Chapter 23 - Chapter 22 - Berteduh

PoV: Vincent

"Masuk, Kak."

Kudorong pintu gerbang rumahku sekuat tenaga. Ada untungnya juga sedang hujan, sehingga rodanya yang licin langsung meluncur mulus di jalurnya.

Aku berlari menyusuri halaman rumahku yang sangat minimalis ini, lalu segera meraih knop pintu dan memutarnya.

"Kok dikunci, sih?" kataku berbicara sendiri.

Kugedor-gedor pintu dengan kasar. "Ma! Pa! Bukain, dong!"

"Rei! Kau di dalam?" jeritku lagi.

Kulihat Kak Vincent sibuk menutup kembali gerbang depan setelah memarkirkan motornya di halaman.

"Cepat ke sini, Kak. Hujannya masih deras, biarin aja gerbangnya!" ujarku setengah berteriak agar dia bisa mendengarnya.

Ctek! Suara kunci pintu terbuka, lalu seorang wanita dewasa keluar dari balik pintu.

"Ya, ampun, Olvie Amanda anak mama. Udah gede masih aja main hujan-hujanan, ya!" Mamaku mulai mengoceh begitu melihatku yang basah kuyup dari atas sampai bawah.

Banyak air menetes dari pakaian dan rambutku, membasahi keset bertuliskan 'welcome' di depan pintu.

"Cepat masuk! Eits, lewat belakang aja biar langsung ke kamar mandi. Mama gak mau ngepel lagi, sepatumu pasti kotor 'kan," kata mama.

"Ceramahnya nanti aja, Ma. Ada Kak Vincent, dia juga kehujanan."

Belum selesai aku menjelaskan, Kak Vincent sudah menghampiri kami dan menyapa mama dengan senyum andalannya.

"Astaga!" seru mama terkejut.

Mama sempat melirikku, lalu kembali menatap Kak Vincent dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mama langsung menarik lengan Kak Vincent, menggiringnya masuk ke dalam rumah.

Ya, lewat pintu depan! Padahal, kalau aku yang langsung masuk nyelonong basah-basah begini pasti akan diocehi sampai dibanding-bandingkan dengan Reihan segala, anak kesayangannya itu.

Kak Vincent menahan langkah kakinya. "Gak apa-apa, Tante, lewat belakang aja."

Dia pasti sempat mendengar ocehan mama padaku tadi.

"Ya, ampun, kasian anak orang sampai menggigil begini," kata mama berbicara pada dirinya sendiri. Mama tetap menggiring Kak Vincent masuk lewat pintu depan.

"Maaf, Tante, ngerepotin."

"Udah, ngga apa-apa. Kok bisa sampai kehujanan gini kalian?"

"Gara-gara motor papa mogok, nih!" sahutku.

Mendengar dirinya disebut, papa keluar dari kamar.

"Ada apa ribut-rib-" Papa tercengang melihat kami, sampai ucapannya terhenti.

"Om," sapa Kak Vincent.

"Kalian habis hanyut di kali?" tanya papa.

Mama dan Kak Vincent tertawa.

"Ih, Papa! Kak Vincent sampai kehujanan karena nganterin aku pulang tahu."

"Oh.. Kenapa ga berteduh dulu?"

"Tanggung, Om, tadi udah hampir sampai, tiba-tiba deras hujannya. Maaf, Om, Tante, Olvie jadi kehujanan," kata Kak Vincent.

"Ga apa-apa kalau Olvie mah sekali-sekali mandi hujan. Dia 'kan jarang mandi kalau ga kemana-mana."

Kupelototi papa begitu mendengar ucapannya barusan. "Enak aja!"

"Udah, udah. Vincent, kamu duduk dulu di sini. Tante masakin air panas sebentar."

"Gak usah repot-repot, Tante. Begitu hujannya reda, Vincent langsung pulang, kok."

"Iya, boleh, tapi kamu bisa sakit kalau tetap seperti itu sampai hujannya berhenti." Mama meraih pundak Kak Vincent memaksanya duduk di sofa ruang tamu.

"Lihat, nih, kamu kedinginan. Sebentar, ya." Lalu mama pergi ke dapur.

Kak Vincent pasti merasa tidak enak dengan mama. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang sempat dia keluarkan dari jok motor setelah menutup pintu gerbang tadi. Rupanya dia menghubungi Kak Thomas.

Benar juga, mereka 'kan tinggal satu rumah, Kak Thomas pasti nyariin.

"Olvie, ambil handuk di belakang, di tumpukkan setrikaan, biar nanti mama yang siapkan pakaiannya!" seru mama dari dapur.

"Pa pinjam baju, ya!" lanjutnya.

"Bentar, ya, Kak."

"Iya, kamu juga mendingan langsung mandi dan ganti baju," saran Kak Vincent.

Tidak lama kemudian, mama kembali dan menyodorkan segelas tinggi teh manis hangat pada Kak Vincent.

"Hangatkan tangan dan badanmu dulu," kata mama.

Kak Vincent meraih gelas itu dengan kedua tangannya yang masih saja gemetaran.

"Makasih, Tante."

"Punyaku mana, Ma?" tanyaku.

"Ambil di dapur sana, udah mama buatkan."

Aku bergegas ke dapur dengan handuk yang membungkus rambutku, bersiap untuk mandi.

"Kok gelasku kecil, Ma?" protesku.

"Udah, minum aja. Habis itu buruan mandi!"

"Baiklah, Ibu Negara," ledekku.

"Pakai kamar mandi yang di dalam kamar mama aja, yang di sini untuk Vincent mandi. Sebentar lagi air panasnya siap."

"Iya, Ma."

"Kamu mau pakai air hangat juga, ngga?" tanya mama.

"Enggak, ah. Yang dingin lebih menantang."

Usai mandi dan berpakaian, kulihat Kak Vincent juga sudah rapi, sepertinya dia sudah lebih baik. Dia sedang berada di dapur bersama mama.

Sungguh sebuah pemandangan yang menarik bagiku. Kalau Kak Bobby mana pernah dia membantu mama ini itu.

"Cepat amat mandinya, Kak."

"Kamu yang mandinya kelamaan, Vie," sahut mama.

Kak Vincent tertawa kecil.

"Huh! Kalian sedang apa?" tanyaku seraya mendekat ke arah mereka.

"Melakukan sesuatu yang gak pernah kamu lakuin; bantuin mama nyiapin makan malam," jawab mama.

"Ih, kok Mama terus yang jawab, sih?" gerutuku.

Aku tahu mama sedang menyinggungku karena aku selalu malas setiap mama menyuruhku membantunya menyiapkan makan malam. Lagi pula, aku tidak pandai memasak.

"Aku dipaksa Tante sama Om ikut makan di sini," kata Kak Vincent. Tangannya sibuk mencuci sayur.

Aku tidak menyangka Kak Vincent sangat telaten rupanya. Lihat saja, dia membersihkan daun bayam hingga ke sela-sela daun!

Dia mengenakan T-shirt putih milik papa. Jelas terlihat sedikit kebesaran untuknya, tapi sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Tak bosan kupandangi sosoknya.

"Hush! Punggungnya Vincent bisa bolong kalau terus kamu liatin kayak gitu, Vie!" seru mama membubarkan hayalanku.

"Sundel bolong kali, ah, Ma," sahutku.

Kak Vincent menoleh ke belakang, ke arahku, lalu memandang mama dengan penuh tanda tanya. Sedangkan mama tertawa geli.

"Itu Olvie dari tadi gak kedip-kedip ngeliatin kamu terus," ujar mama.

"Lagian kenapa juga kamu di sini, Vie. Biasanya juga minta dipanggilin kalau makanannya udah siap." Mama terus saja meledekku.

"Udah, dong, Ma. Jangan jelek-jelekin aku terus di depan Kak Vincent," keluhku.

Kami tertawa bersama.

Dari arah depan terdengar suara pintu gerbang di buka. Satu menit kemudian, seorang anak laki-laki masuk dari pintu belakang, tidak jauh dari dapur.

"Sial, hujannya ga berhenti-berhenti," kata Reihan sambil mengibaskan air dari jas hujan berwarna biru gelap yang dia kenakan.

Reihan yang baru saja pulang dari tempat les, langsung melepaskan jas hujan beserta celananya dengan hati-hati.

"Itu di depan motor siap-" Ucapannya terhenti saat dia menoleh ke arah kami.

Buru-buru dia menaikkan kembali celana jeans-nya yang sudah turun sampai pergelangan mata kakinya. Hahaha! Pasti dia malu, tuh, ada orang lain yang melihat celana dalamnya!

"Motor Kakak kayaknya," jawab Kak Vincent menahan tawa.

"Eh, Kak..." Reihan menyapa Kak Vincent dengan senyumnya yang setengah dibuat-buat, lalu dengan berlari kecil dia menuju ke dalam.

"Rei, sepatumu lepas dulu, banyak tanah menempel!" perintah mama.

Reihan berbalik dan segera melepaskan sepatunya, lalu meninggalkannya begitu saja. Aku tahu sebentar lagi pasti mama akan menyuruhku untuk memungutnya. Aku berani taruhan!

"Sayang,-"

"Iya, iya, aku bereskan," jawabku dengan berat hati, bahkan aku tidak membiarkan mama menyelesaikann kalimatnya.

"Nah, gitu, dong."

Kami makan malam bersama. Reihan yang biasanya cerewet dan menyebalkan terlihat diam dan lebih tenang. Tampaknya dia masih malu atas kejadian tadi. Haha! Rasakan!

"Vincent, kamu udah berapa lama kenal Olvie?" tanya papa yang mulai mengaktifkan mode detektifnya, yaitu mengintrograsi, seperti yang dilakukannya pada Kak Bobby dulu. Atau mungkin dia juga akan melakukannya pada setiap pria yang kuajak ke rumah.

"Hm.. Belum ada sebulan, Om," jawab Kak Vincent.

Aku melihat papa mengangguk kecil. "Kenal dari kampus, ya? Satu jurusan?"

Kak Vincent sempat melirikku sebelum menjawabnya lagi. "Iya, Om. Lain jurusan, tapi masih satu fakultas."

"Udah dong, Pa. Biar Kak Vincent makan dulu." Aku berusaha mencegah papa bertanya lebih jauh.

"Loh, bukannya segala sesuatu itu paling enak dibicarakan di meja makan?" kata papa.

Benar juga, sih, yang dikatakan papa, tapi aku yang tidak enak kalau sampai membuat Kak Vincent merasa tidak nyaman. Pasti sekarang pun, dia sudah merasa canggung mendadak dipaksa makan bersama keluargaku.

Aku hanya menunjukkan muka masamku tanpa menjawab papa, sedangkan Kak Vincent selalu tersenyum setiap menanggapi pertanyaan papa atau ucapan mama.

Dilihat sedekat ini Kak Vincent memang ganteng, bahkan jauh lebih ganteng. Sungguh, aku suka sekali dengan senyumnya!

"Menurutmu, anak tante ini gimana?" giliran mama yang kepo bertanya.

Kak Vincent hampir tersedak dbuatnya. Aku segera meraih gelasnya dan menambahkan air lagi. Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Sehingga garis bibirku bergerak-gerak tak karuan.

"Apaan, sih, Ma. Kak Vincent 'kan baru kenal aku. Stop memberi kesan yang enggak-enggak," kataku berpura-pura membelanya. Padahal, dalam hati aku sangat ingin mendengar jawabannya.

"Dih! Munafik banget, sih, Kak." Akhirnya Reihan mengeluarkan suaranya yang mahal itu hanya untuk mengomentari diriku.

Kepelototi dia, lalu dibalas dengan cengirannya yang mirip kuda.

"Ehem.."

Semua pasang mata tertuju pada Kak Vincent ketika dia berdehem, membuatnya seperti sedang salah tingkah.

"Ya.. Olvie cantik, kok, Tante," jawabnya seadanya sambil menggaruk tengkuknya.

Layaknya adonan bolu yang ketumpahan baking soda, senyumku mengembang.

Hehe. Kak Vincent bilang aku cantik. Ya memang, sih, sudah banyak yang bilang, tapi kalau mendengarnya langsung dari Kak Vincent 'kan ... sesuatu banget!

"Cuma cantik aja?" desak papa, "Istri saya juga cantik." Mama langsung mendorong genit lengan papa sambil tertawa geli.

Kak Vincent menegakkan posisi duduknya, kali ini dia menggaruk kepalanya. "Dan cukup ... agresif."

Papa, mama, serta Reihan tertawa.

"Setuju, Kak, setuju!" seru Reihan.

"Aduh!" Reihan meringis ketika aku membungkamnya dengan menginjak salah satu kakinya.

"Dan juga bar-bar! Dia menginjak kakiku tanpa dosa!" adu Reihan.

Jika saja tidak ada Kak Vincent di sini, pasti sudah kujambak rambutnya! Salah besar Vira pernah berkata bahwa dia ingin memiliki adik laki-laki seperti adikku ini. Padahal, dia tidak tahu betapa gondoknya aku dibuatnya.

"Sssstt... Udah, malu ah sama tamu," kata mama seraya meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

Kak Vincent tertawa. "Gak apa-apa, kok, Tante. Rumahnya jadi ramai."

"Iya, tapi tante pusing sama mereka, setiap hari ribuuuut terus. Pengennya cepet gede aja, supaya lebih dewasaan dikit gitu."

Papa sampai menggelengkan kepala.

Kemudian, ketika suasana sudah mulai kondusif kembali, papa bertanya lagi, sepertinya papa belum puas atau bagaimana.

"Orang tuamu kerja apa?"

Kak Vincent tertegun mendengarnya. Tangannya berhenti menggerakkan sepasang sendok-garpu miliknya, lalu meletakkannya di atas piring. Kini kedua tangannya ditaruh di atas pahanya.

"Mereka ... udah berpisah," jawabnya. Kepalanya setengah tertunduk.

Kulihat mama mencubit paha papa, sepertinya memberi kode.

"Oh, maaf, om nggak tahu," kata papa gelagapan.

Kak Vincent menghela napas dalam sebelum kembali tersenyum, entah dia benar-benar tersenyum atau tidak, hanya saja terlihat seperti dipaksakan. Dia terlihat ... sedih.

Aku sendiri juga baru tahu kalau orang tuanya sudah berpisah. Selama ini kupikir Kak Thomas tinggal di rumahnya bersama dengan orang tua Kak Vincent juga.

Sekarang dia tinggal dengan mamanya atau papanya, ya? Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi sebaiknya tidak kulakukan. Melihat responnya yang seperti itu, mungkin dia tidak ingin membahasnya.

"Makan lagi, Vincent. Tambah, ya? Tante masak banyak." Mama berusaha mencairkan kembali suasana yang sempat canggung karena papa.

"Udah, Tante. Vincent gak bisa makan banyak-banyak."

Mama tersenyum. "Nggak usah malu-malu, Nak."

Kami semua tertawa.

* * *

Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit ketika kakiku melangkah ke luar kelas. Berakhir sudah kuliahku hari ini. Karena setiap Jumat aku naik ojek, terserah aku, dong, mau pulang jam berapa saja?

Hm.. Sebentar lagi Kak Vincent istirahat dari kelasnya. Aku tunggu di kantin, ah, batinku.

Aku berjalan dengan riang sambil bersenandung, lupa bahwa ada Vira yang ikut berjalan di sebelahku.

"Happy amat ibu satu ini," celetuknya.

"Hehehe, tau aja."

"Mau aku kasih tahu sesuatu, gak? Dijamin bakal langsung merusak mood-mu!" kata Vira jahil.

"Ih, ga mau!" Kutepuk-tepuk kedua telingaku seraya mempercepat langkah, meninggalkan Vira jauh di belakang.

Cepat-cepat Vira mengejarku. "Tapi ini beneran kamu harus tahu, Vie."

Aku berhenti.

"Apaan?" tanyaku penasaran.

Vira mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Masa tadi di kelas, Kak Bobby menelponku!"

Aku terperanjat mendengarnya.

"Dua kali," sambungnya dengan menunjukkan dua jari tangannya padaku.

"Ngapain?"

"Ya mana kutahu, lah. Gak kuangkat, kamu 'kan tahu tadi di kelas hening banget, horor."

"Bagus, kalau dia telpon lagi jangan diangkat, ya, Ra. Kalau perlu kamu blokir aja kayak aku."

"Oh, pantas aja dia nyari aku."

Haish.. Kupikir Kak Bobby sudah berhenti bertindak bodoh untuk mengangguku lagi. Brengsek, benar-benar merusak mood orang!

"Udah, makan dulu, yuk. Hilangin stress," ajak Vira.

Sekitar dua puluh menit kami di kantin, sambil menunggu Kak Vincent, tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk dengan nama kontak 'Kak Theo'.

Sial, baru saja berhasil melupakannya sebentar, aku sudah dibuat bad mood kembali. Seharusnya sepaket ini kublokir semua sekalian, gerutuku dalam hati.

Akhirnya kuangkat panggilan ini.

"Kenapa, Kak Theo?"

"Ini aku." Terdengar suara Kak Bobby dari ujung telpon, seperti yang kuduga.

"Mau apa lagi, sih, Kak?" Jujur saja aku sudah pusing mendengar suaranya.

"Ini peringatan terakhir dariku, sebaiknya kamu dengarkan mumpung aku masih bicarakan baik-baik."

Aku mendengus kesal.

"Kamu bisa lupain semuanya, Sayang. Aku akan memaafkanmu atas semua yang udah kau lakukan terhadapku. Kita bisa memulai kembali dari awal. Aku gak akan macam-macam kalau kau nurut padaku."

"Gila! Harusnya Kakak yang minta maaf padaku! Dengar, ya, jangan ganggu aku lagi. KITA UDAH SELESAI!" tegasku.

"Kubilang ini peringatanku yang terakhir, kamu akan menyesal, Dek," katanya.

"AKU GA PEDULI!!" bentakku tanpa memperdulikan lagi berbagai macam tatapan orang-orang ke arahku.

Vira berulang kali mengelus belakang pundakku serta menyuruhku untuk bersabar, tapi kesabaranku sudah habis.

Rasanya darah di kepalaku hampir mendidih, mataku mulai terasa panas.

"Oke, kalau itu yang kamu inginkan, Dek. Kupastikan kamu akan menyesal. Aku tidak akan bertanggung jawab," katanya.

"Maksud Kakak ap-"

"Hajar dia!" Kak Bobby mengakhiri telponnya begitu saja.

Seketika sekujur tubuhku lemas. Apa yang Kak Bobby lakukan? Tadi dia sempat bicara dengan siapa? Kenapa aku harus menyesal? Berbagai pertanyaan menyerangku bertubi-tubi.

Tiba-tiba rasa takut menyelimutiku. Sungguh, firasatku sangat tidak enak.

"Vie, mukamu pucat, gak pa-pa?" tanya Vira khawatir.

"Perasaanku ga enak, Ra. Kak Bobby barusan ngancem aku."

"Berani ngamcem apa dia?" Vira juga terlihat kesal.

Aku menggelengkan kepala. Tepat ketika aku sedang berada di puncak kerisauan, seseorang duduk di hadapanku.

Aku menoleh. "Kak Thomas?" Reflek mulutku mengucapkan namanya.

"Kau lihat Vincent? Dari tadi aku coba menelponmu, tapi kau sedang dalam panggilan lain. Kau tadi lagi telponan dengannya?" tanya Kak Thomas.

"Kak Vincent? Bukannya dia kuliah sama Kakak? Kami belum saling menghubungi hari ini." Aku mulai panik, semoga tidak seperti yang kupikirkan.

"Benar, tapi tadi dia ijin ke luar untuk mengangkat telpon, kupikir darimu, Vie. Namun, sampai kelas berakhir pun dia belum juga kembali. Nih, tasnya kubawakan," ujar kak Thomas.

Jantungku berdegup kencang mendengarnya. "Udah lama, Kak?" Udah ditelpon?"

"Dari setengah jam yang lalu. Udah dari tadi kutelpon, ngga diangkat. Kupikir mungkin dia ada di sini."

Vira mencengkeram erat pundakku. "Vie, jangan-jangan..." Matanya menatap tajam padaku.

Aku tahu apa yang ada di pikirannya, pasti sama dengan apa yang kupikirkan.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berdiri. Yang terbesit dalam otakku saat ini adalah aku harus mencari Kak Bobby dulu.

Kubuka blokiran nomornya dengan tangan yang gemetaran, lalu segera menghubunginya. Sekali, tidak diangkat. Dua kali, ponselnya dimatikan! Aku langsung mengumpatinya.

Jari-jariku beralih menekan nomor Kak Theo, beruntung dia langsung mengangkatnya.

"Kak Theo! Kalian di mana? Aku ke sana sekarang juga!" Suaraku bergetar saking paniknya.

Terdengar suara Kak Bobby dari jauh. "Asu! Udah kubilang jangan diangkat!"

Suara yang berikutnya tidak jelas, lalu telpon terputus.

Aku lemas dan langsung terjatuh duduk. Vira ikut uring-uringan tidak bisa diam, sedangkan Kak Thomas yang kebingungan terus bertanya apa yang sedang terjadi.