Pov: Olvie
Siang ini aku ada janji dengan Kak Vincent dan Kak Thomas, dan aku sangat menanti-nantikannya dari semalam!
Kami akan datang ke acara Pekan Raya yang diadakan di kotaku setiap tahunnya. Aaahhh.. Aku sampai tidak bisa tidur karena terus membayangkannya.
Bolehkah aku menyebutnya ini sebagai... kencan? Uhh, pipiku terasa panas, sepertinya wajahku mulai merah dan sebentar lagi akan terlihat seperti kepiting rebus karena malu. Membayangkannya saja membuatku senyum-senyum sendiri.
Memang, sih, aku tidak hanya berdua dengan Kak Vincent, tapi sebagai permulaan tidak apa-apa, 'kan? Justru Kak Thomas bisa menjadi penengah disaat aku kehabisan topik pembicaraan.
Oh, iya. Kak Vincent ternyata orangnya cukup pemalu, dia tidak banyak bicara seperti Kak Thomas, tapi aku senang kemarin aku berkesempatan melihat Kak Vincent dari dekat, bahkan mengobrol langsung dengannya.
Dia terlihat lebih tampan, imut, dan tentu saja kedua lesung pipinya itu, loh, sanga...aaat manis. Hampir-hampir aku meleleh dibuatnya. Haha
Kusingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhku dan duduk di tempat tidur, rasanya mataku berat sekali. Kulirik kaca lemari pakaian yang berada di samping tempat tidurku.
Ya ampun! Rambutku acak-acakkan seperti singa, ditambah mataku sepat berkantung dan ada lingkaran hitam di bawahnya seperti panda.
Aku menguap selebar-lebarnya. Wah, aku melihat orang gila di cermin, pikirku. Arrgh, aku hanya tidur sekitar tiga atau empat jam semalam.
Kulihat jam weker di meja riasku menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
Biasanya aku akan bangun sekitar jam sepuluh di hari libur seperti ini, tapi hari ini berbeda dong, hari yang spesial bagiku.
Aku menguap kembali dan disusul dengan mengulet, lalu bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi.
Sebelumnya, kusempatkan diri untuk menyisir rambutku yang awut-awutan ini.
Hari yang cerah, membuat mood-ku semakin bagus. Aku keluar kamar sembari bersenandung ria, menyapa setiap orang yang kutemui di ruang tengah.
Papa dan Reihan saling beradu pandang, bingung setelah kusapa dengan semangat empat lima.
"Kesambet, Kak?" Reihan meledek.
"Enak aja! Ini 'kan weekend, jadi harus ceria dong. Sabtu ceria!" sahutku, lalu kembali bersenandung.
Kutinggalkan mereka yang sedang menonton pertandingan sepak bola di tv ruang tengah. Kemudian, aku mencari mama yang kutebak pasti sedang berada di dapur.
Kupeluk punggungnya dari belakang yang sedang mengulek bawang.
"Pagi, Ma. Mau dibantuin?" sapaku.
Mama berhenti mengulek dan menengok ke belakang tidak percaya.
"Kok kamu udah bangun, Sayang? Kamu nggak lupa kalau ini hari Sabtu, 'kan?"
"Tentu saja, mana mungkin aku lupa." Aku tersenyum karena teringat janji nanti siang.
"Girang sekali, pasti ada hal yang bagus terjadi, ya. Coba ceritakan dulu," bujuk mama.
Aku tertawa manja. "Mama tahu aja, ih."
Mataku mulai terasa perih karena dari tadi menatap bawang merah yang sedang diulek mama. Kulepaskan pelukan dari mama dan duduk di kursi meja makan yang juga berada di dapur.
"Siang ini aku ada janji kencan ke Pekan Raya!" lanjutku dengan antusias, lalu kutopangkan dagu pada kedua telapak tanganku dengan siku sebagai penahan di atas meja.
"Ohh, pantas aja. Udah mesra lagi dengan Bobby, nih?" Mama menuangkan hasil ulekan ke dalam wajan berisi minyak panas yang menimbulkan suara gemercik.
"Kak Bobby? Ah, bukan dengan dia, Ma."
Benar juga. Dari kemarin aku melupakan Kak Bobby, pacarku itu. Aku sibuk memikirkan janjian hari ini jadi sejenak melupakannya begitu saja.
Aku merasa seperti tidak punya pacar. Mood bagusku mendadak berkurang mendengar namanya.
"Loh, terus dengan siapa? Apa dengan cowok yang lagi kamu dekati itu?" tanya mama heran.
"Iya, Ma, dengan Kak Vincent, tapi bertiga dengan temannya juga."
"Temannya perempuan atau laki-laki?" tanya mama memastikan.
"Cowok ma, teman dekatnya."
Kemudian mama tampak mengernyitkan keningnya.
"Apa nggak berbahaya kamu cewek sendiri? Lalu bagaimana dengan pacarmu, bukannya ini namanya kamu lagi selingkuh?" Pertanyaan mama tepat mengenai sasaran.
Selingkuh, ya? Apa aku jadi seorang playgirl sekarang? Aku harus segera memikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa berpisah dengan Kak Bobby tanpa terlihat seperti aku ada cowok lain.
Aku takut Kak Bobby akan bertindak macam-macam jika dia tahu. Dia sangat buruk dalam mengontrol emosinya.
Saat main game di depanku saja dia selalu berkata-kata kotor dan kasar. Entah sejak kapan dia mulai seperti itu, tidak mempan kularang sampai bosan pun.
Setelah sarapan, aku kembali ke kamar dan mandi. Sepertinya aku harus maskeran agar wajahku terlihat lebih fresh. Aku ingin tampil terbaik untuk kencan hari ini.
Selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di depan meja rias kamarku dengan rambut tergulung ke atas seperti cepolan emak-emak, lalu kuambil mask sheet dari laci, kemudian memasangkannya pas dengan bentuk wajahku.
Aku melihat jam dan bergumam, "Hm.. Dua puluh menit cukup, 'kan?"
Aku menunggu sambil melihat-lihat feed Instagram-ku, lalu masuk notif pesan Whatsapp dari Kak Thomas.
Kak Thomas
Nanti kami jemput sekitar dua jam-an lagi, bersiaplah.
Aku tersenyum membacanya, lalu mengambil jam weker di depanku.
"Hei jam, cepatlah kau berputar." Aku bicara pada jam itu, kemudian tertawa geli.
Baru lima belas menit sejak masker ini kutempelkan di wajahku, ponselku berdering. Aku melihat nama Kak Bobby tertera di sana.
Kenapa dia telpon aku jam segini? Bukankah kemarin katanya masih ada pertandingan game analog kesayangannya itu?
Sengaja tidak kujawab telpon darinya karena sayang dengan maskerku yang tinggal lima menit lagi ini. Ponselku bisa basah jika kuangkat.
Tidak kuduga, Kak Bobby menelpon lagi sampai tiga kali. Akhirnya, kujawab dengan loudspeaker.
"Masih bobok, ya, Dek? Maaf kakak membangunkan." Kalimat pertama yang kudengar dari ujung telpon, suaranya lembut sekali.
"Iya, ga apa-apa kok. Ada apa, Kak?" jawabku dengan malas.
"Nanti ikut nonton pertandingan kakak, yuk? Teman-teman kakak juga pada membawa pacarnya masing-masing. Jadi, kakak mau ajak kamu juga, sekalian kita makan siang bareng. Nanti Kakak jemput."
Nah kan, giliran gini baru ingat aku. Percuma saja aku ikut juga, yang ada aku pasti dicuekin di sana. Dia akan sibuk membahas game yang tidak aku mengerti itu. Lagi pula, aku sudah ada janji penting.
"Wah.. Maaf nih, Kak. Aku tidak menyangka Kakak akan mengajakku ikut nonton pertandingan Kakak itu. Jadi, aku udah buat janji dengan temanku."
"Janji dengan siapa? Mau ke mana? Masih bisa dibatalkan kan, Dek? Ayolah, semangatin Kakak nanti," bujuknya, lembut sekali kalau ada maunya.
"Sepertinya ga bisa, Kak. Aku udah janji dengan Vira menemaninya di rumah karena orang tuanya sedang ke luar kota. Maaf ya, Kak." Terpaksa aku berbohong.
"Oh.. Ya udah kalau gitu. Salam buat Vira ya," katanya mengakhiri percakapan kami. Terdengar dari suaranya dia kecewa.
Hah.. Kenapa harus hari ini, sih? Kalau besok mungkin aku akan mau, sekalian aku ingin berbicara serius padanya tentang kejelasan hubungan kita ini dan mengakhirinya langsung bila perlu.
Kutepuk-tepuk wajahku setelah kubaluri serum dan pelembab. Pipiku terasa kenyal dan halus sekali. Perfect, pikirku.
Sudah hampir satu jam lamanya aku membongkar-bongkar lemari pakaian. Aku bingung mncocokkan setelan baju yang akan kupakai nanti.
Bagusnya pakai rok atau celana kodok, ya? Lalu untuk atasannya lengan panjang atau yang sederhana saja, ya?
Bolak-balik aku memasangkan atasan dengan bawahannya. Akhirnya, kuputuskan mengenakan baju lengan panjang berwarna pink susu dan rok jeans sebagai bawahannya.
Aku kembali galau saat melirik beberapa pasangan baju lain yang sudah kupasangkan juga di atas tempat tidur.
Sudahlah, aku pakai ini saja, kataku dalam hati.
Tin tin!
Suara klakson mobil di depan rumah menandakan Kak Vincent dan Kak Thomas sudah sampai untuk menjemputku. Aku segera keluar kamar dengan style yang sudah sempurna menurutku.
"Eh, anak papa kok cantik sekali, mau nge-date, ya?" goda papa.
"Hueekkss.." Reihan menirukan gaya mau muntah karena mendengar papa memujiku barusan. Dasar, awas saja dia.
"Mana Bobby-nya? Suruh masuk dulu sini," kata papa.
Belum sempat kujawab, mama sudah membukakan pintu depan dan menyambut Kak Vincent serta Kak Thomas. Rupanya mereka sudah turun dari mobil untuk memberi salam pada mama dan papa.
"Om, Tante.." Mereka berdua menyapa orang tuaku sambil merendahkan kepala, lalu menjabat tangan papa dan mama mengenalkan diri. Tidak lupa juga dengan Reihan, adikku.
Papa melirik ke arahku, lalu bergantian ke arah mama. Aku paham papa pasti bingung karena aku belum cerita apa-apa padanya.
"Wah, nge-date-nya dengan dua pria ganteng sekaligus?" goda papa.
Kami semua tertawa.
"Kami ijin jalan-jalan dengan Olvie, ya, Om, Tante," kata Kak Vincent dengan senyum andalannya.
"Oh, iya boleh, mau ke mana kalian?" tanya papa.
"Mau ke acara pameran Pekan Raya, Om. Ini kemarin Olvie memaksa kami ke sana," jawab Kak Thomas sambil cengengesan.
Ih, Kak Thomas nyebelin banget, sih. Kupelototi dia dengan ekspresi kesal. Lalu dia tertawa dan disusul dengan yang lainnya.
Akhirnya, kami tiba di tempat tujuan. Kak Vincent turun dari mobil dengan menggenakan masker yang menutupi hidung dan mulutnya.
Dia mengenakan kemeja denim yang tidak dikancing. Kedua lengan kemejanya digulung sampai ke siku sehingga jam tangannya terlihat.
Dia juga memakai kaus berwarna putih bertuliskan 'I'm yours' sebagai dalamannya, dan celananya jeans.
Aku terus mengamatinya dari belakang. Ya ampun, sumpah, deh, Kak Vincent keren banget. Ingin rasanya kufoto dia sampai puas. Tapi kenapa dia pakai masker? Kan senyum manisnya jadi tidak terlihat.
Dia juga menggenakan topi hitam di kepalanya. Terlihat seperti seorang model sedang jalan-jalan di Pekan Raya. Hahaha
"Udah hampir jam dua belas, kita makan siang dulu aja kali, ya?" tanya Kak Thomas yang sedang melihat jam di ponselnya.
"Iya boleh, Kak. Sepertinya di sana ada foodcourt." Aku menunjuk ke sebelah kanan, di belakang pohon beringin.
Kami berjalan ke arah foodcourt dan mengitari setiap tempat perlahan-lahan mencari menu makanan yang menarik.
"Ah, jarang-jarang ada yang jual gudeg." Aku berhenti di stan yang bertuliskan 'Gudeg Jaman Now' itu.
"Kau mau makan itu?" tanya Kak Thomas.
"Kalian bagaimana?"
"Aku ngga masalah. Kalau kau, Cent?"
"Hm.. Aku belum pernah makan itu," jawab Kak Vincent dengan polosnya.
Hampir aku menertawakannya, dengan sigap aku langsung tersenyum. Kutarik lengan Kak Vincent dan mengiringnya ke sana untuk memesan makanan. Kak Thomas tertawa dan mengikuti kami.
Foodcourt ini meja makannya tidak terpisah-pisah setiap stan-nya. Jadi, makan di stan mana saja boleh duduk dimana saja juga.
Hanya saja, meja-mejanya berada di tempat terbuka, tapi ada atapnya supaya tidak kepanasan karena cuacanya sedang terik sekali.
Kami memilih tempat duduk tepat di tengah-tengah karena di sini lumayan sepi. Di bagian belakang dan pojokan sudah penuh terisi.
"Jangan makan banyak-banyak ya, nanti kekenyangan tidak bisa menikmati jajanan di sini, loh." ujar Kak Thomas.
"Benar juga ya, Kak. Kak Vincent suka jajan?" Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.
"Hm.. Iya, selama ada Thomas."
"Loh apa hubungannya, Kak?" Aku melirik Kak Thomas berharap dia membantu menjelaskan, tapi dia hanya mengangguk saja.
"Iya, biasanya aku jajan cuma nyicip aja. Sisanya kuberikan pada Thomas."
"Kalau aku jajan sendiri bisa-bisa cuma sanggup menghabiskan satu jenis aja," jelas Kak Vincent sambil melepaskan maskernya.
"Hahaa.. Aku udah kayak tempat sampahmu," balas Kak Thomas.
"Oh.. Aku mengerti. Aku juga siap menampungnya, Kak. Aku makannya banyak, loh." Kukembangkan senyum bangga.
Kami membicarakan banyak hal sampai pesanan datang dan kami menyantapnya bersama. Hal-hal yang ingin kuketahui tentang Kak Vincent kutanyakan langsung hingga selesai makan.
Kak Vincent menjawab semua pertanyaanku dengan sopan meskipun jawabannya cukup singkat. Tidak seperti Kak Thomas yang kadang serius kadang asal-asalan jawab.
Aku menggoda Kak Vincent karena isi piringnya habis meskipun tidak bersih. Wah, sepertinya dia menyukai gudeg ini yang katanya baru pertama kali mencobanya. Dia tidak bisa menjawab dan hanya tersenyum. Aku senang melihatnya.
Aku tidak terlalu menyadari sejak kapan Kak Vincent mulai batuk-batuk. Dia mengambil maskernya yang tadi disimpan dalam saku kemejanya dan segera memakainya kembali. Kak Thomas sedang membayar makanan kami di kasir.
"Kenapa, Kak?" tanyaku.
Dia melihat ke arah sekumpulan pria dengan beberapa wanita yang belum lama duduk di sebelah kanan kami. Aku mengikuti ke arah pandangannya, lalu berpaling kembali ke Kak Vincent.
"Asap rokoknya."
Dia kembali batuk beberapa kali.
Kak Thomas sudah kembali dan menyadari situasi ini. Dia mengajak kami untuk bergegas pergi dari sini.
Eh, tapi tunggu dulu. Walau pun hanya melihat sekilas, aku merasa familiar dengan sosok pria tadi, yang duduk membelakangiku.
Aku ragu dan menoleh kembali. Astaga! Itu kan si Theo, bisa dibilang teman dekatnya Kak Bobby.
Kuamati kumpulannya satu per satu sambil menutupi sebagian wajahku dengan rambut panjangku. Tidak ada Kak Bobby, syukurlah. Aku harus segera pergi diam-diam dari sini sebelum dia melihatku.
Aku terus menoleh ke arah yang berlawanan dari Kak Theo dan terus menunduk sambil berjalan di sebelah Kak Vincent. Tanpa sadar aku menggandeng lengannya karena sedang panik.
"Ada apa?" tanyanya kebingungan melihat lengannya yang kugandeng.
Aku mendengarnya tapi tidak kujawab. Aku terus fokus sampai kami benar-benar sudah menjauh dan tidak terlihat lagi dari rombongan itu.
"Olvie?" panggil Kak Vincent.
Aku yang tersadar langsung melepaskan lengannya.
"Eh, maaf, Kak, aku ga sengaja."
"Kau terlihat seperti sedang menghindari seseorang di sana, kau punya utang, ya, dengan salah satu orang tadi?" lagi-lagi Kak Thomas asal bicara.
"Enak aja! Bukan begitu."
Aku menoleh kembali ke belakang dan menarik napas lega, sepertinya sekarang sudah aman.
"Bukan apa-apa. Sekarang ke mana kita Kakak-Kakak?" ujarku yang sudah ceria kembali.
Aku mengurangi kecepatan langkahku dan membiarkan mereka berdua berjalan di depan. Kemudian, kuselipkan diriku di antara Kak Vincent dan Kak Thomas, sehingga membuat jarak di antara langkah mereka.
Mereka berdua kompak melirikku. Aku tertawa dan menyuruh mereka berdekatan denganku.
"Ah, aku mau itu!" seruku menunjuk sebuah gerobak penjual permen kapas.
"Wuah.. besar sekali, pasti manis."
Kak Thomas dengan sigap membelikanku permen kapas yang sudah dibungkus.
"Aku mau yang pink," rengekku karena dia mengambil permen kapas berwarna putih.
"Cerewet sekali, sama saja yang pink atau yang putih." sahutnya.
Meskipun dia mendumel, tangannya tetap menukar permen kapas sesuai permintaanku.
Aku senang sekali. Kucubit permen kapas itu dengan jariku, lalu menyodorkannya ke wajah Kak Vincent. Dia terlihat malu-malu sebelum menerimanya. Hahaa dia benar-benar imut sekali. Bagaimana ini, sepertinya aku semakin jatuh cinta padanya.
* * * *
Terimakasih telah membaca^^
Tolong tinggalkan jejak melalui komentar, like dan favorite XD
Kritik dan saran welcome~