"Apakah kau sedang berusaha untuk mengirim gadis bunga ke kampus?" Tanyaku, mencoba untuk mengalihkan perhatiannya.
Jis tertawa dengan kata-kataku dan aku bisa sedikit bersantai. Aku sangat perlu untuk melihat apa yang aku katakan padanya tentang tubuhku. Aku belum pernah sepercaya diri ini dengan laki-laki lain, tapi itu mungkin karena aku tidak terlalu memperhatikan apa yang mereka pikirkan tentang diriku.
Mereka bisa menerimaku atau meninggalkanku.
Aku ingin Jis menerimaku.
"Terimakasih untuk sarapannya." aku mengambil kopiku dan bersandar di kursi, mengagumi pemandangan laut dan perahu yang berlayar diatasnya.
"Sama-sama." dia berdiri dan menyodorkan tangannya padaku.
"Ayo, kita cari tempat yang lebih nyamab untuk berbicara."
Wow, aku tidak akan menyia-nyiakan ini! Ini sangat baik. Aku meraih tangannya dan meninggalkan kopiku, tapi mengambil jus jeruk dan mengikutinya ke kursi malas. Aku duduk menatapnya dan menunggu dirinya mulai berbicara.
Jis duduk di ujung sofa dan mulai menyisirkan jari-jari di rambutnya. Dia gelisah, mungkin gugup. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk menenangkannya. Dan aku sangat putus asa menginginkannya mulai berbicara.
"Hey" kataku dan mengaitkan jariku dengan jarinya.
"Tak apa. Katakan apapun yang kau merasa nyaman untuk diceritakan padaku, dan kita akan mulai dari sana."
Matanya terlihat khawatir, alisnya berkerut, lalu dia menunduk dan mencium ruas jariku.
"Pertama, aku tidak pernah berniat untuk membohongimu." Dia melihat mataku.
"Aku seharusnya jujur padamu pada malam kau berada disini, tapi terus terang aku terperangkap olehmu. Kau bahkan terkadang membuatku melupakan namaku."
Jadi dia juga mempunyai masalah itu, huh?
"Kenyataannya, pagi dimana kita bertemu ketika aku berpikir kalau kau mengambil gambarku. Hal itu tidak sering terjadi lagi, tapi setiap hal itu terjadi, aku menjadi panik."
"Aku tidak akan pernah mengambil gambar tanpa seijinmu."
Dia meremas tanganku dan tersenyum sedih.
"Terima kasih," gumamnya. Dia menarik nafas panjang dan melanjutkan.
"Beberapa tahun yang lalu sangat gila. Paparazzi dapat menjadi ganas tanpa ampun, dan terkadang fans dapat menjadi lebih buruk lagi. Aku tidak pernah bisa nyaman berada di keramaian, tidak tahu kenapa, tapi dikejar di jalan oleh ratusan orang secara terus menerus membuatku menderita phobia. Setiap kejadian di dalam hidupku selalu didokumentasikan selama lima tahun."
Dia berbalik menatapku, matanya melebar dan mencari-cari.
"Aku tidak bisa memiliki seorang kekasih meskipun aku menginginkannya. Tidak pernah ada waktu untuk diriku sendiri."
"Kupikir aku pernah membaca sesuatu tentang kau bersama dengan artis pemeran pembantu... Rena atau yang lainnya."
Dia mengelengkan kepalanya dengan rasa frustasi.
"Itu semua adalah rekayasa demi kelancaran film. Untuk dipublikasikan. Studio memilikimu ketika kau berada dalam sebuah film dengan anggaran yang besar, Put. mereka mengatur dengan siapa kau berhubungan, apa yang kau lakukan, kemana kau pergi. Aku masih terlalu muda untuk benar-benar mengerti apa maksud dari semua itu."
"Rena perempuan yang baik, tapi dia tidak pernah menjadi kekasihku, dan itu hanya contoh lain dari bagaimana kejamnya Paparazzi itu. Mereka bisa membalikan semua kenyataan sampai mereka mendapatkan cerita yang mereka inginkan, daripada mendapatkan kebenaran yang membosankan." Dia menelan ludah dan mengernyit, lalu mata hitam indah nya menatapku lagi.
"Jika kau mempunyai pertanyaan tentang masa laluku, kau bisa menanyakannya padaku. Jangan mencari jawabannya secara online."
Astaga. "Okay."
"Ini penting. Ini bisa membuat kita bersama atau malah memisahkan kita, dan aku menolak untuk kehilangan dirimu atas sesuatu yang sudah tidak menjadi bagian hidupku lagi."
"Apakah mereka masih memberitakanmu?" Tanyaku.
"Kadang-kadang, tidak terlalu sering seperti dulu. Terima kasih Tuhan."
"Kau benar-benar tidak bermain film lagi selama lima tahun?"
"Aku tidak pernah sekalipun bermain film selama lima tahun ini." Jawabnya.
"Mengapa?"
Dia menyisirkan jari di rambutnya lagi. "Karena tidak semua uang adalah uang yang baik."
"Apa maksudnya?"
"Aku banyak menghasilkan dari hasil film-film itu Put. Aku berterima kasih untuk bagian marchandise, akuntan, dan pengacaraku. Dan aku masih tetap bisa menghasilkan uang di film, tapi apa untungnya? Jadi aku bisa diburu dan hidupku diatur?"
"Bagaimana dengan aktor lain? Kelihatanya mereka memiliki kehidupan pribadi mereka." Aku mengingatkan dirinya.
Dia mengangguk. "Tapi mereka telah lebih berumur sekarang dan tidak membintangi komedi romantis untuk perempuan muda. Mereka bukan barang bagus bagi orang-orang itu lagi."
"Jadi tidak ada bisnis film lagi?" Tanyaku, ingin tahu lebih banyak lagi, dia masih tidak memberitahuku apa yang dilakukannya.
"Aku tidak berkata begitu."
Oh. "Okay."
"Aku menjadi produser sekarang. Membantu membuat film. Aku bukan seorang aktor lagi."
"Jadi itu berarti bahwa kau mungkin akan berpergian dalam jangka waktu yang lama?" Aku menjaga suaraku agar tidak menjadi panik, tapi darahku menjadi dingin. Aku tidak ingin dia pergi!
Dia mencium tanganku lagi. "Aku akan pergi ke Green City atau White Water untuk beberapa hari disini dan disana, hanya itu. Aku juga bekerja dengan produser lain memungkinkan untuk melakukan sebagian pekerjaan itu secara langsung."
"Oh." Wow dia hidup di dunia yang benar-benar berbeda denganku.
"Aku punya satu pertanyaan."
"Tanyakanlah."
"Anna mengatakan kemarin bahwa dia mendengar seseorang menyakiti dirinya sendiri di rumahmu."
Jis menjadi pucat dan matanya suram.
"Ya, aku sedang berada di Green City untuk publikasi film terakhir."
Dia menelan ludah. "Seorang gadis muda, penggemar, merusak rumahku. Dia menyalakan api."
Aku terkesiap. "Ya Tuhan."
"Itu sudah cukup buruk, tapi dia tidak melakukannya dengan baik dan tertangkap di rumahku, dan berakhir meninggal disana."
"Sial, Jis."
"Itulah ketika aku mengetahuinya, aku berakhir. Itu terlalu gila, dan aku tidak dibuat untuk itu. Aktor lain hidup baik-baik saja di dunia itu, tapi itu bukan kehidupan yang layak untukku."
"Dia hanya seorang gadis yang kacau, sayang."
Matanya bergerak cepat menatapku. "Ini pertama kalinya kau memanggil selain dengan namaku."
Aku tersenyum dan mengangkat bahu.
"Yeah, dia kacau. Aku tidak membenarkan itu."
"Apakah kau merindukannya?"
"Aku rindu bejerja, akting itu menyenangkan, dan aku suka berfikir, aku bagus di dunia itu. Berada di lokasi sangat menyenangkan, dan aku belajar banyak. Tapi aku tidak merindukan sisannya."
"Okay, jadi inilah pertanyaan jutaan dollar. Mengapa kau tidak memberitahuku saja?"
"Awalnya aku tidak percaya padamu ketika kau mengatakan kau tidak mengetahui siapa diriku."
Dia tersenyum sedih padaku. "Itu jarang terjadi. Dan ketika itu terjadi secara nyata, itu seperti menghirup udara segar."
"Kau tidak normal Jis, dan maksudku dalam cara yang baik."
Dia menyeringai. "Kau tahu apa maksudku. Kau tidak menjadi seseorang berumur lima belas tahun seperti yang dilakukan Anna kemarin. Kau terlihat menyukaiku bukan karakterku di film."
"Aku belum pernah menonton film mu" aku mengatakan masalah sebenarnya.
"Aku menyukai itu." Suaranya benar-benar jujur.
"Tapi apakah kau akan memberitahu ku? Aku akan mengetahuinya cepat atau lambat. Itu yang mengganjal dipikiran ku, Jis. Itulah mengapa aku menjadi panik. Aku menceritakan padamu hal-hal yang tidak aku bagi dengan orang lain bahkan, Anna tidak mengetahui kalau aku mempunyai tattoo."
Matanya menyala ketika aku menyebutkan tattoo, tapi aku mengabaikannya.
"Sebenarnya setelah percakapan kita di dalam mobil kau seharusnya tahu bahwa aku mempunyai masalah kepercayaan dengan laki-laki. Semua laki-laki. Aku tidak bersama dengan laki-laki di hidupku."
"Kuharap itu akan berubah," bisiknya.
"Ini bukan permulaan yang baik untuk meyakinkanku membuat suatu perubahan."
"Puput, pikirkan tentang waktu yang telah kita habiskan bersama. Aku masih laki-laki yang sama dengan diriku sebelum kita berada di dapurmu kemarin pagi. Aku masih suka memasak, aku masih berpikir pekerjaan mu itu seksi, aku tidak bisa melepaskan tanganku dari dirimu. Aku hanya seorang laki-laki."
"Aku tahu."
"Kau tahu?"
"Ya. Aku bukan orang bodoh. Tapi kau mengerti diriku lebih baik dari siapapun, setelah kurang dari satu minggu, aku merasa sedikit dibohongi. Kemarin sangat memalukan bagiku."
"Itu memalukan bagiku juga."
"Well, aku senang itu sudah berakhir."
"Apa?"
"Saat memalukan pertama ku di depanmu."
Dia tersenyum, tapi hanya sekejap. Dia mulai serius lagi. "Bisakah kita memulainya lagi?"
"Tidak."
Wajahnya menjadi murung.
"Jadi kita sudah berakhir?"
"Tidak, aku tidak ingin memulainya lagi karena itu berarti menghapus semua yang kita punya dan sejujurnya, melupakan kejadian kemarin, beberapa hari yang lalu sangat menyenangkan."
Aku menggigit bibirku dan meliriknya.
Wajah tampan tidak masuk akalnya berubah menjadi senyuman yang menghentikan detak jantung. Ya Tuhan, dia terlihat sangat... damai. Aku hanya bisa menyesuaikan dengannya.
"Put, itu adalah hari-hari terbaik dalam hidupku, dan itu berarti untukku."
"Wow."
Akhirnya, dia menarikku ke pangkuan dan lengannya. Aku membenamkan wajahku di lehernya, memeluk tubuhnya, menghirup aroma seksinya, menanamkan ciuman lembut di pipinya.
Aku mundur dan mengambil wajahnya, menatap ke dalam matanya.
"Jangan pernah melakukan hal buruk lagi denganku."
"Sayang, kau tidak perlu mengkhawatirkan itu."
Dia tiba-tiba menciumku dan kami mulai bergerak. Dia berdiri denganku yang berada di lengannya dan berjalan menuju ke dalam rumah. Dia membawaku seperti aku tidak mempunyai berat badan, dan ini sangat... hot.
"Kita mau kemana?" tanyaku.
"Ranjangku."
Oh.
"Kita belum membereskan sarapannya."
"Nanti."
"Kita mungkin bisa telanjang di teras," aku memberikan saran dan menggigit telinganya.
Dia menggeram. "Tidak, ranjangku." Kami pindah ke lantai atas.
"Aku akan menelanjangimu dan berencana untuk menghabiskan satu minggu bersama mu di ranjang."
Aku hanya bisa tertawa. "Aku ada klien hari Senin."
"Okay, tapi hari ini dan besok kau sepenuhnya milikku."
"Milikmu?" aku mengangkat alisku padanya.
"Milikku." Dia mengulangi perkataannya dan menurunkanku dengan lembut di sisi ranjangnya. Dia meraih keliman dress ku dan menariknya melalui kepalaku.
"Ya Tuhan, kau tidak menggunakan pakaian dalam sama sekali."
Aku meringis. "Tidak."
"Sepanjang waktu tadi, kau duduk enam inchi dariku tanpa menggunakan pakaian dalam?"
"Yep." Aku tertawa dan mulai membuka kancing kemejanya.
Matanya menatapku intens dan aku melepaskan kancingnya satu per satu. Aku mendorong kemejanya melewati bahunya dan membiarkannya jatuh ke lantai.
Selanjutnya aku mendorong jariku di antara karet boxer dan kulitnya, cara yang sama yang aku lakukan padanya pada malam dia menghentikanku. Matanya menyala dengan kebutuhan, dan dia tidak bergerak untuk menghentikanku saat ini. Aku tersenyum dan menjilat bibir bawahku. Aku meluncurkan jariku di sepanjang perut sampai di risleting dan aku membuka jeans nya. Aku menarik jeans lembut dan boxer abu-abu perlahan melewati paha dan turun ke kakinya. Dia melangkah keluar dan menendangnya ke samping.
"Di sana, kau terjebak bersamaku," gumamku dan menatap mata hitam nya yang panas.
Dia tidak menyentuhku, yang malah membuatku gila dengan semua kerinduan ini. Aku ingin tangan ahli itu di tubuhku!
"Aku suka ketika kau melihat ku seperti itu," gumamnya dan berjalan ke arahku.
Aku mundur, betisku menabrak pinggiran ranjang.
"Bagaimana aku melihatmu?"
"Mata hijau indahmu melihatku seperti kau tidak bisa menunggu sampai aku menyentuhmu."
"Aku memang tidak bisa."
"Berbaring di ranjang, Sayang."
Aku melakukan apa yang dia katakan, dan menatapnya, menikmati pemandangan yaitu Jis. Seluruh aliran darah di tubuhku terkumpul di antara kedua kakiku dan membuatku terengah.
"Apa yang kau lakukan padaku?" tanyaku, terkejut aku mengatakannya dengan keras.
Dia meringis dan merangkak naik ke ranjang, kakinya di antara kakiku, tangannya bertumpu di sisi bahuku. Dia tidak benar-benar menyentuhku. Dia menundukkan kepalanya dan menyapukan bibirnya di bibirku, sekali, lalu dua kali.
"Aku menggodamu."
"Kau pandai melakukannya." Dia tersenyum di bibirku. Aku meraih pinggangnya tapi dia menariknya kebelakang, menjauh dari jangkauanku.
"Hey!"
"Pegangan ke atas."
"Aku ingin menyentuhmu."
Dia menciumku lagi. "Percaya padaku, Sayang. Pegangan ke atas ranjang."
Aku meraih ke atasku dan berpegangan pada kepala ranjang kayu bercat putih.
"Jaga tanganmu tetap berada disana, okay?"
"Okay."
Dia tersenyum dan mencium bibirku sekali lagi, lalu daguku. Aku menutup mataku dan mendongakkan kepalaku, memberikannya akses ke leherku. Dia mengambil kesempatan itu dan menjilat jalan ke tulang selangka ku.
Oh my.
Dia menurunkan tubuhnya hingga menempel dengan tubuhku. Dia memegang payudaraku dengan satu tangannya, mempermainkan puting ku di antara jarinya sementara dia menghisap payudaraku yang lain, dan ini langsung memukulku telak di pangkal paha.
"Oh, sial," tubuhku melengkung, bersemangat merasakan sensasi yang ditimbulkan. Dia meniup lembut putting ku, dan pindah ke yang lain untuk memberi penghormatan yang sama.
"Sangat cantik," dia menggumam di payudaraku. "Aku menyukai payudaramu. Kau mengisi tanganku dengan sempurna."
"Bisakah aku menggerakkan tanganku sekarang?"
"Tidak, belum. Tetap berada di sana."
"Aku ingin menyentuhmu."
"Kau akan menyentuhku, tapi jangan bergerak sekarang."
Aku mengerang frustasi dan dia mulai menciumi tubuhku. Dia membasahi tindik di perutku dengan lidahnya. "Ini sangat hot."
"Aku berpikir untuk melepasnya."
"Jangan, aku menyukainya."
"Okay," kataku malu-malu.
Dia menyeringai dan bergerak lebih jauh ke bawah, tangannya membelai sisi tubuhku turun sampai ke pinggang. Tiba-tiba dia memegang bagian dalam pahaku dan mendorongnya saling menjauh.
Dia menyapukan hidungnya di atas tattoo di rambut kewanitaanku dan mengerang.
"Siapa yang harus kau maafkan, Sayang?"
Aku terkesiap dan menatapnya ke bawah. Matanya bertemu denganku dan aku malu untuk merasakan air mata menusuk kelopak mataku.
"Diriku sendiri." Bisikku.
"Oh Sayang." Dia menciumi tattoo ku dengan manis, jarinya bergerak ke atas paha bagian dalamku sampai ke pusatku. Dia menjalankan satu jarinya turun ke celahku, dari klitorisku hingga lubang belakangku dan aku berteriak.
"Argh!" Ya Tuhan!
"Sayang, kau sudah sangat basah." Lidahnya mengikuti jarinya dan pinggulku mengejang. Dia memegangi pahaku agar tetap berada di atas ranjang, membuka lebar untuk dirinya.
"Sangat manis." Lidah nya bergerak kembali ke bibir kewanitaanku lalu menekannya masuk ke dalamku, menciumiku sangat intim seperti jika dia menciumi wajahku, hidungnya menekan klitorisku.
"Sial!" aku menangis, berteriak dan merasakan senyumannya di tubuhku.
Tangannya bergerak menangkup pantatku dan mengangkatku sehingga membuat wajahnya menekanku semakin jauh, dan tidak menghiraukan yang lainnya. Dia menggosokkan hidungnya berkali-kali di atas klitorisku bersamaan dengan lidahnya yang bergerak dan terus bergerak di dalam tubuhku, membuatku takut dengan orgasme ku sendiri. Aku datang dengan cepat dan keras, menarik tubuhku dengan kedua tangan yang masih terkepal di kepala ranjang, memanggil nama Jis, atau kupikir apa yang ku katakan sebenarnya.
Aku mungkin hanya tidak sadar dengan apa yang aku katakan.
Dia melanjutkan siksaan manis itu sampai getaran yang melanda tubuhku berakhir, lalu menciumi tubuhku ke atas, berhenti untuk memberikan perhatian lebih pada payudaraku, dan akhirnya berbaring di atasku, menempelkan tulang selangkangannya di atasku, siku tangannya masing-masing berada di sisi bahuku. Batangnya yang keras berada di atas pusat tubuhku dan ketika aku melingkarkan pahaku untuk memeluknya aku dapat merasakan tubuhnya bergerak ke atas dan ke bawah.
Mata Jis terpejam rapat. "Oh Tuhan, Put, kau sangat nikmat."
"Kau juga begitu." Aku menarik tubuhku ke atas dan mencium bibirnya, merasakan nya dan diriku sekaligus.
Dia menggerakkan pinggulnya sekarang, menggerakkan kejantanannya yang besar dan keras menggoda lipatan tubuhku tapi belum memasukkannya ke dalam tubuhku. Ujung kejantanannya terus menyentuh klitorisku, menembakkan sensasi percikan api ke dalam tubuhku.
"Biarkan aku menyentuhmu." Aku memohon padanya.
"Ya, sentuh aku."
Aku meremas rambutnya dan menarik wajahnya mendekat. Dia menciumiku dengan rakus, dan sementara itu apa yang dia lakukan pada pusat tubuhku terasa sangat luar biasa, aku hanya ingin dia berada di dalamku.
"Jis," aku bernafas di mulutnya.
"Apa yang kau inginkan, Sayang?"
"Kau. Di dalam. Ku. Sekarang." Tiap kata terputus oleh ciuman-ciumanku. Dia menggeram, dalam dan akhirnya masuk ke dalam tubuhku. Keras. Oh Tuhan!
"Ah!" dia menghentak-hentak di dalamku, terus dan terus, setiap dorongan lebih keras dari dorongan sebelumnya. Nafasnya terengah dan putus asa. Aku meraih ke bawah dan menyentuh pantatnya, menariknya ke dalam diriku lebih keras.
"Oh, Put. Datang bersamaku, Sayang."
Kata-katanya, suaranya, adalah sumber kehancuranku dan aku meledak di sekelilingnya. Aku masih merasakan sensasinya ketika dia mendorong masuk ke dalam tubuhku sampai pangkalnya menghentak dan terus menghentak, bergerak keluar masuk, ketika dia memeras seluruh cairannya ke dalam tubuhku.
Aku menjalankan jariku ke tulang belakangnya dan mendorongnya dengan lembut sampai ke rambut basahnya ketika dia bergetar dibatasku, membisikkan namaku seperti sebuah doa...