Warning! This content not for UNDER AGE!
Pada paragraph awal terdapat beberapa kata-kata fulgar yang jika dibayangkan akan membahayakan bagi si pembaca ^^ jadi bagi yang tidak suka boleh untuk untuk di skip dulu.
.
.
Dia mencium sisi lain mulutku, matanya tidak berpaling dariku.
Aku mengangguk, perlahan.
Jis menyeringai ketika dia mendorongku berbaring di atas selimut dan melingkupi tubuhku dengan tubuhnya. Dia memperlakukanku begitu lembut!
Tubuh panjang berototnya terlihat sangat sempurna, pas dengan lekuk lembut tubuhku. Dia menekan satu kakinya di antara kakiku dan aku dapat merasakan ereksinya yang hebat di pahaku.
Aku mendorong tanganku di bawah kausnya untuk merasakan kulitnya, mengusap ke atas dan ke bawah tulang rusuknya. Kulitnya sangat halus dan ketat membungkus otot-ototnya yang terpahat.
Dia melanjutkan kegiatannya dan membuatku gila dengan mulutnya yang ahli, dia menjalankan tangannya dari pinggulku naik ke atas kausku menyentuh payudaraku dan aku membungkuk ke tanah, menekan payudaraku di tangannya. Putingku mengeras, tegang di dalam bra dan kausku, dia menjalankan ibu jarinya di atas putingku.
"Buka matamu." Aku menatap mata hitamnya yang sempurna, yang menatapku dengan bergairah dan lapar. Nafasku terengah, dan aku menjalankan ujung jariku turun ke dadanya.
"Kau sangat seksi, Put. Aku tidak bisa berhenti untuk menyentuhmu."
"Aku suka kau menyentuhku."
"Kau suka?" dia membelai wajahku, menyibakkan untaian rambut di pipiku.
"Ya," bisikku.
"Kulitmu sangat halus," gumamnya, jarinya masih berada di pipiku.
"Aku suka lekukan tubuhmu."
Mataku melebar.
"Jangan mengernyit." Dia menciumku di antara kedua alis mataku dan menguraikan kerutan di dahiku.
"Aku tidak yakin dengan lekuk tubuhku." Ini adalah bisikan pengakuan yang belum pernah aku buat sebelumnya, dan sejujurnya aku belum pernah merasa serentan ini.
Tatapan hitamnya bertemu denganku lagi, dan tiap kata diucapkan dengan tajam: "Kau. Sangat. Cantik."
Aku menutup mata, tapi dia menyentuh dagu ku, memaksaku untuk melihatnya lagi.
"Terima kasih."
Bibirnya menemukan bibirku, lembut, mengancam dan membelai mulutku seolah olah kami mempunyai seluruh waktu di dunia ini. Aku menggeser pinggulku dan membenturkan tubuhku di pahanya, dan dia mengerang rendah di tenggorokannya.
Darahku terasa mendidih. Aku belum pernah merasa menginginkan seorang laki-laki seperti aku menginginkan Jis Khalifa. Aku ingin merasakannya. Aku menginginkannya dengan cepat dan keras, dan aku menginginkannya sepanjang hari. Aku menyukai bagaimana dia memperlakukanku dengan lembut.
Dia duduk, menarikku bersamanya dan menggenggam kausku. "Aku ingin melihatmu." Dia terengah-engah, dan saat ini aku merasa akan melakukan semua yang dia minta.
Aku mengangkat tanganku ke atas kepala, tapi sebelum dia bisa menarik lepas kausku, aku merasakan tetesan air di wajahku. Aku mendongak dan menyadari langit berubah mendung dan hujan mulai turun, air hujan mulai merembes melalui celah ranting pohon oak.
"Aku basah," bisikku di mulutnya.
Dia menyeringai, matanya menertawaiku. "Kuharap begitu."
Aku ikut tertawa dengannya, dan aku membungkus lenganku di sekeliling lehernya. "Yang itu juga, tapi kita akan segera basah kehujanan."
"Sialan." Jis menggumam, menciumku. Dia menjalankan tangannya di bawah punggungku, dari leher sampai ke pantatku, dan kupikir aku mendesah.
"Kita harus pergi." Aku menaikkan alisku padanya.
"Jangan berpikir aku tidak akan menemukan rahasia tatomu."
"Mengapa membuat ini menjadi lambat?" nafasku mulai teratur, tapi jantungku masih berdebar kencang. Oh, apa yang laki-laki ini lakukan padaku!
"Kupikir, aku mengubah pikiranku." Dia benar-benar serius.
Terima kasih Tuhan!
"Dan mengapa itu?" aku melarikan tanganku melalui rambutnya, sepenuhnya senang berada di pangkuannya, dengan lengannya memeluk erat diriku.
"Karena aku tidak bisa melepaskan tanganku dari dirimu. Aku tak tahu apa yang telah kau lakukan padaku, tapi aku merasa berada di luar kontrol diriku."
Dia menggeleng lagi, dan melihat ke sekeliling menyadari langit telah gelap.
"Hujan akan semakin lebat, ayo kita kembali." Dia membiarkanku berdiri dan kami mengumpulkan barang-barang, berlari kecil di antara pohon-pohon menuju mobil. Selama perjalanan kembali ke mobil, kami basah dan tertawa seperti anak kecil.
"Aku tidak ingin membuat jok kulitmu basah!"
"Jangan mengkhawatirkan itu, masuklah."
Dia membukakan pintu untukku. "Aku tidak ingin kau sakit, sayang."
Sayang? Sayang! Apakah tidak apa-apa jika dia memanggilku sayang? Dia mengarahkanku untuk duduk, menutup pintu dan berlari ke kursi pengemudi. Dia menatapku, rambut dan kausnya basah, terengah-engah, mata hitam indahnya penuh humor.
Oh ya, aku baik-baik saja dengan itu.
"Mari pulang dan mengeringkan dirimu." Dia menjalankan mobil dan keluar dari tempat parkir, menuju jalan tol.
"Jadi, ceritakan lebih tentang dirimu."
Jis melaju di jalan tol dan melirik padaku.
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanyaku.
"Musik favorit?"
"Maroon 5." Jawabku dengan mudah.
"Film favorit?" dia bertanya sambil menyeringai.
"Hmm…kita sudah pernah membicarakan ini." Aku tertawa. "Aku masih tetap menyukai The Way We Were."
"Ah ya, kau adalah fans Robert Redford." Dia mencium tanganku dan aku menghela nafas.
"Ya."
"Pacar pertama?" tanyanya, matanya menatap tegang, dan aku membeku. Bagaimana aku menjawab pertanyaan ini?
"Kau tahu, aku tidak pernah melakukan ini." Aku berbalik menyamping untuk melihatnya.
Dia melirikku sekilas, lalu kembali melihat ke jalan. "Melakukan apa?"
Aku mengangkat bahu, mencoba mencari kata-kata yang tepat, dan bertanya-tanya mengapa aku merasa harus menjelaskan tentang diriku.
"Hey," dia mengaitkan jarinya dengan jariku dan mencium tanganku sebelum meletakkan di pangkuannya. "Apa itu?"
"Aku tidak biasa menghabiskan banyak waktu dengan laki-laki. Aku tidak berciuman. Aku tidak berbagi makanan. Aku tidak menghabiskan waktu untuk bermain dua puluh pertanyaan. Aku hanya….Tidak."
Ini mulai tidak benar!
Dia melirikku lagi, terkejut.
"Oke, apa yang kau lakukan dengan laki-laki?"
Dia menggeliat di joknya dan aku pikir dia marah.
"Aku tidur dengan mereka." Ini. Ini dia.
"Apa?" Dia benar-benar marah.
"Jis, aku tidak berkencan." Oh, bagaimana aku menjelaskan ini?
Aku tidak pernah ingin berkencan dengan siapapun sebelumnya. Sebelum dengannya.
"Apakah kau mengabaikanku?" ada rasa ketidakpercayaan disuaranya dan dia melepaskan tanganku.
"Tidak!" Aku menutup mata dan menggeleng. "Sebelum aku bertemu denganmu, maksudku. Aku hanya tidak ingin kau berpikir bahwa aku mengacau atau bahwa aku pergi dengan laki-laki di hutan hanya dalam waktu kurang dari dua hari aku mengenalnya."
"Tapi kau tidur dengan mereka." Hardiknya.
"Ya, aku memang melakukannya." Aku kembali ke posisi dudukku semula dan melihat keluar kaca mobil.
"Sebelum orang tuaku meninggal…"
Dia mengambil tanganku lagi dan aku menoleh padanya, terkejut.
"Lanjutkan."
"Sebelum mereka meninggal, ketika aku masih kuliah, aku tidak terlalu memikirkan diriku sendiri. Dan karena itu, tidak seperti yang orang lain lakukan. Aku tidak berkencan sebagai pilihannya Jis. Tapi seks adalah sesuatu yang aku mengerti. Aku tidak pernah ingin merasakan hal lain dengan laki-laki."
Aku menelan ludah dengan susah payah dan menutup mataku karena malu.
"Apakah sesuatu terjadi padamu sehingga kau merasa seperti itu?" suaranya tenang. Terlalu tenang.
"Umm…" aku belum pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Kecuali Anna.
"Lihat, Puput, aku merasakan sesuatu juga di sini, dan kau bisa bertaruh kemanisanmu, pantat indahmu yang membuatku ingin bercinta denganmu. Aku tidak hanya sekedar tidur denganmu. Jadi aku pikir ini penting bahwa kita harus saling jujur saat ini. Tidak ada hal yang mengejutkan." Wajah tampannya sangat tulus.
"Kemarin malam kau bilang ingin bercinta denganku."
"Ya, memang. Dan akan. Tapi tidak malam ini."
"Oh."
"Yeah. Jadi apa yang terjadi, sayang?"
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dan menautkan jari-jariku diatas pangkuanku. Jis berpindah jalur dan aku mencoba untuk mengumpulkan pikiranku. Oh, ini menyakitkan.
"Waktu aku berumur tujuh belas tahun, aku berpacaran dengan seorang laki-laki yang selama beberapa bulan aku pikir cukup baik. Aku masih perawan, dia selalu menggodaku, tapi aku tidak peduli. Aku masih tujuh belas tahun, demi Tuhan. Yah, mempersingkat cerita, dia melangkah terlalu jauh suatu malam. Kami berada di rumahku, orang tuaku sedang berada di sebuah pesta, dan kami hanya berdua, dan dia…" aku berhenti bicara dan menatap ke luar jendela. "Dia memperkosaku."
Jis mengambil nafas dalam, wajahnya mengerut marah.
"Brengsek."
"Itu bukan bagian terburuk." Aku tertawa menyedihkan dengan ingatan itu.
"Itu sama sekali tidak lucu." Dia melirikku sekarang dan wajahku seperti orang mabuk.
"Percaya padaku, aku tahu." Aku menelan ludah."Kau sangat suka mengumpat."
"Kau belum mendengar umpatan. Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Orang tuaku pulang." Ini adalah sebuah bisikan pengakuan. Lagi, Jis bernafas dengan keras.
"Ayahku hampir membunuhnya. Polisi pun telah dipanggil. Dia dihukum. Ayahnya adalah seorang senator, jadi seiring dengan omong kosong hukum, orang tuaku menggugat orang tuanya dan menang. Ayahku waktu itu adalah seorang pengacara kelas atas. Aku mendapatkan dana perwalian yang cukup besar dari gugatan itu, yang tidak akan pernah aku sentuh. Aku tidak membutuhkannya, orang tuaku memastikan bahwa aku sudah cukup mendapatkan perhatian, dan aku tidak menginginkannya sama sekali,"
Dia tidak mengatakan apapun cukup lama. Dia hanya menyetir dan terlihat seperti melamun.
"Jadi," aku menginterupsi keheningan, "Itulah mengapa aku punya banyak masalah dengan para pria di kampus. Itu membutuhkan beberapa tahun konseling dan kematian orang tuaku menyadarkanku dan menarikku keluar dari perilaku burukku."
"Tato-tato itu?" tanyanya.
"Tidak, ironisnya, tato-tato ini tidak ada hubungannya dengan masa laluku, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyembuhan."
Dia masih tidak ingin melihatku. Sial, ini terlalu cepat!
"Hey." Aku memegang tangannya. "Aku tahu itu semua terlalu cepat untukmu, dan kita baru saja saling mengenal. Jika kau lebih memilih untuk hanya menurunkanku di rumah dan memutuskan hubungan kita, aku dapat mengerti."
"Tidak, Put, kau tidak akan aku lepaskan begitu mudahnya." Dia meremas jariku dan aku merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Kau menjadi pendiam."
"Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku katakan." Dahinya berkerut dan dia menatapku.
"Aku hanya… Aku merasa ini sudah menjurus ke sesuatu yang lebih intim, dan kupikir kau seharusnya tahu."
"Kau tidak berkencan dengan seseorang, tidak pernah?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Sayang, kita punya banyak hal yang harus dibicarakan." Suaranya kembali melembut dan aku merasa harapan perlahan menyebar di dadaku.
"Kita bicarakan?"
"Oh, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi."
"Oke."
"Dimana bajingan itu?"
"Aku tak tahu. Kenapa?"
"Karena aku akan membunuhnya." Aku tidak percaya dia baru saja mengatakan hal itu! Aku tertawa pelan. "Tidak perlu. Aku yakin dia adalah laki-laki yang menyedihkan, Jis."
"Dia harus masuk ke neraka."
"Dia akan berada di sana." Aku menggenggam tangannya lebih erat.
"Percaya padaku, dia bukan sebuah masalah lagi untukku. Ayahku menyelamatkanku."
"Terima kasih, Tuhan." Dia mencium ruas-ruas jariku, dan aku merasa dia mulai santai di sampingku.
Wow, aku telah mengatakan hal yang paling buruk padanya, dan dia tetap ingin bersamaku? Bagaimana aku bisa sangat beruntung?
Jis sampai di depan rumahku dan mematikan mobil. Dia membukakan pintu untukku, dan mengangkat tas kameraku, mengikuti masuk ke dalam rumah. Aku membuka pintu dan mengisyaratkan padanya untuk masuk.
"Anna!" aku memanggil sahabatku, tapi rumah ini sepertinya kosong.
"Kupikir dia tidak ada di rumah." Aku tersenyum padanya dan mengambil tas kameraku, meletakkannya di lantai dan tasku di atas meja. Aku mengambil kunci mobilnya dan meletakkan di atas meja.
"Bisakah aku mengajakmu berkeliling?" tiba-tiba aku merasa malu.
"Tentu."
Aku menggenggam tangannya. "Terima kasih telah bergabung dengan tur kami hari ini Mr. Jis Khalifa, kami senang anda bersama dengan kami." Jis tertawa, tertawa terbahak-bahak, dan aku merasa rasa maluku menghilang. "Oh, aku menyukai selera humormu, Puput."
Aku mengambil tas kameraku dari lantai dan dia menaikkan alisnya "Aku akan menunjukkan studioku dan menaruh ini sekalian." Dia mengangguk dan aku mendahuluinya berkeliling rumah.
"Kulihat kau punya pemandangan yang bagus juga," dia menunjuk kelantai dan jendela di ruang besar dan aku tersenyum.
"Ya. Ini jelas sekali adalah ruang tamu, ruang makan dan dapur."
Aku melirik ke arah sofa berwarna merah dan coklat, furniture ruang makan bermotif kayu gelap, dan dapur yang simpel dan elegan.
"Dapur yang bagus." Dia mengedip kepadaku.
"Ya." Balasku lalu dia terkekeh. "Tapi aku tidak sering memasak. Anna yang lebih sering memasak."
"Aku akan senang memasak untukmu di sini." Tatapannya bersinar.
"Aku akan menyukainya." Kurasakan pipiku memanas.
"Oke, ayo kita keluar ke studio, lalu aku akan menunjukkan mu lantai atas."
"Keluar?"
"Ya, aku mengubah guest house menjadi studio. Itu bagian favoritku di rumah ini. Ayo."
Aku mendahuluinya keluar dari pintu geser kaca, melewati halaman belakang studio. Aku menahan pintunya dan melihatnya berspekulasi.
"Apa ini?" tanyanya, penasaran tertulis di wajahnya.
"Jangan tegang dan panik, okay?"
"Kenapa aku harus panik?"
"Well, aku sudah mengatakannya padamu bahwa aku tidak mengambil foto biasa." Aku menggigit bibirku.
"Sayang, setelah percakapan kita sebelumnya, dan perasaanku padamu saat ini, aku jamin aku tidak akan merasa panik atau terkejut." Aku mengamati wajahnya, dan mengetahui maksudnya lalu aku berbalik untuk membuka pintu.
Ini tidak apa-apa.
Aku berjalan di depannya dan meletakkan tas kameraku di lantai. Menghidupkan lampu dan Jis mengikuti masuk ke dalam. Dia berhenti di dalam batas pintu, dia terkejut, matanya melebar, melihat studioku.
Aku berbalik dan melihat-lihat dengannya. Di satu sudut ada ranjang ukuran king size dengan kain putih menggantung di kanopi, siap untuk sesi besok. Ada lantai lagi untuk loteng – pencahayaan yang sempurna! – di seberang ruangan. Ada rak-rak untuk lingerie, korset, selendang bulu, sepatu dan properti lainnya.
Tapi dia fokus melihat pada foto kanfas yang tergantung di seberang ruangan. Dia berjalan ke sana dan melihat pada pasangan yang berada dalam pergolakan gairah. Foto itu berwarna hitam putih, tampak samping dari pasangan yang berbaring di ranjang king size ku, si pria mengait si perempuan, mulut si pria berada di payudara si perempuan. Kepala si perempuan mendongak ke belakang, mulutnya terbuka, kedua kakinya membungkus pinggul pasangannya dan menjulur ke belakang paha. Itu adalah sebuah foto erotic yang intim dan salah satu favoritku.
Jis berputar, mengamati semua karya seni di dindingku. Beberapa wanita atau pria dalam pose yang profokatif, kebanyakan pasangan dalam posisi seksual yang berbeda. Akhirnya, pandangannya kembali padaku.
"Ini yang kulakukan," bisikku.
"Puput," dia menelan ludah dan melihat ke foto favoritku lagi.
"Ini sangat luar biasa."
"Benarkah?"
Dia mengangguk, matanya melebar. "Yeah, ini luar biasa. Sangat seksi. Bagaimana kau bisa membuat seperti ini?"
Aku tidak bisa menghilangkan senyum di wajahku. "Di kampus. Gadis-gadis memintaku untuk mengambil foto kamar rias mereka untuk pacar-pacar mereka, jadi aku mengatur studio dadakan di apartemenku dan memulai bisnis di sana."
"Dan pasangan itu?"
"Itu seperti berkembang. Banyak dari mereka adalah pelanggan yang kembali lagi, pacar atau suami menyukai foto sang wanitanya, dan mereka menginginkan foto yang lebih intim sebagai pasangan."
"Itu bukan pornografi." Aku hanya ingin mengklarifikasi itu, dan melihat wajahnya.
Dia mengernyit. "Sayang, ini adalah karya seni. Ini sama sekali bukan pornografi."
Aku tersenyum, lega. "Di sana ada sebuah kamar tidur yang kugunakan untuk menyimpan properti dan furnitur dalam beberapa variasi foto, dan aku menggunakan dapur untuk menyimpan minuman untuk pelanggan. Beberapa gadis suka diambil fotonya di sana juga. Itu menyenangkan."
Dia berjalan ke arahku, mengangkup kedua pipiku di telapak tangannya dan menciumku dengan lembut.
"Kau mempunyai talenta yang luar biasa."
Wow.
"Terima kasih. Dan untuk pemberitahuan saja. Aku belum pernah melakukan seks di sini." Matanya menari nakal.
"Apakah itu merupakan tantangan?"
"Bukan. Itu kenyataan."
"Mengapa?"
"Karena ini bukan memoriku. Mereka adalah pelangganku."
"Jadi, kau tidak membawa laki-laki ke sini?"
"Hanya dirimu, tampan." Aku tersenyum malu-malu.
"Senang mengetahuinya."
"Sebenarnya," aku melanjutkan, melihatnya dalam mata hitamnya yang bersinar. "Aku belum pernah mengundang laki-laki ke rumahku sebelumnya."
Matanya membelalak dan dia mengambil nafas dalam. "Ranjangmu?"
"Hanya aku."
"Itu harus diubah." Dia menyambar tanganku dan menarikku keluar studio, menutup pintu studio dan mendahuluiku masuk ke dalam rumah.
"Dimana kamar tidurmu?"