Chereads / Datang Padaku / Chapter 20

Chapter 20

Aku terkejut mengetahui bahwa aku bangun sebelum Jis.

Kita harus pergi yoga sejam lagi, tapi aku tak bisa menolak untuk berbaring di sini dan melihatnya tidur.

Cahaya pagi tersaring oleh ventilasi jatuh ke lantai kamar. Aku menyukai kamar tidurnya yang luas dengan perabotan yang besar. Tempat tidurnya ekstra besar, seprei putih terasa seperti kapas Mesir dan mereka terasa lembut di kulitku.

Jis berbaring, satu tangannya berada di atas melewati kepalanya. Wajahnya sangat lembut dalam tidur, janggut paginya sangat seksi di sepanjang rahangnya, rambutnya yang biasanya berantakan kini lebih berantakan lagi.

Dan dia mencintaiku!

Aku berjalan menuju kamar mandi sebagai jawaban dari panggilan alam, dan saat berjalan kembali ke kamar tidur aku memunguti baju-baju yang berserakan, sepatu dan jepitan rambut yang semalam, seringai lebar menempel di wajahku.

Aku menyadari satu koper kecilku berada di atas kursi dekat jendela, dalam hati aku berterima kasih pada Anna.

Aku senang mendapati perlengkapan yogaku, pakaian dalam bersih dan baju kasual lainnya dan perlengkapan mandi, semua baru, di dalam koper. Aku memutuskan untuk tidak mebuka semuanya dan meninggalkannya sebagian. Jika dia ingin aku pindah kembali, tak apa. Jika dia ingin memindahkan beberapa barang ke tempatku, juga bagus.

Aku menambahkan sikat gigi dan sebuah deodorant ke tempat riasnya dan juga sebotol body wash dan sampo ke shower.

Anna pasti berbelanja untuk ini semua tadi malam, aku tidak hanya berterima kasih dalam hatiku, tetapi juga berencana membalasnya dengan kejutan istimewa.

Aku meninggalkan pakaian di koper tapi mengeluarkan roda yogaku dan melihat kembali ke tempat tidur.

Jis masih tertidur, dan kami masih punya waktu, jadi aku meninggalkannya dan turun kebawah untuk membuat kopi.

Aku masuk ke dapur, membuka lemari berwarna espresso, dan akhirnya menemukan tempat kopi dan alat pembuat kopi, menyiapkannya dan menemukan beberapa mug juga.

Sambil menunggu kopi, aku membuka pintu Perancis keluar ke beranda menikmati suara alam dan mengambil nafas dalam udara segar.

Hari yang indah. Langit biru, matahari pagi terbit sepenuhnya dan bersinar dari dalam air biru yang dalam. Kapal feri berlayar menuju pulau New Vienna. Burung camar terbang di atas laut, dan angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutku. Hari yang cerah.

"Kukira kau bukan orang yang terbiasa bangun pagi."

Aku menengok mendengar suaranya yang berat dan seksi. Dia memelukku dengan lengannya.

"Selamat pagi, tampan."

"Selamat pagi, sayang."

Menyandarkan kepalaku ke belakang, aku menengadah dan menyeringai padanya. "Aku membuat kopi."

"Ya aku menciumnya. Terima kasih. Kenapa kau tidak membangunkanku?" dia mencium keningku dan menghirup nafas dalam.

"Kau terlihat sangat damai, dan kita tidak terburu-buru."

"Kau tak membongkar kopermu." Aku menyandarkan kepala di dadanya , menghindari tatapannya.

"Iya, aku bisa membereskannya kembali jika kau tidak ingin aku menaruh barangku disini."

Dia meraih daguku menengadahkanku, menyapu bibirku dengan ciuman yang membuat jempol kakiku melengkung (sebuah ungkapan yang artinya tersipu malu).

"Aku suka jika barang-barangmu di sini, tinggalkan saja."

"Oke." Aku tersenyum malu padanya.

"Ayo kita minum kopi."

"Kau sudah siap?" aku menyeringai pada Jis yang sudah mengenakan celana basket dan kaos tanpa lengan. Dia terlihat fantastik.

"Begitulah." Dia terlihat cemas dan hatiku meleleh.

"Kau akan baik-baik saja. Ingatlah yang kukatakan, ambil langkahmu dan mereganglah sejauh yang kau rasa nyaman. Aku tidak ingin kau terluka."

"Aku tak akan terluka."

"Okay." Aku tahu dia berpikir ini akan mudah. Aku tak meragukan fisiknya yang bagus, tapi yoga lebih membutuhkan fisik lebih dari yang orang kira.

Aku membuka kunci studio dan mempersilahkan dia masuk.

Semua jendela kaca sudah dibuat suram supaya tidak dilihat oleh orang yang berjalan di luar.

Terdapat kaca di salah satu sisi dinding dan pegangan yang menempel untuk kelas balet saat siang, dan matras yoga tergulung pada posisi berdiri diujung ruangan. Aku berjalan ke sound system dan memilih musik yang lembut.

"Oke, ambil matrasmu. Para peserta akan segera berdatangan."

"Berapa orang yang biasa datang ke kelas ini?" aku bisa merasakan kecemasannya bahwa dia akan dikenali.

"Hanya delapan atau sepuluh orang. Ini kelas kecil."

Dia mengangguk dan kami menggelar matras kami, aku di depan kelas di sisi kaca, dan dia di depanku. Para peserta masuk ke ruangan dan mengambil matras, menyebar ke semua sisi di studio. Tidak ada yang memperhatikan Jis dan aku melihat dia rileks. Aku tersenyum menenangkannya dan mengedipkan matanya padaku.

"Baiklah, semua, mari kita mulai."

Satu jam berikutnya aku memimpin kelas menjalani beberapa seri gerakan, memvariasi gerakan untuk mengakomodasi peserta yang baru maupun yang sudah berpengalaman. Aku adalah tipe yang menikmati musik, dan hanyut dalam yoga itu sendiri, tapi aku tak bisa untuk tidak terganggu oleh Jis dan tubuhnya yang kuat.

Dia fleksibel dan aku memujinya dan dia berterimakasih. Memandangi tubuh kecoklatannya bergerak dan melentur adalah sebuah kesenangan.

Dia memperhatikanku juga, dan lebih dari sekedar tertarik untuk hanya melihat gerakan yang aku peragakan. Saat bara di mata kami bertemu dan aku tahu aku membuatnya bergairah seperti dia membuatku bergairah.

Aku tidak bisa menunggu untuk berdua saja dengannya.

Aku berpose seperti anjing yang melengkung ke bawah dan mengamati kelas, dan aku mendapati Jis menatap pantatku.

Aku tersenyum menyeringai.

Akhirnya, kelas selesai dan aku sangat bersemangat dan sulit untuk berpikir jernih.

Para peserta satu persatu mengucapkan selamat tinggal, berderap keluar untuk menyongsong hari mereka dan tinggallah aku dan Jis sendiri. Dia berjalan ke pintu menutup dan mengunci pintu dan hatiku terjun bebas.

"Apakah ada kelas lain di sini pagi ini?" tanyanya.

"Tidak, sampai siang nanti," responku.

"Bagus."

"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku.

"Aku berpikir," dia mulai berjalan pelan kearahku,"Bahwa kau adalah wanita paling seksi yang pernah kulihat di hidupku."

Matanya menyipit dan wajahnya berubah serius ketika dia berjalan mendekat ke arahku.

"Oh." Aku mencoba menemukan otakku."Jadi, aku rasa kau menyukainya?"

"Aku tak pernah menyangka kau bisa menggerakkan badan kecilmu yang indah seperti itu."

"Aku sudah lama melakukan ini."

"Yeah, aku bisa melihatnya." Akhirnya dia berdiri kurang dari satu kaki dariku dan aku mengulurkan tanganku untuk membelai wajahnya.

"Aku senang kau disini. Sangat menyenangkan melihatmu bergerak."

Dia tersenyum, menyenangkan, menangkap tanganku, merasakan sentuhanku dan menutup matanya beberapa saat. Dia membuka matanya dengan warna hitam yang membara.

Sial, aku suka saat dia memandangku seperti itu.

Dia mendorongku ke kaca, menjepit wajahku dengan tangannya, menciumku seakan-akan hidupnya tergantung pada hal itu. Aku mengenggam pinggulnya dan memasrahkan diri pada ciumannya, menumpahkan rasa frustasiku sejak satu jam yang lalu.

"Aku menginginkanmu," Dia berbisik di bibirku.

"Aku menginginkanmu sejak satu jam yang lalu. Aku heran aku bisa berbicara sepanjang kelas berlangsung." Dia tersenyum di bibirku.

"Mari kita lepaskan ini, boleh?" dia menarik tank top dan sports bra ke atas dan membuangnya ke lantai dan dengan cepat melepas celana dan celana dalamku. Aku membalas kebaikannya, membebaskannya dari pakaian hitamnya dan dia memutarku menghadap ke cermin.

"Letakkan tanganmu di palang, sayang."

Aku melakukannya dengan senang hati. Dia mencium bahuku dan melingkarkan tangannya ke depan, menangkup dadaku dengan tangannya memainkan bagian sensitif dengan jarinya. Melihat pantulan kami di cermin membuatku merasakan sengatan listrik di pangkal pahaku. Tangannya yang besar kecoklatan menjangkau menangkup payudaraku yang putih. Bibirnya di punggungku, matanya tertutup, dan melihat wajah dengan kebutuhannya dan oh my.

"Ah!" Aku bersandar ke dadanya, mendorong dadaku ke tangannya.

"Kau membuatku gila melihatmu dengan semua gerakan itu, sayang. Aku tidak tahu bagaimana mengontrol diriku."

Aku terengah-engah dan tersenyum padanya lewat cermin.

Dia meluncur ke bagian bawah, menelusuri tatoku, melewati pinggangku, melewati pantat dan menemukan bagian tengahnya.

"Sial, sayang kau begitu siap untukku."

Bibirnya di leherku, menggigit, mengirimkan getaran ke tulang belakangku.

Segera, dia menarik pinggulku ke belakang sehingga aku membungkuk, tanganku berpegangan di palang, dan dia menampar keras pantatku sebelum memasukkan kejantanannya ke dalam diriku.

"Oh, God!" dia mencengkeram tanganku dengan satu tangan dan pinggulku dengan tangan yang lain dan mendorong ke dalam tubuhku, lebih cepat dan lebih cepat, lebih keras dan lebih keras, matanya yang seperti badai menatap mataku di cermin.

Sial, ini terasa sangat nikmat! Aku mendorong ke belakang ke arahnya dan merasakan robekan orgasme di dalam diriku, cepat, keras dan aku meledak olehnya.

Dia mendorong dua kali lagi dan menggigil dalam pelepasan.

.

Saat kami meninggalkan studio yoga, aku mendapat pesan dari Anna.

'Makan malam ulang tahun di rumah orang tuaku besok malam?

Ajak Jis.'

Aku berkerut. Bagaimana aku mengajaknya?

"Ada yang salah?" dia mempersilahkanku ke dalam mobil, menciumku sebelum masuk ke belakang kemudi.

"Tidak ada yang salah."

Dia mengangkat alisnya dan aku menggeliat.

"Bicaralah padaku, sayang"

"Orang tua Anna mengundang kita makan malam di tempatnya besok malam."

"Oh? Acara apa?" dia menjalankan mobil menuju ke rumahnya.

"Ulang tahunku," aku berbisik dan menggigit bibirku.

"Apa?" dia memandangku sekilas, matanya membesar, dan kembali memandang ke jalan.

"Yah, sebenarnya belum sampai besok Sabtu, tapi mereka ingin mengajak makan malam ulang tahun besok malam." Aku memutar jari-jariku dan menatap ke bawah. Merasa tidak nyaman.

"Kau dekat dengan keluarganya?"

"Yah, bisa dibilang mereka mengadopsiku setelah orang tuaku meninggal." Ini lebih mudah untuk dibicarakan. "Orang tuanya sangat baik. Anna punya empat orang kakak laki-laki. Yang tertua, Ishak, dan istrinya baru saja punya bayi. Aku belum menengoknya."

"Jadi, ini akan menjadi acara keluarga." Oh apa yang dia pikirkan?

Dia tak terlihat marah, tapi juga tak terlihat senang.

"Iya. Apakah kau akan pergi bersamaku?"

"Tentu saja. Kedengarannya menyenangkan. Tapi kapan kau akan memberitahuku kalau ulang tahunmu akhir minggu ini?"

Oh.

Aku mengangkat bahu dan memandang ke jendela. "Aku tidak terlalu memikirkannya, jujur saja. Aku tak mempermasalahkan hal itu."

"Mungkin aku ingin mempermasalahkannya." Suaranya melembut penuh teka-teki.

"Jangan marah," bisikku. "Itu membuatku merasa bodoh untuk berkata, 'Jadi, mari kita pergi yoga, dan ngomong-ngomong ulang tahunku besok Sabtu.'"

"Tidak, itu akan sangat membantu."

Dia menuju ke rumahku, mengantarkanku sehingga aku bisa bekerja. Dia mengambil gaun Anna dan sepatuku dari mobil dan kami masuk ke rumah.

"Jadi, kurasa kita akan pergi makan malam besok malam?"

"Yeah kita akan pergi." Dia memelukku erat.

"Terima kasih. Apakah kau ada banyak pekerjaan hari ini?" aku bertanya mengalihkan topik.

"Yeah, ada beberapa. Kau?"

"Aku punya dua acara, dan aku harus membawa gaun Anna ke laundry."

Dia mengerutkan dahi dalam. "Gaun Anna?"

Sial.

"Yeah, dia meminjamkannya padaku."

"Kenapa?"

"Karena aku tak punya pakaian untuk acara formal." Aku mengangkat bahu.

"Itu bukan masalah besar."

"Aku tak ingin kau harus meminjam pakaian." Dia mendekatkan matanya dan meletakkan tangannya di pinggul.

"Jis, itulah yang dilakukan para gadis. Mereka saling meminjam pakaian. Itu bukan masalah besar."

"Aku ingin kau berbelanja untuk ulang tahunmu."

"Tidak." Aku menggelengkan kepala dengan tegas dan berjalan ke dapur.

"Kenapa tidak?"

"Kau tak perlu membelikanku pakaian. Aku bisa membeli sepatu tiga ribu dollar tanpa mengedipkan mata, Jis. Aku tidak perlu dibelikan pakaian.

"Aku tidak bilang aku harus melakukannya. Aku pacarmu ya Tuhan. Itulah yang kami lakukan, biarkan aku memanjakanmu."

"Kau sudah memanjakanku." Aku tersenyum saat mengingat bunga, kopi, makan malam semalam. "Kau memanjakanku dengan segala cara."

"Put, aku sangat kaya. Aku mampu mengeluarkan uang untukmu."

"Sama aku juga."Aku menyilangkan tangan di dadaku.

"Kau sangat keras kepala!" dia menggelengkan kepala dan memegang rambutnya dan aku menahan geli.

"Apakah kau tertawa?"

"Begitulah, kau lucu ketika kau merasa jengkel padaku."

Dia tertawa menatap langit-langit.

"Tuhan, kau membuatku frustrasi."

"Aku tahu. Tapi aku mencintaimu."

Matanya melembut dan dia menarikku ke lengannya. "Aku juga mencintaimu."

Aku menengadah dan menciumnya dengan manis di bibirnya, lalu di ujung bibirnya.

"Aku serius, sayang. Ambil kartu kreditku, ajak Anna dan pergilah kalian berdua berbelanja, dariku, untuk ulang tahunmu."

Aku membuka mulut untuk berdebat tapi Anna tiba-tiba muncul di dapur. "Ok, tidak usah menyuruhku dua kali. Thanks." Anna mengedipkan mata padanya dan menyeringai.

"Hey! Tidak mau. Aku bersungguh-sungguh."

"Ann, kau ada acara besok sebelum makan malam dengan orang tuamu?" Jis berbicara pada Anna tapi melihat padaku, rahangnya sedikit terangkat.

Aku akan kalah dalam perdebatan ini.

"Tidak. Kebetulan saja kalenderku bersih." Anna tersenyum.

"Bagus, boleh minta tolong mengajak pacarku berbelanja? Dan kurasa spa juga boleh."

Ke spa juga? Aku ternganga.

"Dengan senang hati, pacar ipar yang murah hati." Anna tertawa atas candaannya begitu juga dengan Jis, dan yang bisa aku lakukan adalah berbalik dan maju di antara mereka berdua.

"Hello, aku ada di ruangan ini."

"Aku tahu, sayang, aku hanya merencanakan sesuatu untuk ulang tahunmu." Dia tersenyum dan mengedipkan matanya dan aku tak tahu apakah akan memukulnya atau benar-benar menciumnya.

"Aku suka pacarmu, Put." Anna tersenyum manis padaku dan aku tahu aku kalah.

"Baik," aku cemberut.

"Antusiasme mu menginspirasi."

Mata Jis bersinar geli.

"Kita akan pergi ke spa, tapi tidak berbelanja." Aku benar-benar berharap dia akan menerima kompromi, tapi aku tahu dari gerak rahangnya bahwa tidak ada gunanya berdebat.

"Kau akan berbelanja. Beli apapun yang kau mau. Tak ada batasan dalam kartu ini."

Aku menggelangkan kepala padanya.

"Dasar keras kepala."

Dia mengangkat bahu dan menciumku dengan keras, dan melepas ku tiba-tiba, membuatku kehilangan keseimbangan.

"Kau akan datang ke tempatku setelah sesimu selesai?"

"Yeah, aku akan kirim pesan kalau aku sudah selesai." Aku menghembuskan nafas, pasrah pada nasibku besok. Aku tahu Anna akan membuatku mematuhi instruksi-instruksi Jis. Dasar Pengkhianat.

"Bagus. Aku akan menemuimu nanti." Dia menciumku lagi dan menyandarkan dahinya pada dahiku.

"Aku mencintaimu, cantik."

Dan dengan hanya begitu begitu saja duniaku dibereskan, dan saat ini aku akan melakukan apapun yang dia inginkan.

"Aku mencintaimu juga, tukang perintah."

.