terakhirku adalah dengan seorang perempuan yang bersamaku untuk semua alasan itu."

"Oh." Aku tidak ingin mendengar ini.

"Yeah."

"Sudah berapa lama?"

"Aku memutuskannya satu tahun yang lalu."

"Ku pikir kau mengatakan bahwa kau belum pernah mengenalkan seorangpun kepada keluargamu." Aku menyandarkan kepalaku di bak. Aku hanya tidak bisa melihatnya ketika aku merasakan cemburu dan gugup dan tidak yakin.

"Aku belum pernah. Mereka belum pernah bertemu dengannya. Mereka mengetahuinya, lebih setelah fakta itu."

Aku menatap langit-langit, mendengarkannya, mencoba menemukan ketenangan yang kutemukan di ruang makan orang tuanya tadi.

"Mengapa?" suaraku lebih tenang dari dugaanku.

"Karena dia ada di tabloid dan mengatakan bahwa dia hamil ketika aku memutuskan untuk membatalkan pertunangan kami."

"Apa yang terjadi?" kepalaku terayun ke depan dan aku mengunci pandangannya. "Kau seorang ayah?"

"Tidak!" dia menutup matanya rapat dan menggelengkan kepalanya frustasi.

"Dia menjual kebohongan kepada tabloid-tabloid itu untuk kembali padaku."

"Kau akan menikahinya?" aku merasa seperti perutku telah ditendang.

"Ya." Dia memandangku hati-hati, tidak diragukan dia sedang menilai reaksi atas semua ini.

"Dan kau tidak pernah mengenalkannya kepada keluargamu?"

"Dia tidak pernah tertarik untuk bertemu dengan mereka. Kapanpun aku merencanakan pertemuan itu, sesuatu pasti muncul."

Dia mengangkat bahunya.

"Dan kau tidak menyadari keanehan itu?"

"Aku tahu sekarang."

"Mengapa kau membatalkannya?"

"Karena dia bukan yang terbaik untukku."

"Itu jawaban klise."

"Itu kenyataannya." Dia mengangkat bahu, dan kemudian mendesah.

"Ku kira akhirnya aku menyadari jika aku tidak terkenal atau kaya dia tidak akan memberikanku waktu. Dia tidak menyukai aku berhenti berakting, dan berharap menjadi produser hanyalah sebuah fase dan aku akan merindukan menjadi pusat perhatian. Dia ingin menjadi istri dari seorang selebriti, dan itu bukanlah sesuatu yang aku minati."

"Kau masih berhubungan dengannya?"

"Tidak."

Aku menyandarkan kepalaku lagi dan melihat jari-jari ku yang telah kusut. Air nya mulai menjadi dingin. Waktu berlalu cepat ketika kau mencoba mempertahankan pembicaraan yang tenang tentang mantan tunangan kekasihmu.

"Kukira itu menjelaskan banyak."

"Put..."

"Tunggu." Aku mengangkat tanganku ke atas untuk menghentikannya.

"Berikan aku waktu."

"Okay," dia mengerutkan dahi dan menggosok kaki ku lagi.

Mengapa aku merasa dikhianati? Dan kemudian semua itu seolah memukulku.

"Aku pasti terlihat sangat bodoh di depan keluargamu ketika aku tidak mengetahui tentang mantan tunanganmu."

Dia tiba-tiba bergerak ke depan dan menarikku ke pangkuannya, mengabaikan air yang memercik ke lantai dan membungkus tubuhku dengan lengannya.

"Kau luar biasa malam ini. Aku tidak tahu apakah aku harus bangga atau merasa lemah pada caramu mempertahankanku seperti itu."

"Kau seharusnya memperingatkanku."

"Aku tahu."

Aku menjalankan jari-jariku di rambutnya dan mendesah. "Kita masih harus banyak belajar satu sama lain."

"Kita akan melakukannya, sayang."

"Ketika kakakmu berbicara tentang mu seperti itu, itu membuatku gila."

Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa sedih.

"Ironisnya, yang dia bicarakan itu dirimu, sayang."

"Aku tahu, tapi dia melakukannya dengan membicarakan tentangmu, dan aku tidak bisa membiarkannya."

"Tidak ada seorangpun yang mempertahankan diriku seperti itu. Kau tenang dan yakin akan dirimu, dan sangat marah. Mata hijaumu berapi-api, dan kau terlihat sangat cantik. Aku ingin memasukimu saat itu juga di atas meja."

"Jis Khalifa!" aku mundur dan membelalak, terkejut.

"Itu benar. Kau membuatku bergairah, sangat bergairah."

"Aku tidak berpikir bahwa aku bisa menyesuaikan diri dengan orang tuamu, duduk di meja yang sama."

"Aku tidak berpikir untuk peduli jika Pope dan Elvis duduk di meja yang sama."

Aku tertawa dan meringkuk di tubuhnya.

"Oh, sayang, apa yang harus kulakukan padamu?"

"Apapun yang kau inginkan."

"Berdirilah." Dia mendirikanku keluar dari air, dan kemudian ikut berdiri di belakangku. Aku tidak dapat mendapati seberapa kuat dirinya. Dia memindahkanku seperti aku bukan apa-apa. Dia menyampirkan sebuah handuk di pinggulnya, dan mengambil handuk lembut lainnya, putih, dan ringan dari penghangat handuk dan membungkuskannya di tubuhku. Dia menarikku dan menciumku dalam, bergairah, sebelum melepaskanku untuk mengeringkan tubuhku.

Oh my.

Dia mengeringkanku ke atas dan ke bawah, menyerap kelembaban yang

berlebihan. Aku tak bisa menolak untuk memajukan tubuhku dan mencium tulang dadanya dan aku mendengar nafasnya.

Ketika tubuhku sudah kering, aku mengambil handuk dari sekeliling pinggulnya dan membalas perlakuannya, menikmati pemandangan memabukkan dari tubuhnya yang berotot.

"Baiklah, semua sudah kering," bisikku.

"terima kasih Tuhan." Dia menarikku, tangannya di rambutku, dan menciumku dalam. Aku memeluknya dan menggeser kuku jariku menuruni punggungnya.

"Ya Tuhan, sayang, kau akan melemahkanku di kamar mandi ini."

"Bagus." Aku menggesek punggungnya lagi dan dia menggeram di leherku. Dia dengan tak sabar memutarku dan meletakkan tanganku di meja rias menghadap cermin besar di atas wastafel. Aku melihat ke atas dan terkejut oleh pemandangan seksi Jis berdiri di belakangku, sekitar 6 inchi lebih tinggi daripada diriku, rambut Hitam dan tubuh perunggu, menunduk untuk mencium bahu telanjangku.

Dia menangkup leher belakangku dengan tangannya dan menyusuri tulang belakangku, melayang sejenak di atas tattoo ku, melihat gerakan tangannya sendiri dan nafasnya menjadi semakin cepat. Dia menarik pinggangku ke belakang sehingga aku membungkuk dan aku tidak dapat berhenti melihat ketampanannya, wajah yang ekspresif ketika menyentuhku.

Akhirnya dia meluncurkan satu jarinya turun ke tubuh bawahku dan

menyelipkannya masuk ke dalamku.

"Oh, Jis."

"Sayang, kau sudah sangat siap." Kurasakan dia memposisikan kepala

kejantanannya di bibir bawahku dan perlahan, oh sangat perlahan, mendorong masuk ke dalam tubuhku. Mata kami bertemu di cermin ketika dia mendorong semakin jauh sampai terkubur sepenuhnya di lipatanku.

"Tampar aku." Sial! Apakah aku baru saja mengatakannya?

"Apa?" dia berhenti, tangannya di pinggulku dan wajahnya terlihat tidak percaya di cermin.

"Tampar aku."

"Kau suka melakukan ini dengan kasar, sayang?" dia menyeringai dengan pandangan aneh padaku.

"Tidak sampai aku bertemu dengan mu." Wajahnya berubah dari ingin tahu ke rasa memiliki dalam beberapa detik dan aku menegang di sekelilingnya.

"Sial, Put." Dia mengangkat tangan kanan nya dan membawanya turun ke pantatku.

"Ya!" aku memutar pinggulku dan dia mulai bergerak keluar masuk tubuhku, mencengkeram pinggulku. Aku mundur ke arahnya dan kami menemukan irama kami. Akhirnya, dia mengangkat tangannya lagi dan menampar pantatku dan ini sangat hot!

"Lagi?" tanyanya terengah-engah.

"Ya."

Dia menuruti, dan aku merasakan ketegangan di perutku. Kaki ku mengepal, dan aku mengencang di sekelilingnya, rasa di puncak itu telah merobekku.

"Oh sayang, ya." Aku terpana ketika Jis menutup matanya rapat dan mencengkeram pinggulku lebih keras, pencapaiannya sendiri telah mendorongnya dan dia mengeluarkan semuanya di dalam tubuhku.

Dia menyapukan tangan indah itu turun ke punggung ku lagi, nafas nya masih terengah-engah, dan tersenyum padaku lewat cermin.

"Aku tak menyangka kau menyukainya dengan kasar."

"Itu sebuah rasa baru."

Dia menarik keluar dari tubuhku, dan menunduk untuk mencium tattoo di paha atas ku, di bawah pantat dan aku terkesiap.

"Ku pikir ini adalah tattoo terseksi yang kau miliki."

"Kau pikir begitu?"

"Mmm hmm." Dia menelusuri dengan jarinya dan punggungku terasa menggigil.

"Kenapa?"

"Well, ini terlihat sangat seksi."

"Aku senang kau menyukainya." Aku menyeringai padanya, masih melalui cermin.

"Aku menyukai semuanya," katanya sungguh-sungguh, dan jatuh cinta dengan wajah jujurnya.

"Aku ingin kau bahagia, Put."

"Oh." Aku berbalik dan dia berdiri, membungkus bahuku dengan lengannya dan menarikku ke dalam sebuah pelukan besar.

"Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku padamu," bisikku di dadanya.

"Kita hanya perlu menjalani ini, sayang." Dia menarikku ke belakang dan memberiku ciuman lembut.

"Okay, aku bisa melakukannya."

"Bagus, ayo tidur." Dia mengangkatku dengan lengannya dan berjalan ke ranjang.

"Kau tahu, aku bisa berjalan." Aku tertawa dan menekan wajahku di lehernya.

"Tidak perlu, aku bisa menggendongmu."

"Aku suka bagaimana kuatnya dirimu."

"Kau suka sekarang?"

"Ya. Ngomong-ngomong, aku harus bangun pagi besok untuk melakukan yoga, dan kemudian aku mempunyai satu sesi pada jam sebelas."

"Okay. Ingin kujemput untuk makan siang?" dia menarik selimut dan menidurkanku di ranjang, merangkak naik di belakangku dan menarikku ke lengannya.

"Tidakkah kau bosan denganku?"

"Kau bosan denganku?" dia membalikkan tubuhku sehingga dia bisa melihat wajahku.

"Well, tidak."

"Aku ingin bertemu denganmu besok, makan siang. Kumohon."

"Okay," gumamku dan meringkuk ke dalam lengannya untuk tidur.

.