Chapter 21 - Chapter 20 - Naik Motor

PoV: Vincent

"Vincent gak mau di sini, Ma. Tolong jangan tinggalin aku di sini."

Kuhentak tangan mama, mencoba menariknya sekuat mungkin agar menjauhi gudang gelap dan pengap di depanku.

Mama berpaling padaku, mimik wajahnya kesal dan tak sabar.

"Vincent, jangan banyak tingkah seperti bayi, kau itu udah sebelas tahun!" bentak mama, melepaskan tangannya dari genggamanku.

Aku mulai menangis. Ekspresi mama tiba-tiba melembut, dia mengulurkan tangan dan mengusap rambut lurusku yang berwarna hitam sedikit kecokelatan.

"Kau selalu berjanji akan menurut padaku, 'kan? Masuklah ke sana, nanti aku akan menjemputmu segera. Kau 'kan anak baik."

"Vincent benci setiap Mama mengatakan itu. Vincent tahu Mama selalu membohongiku, Mama gak akan pernah datang menjemputku dari sana!" teriakku.

Aku melangkah mundur menjauhi mama. Kakiku tersandung pecahan bekas pot bunga di lantai. Aku terjatuh dengan posisi duduk, tanganku berdarah karena terkena pecahan pot tanah liat.

"Oke, jadi kau membenciku?"

Aku diam dan hanya menggeleng pelan, yang kurasakan hanyalah takut, takut pada ibuku sendiri.

Mama membelalakkan matanya, raut wajahnya berubah seram, lalu mulai berteriak, "Asal kau tahu, AKU JUGA SANGAT MEMBENCIMU!"

Kemudian, mama menyeret paksa lengan kecilku, lalu melemparkan tubuhku ke dalam gudang di bagian paling belakang rumahku.

Setumpuk debu berterbangan ketika tubuhku menghempas lantai kayu tua yang berderik-derik. Udara pengap dan lembab menusuk hidungku, membuatku sesak.

"Mama ... aku mohon, Vincent takut," rengekku sambil menangis dan terbatuk-batuk.

Mama langsung berpaling begitu saja, membanting pintu gudang lalu menguncinya. Jeritanku tidak dihiraukannya.

Aku selalu takut berada di tempat ini; tempat yang gelap, udaranya penuh dengan debu, kotor, dan banyak suara-suara hewan kecil yang berlalu-lalang.

Beberapa menit kemudian, aku mendengar beberapa ketukan dari luar pintu gudang.

"Mm-mama? Vincent janji gak akan nakal, Vincent janji akan nurut sama Mama. Tolong buka pintunya, Ma," kataku dengan putus asa.

Terdengar suara isakan dari balik pintu, "Ini bibi, Dek. Maaf bibi nggak bisa bukain pintunya sekarang, kuncinya dibawa Ibu."

"Bi Yati ... tolong aku. Vincent ... takut."

"Sabar sebentar, ya, Dek. Sabar sampai bapak pulang, nanti bibi bantu bujuk bapak, ya. Jangan nangis, bibi juga ikut sedih," ucap suara itu dari luar, terdengar lirih dan sendu.

Kusandarkan kepalaku di balik pintu, masih menangis.

"Bibi jangan ke mana-mana, ya," pintaku.

* * *

Aku terbangun dengan napas setengah tersenggal. Kembali kupejamkan mata setelah sadar sepenuhnya bahwa aku hanya bermimpi.

Ah, benar juga. Sudah beberapa hari ini aku tidak bermimpi buruk, kenapa tiba-tiba sekarang bermimpi lagi?

Setiap aku ingin benar-benar melupakannya, potongan-potongan memori itu selalu hadir dalam mimpiku. Rasanya seperti aku kembali ke saat-saat itu, sangat nyata.

Kulirik jam dinding di kamarku, pukul tujuh kurang lima menit. Hari ini aku tidak ada kuliah pagi, hanya satu mata kuliah di sore hari.

Kunyalakan ponsel, tidak ada pesan masuk dari Olvie. Ah, masa aku menantikannya? Tidak kok, aku hanya sekadar mengecek saja.

Aku bangun untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum mandi, lalu keluar kamar mencari Thomas, tapi dia tidak kutemukan di mana pun. Mungkin sedang membeli makan, pikirku.

Tidak lama kemudian, ponselku bergetar, sebuah chat Whatsapp masuk. Aku bergegas meraih dan membukanya. Sedikit kecewa karena chat tersebut bukan dari Olvie, melainkan dari nomor baru yang tidak ada di kontakku.

Sebuah foto yang dia kirimkan. Kubuka foto itu dan aku terperangah kaget melihatnya.

"Apa-apaan ini," gumamku.

Aku mengecek info kontak dari nomor itu, tapi tidak ada foto profil maupun nama jelas di sana. Lalu siapa ini, dan apa tujuannya mengirimkan ini padaku?

Langsung saja kutelpon nomor itu. Namun, tidak ada jawaban, bahkan panggilanku yang berikutnya di-reject.

Tidak mungkin hanya orang iseng, kan?

Selang satu menit, dia mengirimkan satu foto baru lagi. Kutelpon lagi, tapi tetap tidak diangkat. Aku balas chat-nya hanya dengan berisikan sebuah tanda tanya, hanya di-read.

Tidak butuh waktu lama foto ketiga dikirimkan padaku.

Sejak kapan orang ini mengikutiku? Tunggu, aku yang diikuti atau Olvie?

Ya, foto pertama adalah foto yang diambil saat di koridor belakang perpustakaan dua hari yang lalu. Persis ketika Olvie memelukku tiba-tiba dari belakang. Setahuku saat itu tidak ada orang selain kami.

Kemudian, foto kedua adalah saat di kantin di hari yang sama, saat Olvie hampir terjatuh dan aku menahannya. Waktu itu Thomas sepertinya sengaja mendorongnya atau menyandung kakinya.

Lalu terakhir, yang kemarin, ketika Olvie yang ceroboh itu tersandung tali sepatunya sendiri. Foto itu diambil persis saat dia menabrakku, saat tanganku menahan tubuhnya. Tapi kenapa foto ini terlihat seperti adegan berpelukkan dengan satu tanganku melingkar di pinggangnya? Yang benar saja.

Otakku berpikir keras mengingat-ingat sesuatu. Oh, saat dekat perpustakaan itu aku ingat sempat melihat Fino, yang kukira sedang melakukan videocall atau sekadar main ponsel (?)

Mungkinkah dia yang mengambil foto ini? Tapi untuk apa? Kenapa juga dikirimkan kepadaku?

Lalu saat di kantin, aku baru ingat aku merasa seperti sedang diawasi. Apa Fino juga ada di sana saat itu? Aku tidak ingat melihatnya. Seharusnya dia akan mudah dikenali karena antek-anteknya banyak dan rusuh.

Seingatku, aku tidak punya salah padanya atau pada anggota gengnya.

Saat kepalaku masih dipenuhi tanda tanya, nomor itu menelponku. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

"Ini peringatan pertama sekaligus terakhir, jauhi gadis itu kalau kau ingin tenang di kampus!" tegas suara itu dari ujung telpon.

Bukan, ini tidak terdengar seperti suara Fino. Suaranya lebih berat dan keras.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Jauhi Olvie! Kalau aku masih melihatmu di dekatnya, aku akan menghabisimu!"

"Memang kenapa? Gimana kalau dia yang dekat-dekat aku?"

"AKU TIDAK MAIN-MAIN!" geram suara itu.

"Ini sia-" Belum sempat kutanyakan siapa, dia langsung memutuskan panggilannya.

Aku menghela napas berat. Kenapa tiba-tiba aku terlibat hal seperti ini? Kuputuskan untuk tidak terlalu memperdulikannya, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang salah.

* * *

"Ada apa, Cent?" tanya Thomas, lalu dia menyodorkan sesendok nasi uduk ke mulutnya.

Seketika membuyarkan lamunanku, "Oh, gak ada apa-apa."

Apa aku terlalu memikirkannya? Kuakui Thomas memang orang yang sangat peka, terutama terhadapku.

"Nanti kau ke kampus sendiri, ya. Aku mau mengantar Mbak Sella ke stasiun, habis itu langsung ke kampus, waktunya mepet soalnya," kata Thomas.

"Iya. Kamu naik apa?"

"Naik motor aja."

"Bawa aja mobilku, kasian kakakmu nanti kepanasan, stasiunnya 'kan lumayan jauh," saranku.

"Terus kau ke kampus bawa motor?"

"Iya, udah lama juga motorku nganggur, lagian 'kan gak jauh," jawabku dengan senyum.

Thomas mengangguk.

Waktu di ponselku menunjukkan pukul setengah sebelas ketika Thomas bersiap pergi untuk mengantarkan kakak perempuannya pulang ke rumah orang tuanya, Kak Sella kebetulan sedang bekerja di kota ini.

"Nanti kau makan dulu sebelum berangkat kuliah, udah kusiapkan di meja. Jangan lupa obatnya."

"Hm..." Aku mengangguk kecil, "Hati-hati, Tom."

Thomas selalu cerewet, seolah aku anak kecil yang harus diingatkan ini itu, tapi aku senang.

Pukul lima sore akhirnya kelas kami usai. Thomas menuju parkiran mobil, sedangkan aku menuju halaman parkiran motor. Dia tadi sempat menawarkan untuk bertukar kendaraan karena langit terlihat mendung, tapi aku menolaknya.

Hari ini aku belum melihat Olvie. Mungkin karena aku hanya ada satu mata kuliah dan sudah sore, dia pasti sibuk seharian.

Kukunci kancing helem yang baru saja kupasang di kepala, lalu segera menyalakan mesin motor. Kemudian, segera keluar dari gerbang belakang kampus.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baru saja beberapa meter kujalankan motorku, tepat di halte bus dekat kampus sebelah kanan sisi jalan, aku melihat sosok gadis yang dari tadi mengisi kepalaku, Olvie.

Dia terlihat sedang menghentakkan kakinya beberapa kali, mata dan kedua ibu jarinya sibuk dengan ponselnya. Dia terlihat kesal.

Aku mengurangi kecepatan laju motorku, lalu menepi tepat di depan gadis itu. Namun, dia tidak bergeming sama sekali, sepertinya dia tidak sadar kehadiranku.

Akhirnya, dia menoleh setelah kubunyikan klakson dua kali. Kurasa aku mengejutkannya, dia sempat terlonjak kaget karenanya.

Gadis itu memicingkan matanya menatapku dengan pandangan bingung. Kubuka kaca helm dan memperlihatkan wajahku.

Sebuah senyum mengembang sempurna di wajah Olvie setelah dia berhasil mengenaliku.

"Kak Vincent! Tumben naik motor?" katanya sambil menunjuk heran ke arahku.

"Ya... lagi pengen aja," jawabku asal.

Mataku langsung tertuju pada salah satu pergelangan tangannya. Aku teringat terakhir kali melihatnya memar ulah si Bobby waktu menarik tangannya, tapi sepertinya bekas memar itu sudah hilang.

"Kamu nunggu jemputan, ya?" tanyaku.

"Iya tadinya, Kak." Raut wajahnya mendadak kesal, "Tapi barusan papa telpon, katanya ga bisa jemput karena motornya tiba-tiba ga mau hidup."

Ah, rupanya dia kesal karena itu.

"Ohh..."

"Pacarmu ... masih menganggumu?" Aku sempat ragu untuk menanyakannya atau tidak.

"Udah kubilang dia bukan pacarku lagi, Kak!" sahutnya kesal.

Aku tersenyum, "Kok sewot, sih, Mbak-nya?"

"Eh, maaf, ga kok." Dia tersenyum malu, "Udah kublokir dia, Kak."

"Hm... Dia gak berusaha menemuimu lagi? Atau mengikutimu dan memperhatikanmu dari jauh?" tanyaku sekaligus mengintrogasinya.

"Enggak, sejak terakhir Kak Vincent menolongku waktu itu, dia belum muncul lagi di hadapanku."

"Oh... Bagus, deh."

Syukurlah kalau begitu, setidaknya bukan dia yang diincar.

"Terus, kamu mau nunggu bus? Atau naik ojek?"

Matanya memperlihatkan sorot kekecewaan, "Naik ojek online aja, Kak." Kepalanya menunduk dan garis bibirnya melengkung ke bawah, satu kakinya menggosok-gosokkan pasir di tanah dengan sepatunya.

"Eh, aku lupa, kuotaku habis," ucapnya pelan.

Aku tersenyum melihat kelakuannya, jelas sekali dia kecewa dengan pertanyaanku barusan.

"Ayo naik."

Kakinya mendadak berhenti melakukan hal yang tak berguna itu, dan kepalanya langsung terangkat. Matanya membulat sempurna menatapku, garis bibirnya naik membentuk senyuman.

"Beneran, Kak?"

"Iya, naiklah, tapi aku gak bawa helm."

Tanpa menjawab apa-apa, Olvie langsung meraih pundakku dan duduk di belakangku.

"Udah?" tanyaku memastikan dia sudah berpegangan.

"Let's go!!" ucapnya penuh semangat.

Mungkin sekitar hampir lima menit perjalanan, Olvie memanggilku.

"Kak?"

"Ng?"

"Aku harus pegangan pada apa?"

"Di belakangmu 'kan ada tempat pegangan."

"Tapi tanganku pegal, Kak, pegang ke belakang terus."

Aku tidak menjawabnya. Suara angin dan mesin kendaraan di jalan membuat suaranya tidak terdengar jelas.

"Kak?" panggilnya lagi.

"Hm?"

"Kalau aku ... pegangan di pinggang Kakak, boleh?"

Aku mendengarnya, tapi aku bingung harus menjawab apa. Sehingga lagi-lagi tidak kujawab. Beberapa saat kemudian, kedua tangannya sudah menjamah kedua sisi pinggangku.

Aku tersentak kaget dibuatnya. Kemudian, karena aku tidak merespon penolakan atau apa pun, tangannya semakin dalam melingkar, bahkan sampai ke bagian perutku. Lalu aku dapat merasakan kepalanya bersandar di punggungku.

Mendadak tubuhku kaku. Aku menelan ludah sampai dua kali! Wajahku terasa panas dan aku bisa merasakan debaran jantungku yang tak karuan.

Anehnya, aku tidak mengerti kenapa aku hanya diam saja dan membiarkannya berbuat semaunya. Gawat! Sepertinya aku sudah tidak waras, pikirku.

Langit semakin gelap dengan berkumpulnya awan-awan tebal di atas sana. Kemudian, tetes demi tetes gerimis mulai menyiram bumi dengan halus. Aku ragu apakah harus menepi atau lanjut saja karena hanya gerimis kecil.

Kutepikan motor yang kukendarai di pinggir jalan, di bawah pohon.

"Mau neduh dulu?" tanyaku.

"Ga usah, Kak. Terabas aja, ga bakal basah kalau segini. Tanggung, udah dekat."

"Ya udah."

Kulepaskan jaket yang dari tadi kukenakan, lalu memberikannya pada Olvie.

"Cepat pakai, sebelum tambah deras."

Olvie sedikit ragu menerimanya, lalu dia memakainya. Aku sadar bahwa jaketku tidak ada hoodie-nya. Kulepaskan helm dari kepalaku, dan memasangkannya langsung di kepala Olvie.

Gadis itu bengong menatapku.

Kulambaikan tanganku tepat di depan wajahnya, "Jangan mangap, nanti kemasukan air hujan."

Dia langsung menutup mulutnya, lalu berkata, "Kak Vincent-nya gimana?"

"Gak apa, 'kan udah deket, tanggung," jawabku mengulangi jawaban Olvie sebelumnya.

Tidak butuh waktu lama, gerimis itu tiba-tiba berevolusi menjadi hujan deras! Sialnya, aku tidak langsung menemukan tempat untuk berteduh.

"Di depan ada Endomaret, Kak. Neduh di situ aja."

Kulajukan motorku ke arah yang ditunjuk Olvie barusan, lalu menepi untuk berteduh. Seluruh tubuhku basah dari kepala sampai sepatu. Untungnya ponsel dan tasku sempat kusimpan dalam jok motor, sedangkan punya Olvie dia jepit di antara kami sehingga terhalang dari air hujan.

"Yah, sayang banget. Padahal, tinggal satu belokan lagi sampai, ya, Kak."

Tubuhku menggigil hebat. Aku sampai tidak bisa menjawab apa-apa karena rahangku yang gemetaran. Jari-jari tanganku dingin hingga mati rasa.

Olvie menoleh kepadaku, "Kak?"

Aku hanya menunduk menahan agar tidak memperlihatkannya pada Olvie.

Dia memegang tanganku, "Kak Vincent kedinginan, ya?" Dia pasti bisa merasakan tanganku yang gemetaran.

Gadis itu menurunkan resleting jaket yang dia kenakan dan hendak melepasnya, tapi segera kucegah. Kugelengkan kepalaku memberi isyarat bahwa dia tidak perlu memberikannya padaku.

"Mau ... lanjut jalan lagi?" ajakku, "Ki-kita ... berteduh di rumahmu aja."

Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung naik ke motor dan kembali menyalakan mesin.

"Cepat naik, pakai lagi helm-mu."

Dengan patuh Olvie mengikuti perkataanku.

"Pp-pegangan."

Kulajukan motorku dengan kecepatan tinggi menerabas guyuran air hujan, tidak peduli tubuhku yang sudah kedinginan.

Hanya tinggal beberapa ratus meter saja kami sampai di rumahnya. Langitnya yang gelap seolah mengabarkan bahwa hujan akan awet, kalau terus menunggu entah sampai kapan.

* * *

Terima kasih sudah membaca^^

Semoga suka <3

Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote yah :D

Demi perbaikan cerita yang lebih baik lagi, kritik dan saran welcome~