Aku tidak percaya bagaimana aku merasa tenang dengan Jis, apalagi telanjang. Aku belum pernah, walaupun hanya berjalan telanjang seperti itu bukanlah hal besar. Klienku melakukan ini sepanjang waktu, dan aku mengagumi kepercayaan diri mereka, tapi tidak denganku.
Sampai hari ini.
Sampai dengannya.
"Aku suka pantatmu, Put." kata-kata yang dia ucapkan sebelum dia tergesa turun dari ranjang untuk bergabung denganku di kamar mandi membuatku tersenyum. Dia menyukai pantat bulatku, tatoku, dan lekuk tubuhku.
Kelihatannya dia paling suka dengan lekuk tubuhku.
Aku meliriknya di kamar mandi dan tersenyum. Oh, dia tampan. Dia menggosok rambutnya, dan aku menuangkan sabun cair di tanganku dan mulai membasuh punggungnya.
"Mmm…," dia mengerang dan mengarahkan kepalanya ke bawah shower untuk membilas rambutnya.
"Seberapa sering kau berolahraga?" tanyaku.
"Hampir setiap hari," jawabnya dan berbalik, menuangkan sabun wangi ke telapak tangannya. "Berbaliklah."
"Bagaimana denganmu?" dia bertanya ketika mulai memijat bahuku.
"Pertanyaan apa itu?" gumamku.
Aku mendengarnya terkekeh. "Seberapa sering kau berolahraga?"
"Aku melakukan yoga tiga atau empat kali seminggu ketika jadwalku memungkinkan. Pekerjaanku membutuhkan fisik yang bagus." Aku mengangkat bahu.
"Itu berguna untukmu." Suaranya terdengar tulus dan aku melirik ke belakang dan tersenyum.
"Berguna untukmu juga."
Dia memutar-mutar tangannya di punggungku dan turun ke bawah, lalu melangkah memutariku sehingga punggungku berada dalam guyuran air dan dia mulai memijat tubuh bagian depanku.
"Kau punya tangan yang hebat," bisikku dan menjepitkan diriku di pinggulnya.
"Kau punya kulit yang bagus," responnya.
Tangannya menyentuh payudara dan putingku, kemudian turun ke bawah.
Dia memudahkan satu tangan menuruni perutku dan menyentuh klitorisku dengan satu jarinya. Dia memundurkanku menyentuh dinding dan menarik cuping telingaku dengan giginya.
"Ah!"
"Aku ingin bercinta denganmu di sini, Put, tapi tidak ada kondom di sini." Aku merasakan seringaiannya dan aku melihat ke atas, ke mata hitamnya.
Sebelum dia dapat menyelinapkan jarinya masuk ke dalam ku, aku memegang tangannya dan membawanya ke bibirku, menarik jarinya dengan mulutku, dan menghisapnya keras. Pupil matanya membesar dan dia menggigit bibirnya.
"Aku punya ide yang lebih baik."
Tanganku membelai dadanya, turun ke perut dan pinggulnya.
Aku berlutut dan berada sejajar dengan kejantanannya yang sangat keras dan hebat. Tanganku membungkusnya, menggerakkannya ke atas dan ke bawah, aku mendongak melihat matanya.
"Sial." Dia menutup matanya, menyandarkan kedua tangannya di dinding, dan melihat kenikmatan di wajahnya membuatku terperdaya.
Aku bersandar dan menjilat tepian kepalanya, lalu memasukkannya ke dalam mulutku dan menghisapnya keras.
"Sial!"
Oh, yes!
Aku mendorong dan menariknya keluar masuk mulutku, gigiku berada di belakang bibir. Aku menghisap dan menjilat, memutar ujungnya ketika aku menariknya. Dia mulai menggoyangkan pinggulnya dan aku menghisapnya semakin dalam, merasakan ujungnya berada di tenggorokanku.
"Oh sial. Hentikan Put, aku akan keluar."
Tapi aku tidak ingin berhenti. Aku terus menyiksanya, membuatnya menjadi gila. Dia memegang ikatan di atas kepalaku dan mengerang ketika dia datang, dan aku menelannya dengan cepat.
Aku menyeringai melihatnya terengah-engah, dahinya bersandar di ubin. Ketika dia sudah menormalkan nafasnya, dia melihat ku ke bawah dengan mata hitamnya, dan menarikku, menciumku lama dan keras.
Oh my.
"Ayo, keluar dari air."
Dia keluar, mematikan shower dan memberikanku handuk yang lembut.
"Apakah kau lapar?" tanyaku.
"Kelaparan." Dia menyeringai kejam dan aku tertawa, membungkus tubuhku dengan handuk ketika aku berjalan ke kamar tidur. Aku mengamati kaus abu-abunya di lantai dan meraihnya. Aku menjatuhkan handuk dan menarik kaus itu masuk lewat kepalaku.
Mmmm… baunya seperti dia.
Tidak perlu memakai celana dalam. Aku terkekeh pada keberanianku dan berputar menemukan Jis berdiri di ambang pintu, handuk mengelilingi pinggulnya dan matanya menatapku.
"Itu penampilan yang bagus, Put."
"Senang kau menyukainya," balasku dengan senyuman. "Ayo, kita akan menemukan sesuatu untuk dimakan di dapur."
Aku menunggunya menggunakan celana pendeknya – tanpa celana dalam! – dan kami turun ke lantai bawah. Jis duduk di kursi bar dan melihatku di dapur.
"Aku tidak tahu apa yang kita punya." Kataku malu-malu. "Ini adalah wilayah Anna. Hmm… Caesar salad?"
Aku memegang mangkuk keluar dari lemari pendingin dan dia mengangguk. Aku menyiapkannya untuk kami berdua, kemudian duduk di sampingnya.
"Jadi kau sama sekali tidak memasak?" tanyanya.
Aku meringis. "Aku bisa, aku hanya memilih untuk tidak melakukannya. Anna selalu bersamaku, dan dia suka memasak, jadi itu berjalan untuk kami berdua."
Ketika menyebutkan namanya, aku mendengar pintu depan terbuka.
"Puput?" panggilnya.
"Aku di dapur," panggilku kembali.
"Kau bersama temanmu?"
"Ya."
"Okay, aku langsung tidur. Sampai jumpa besok." Aku mendengar suara sepatunya di tangga.
Jis menaikkan sebelah alisnya dan melihatku. Aku mengangkat bahu.
"Mungkin dia mengalami hari yang buruk."
"Mungkin," aku menjawab dan mengernyit, tapi kemudian mengangkat bahu. Aku akan menanyakan itu padanya besok. Aku pikir dia pasti akan penasaran untuk mengintip Jis, tapi aku sangat tidak ingin orang lain melihat Jis tanpa pakaiannya.
Aku membersihkan sedikit kotoran dan menaruhnya di pencuci piring, lalu kembali dan menyandarkan siku ku di meja konter.
"Apakah kau akan tinggal denganku malam ini?" tanyaku.
Mata Jis melebar dan dia tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun, dia hanya berdiri dan berjalan ke bar ke arahku.
Tanpa menyentuhku dia menunduk dan dengan lembut menyentuhkan bibirnya di bibirku.
Astaga, dimana aku menemukan pria ini?
"Aku akan senang tinggal di sini malam ini," bisiknya di bibirku. Oh, itu adalah bisikan seksi yang dia lakukan dengan baik.
"Okay, bagus," bisikku kembali.
Tiba-tiba dia berbalik memunggungi ku dan berkata, "Naiklah."
"Apa?"
"Naik ke punggungku, kita ke atas." Dia memposisikan lengannya di belakang seperti dia ingin menangkapku dan aku tertawa ketika melompat ke punggungnya, melingkarkan lenganku di lehernya dan kaki ku terkait di pinggulnya.
Aku menunduk dan menarik telinganya di antara gigiku dan dia mulai naik ke atas, tanpa kesulitan menaikinya dan kami berdua tertawa seperti orang gila ketika dia berhenti di samping ranjang dan membuka seprainya.
Aku memekik ketika dia tanpa peringatan menjatuhkan ku di ranjang.
"Kau tahu," dia berkata, wajahnya berubah serius, ketika dia berbaring di sampingku.
"Apa?" tanyaku, sarkastik.
Ujung jarinya menyentuh kerah kausnya. "Kau tidak pernah bertanya padaku jika kau meminjam kausku."
"Apakah tidak?" aku melebarkan mataku dan menggigit bibir.
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau tidak bertanya. Sangat tidak sopan."
"Maafkan aku. Bagaimana aku bisa melakukannya padamu?" aku mencoba untuk terlihat menyesal.
"Aku tak tahu. Aku sangat tersinggung."
Dia masih terlihat sangat serius dan aku sudah sangat ingin tertawa terbahak-bahak, tapi aku masih sangat menikmati permainan kami.
"Bisakah aku membelikanmu yang baru?" tanyaku.
"Well, aku sangat sangat suka kaus yang itu."
"Oh," aku menggigit bibirku lagi dan mendorongnya ke belakang.
"Bisakah aku mengambil gambarnya dan memberikan padamu?"
Aku melonggarkan celana pendeknya dan dia menaikkan pinggulnya sehingga aku bisa menariknya turun ke kakinya, ereksinya terbebas. Aku mengambil sebuah kondom dari dalam saku dan menyobeknya.
"Tidak," bisiknya, "Itu tidak sama."
"Hmm…" aku menggulung kondom di atas kejantanannya dan mengangkangi pinggulnya. Aku menatapnya, menyipitkan mataku seperti aku sedang berpikir sangat keras mencoba untuk menyelesaikan masalah ini.
"Well," aku menyilangkan tanganku dan memegang pinggiran kaus abu-abu lembutnya, menariknya ke atas kepala. "Aku kira lebih baik aku mengembalikannya."
Aku menyerahkan kaus itu padanya tapi dia melemparkannya ke lantai. Dia duduk sehingga wajah kami sejajar. Dia memegang pantatku dan mengangkat ku di atas kejantanannya dan aku meluncur turun ke atas dirinya.
"Sial. Put, kau sudah sangat basah."
"Permainan kecil tadi membuatku terangsang."
Dia menggeram dan menciumiku, membimbingku naik dan turun dengan tangannya di belakangku.
Aku meletakkan tanganku di bahunya dan mendorongnya, dia berbaring di ranjang. Aku menunduk dan menciumnya dengan lembut, pinggulku tetap bergerak, tangannya berada di pantatku.
Lalu aku duduk tegak, dan mulai benar-benar bergerak, merasakan bagaimana dalam rasanya, menegang di sekelilingnya. Tangannya menyusuri perutku untuk menangkup payudaraku dan menggoda putingku dengan ibu jarinya.
"Ah!" aku mendongakkan kepalaku dan menggeseknya lebih keras, lebih cepat, merasa tubuhku mengetat dan aku sudah hampir sampai.
"Datang untukku Put," tangannya mencengkeram pinggulku, mendorongku turun ke tubuhnya lebih keras dan lebih keras, dan aku meledak di sekelilingnya.
Sebelum aku mempunyai kesempatan untuk turun ke bumi, Jis kembali bergerak dari bawah, mendorongku untuk menelungkup.
Dia bersandar di punggungku. Dia mencium leher belakangku dan tato ku. Dia memisahkan kedua kaki ku dengan satu tangannya kemudian dia masuk ke dalamku lagi.
"Oh, Tuhan!"
"Oh, Put kau terasa sangat nikmat." Dia menumpukan tubuhnya di kepalan tangannya di sampingku dan mendorong ke dalam ku lagi dan lagi, memukul titik nikmat di depan kewanitaanku, mengirimkan percikan api kenikmatan ke dalam diriku. Aku merasa diriku di dorong ke tepian lagi dan aku meneriakkan nama Jis ketika aku datang, orgasme mencengkeram tubuhku dan meremas ku sampai kering.
Dia meneriakkan namaku ketika dia menemukan kenikmatannya sendiri dan ambruk di atasku.
"Wow." Aku menggumam di bantal dan aku merasakan senyumannya di punggungku.
"Apa itu tadi?"
"Wow." Kataku lagi, tidak menggerakkan kepalaku.
Dia menggigit bahuku dan aku memekik kecil, mendorongnya turun dari tubuhku. Dia tertawa geli ketika melepas kondomnya dan membungkus tubuh kami dengan selimut. Menarikku ke lengannya, dadanya di punggungku.
"Maafkan aku, Miss. Aku tidak mendengarmu."
"Aku berkata, 'itu tadi biasa saja'."
Dia tertawa terbahak-bahak dan memelukku erat.
"Apakah ini waktu yang salah jika aku memberitahukanmu bahwa aku memakai kontrasepsi?" aku berbalik di lengannya ketika aku mengatakan ini untuk melihat bagaimana reaksinya.
"Apa?" matanya memicing dan sekarang dia terlihat marah. Sial!
"Well, ya. Mengapa kau marah?" aku mundur beberapa inci untuk melihat wajahnya.
"Kupikir kau mengatakan kalau sudah hampir satu tahun sejak kau bersama dengan seseorang."
"Ya, memang begitu."
Dia mengangkat alisnya.
"Perempuan tidak memasang dan melepas kontrasepsi hanya karena mereka berada dalam hubungan fisik." Aku memutar mataku. "Itu akan sangat mengacaukan hormon kami."
"Oh." Dia mengernyit lagi lalu melihat tato ku.
"Aku selalu memeriksakan diriku setiap tahun. Dan aku sangat sehat." Aku tersenyum.
"Jadi, aku bisa mendapatkanmu di dalam shower?"
Aku tertawa dan mengangguk tapi kemudian berhenti dan melihatnya mengira-ngira. "Well…"
"Aku juga melakukan pemeriksaan secara teratur, tidak punya pasangan selama hampir sama denganmu, dan aku sehat."
"Kalau begitu, ya." Oh, aku sangat tidak ingin memikirkan dia bersama perempuan lain. Tidak, tidak, tidak.
"Well, sial, kupikir kita perlu mandi lagi."
Aku tertawa dan meringkuk di lengannya, mengistirahatkan kepalaku di dadanya.
"Besok, aku mengantuk."
"Mungkin kita akan saling menyembuhkan insomnia."
"Itu pantas untuk dicoba." Aku menguap lalu mencium dadanya.
"Tidurlah, Put."
.
.
Aku bangun di pagi hari dengan sinar matahari yang menyengat dan lengan yang kuat menahanku. Aku belum pernah tidur bersama dengan orang lain sebelumnya, ini pertama kalinya. Dan luar biasa nyaman.
Jis tertidur di bantalku. Dia terlihat muda dan rileks. Dia perlu bercukur, dan rambutnya berantakan, seperti biasa. Aku ingin menyentuhkan jariku di sana, tapi ada panggilan alam, perlahan aku turun dari bawah lengannya dan pergi ke kamar mandi.
Ketika aku berjingkat kembali dari kamar tidur, Jis masih tertidur tapi dia berbalik ke sisi satunya, tubuh telanjangnya menindih selimut, lengan, kaki, pantat dan punggung telanjangnya semua terlihat.
Oh Tuhanku, dia adalah pemandangan yang luar biasa!
Aku tidak bisa menahan diriku sendiri. Apakah seorang perempuan terhormat memiliki ini di ranjang mereka dan tidak menyentuhnya?
Tidak denganku.
Aku merangkak naik ke ranjang dan menyapukan telapak tanganku dari tumitnya, hingga ke betis dan lututnya, ke atas pantat kencangnya dan naik sampai ke punggung, lalu menyisirkan jari-jariku di rambutnya.
Aku menggigit kecil lehernya dan melewati bahunya.
Aku mencium tulang belakangnya dan turun ke dasar punggungnya dimana dua lesung kecil berada, tepat di atas pantatnya.
Aku mendengarnya menggeram dan menyeringai.
Menjalankan ujung kuku ku turun dari pantat ke pahanya, dan mencium ke atas hingga tulang rusuknya.
Perlahan dia bergeser dan berbalik telentang, aku mencium tubuhnya, mengemut puting dan menumpukan tanganku di sekitar pinggulnya. Aku melihat ke arah mata hitam mengantuknya.
"Selamat pagi, tampan."
"Well, selamat pagi, cantik."
Tiba-tiba aku jatuh telentang dan Jis menyentuhkan jarinya di tubuhku dan menarik kedua tanganku ke atas kepala. Dia menciumi leher dan daguku, lalu menggerakkan tangannya turun dari lenganku untuk menangkup kepalaku di tangannya.
"Bagaimana kabarmu pagi ini?" bisiknya di mulutku dan menggosgosokkan hidungnya di hidungku.
"Aku baik."
"Hanya baik?" dia menciumi rahangku dan aku mendesah.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku dan aku memiringkan kepala memberikannya akses yang lebih banyak.
"Luar biasa." Bisiknya.
Aku tersenyum dan menyapukan tanganku turun ke punggungnya "Itu boleh juga."
Dia mengangkat kepalanya untuk melihat ku di bawahnya dan menangkup pipinya.
"Bagaimana denganmu?" tanyaku.
"Belum pernah merasa sebaik ini."
Mataku membelalak karena jawaban seriusnya.
"Wow, aku kira hanya baik."
"Oh, Put, aku melewati hari yang indah kemarin."
"Kau cukup manis."
"Kau cukup cantik pagi ini."
Aku mendengus dan mulai menyingkirkannya, tapi dia memegang daguku lembut.
"Kau."
Mencium.
"Sangat."
Mencium.
"Cantik.
Mencium.
Sial.
"Kau tidak begitu buruk." Aku tersenyum di mulutnya.
"Aku menginginkanmu, Put." Gumamnya.
"Aku tahu." Aku menggesekkan pinggulku ke ereksinya dan dia terkejut.
"Ya Tuhan, kau membuatku terangsang seperti remaja, Put. Apa yang telah kau lakukan padaku? Mata hitamnya menatapku dan dia menggerakkan pinggulnya, ujung kejantanannya menyentuhku, aku memiringkan tulang panggulku, menyambutnya masuk ke dalam tubuhku.
"Ah!" aku mencengkeram bahunya ketika dia mendorong semakin dalam. Dia menenggelamkan wajahnya di leherku, dengan lembut memasuki dan menciumi ku. Dorongannya semakin cepat dan keras, nafas kami terengah-engah.
"Oh, Put…aku belum pernah…sial, kau sangat nikmat."
Aku menyentuh pantatnya dan meremasnya, menariknya masuk lebih dalam.
"Datang bersamaku, Put," dia bernafas dengan susah payah, dan aku merasakan dia jatuh ke tepian dan dia membawaku bersamanya.
"Oh yes!" aku menangis dan mengejang.
Menit-menit berlalu, setelah nafas dan tubuh kami mereda, dia menggerakkan kepalanya dan menciumiku dengan lembut. Dengan mudah dia keluar dari tubuhku, dan aku merasa sedikit sedih, tapi aku tidak mempedulikannya.
"Aku akan kembali." Dia berdiri dan pergi ke kamar mandi.
Aku duduk dan meregangkan tubuhku dengan malas. Oh ya, aku sedih. Sangat jelas, otot-otot itu tidak akan kunikmati selama beberapa waktu. Aku memeluk tubuhku, lalu berdiri dan menyambar kaus dan celana yoga ku.
"Kau berpakaian." Aku menertawai wajah Jis yang mengerucut ketika dia keluar dari kamar mandi. Lengannya membungkusku dan memelukku sangat erat, aku mendesah. Wow, apakah ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan?
"Aku akan membuat kopi. Temui aku di bawah?" aku mengusap pipinya dengan tanganku.
"Pasti, aku akan segera menyusulmu."