Chapter 17 - Chapter 16 - Salah Sangka

Pov: Olvie

Aku tidak tahu akan seperti ini jadinya setelah aku meminta putus dari kak Bobby. Dia benar-benar sudah berubah, bukan kak Bobby yang dulu kukenal.

Dia kasar dan emosional, bahkan terhadapku yang pacarnya sendiri. Aku masih tidak percaya dia menamparku saat itu.

Tadi malam aku tidak bisa tidur, menangis semalaman di bawah selimut.

Hari ini dia terus-terusan menelponku. Dia meminta maaf dan berkata bahwa dia hilaf, memohon dan membujukku agar menarik kata-kataku tentang putus.

Tentu aku menolaknya. Aku sudah lelah dan tidak ada niatan untuk melanjutkan hubungan kami meskipun dia membujukku seperti itu. Kemarin-kemarin saat kubutuh dia kemana?

Dia memberiku spam chat di whatsapp walaupun tidak kubaca. Saking kesalnya dia juga mengirimkan pesan dengan kata-kata kotor di dalamnya. Walaupun tidak kubuka, aku masih bisa membacanya dari bar notifikasi.

Dia juga berusaha menemuiku saat di kampus tadi, tapi aku selalu menghindar darinya. Aku menempel terus pada Vira atau temanku yang lain, supaya kak Bobby tidak berani macam-macam denganku.

Aku menceritakan semuanya pada teman terdekatku di kampus saat ini, Vira. Dia juga kaget dan tidak menyangka sama sepertiku.

Aku kesal sekali. Aku heran untuk apa aku menangisi cowok brengsek seperti dia. Kini suasana hatiku akan langsung berubah buruk kalau mendengar namanya disebut, apalagi saat dia menelponku terus menerus.

Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telponnya saat mata kuliahku sudah selesai. Dan aku kaget mendengar kata pertama yang dia ucapkan di telpon.

"Thomas Christian."

"Anak ekonomi dari Jurusan Akuntansi semester 5, benar, kan?" sambungnya.

Deg! Jantungku berdegup kencang mendengarnya. Kenapa nama kak Thomas disebutnya? Dia bahkan tidak tahu apa-apa soal hubunganku pada kak Bobby.

"Mau apa dengannya? Asal tahu saja, Kakak salah orang." ketusku.

"Kita ketemu sekarang, atau kubuat perhitungan dengannya!" Dia mulai mengancam.

Aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya. Kami bertemu di cafe yang tidak jauh dari kampus saat itu juga.

Kak Bobby bersikap lembut saat pertama aku datang. Dia masih memintaku memikirkan kembali apa yang sudah kami lalui selama ini. Intinya dia membujukku untuk kembali padanya.

Kutepiskan tangannya saat dia hendak membelai rambutku. Sungguh, aku sudah ilfeel padanya. Rasa cintaku langsung sirna tanpa bekas ketika dia menamparku untuk yang pertama kalinya.

Dia marah karena aku terus menolaknya memperbaiki hubungan kami.

"Jadi, benar karena si cowok itu kamu jadi begini, Dek?!"

"Sudah kubilang, Kakak salah orang." Kesabaranku mulai habis.

"Siapa tadi namanya? Si Thomas brengsek itu merebutmu dariku!"

"Kakak salah! Kak Thomas cuman kakak tingkat biasa, tidak ada hubungan apapun diantara kami!" tegasku.

"Lihat caramu bicara, berani membentakku ya!" Dia mendekatkan wajah bringasnya padaku.

Aku membendung air mataku sekuat tenaga. Para pelayan dan beberapa orang mulai memperhatikan kami.

Lalu aku berdiri dan meninggalkannya keluar. Rupanya dia menyusulku keluar.

Kak Bobby terus berusaha menarik lenganku dan aku selalu menepisnya. Kudengar dia mencacimakiku tapi aku mengabaikannya.

"Brengsek! Murahan! Dirayu sedikit langsung tergoda!" serunya.

Kuhentikan angkot yang melintas dan segera meminta supirnya untuk segera pergi. Aku tak kuasa lagi menahan air mataku. Aku menangis diam-diam walaupun di dalam angkot hampir penuh penumpang.

Tak kupedulikan ponselku yang berdering, aku yakin kak Bobby yang menelpon.

Sampai di rumah aku mengatakan semuanya pada mama. Aku menangis di depannya. Kuutarakan semua amarah dan kekesalanku pada kak Bobby yang sudah memakiku tadi.

Mama selalu mengerti aku, dia memelukku dan membelai rambutku. Mama juga marah pada kak Bobby yang telah membuatku seperti ini.

"Kalau papa sampai tahu, dia pasti sudah jadi tempeyek," kata mama berusaha menghiburku.

Malam ini aku terus memikirkan semua kejadian hari ini. Mulai dari kembali berada dalam dekapan kak Vincent yang membuatku kembali tersenyum, lalu teringat pertemuanku dengan kak Bobby yang membuatku membenamkan wajahku pada bantal guling yang kupeluk ini.

Tiba-tiba aku kepikiran, tadi kak Bobby terus menyebut nama kak Thomas. Aku khawatir dia akan merencanakan sesuatu. Kak Bobby memang bukan orang seperti itu, mungkin saja dia hanya mengancamku, tapi tetap saja aku cemas.

Kucabut ponselku yang sedang dicharge, sepertinya sudah penuh dari tadi. Waktu menunjukkan pukul setengah satu malam.

Selain panggilan telpon dan spam chat kasar dari kak Bobby, ada satu panggilan telpon dari kak Thomas. Lah kapan dia menelponnya? Pikirku.

Sebaiknya kutanyakan besok pagi saja atau saat ketemu dengannya di kampus, sekalian aku mau mewanti-wantinya dari kak Bobby.

Ah, benar-benar deh. Dua hari ini adalah hari terburukku. Aku sampai tidak punya waktu untuk chattingan dengan kak Vincent. Bahkan aku tidak sempat memikirkannya. Beruntung tadi aku bisa melihatnya dari dekat, melepas rinduku dengan senyum manisnya.

Aku memikirkan kak Vincent sampai tertidur.

* * *

"Olvie, bangun! Sudah siang nih!" seru mama membangunkanku, ia adalah alarm terjitu kalau aku hampir kesiangan.

Eh tunggu dulu, kesiangan?

Kulihat jam di ponselku menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Aku terperanjat setengah kaget. Hari ini kelasku dimulai tepat pukul sembilan.

Rasanya malas sekali untuk berpisah dengan selimutku, mataku berat dan masih sedikit sembab.

Oh iya, aku ingin menyapa kak Vincent, beberapa hari ini aku tidak melakukannya. Kuraih sebuah buku catatan kecil berwarna pink dan membukanya di halaman kedua.

Hm.. Hari ini kak Vincent juga ada kuliah pagi dan disambung kuliah siang seperti kemarin.

Kusempatkan mengirimkan pesan pada kak Vincent walau hanya mengucapkan selamat pagi. Kemudian aku bergegas mandi karena waktunya sudah mepet.

Sebelum berangkat kuperiksa kembali ponselku dan melihat ada balasan pesan dari kak Vincent. Langkahku langsung terhenti. Aku tersenyum, hanya selisih satu menit saja balasan darinya.

"Tumben sekali dia cepat merespon," gumamku.

"Apa Vie? Cepat pakai helm, sudah terlambat ini," kata Papa menyadarkanku.

Sampai di kampus, aku melihat Vira yang baru saja keluar dari tempat parkiran dengan setengah berlari. Aku mengejarnya dan langsung menggandeng lengannya.

"Kamu kesiangan juga?" ledekku.

Pertanyaanku tidak dihiraukannya, dia hanya fokus pada langkahnya yang semakin cepat.

Kelas pagi ini hanya mendengarkan pengajaran dari dosen, sesekali ia mencatat materinya di papan tulis hingga penuh.

Sebagian besar teman sekelasku sibuk sendiri, tidak memperhatikan. Ada yang tidur dengan menutupi kepalanya dengan hoodie jaket di pojokkan, ada yang sedang memutar-mutar penanya dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menopang dagu, ada pula yang main ponsel sembunyi-sembunyi.

Lalu apakah aku sedang menyimak pelajaran yang diberikan Ibu Shinta di depan? Tentu saja tidak. Sedari tadi aku chattingan dengan kak Vincent.

Tidak henti-hentinya bibirku tersenyum setiap membaca pesannya. Kalau biasanya dia lama membalas pesanku atau bahkan diabaikan begitu saja, hari ini dia lebih ramah dan responnya cepat.

'Kak Vincent lagi di kelas kan? Kok bisa lancar balasnya?' tanyaku melalui pesan whatsapp.

'Iya. Biasa, hanya mendengarkan presentasi yang membosankan,' balasnya.

'Hahaa.. Sama dong, Kak. Aku juga bosan, nih. Masa dosenku cuma membacakan materi yang sudah ada di buku paket, mana sama persis lagi bacanya,' tulisku.

'Wah, enaklah seperti dibacakan dongeng, bisa tidur…zzZ'

Belum sempat kutekan tombol 'kirim' pada balasan yang sudah kuketik, sudah masuk pesan baru lagi darinya.

'Selesai kelas jam berapa?' tanyanya.

Aku senyum-senyum lagi. Kali ini Vira langsung menyikutku.

"Apaan, sih?" tanyaku dengan setengah berbisik padanya.

"Berhenti cengar-cengir gitu, dong. Aku takut tau."

"Kok takut?"

"Iya, takut kamu kesurupan!" Tawanya yang meledak membuat Bu Shinta sempat meliriknya.

Aku tertawa mengejeknya. "Makanya, jangan ganggu aku."

Vira menutup mulutnya dengan sebelah tangan menahan tawa. kemudian aku melanjutkan menulis balasan pesan untuk kak Vincent.

'Jam 12 kak :). Habis itu ada kelas lagi,' jawabku.

'Jam berapa?'

'Jam setengah 2 kak. Kenapa?' tanyaku penasaran.

'Aku dan Thomas nanti ke kantin."

Terus? Tidak ada pesan lanjutan lagi. Tapi aku sadar betul kak Vincent sedang memberi kode padaku. Kenapa tidak langsung mengajakku saja sih kak?

Sepertinya di atas kepalaku ada bunga-bunga bermekaran. Kalau bukan sedang berada di kelas, mungkin aku sudah menari kegirangan.

Tidak perlu diajak juga aku pasti akan ke kantin sendiri, karena aku tahu kak Vincent ada di sana nanti seperti biasanya aku memperhatikannya dari kejauhan.

Vira lagi-lagi menatapku yang tidak bisa menutupi rasa senangku dengan tatapan dan senyum anehnya, lalu menggelengkan kepalanya. Bibirnya mengucapkan sebuah kata yang dapat kubaca, GI-LA.

Bu Shinta mengakhiri kelas lima belas menit lebih awal. Aku bergegas bersiap keluar kelas.

"Aku tebak pasti kamu tidak mau makan siang bersamaku, kan?" tanya Vira mendekatkan wajahnya padaku.

Aku tersenyum malu lalu menjawab, "Aku ada janji makan siang dengan seseorang."

"Kakak tingkat yang kemarin?" tebaknya.

Aku berpikir sejenak mengingat yang kemarin mana. Oh, aku ingat sempat bertemu kak Thomas saat ada Vira.

"Oh bukan, dengan temannya. Tapi kakak yang kemarin juga ada, sih."

"Jadi, dua-duanya gebetan barumu?" Dia mengunci leherku sambil bercanda. "Bagi aku satu dong!"

Aku tertawa. "Kak Vincent milikku, kamu ambil kak Thomas saja!"

Vira juga tertawa. "Dikira barang kali ya main ambil aja. Aku sudah punya kak Rudi tercinta, tidak butuh yang lain. Tapi kalau untuk cuci mata bolehlah."

Kami tertawa bersama saling meledek.

"Mau ke toilet dulu tidak?" tanyaku.

"Hm.. Tidak deh, lihat pacarku sudah menelpon." katanya sambil memperlihatkan layar ponselnya dan aku melihat nama kak Rudi yang bersanding dengan gambar hati disebelahnya.

"Enak ya yang pacarnya selalu nyariin setiap hari." batinku.

Kami berpisah dan aku sendiri pergi menuju toilet lantai satu yang paling dekat dengan kantin. Kebetulan toilet ini cukup bersih karena rajin dibersihkan penjaganya.

Sehabis buang air kecil aku aku berdiri di depan cermin wastafel yang ada di dalam toilet. Kemudian kukeluarkan sebuah kotak bedak dan lipstik dari dalam tas.

Kutepuk-tepuk lembut pipiku dengan spons bedak milikku, tak lupa kupoles bibirku dengan lipstik berwarna pink coral sambil melakukan beberapa kecupan bibir di udara.

Bibir mungilku sudah terlihat imut. Aku merasa sudah siap bertemu kak Vincent. Kusisir rambutku ke belakang sehingga membut poniku mengembang ke segala arah, lalu membuat pose seksi di depan cermin.

"Cantik sempurna," gumamku memuji diri sendiri.

Seharusnya aku mencatok rambutku dan membuatnya curly di bagian bawahnya andai aku bangun lebih pagi tadi, pasti terlihat lebih perfect!

Aku terperanjat kaget saat melihat sosok di depanku ketika aku keluar dari toilet. Seorang pria yang sangat kukenal menyandarkan punggungnya pada tembok, rupanya dia sedang menungguku.

"Masih saja lama kalau ke toilet ya, Dek," ucap pria itu mendekatiku.

Aku mengabaikannya dengan raut wajah kesal, lalu pergi melewatinya begitu saja. Tapi dia menahan lenganku, aku langsung berbalik menghadapnya.

"Lepasin kak, aku dan Kak Bobby kan sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," ucapku lirih, sungguh aku sudah malas berbicara dengannya.

"Aku mau mengajakmu makan siang bersama. Ayolah, Dek, ada yang kakak mau bicarakan."

Kutepis tangannya yang masih memegang lenganku.

"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, semua sudah selesai!"

Aku kembali hendak pergi meninggalkannya, tapi lagi-lagi dia menarik tanganku. Genggamannya kali ini lebih keras, ekspresi wajahnya berubah serius.

"Sakit, Kak. Apa-apaan, sih!" seruku.

Tanpa memperdulikanku, pria kasar itu menarik genggamannya dan langsung menyeretku paksa ikut dengannya ke arah parkiran motor.

Aku meronta dan berusaha melepaskan lenganku darinya, tapi tenaganya kuat sekali. Kedua kakiku terus menahan sebisaku.

"Lepas, Kak! Aku tidak mau ikut!"

"Diam! Kuperingatkan ya, ini kesempatan terakhirmu untuk bicara baik-baik denganku!" bentaknya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku.

"Buat apa kau memaksa cewek murahan sepertiku, brengsek!" Mataku mulai berkaca-kaca, aku teringat makian kak Bobby saat di depan cafe kemarin.

Dia membelalakkan matanya padaku dengan raut muka penuh emosi. Aku memejamkan mata saat kulihat tangan kanannya terangkat hendak menamparku.

Kubuka mata saat menyadari tamparan itu tidak terjadi. Aku terkejut dengan apa yang kulihat di depanku. Tangan seseorang menahan tangan kanan kak Bobby tepat di depan wajahku.

Aku menoleh pada pemilik tangan tersebut.

"Kak Vincent?" Spontan aku menyebutkan namanya.

Dia melirikku, lalu menghempaskan tangan kak Bobby. Aku melongo masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kak Vincent lakukan untukku. Aku menoleh mencari keberadaan kak Thomas, tapi tidak ada.

"Siapa kau?! Jangan ikut campur urusan orang lain!" bentak kak Bobby.

"Temanku bilang tidak baik menggunakan kekerasan pada seorang wanita. Bukankah sudah seharusnya pria melindungi wanita?" jawab kak Vincent santai, dia tidak terlihat takut sama sekali.

"Persetan!" Kak Bobby terlihat kesal dan kembali menyeretku.

Kak Vincent mengejar kami kemudian menahan tangan kak Bobby yang terus menarik lenganku.

"Lepas," ucapnya dengan tatapan tajam.

Aku tidak pernah melihatnya seserius ini. Biasanya dia agak dingin dan sesekali tersenyum atau tertawa. Apakah kak Vincent marah?

"Siapa kau berani memerintahku?!" tanya kak Bobby yang sudah geram, telunjuknya di arahkan ke wajah kak Vincent.

"Aku..." Kak Vincent menjeda perkataannya, lalu melirik ke arahku sebentar.

"...pacarnya," sambungnya dengan tenang.

Aku dan kak Bobby sama-sama membelalakkan mata ke arah kak Vincent. Apa aku salah dengar? Pp-pacar? Tanpa sadar ada senyum tipis di wajahku. Sepertinya pipiku akan segera memerah.

Kak Bobby melotot padaku, "Pacar? Sejak kapan?!"

Aku hanya menunduk dan tidak bisa menjawabnya.

Kak Bobby memalingkan wajahnya pada kak Vincent, "Kau tahu siapa aku?"

Kak Vincent diam saja. Aku yakin dia tidak tahu apa-apa.

"Aku pacarnya!!"

Sial. Aku berada dalam situasi sulit saat ini. Kak Vincent menatapku dengan wajahnya yang bingung. Dia pasti akan salah paham mendengar ucapan si brengsek ini barusan.

"Kakak lupa? Kita sudah putus!" teriakku.

Aku menarik lengan kak Vincent dan segera pergi meninggalkan kak Bobby. Kuharap dia tidak mengikuti kami.

"Dasar kau jalang tukang selingkuh!" Aku bisa mendengar teriakannya dari belakang.

Hatiku sakit sekali mendengarnya. Seseorang yang dulu pernah ada di hatiku dan yang dulu sangat kucintai mengatakan hal sekejam itu padaku.

Tidak bisa kutahan lagi, air mataku mengalir. Aku berusaha menghapusnya agar kak Vincent tidak melihatnya, tapi sepertinya tidak mungkin dia tidak melihatnya.

* * * *

Semoga kalian suka^^

jangan lupa tinggalkan komentar, like/vote dan favorite ya~

kritik dan saran dengan senang hati XD