Chapter 6 - Chapter 5 - Perasaan

PoV: Vincent

Hoamm... Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku menguap selama di kelas tadi.

Tugas makalah Pak Hendro ternyata dijadikan bahan presentasi dadakan olehnya. Bayangkan saja, seisi kelas presentasi masing-masing bergantian sampai tuntas.

"Gila, empat SKS full presentasi. Waktu udah habis pun masih tetap lanjut, tuh, si bapak," keluh Thomas.

"Kamu gak lihat mataku udah sepat begini? Setiap mata kuliahnya aku seperti dihipnotis mengantuk," sahutku.

Thomas tertawa, "Iya kelihatan, tuh, matamu tinggal lima watt!"

"Mata kuliah berikutnya ada jeda dua jam, 'kan? Bolos aja, yuk?" ajakku.

Aku tahu Thomas paling anti dengan bolos, jadi aku pun tidak serius mengajaknya. Aku juga sebenarnya tidak pernah bolos, kecuali sedang sakit.

Nilai-nilai mata kuliah Thomas nyaris semua 'A', tidak seperti aku yang 'ABCD'. Bukan berarti aku bodoh, hanya saja aku tidak serajin dan segigih dia dalam hal belajar.

Tanpa menjawab ajakanku, dia menarikku agar mengikutinya. Jelas sekali dia mengarah ke kantin.

"Kita makan dulu aja sambil menunggu, nggak kerasa kok dua jam," katanya.

Aku menghela napas, tapi tetap kuturuti dia. Memang kebanyakan kami menghabiskan waktu di kantin yang ada di Fakultas Ekonomi selagi menunggu jeda waktu antar mata kuliah.

Tempat ini sangat nyaman, seperti foodcourt ruang terbuka yang luas. Tidak panas saat siang hari karena banyak pohon di sekelilingnya.

Meja dan kursi juga cukup banyak dengan berbagai ukuran dan warna. Kami pun disuguhkan lagu-lagu ter-update setiap harinya dari UKM musik. Selain makan, tempat ini benar-benar kantin serbaguna.

Thomas mencari meja kosong yang jauh dari orang-orang yang sedang merokok. Saat ini kantin tidak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lewat.

"Kau duduk dulu di situ, aku pesankan makanan. Mau makan apa?" tanyanya setelah mendapatkan meja yang strategis.

"Samain aja denganmu."

Dia mengangguk dan segera melangkahkan kaki ke arah bilik dapur milik Mbok Wito, langganan kami. Sepertinya aku bisa menduga apa yang akan dia pesan.

Ting!

Lampu notifikasi smartphone-ku menyala.

Kuketuk layar dua kali dan melihat sebuah pesan Instagram dari seseorang yang tidak kukenal. Kuraih smartphone-ku dari atas meja dan membaca pesannya.

Olvie_Amanda:

Hai.. Kak Vincent, 'kan?

Loh, dia tahu aku. Padahal, aku tidak pernah mencantumkan namaku di semua akun sosmed, termasuk Instagram.

Kemudian aku melihat chat di atasnya, aku baru ingat sebelumnya dia juga pernah mengirimkan pesan yang tidak kubalas.

Kembali kubuka profile-nya dan tanpa sadar aku mengucapkan namanya, Olvie Amanda. Melihat sederetan foto yang dia post, aku merasa dejavu. Waktu itu aku juga melihat profile-nya seperti ini. Tetap saja aku merasa asing dan tidak kenal.

Thomas sudah kembali dan duduk di sebelahku. Kuletakkan kembali smartphone-ku di atas meja.

Lalu tiba-tiba saja seperti tidak sengaja, mataku bertatapan dengan salah satu cewek yang duduk beberapa meja di depanku, dia duduk menghadapku. Seolah kaget karena pandangan mata kami bertemu, dia langsung memalingkan wajahnya. Begitu juga denganku.

"Ada apa?" Thomas bertanya padaku.

"Gak apa-apa. Kamu pesan apa tadi, Tom?"

"Biasa," jawabnya sambil nyengir.

Tidak lama kemudian, anak laki-lakinya Mbok Wito datang dengan membawa nampan berisi pesanan kami. Tepat sesuai dugaanku, nasi telur. Nasinya tidak kelihatan karena tertimpa telur dadar yang lebar ciri khas buatan Mbok Wito.

"Satu nasi telur bawang dengan ekstra potongan cabe rawit, satu nasi telur bawang tanpa cabe, dua sayur asem, satu sambal terasi, dan dua es teh manis." Dia meletakkan semuanya satu per satu ke atas meja.

"Ada tambahan, Kak?" lanjutnya.

"Udah, Dek. Berapa semua?" tanya Thomas sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya.

"Empat puluh ribu, Kak."

Aku menahan tangan Thomas dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku menyodorkan uang lima puluh ribuan kepada anak itu.

"Kembaliannya simpan aja, ya, Dek," ujarku.

Lalu dia kembali ke tempat Mbok Wito setelah mengucapkan terima kasih.

"Ini mah makanan favoritmu banget, Tom!" seruku.

Thomas nyengir dan berkata, "Apalagi waktu masih hangat begini, mantap betul!"

Saat kami mulai makan, ponselku berbunyi lagi. Kembali kuketuk layar dua kali untuk melihanya. Pesan Instagram lagi, dan dari cewek yang tadi. Perasaan tadi tidak kubalas, 'kan? Aku membuka pesannya karena penasaran.

Olvie_Amanda:

Lagi di kantin, ya, Kak? Kok berdua aja?

Aku tertegun, lalu kuamati orang-orang yang duduk disekitar meja kami. Aku mulai bergidik, merasa seperti sedang diawasi. Kubalas saja pesannya, 'Siapa, ya?'

Baru saja kuletakkan kembali, ponselku sudah berbunyi lagi. Cepat sekali dia balasnya.

Olvie_Amanda:

Aku Olvie, Kak. Salam kenal, ya. ^^

Ya aku juga tahu namanya Olvie, jelas tertera di nickname-nya. Aku berpikir sejenak, lalu mataku kembali memperhatikan sekitar.

Aku merasa dia pasti ada di kantin ini juga. Rupanya dia juga mahasiswi di sini, tapi aku merasa tidak pernah bertemu dengannya.

"Kenapa, Cent? Kuperhatikan mukamu serius banget dari tadi. Makan dulu." Thomas mengambil ponsel dari tanganku dan ditaruhnya di meja.

"Ah.. Iya.." Aku melanjutkan makan.

Lagi-lagi smartphone-ku berbunyi kembali. Aku yakin pasti cewek itu mengirim pesan lagi. Kuteguk es tehku sampai setengah gelas, lalu membuka pesan itu.

Olvie_Amanda:

Yah.. Kok cuma dibaca aja, Kak? Aku ganggu Kakak makan, ya? :(

Aku mengerutkan kening, menunjukkan ekspresi bingung. "Siapa, sih," gumamku.

"Apa ada yang mengganggumu? Siapa?" tanya Thomas.

"Aku juga gak tahu. Dia mengirimkanku pesan terus di Instagram," sahutku.

Thomas langsung mengambil ponselku dan membaca semua pesan dari akun yang bernama Olvie itu.

"Kamu kenal dia, Tom? Udah pasti dia mahasiswi di fakultas ini, 'kan?"

Kali ini mata Thomas yang menyusuri ruangan. Setiap meja diamatinya satu per satu. Lalu pandangannya berhenti tepat mengarah lurus ke depan dan menguncinya, ke meja yang berada tidak jauh dari meja kami. Dia mulai menyipitkan matanya seperti sedang menargetkan seseorang.

Beberapa detik kemudian, dua orang perempuan dari meja itu mendadak bangkit dan meninggalkan kantin. Seketika aku sadar mungkin salah satu dari mereka adalah Olvie. Dia pasti terkejut karena Thomas mungkin mengenali wajahnya.

"Itu dia, yang pake jaket denim. Mirip sama yang di foto!" seru Thomas.

"Ah, cewek itu. Tadi aku gak sengaja memergoki dia lagi melihat ke arah sini. Pantes aja perasaanku gak enak, perasaan kayak lagi diawasi." Aku tertawa kecil.

"Aku pernah melihat dia, tapi di mana, ya?" Thomas meletakkan jari telunjuk kanannya di pelipisnya, tampak sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Oh, aku ingat! Cewek itu pernah nyamperin aku dan menanyakanmu, Cent. Di sini juga, di kantin. Cewek itu dan temannya."

"Hah? Kapan? Kok aku gak tahu?" tanyaku sedikit terkejut.

"Kau nggak masuk waktu itu, sekitar sebulan yang lalu, mungkin lebih. Tiba-tiba dia duduk di depanku dan bertanya kenapa kau nggak bersamaku. Kau kenal dia?"

"Enggak, gak sama sekali." Aku mengingat-ingat kembali kalau-kalau mungkin saja aku melupakan sesuatu.

"Wah, kalau begitu berarti sudah jelas. Dia pasti tertarik denganmu!" Thomas memukul pundakku sambil tertawa mengejek.

Aku mengusap pundakku yang dia pukul tadi. "Masa iya? Terus aku harus gimana?"

"Kok tanya aku, memangnya kau belum pernah pacaran?" Thomas meledek.

Melihatku diam saja dan tidak mengelak, dia melanjutkan, "Serius? Belum pernah?" kemudian menatapku dari atas kepala sampai ke kaki.

"Penampilanmu kan menarik. Kalau gitu ada yang nggak beres denganmu." Thomas memicingkan matanya ke arahku sambil memundurkan kepalanya seolah sedang menuduhku.

"Enak aja, gak kayak yang kamu pikirin, ya." Kali ini aku yang memukul pundaknya. Aku tahu dia pasti menuduhku gay.

Dia tertawa. Dasar, senang sekali mengejek orang.

* * *

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, kurang lima menit. Kupejamkan mata sebentar, lalu teringat kejadian tadi siang di kantin.

Kubuka chat dari Olvie. Haruskah aku membalasnya atau kubiarkan saja sampai dia mengirimkan pesan lagi? Aku jadi kepikiran kata-kata Thomas kalau mungkin saja dia benar tertarik denganku, tapi aku tidak merasa cukup percaya diri.

Semua orang tahu bahwa aku agak penyendiri dan sulit berteman, berbeda sekali dengan Thomas yang sangat supel dan ramah pada siapapun, terutama dengan wanita.

Seharusnya gadis-gadis di kampus lebih tertarik pada Thomas dari pada aku. Thomas tampan dan cukup populer juga, terlebih lagi dia pintar.

Aku memutuskan untuk mengabaikannya saja. Tidak ada sesuatu dariku yang bisa dibanggakan. Aku tidak pernah berpikir akan ada perempuan yang benar-benar menyukaiku. Biasanya mereka hanya melihat dari penampilanku saja.

Tiit! Tiiiitt!

Alarm ponselku berbunyi.

Tanganku meraba-raba tempat tidur dengan mata yang masih terpejam mencari ponsel dan segera mematikan alarm.

Aku ada kuliah pagi hari ini. Kunyalakan smartphone-ku dan kembali memejamkan mata. Lima menit lagi, pikirku.

Ting! Ting!

Dua notifikasi berbunyi segera setelah ponselku selesai loading dan menyala sepenuhnya.

Kuraih ponselku dan membuka notifikasi itu dari bar notifikasi. Dua buah pesan Instagram lagi.

Olvie_Amanda:

Selamat pagi, Kak Vincent!

Aku membaca baris pertama isi pesan itu dengan mata yang masih mengantuk. Kupejamkan mata selama beberapa detik sebelum melanjutkan membaca.

Olvie_Amanda:

...

Udah bangun? Pagi ini Kakak ada kelas, 'kan? ^^

Aku bangun dengan malasnya dan perlahan duduk di tempat tidur. Kulihat pesan itu dikirimkan sekitar dua puluh menit yang lalu. Wah.. Aku merinding. Dia seorang paparazi atau bagaimana, bisa tahu jadwal kuliahku. Ditambah lagi dia juga tahu aku sering berada di kantin.

Sepertinya aku harus membalas pesan ini. Aku ingin tahu apa sebenarnya tujuannya.

Anda:

Kemarin waktu di kantin, kenapa kamu lari?

Aku menanyakannya langsung tanpa basa-basi. Dia tidak menjawab pesanku lagi. Mungkin dia juga ada kelas pagi, pikirku.

Aku segera beranjak dan bersiap untuk mandi. Sebelumnya, aku keluar untuk membangunkan Thomas kalau-kalau dia belum bangun. Aku melihatnya sedang meletakkan piring berisi roti di meja makan. Jam berapa dia bangun? Pagi sekali.

"Baru bangun, Cent? Kayaknya pules banget," sapanya begitu melihatku.

Ah, benar juga. Aku tidak ingat semalam aku bermimpi atau tidak. Baguslah, sepertinya aku terlalu lelah di kampus kemarin, aku langsung tertidur begitu memejamkan mata semalam.

Aku menghampirinya sambil menguap. "Cewek itu, dia mengucapkan selamat pagi dan dia juga tahu kalau aku ada kelas pagi ini."

"Olvie?" Thomas tertawa kecil, "Sepertinya dia mahasiswi baru, berarti baru lulus SMA kemarin. Mungkin sedang semangat-semangatnya mencari pujaan hati."

Aku menatapnya dengan tajam. "Serius sedikitlah, Tom!"

Dia tertawa lagi. "Jadi, kau balas apa? Selamat pagi juga Olvie, begitukah?"

"Gak, langsung aja kutanya kenapa kemarin dia kabur."

"Kau to the point banget. Nanti dia bisa takut kalau dipojokin kayak gitu."

"Terus aku harus balas gimana?"

"Benar-benar, deh. Cukup balas dengan lembut aja. Cewek itu lemah dengan kata-kata lembut." Thomas sok memberi nasihat.

"Wah, sepertinya pacarmu banyak, ya," kataku sambil berjalan kembali ke kamar untuk mandi.

* * *

Seperti biasa, macet sudah menjadi teman bagi kami setiap berangkat pagi. Bedanya, pagi ini turun hujan. Awan-awan gelap sudah berkoloni di langit.

Suara klakson dibunyikan dari berbagai arah. Hari ini Thomas yang menyetir mobil, dia terlihat lebih tegang dari sebelumnya, mungkin karena hujan. Aku mengerti pasti sulit baginya karena dia belum begitu terbiasa mengendarai mobil, tapi sejauh ini skill-nya sudah terbilang baik.

Sudah lima menit ditambah lampu merah, mobil kami belum juga bergerak jalan. Suara derasnya hujan membuatku menguap. Tidak sedikit pengendara motor menerabas lampu merah sekadar agar tidak berlama-lama berada di bawah hujan.

Aku mulai menggigil. Kuulurkan tanganku dan mematikan AC mobil, lalu melipat kedua tanganku yang kedinginan ke dalam jaket yang kukenakan.

Kuperhatikan Thomas sedang menatap kosong ke depan, terlihat seperti sedang melamun. Padahal, dari tadi aku sadar dia terus melirik ke arahku beberapa kali.

Aku heran, sekitar dua hari belakangan ini aku merasa ada sesuatu dengannya. Biasanya jika ada masalah apa pun itu dia akan cerita tanpa diminta. Kali ini aku tidak mengetahui apa-apa.

"Tom, ada masalah? Kelihatan banget kamu lagi mikirin sesuatu." Akhirnya kutanyakan saja.

"Ya ... "

Aku terus menatapnya, menunggunya melanjutkan.

"Memang ada yang lagi kucerna di kepalaku," akunya.

"Apa itu? Biar kubantu."

Thomas menengok dan langsung bertanya, "Apa kau tahu Xanax? Sejenis obat."

Deg!

Jantungku berdegup kencang mendengar pertanyaannya.

Tentu saja aku tahu itu obat apa, tapi kenapa tiba-tiba dia menanyakannya? Aku ingin tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan. Dia sedang mencurigaiku atau ini hanya kebetulan saja?

Aku tidak sempat lagi untuk berpikir jernih. Matanya sudah mengunci mataku. Tatapannya memperlihatkan dia sangat menunggu jawabanku.

"Tidak." Aku reflek mengelak dengan sedikit menggelengkan kepala, "Kenapa?" tanyaku balik dengan nada pelan.

"Sungguh? Kau ngga tahu?!" Thomas memastikan dengan menekankan suaranya.

Jujur saja, perasaanku seketika langsung tidak enak. Raut wajahnya berubah sangat serius. Aku diam saja, aku takut kalau aku salah bicara.

"Itu obat penenang," jelasnya, "kutemukan di kamarmu."

Dengan reflek aku langsung mengalihkan pandanganku dari matanya, kemudian menundukkan kepalaku.

Jantungku semakin kencang deg-degan tidak karuan, seperti habis kepergok saat melakukan suatu aksi kejahatan. Aku bisa merasakan kedua telapak tanganku basah dan dingin. Aku tidak berani menatapnya lagi.

"I-itu ... " Mendadak bicaraku terbata-bata, suaraku serasa tertahan di tenggorokan.

"Kamu mau bilang kalau kau ngga ngerti? Atau kalau itu bukan milikmu? Aku sendiri, loh, yang nemuin itu di samping tempat tidurmu!" Aku bisa mendengar nada kecewa dari suaranya.

Aku bingung bagaimana harus kujelaskan. Aku dibuat skakmat olehnya. Suasananya jadi tidak enak. Aku berusaha menjaga agar napasku tetap stabil. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya diam dan masih menunduk.

Tin tiiinnn!

Suara klakson dari belakang menyuruh kami agar segera jalan karena lampu merah telah berakhir.

Thomas menghela napas panjang dan langsung menjalankan mobil. Aku tahu dia pasti kecewa karena lagi-lagi aku hanya diam.

Selama perjalanan ke kampus kami tak saling berbicara. Aku merasa bersalah padanya. Kamu pantas marah padaku, Tom. Maaf, ya..

* * * *

Semoga kalian suka ya~

Mari tinggalkan komentar, kritik dan saran dipersilahkan^^