Pov: Olvie
Derap langkah membawaku keluar dari sebuah ruangan besar yang paling dihindari kebanyakan setiap mahasiswa di universitas ini. Beberapa menit sebelumnya, suasana ruangan tepat di belakangku begitu menegangkan. Tapi sekarang, kedua sudut bibirku bergetar, tak kuasa menahan senyum. Aku tahu, berbahagia di atas penderitaan orang lain itu bukan hal yang benar.
Melirik pria di samping kananku, sepertinya dia tak merasakan hal yang sama. Kak Vincent berjalan lesu, matanya setengah menatap ke bawah. Mungkin kepalanya sedang dipenuhi hasil dari keputusan sidang tadi. Sedangkan pria lain di sebelah kiriku terus saja menggumamkan sesuatu, semacam umpatan yang tidak cukup jelas bagi telingaku untuk mendengarnya.
"Apa cuma aku yang seneng Kak Bobby di-drop out?" tanyaku, melirik Kak Vincent dan Kak Thomas bergantian.
Kak Vincent menoleh sebentar, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Kupikir sama kayak Fino dan yang lainnya, diberlakukan cuti sepihak. Seharusnya berikan Kak Bobby masa yang lebih lama, bukannya langsung dikeluarin."
Pernyataan Kak Vincent barusan langsung membuat Kak Thomas berdecak kesal. "Seharusnya, dia membusuk di sel penjara! Aku ngga abis pikir kenapa kamu lebih milih jalur kekeluargaan."
Aku mengangguk tanda setuju. Meski aku dulu pernah mencintai Kak Bobby, tindakannya tidak akan pernah bisa kumaafkan.
"Udah kubilang kan, kamu istirahat aja di rumah. Cukup serahkan padaku, akan kugiring semuanya ke jalur hukum yang berlaku di negara ini!" Kak Thomas masih saja mendumel.
"Gak bisa kayak gitu." Kak Vincent mengembuskan napas panjang. "Gimana aku bisa setega itu kalo tadi ibunya sampai memohon sambil berlutut padaku demi anak semata wayangnya?"
Langkahku melambat saat pandangan Kak Vincent tiba-tiba beralih padaku. "Vie, kamu kan kenal baik sama ibunya, dan kamu masih seneng?"
Skakmat. Kalimatnya benar-benar menohok diriku. Tiba-tiba aku teringat memori saat berada di rumah Kak Bobby dulu. Ibunya memang orang baik, sayang anaknya berubah menjadi berandal.
Kak Vincent benar-benar membuatku terkagum. Di saat dirinya yang paling dirugikan, dia masih tetap memikirkan orang lain. Kali ini guratan senyum pada garis bibirku terbentuk sempurna. Memikirkannya saja aku merasa senang.
"Uhm, Kak Vincent, aku boleh tanya sesuatu?" Sebenarnya, ada pemikiran yang terus mengganjal di kepalaku sejak tadi.
"Ada apa?"
"Kenapa wali Kakak ga ada yang dateng? Aku inget orangtua Kak Vincent udah pisah, tapi untuk masalah penting kayak gini kenapa mereka ga ada?" Aku berusaha memilah kata sebaik mungkin agar tidak menyinggungnya.
Kak Thomas langsung menatap Kak Vincent, seolah ikut penasaran ingin mendengar jawaban.
Ada jeda beberapa detik sebelum Kak Vincent menjawab. "Itu karena mereka ... gak ada yang tau."
"Loh, kenapa Kakak ga ngabarin? Jadi selama Kak Vincent di rumah sakit kemaren juga mereka ga tau?" Nada bicaraku mulai meninggi secara tidak sadar.
Pria berjaket hitam itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Iya."
"Kenapa?" tanyaku.
Seseorang menyikutku dari sebelah kiri, reflek aku menoleh dengan wajah masam. Kak Thomas menggeleng sambil mengedipkan kedua matanya dengan cepat. Ah, apa aku terkesan terlalu mendesaknya? Kuperhatikan Kak Vincent hanya diam, sepertinya benar, dia tidak ingin membahasnya.
"Ke kantin dulu, yuk. Aku ngga sempet sarapan tadi," ajak Kak Thomas, mengelus perut memperagakan orang yang sedang kelaparan.
"Bukannya kalian ada kelas sekarang?" tanya Kak Vincent.
"Aku udah izin untuk ikut sidang." Kak Thomas mengangkat dua jarinya ke samping wajah, membentuk simbol peace.
"Curang!" ketusku, "Kalo gitu aku mau bolos aja."
"Silakan," ledek Kak Thomas, "sebagai perayaan kamu bolos, traktir aku soto ayam Bu Eka."
Kak Vincent tertawa, sedangkan aku mengernyitkan dahi tanda tak suka dengan ucapan Kak Thomas. Kalau saja sedang tidak bersama calon kekasihku ini, sudah kucubit dia. Seenaknya saja memutuskan.
Rupanya kantin cukup ramai, padahal belum waktunya makan siang. Pandanganku mengedar, sebagian besar mereka hanya duduk mengobrol, main game, atau merokok. Kemudian, arah pandangku berhenti ketika melihat sosok yang kukenal. Segera kuhampiri mejanya yang tak berada jauh dari tempatku berdiri.
"Vir! Kok kamu ada di sini? Emang kelas Pak Agung udah selesai?" tanyaku kepo. Tak lupa sebuah senyum kulemparkan pada pria di samping Vira yang tak lain adalah pacarnya, Rudi.
"Eh, Vie. Udah selesai sidangnya? Jadi gimana hasilnya?" Gadis itu malah lebih penasaran soal hasil keputusan rektor tadi.
"Kak Bobby dipecat jadi mahasiswa. Terus tuyul-tuyulnya cuma dapet cuti sepihak satu semester."
"Mampus," gumam Kak Rudi. Meski pelan, kata itu tertangkap jelas di telingaku.
Vira mengentakkan satu tangan di atas meja. "Dia memang pantes di-DO! Tapi kenapa si Fino and the genk cuma di-skors satu semester doang? Terus, Kak Theo juga?"
"Tapi semester berjalan ini hangus, mereka jadi harus ngulang dua semester taun depan," timpal Kak Thomas dari belakang tiba-tiba. Kupikir dia tidak mengikutiku ke sini.
"Cuma Bobby yang di-DO," lanjutnya.
Mata vira mendelik begitu melihat seseorang mendekat dari balik badan Kak Thomas. Setelah mengenalinya, ia bangkit berdiri. "Kak, kok udah ngampus? Udah baikan?"
Orang yang ditanya pun mengangguk sembari tersenyum tipis. "Udah mendingan."
Vira menjatuhkan bokongnya ke bangku, tersirat sebuah kelegaan dari raut wajahnya. "Syukur, deh. Aku masih syok waktu nemuin Kakak pingsan di atap ga berenti muntah darah gitu." Vira terus saja mengulangi cerita itu pada pacarnya.
Kak Vincent langsung menunduk, kekehan pelan keluar dari mulutnya. "Maaf. Tapi makasih, ya, uhm ..." Dia tampak sedang mengingat-ingat, lalu melanjutkan. "... Vira."
Gadis itu melambaikan kedua tangannya di depan dada. "Nggak, nggak. Aku bahkan gak bisa berbuat apa-apa setelahnya."
Kak Thomas ikut menimpali. "Tetep aja aku belum bilang makasih karena kamu udah ngikutin perintahku waktu itu."
"Ah, iya." Vira memutar kedua bola matanya ke atas. "Gak masalah."
"Jadi, kenapa kamu di sini dan bukannya ada di kelas? Seorang ketua kelas bolos?" tanyaku dengan nada penuh penekanan.
"Enak aja!" bantahnya, "Hari ini lagi ada rapat dosen gegara masalah kemaren. Tuh, liat. Anak-anak pada nongkrong di sini."
"Serius?"
"Eh, izinku sia-sia, dong?" kata Kak Thomas.
"Yes, ga jadi traktir soto ayam Bu Eka!" Saking senangnya, tanpa sadar aku mengucapkannya dengan lantang. Ibu pemilik warung soto itu spontan menoleh saat mendengar namanya disebut. Dengan cepat segera kubungkam mulutku. Orang-orang menertawakanku.
"Bacotmu dikontrol, dong." Vira memukul keras lenganku. Dia aja malu, apalagi aku.
Kutatap Kak Thomas yang tak hentinya cekikikan dengan tatapan setajam mata pisau. Kalau tak segera meredam tawanya, akan kucubit dia sampai memohon ampun!
"Aku mau pulang," ucap Kak Vincent, "kamu beli bungkus aja, Tom." Dia mengeluarkan dompet dari saku celananya, lalu memberikan selembar uang lima puluh ribuan pada Kak Thomas. Meski terlihat tidak enak, pria itu tetap mengambilnya.
"Kamu mau sekalian, Vie?" tawar Kak Vincent.
"Enggak. Aku bisa makan di rumah, atau gabung sama Vira."
"Oke, aku duluan, ya." Kak Vincent menyodorkan tangannya di hadapan Kak Thomas. "Kunci, aku tunggu di mobil."
Setelah menerima kunci, pria berkulit putih itu berpaling dan meninggalkan kami menuju parkiran. Langkahnya terlihat seperti dipaksakan. Entah kenapa aku tak bisa berhenti nenatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh, sampai hilang dari jarak pandangku.
Lalu aku mengampiri Kak Thomas, mengabaikan ajakan Vira untuk duduk di sebelahnya.
"Kak, Kak Vincent beneran udah gak apa-apa?"
"Kenapa emang?"
"Tadi aku liat dia jalan ke parkiran sambil megangin bagian perutnya," ujarku.
Kak Thomas sempat tertegun sebentar, lalu menghela napas. "Nanti kumarahi."
"Aku mau ikut pulang, dong. Mumpung hari ini gak ada kelas lagi." Deretan gigi depan kutunjukkan padanya. Kok aku seperti gadis yang tidak tahu malu, ya. Hehe.
Pria itu berdecak. "Berapa kali lagi harus kuingatkan, rumahmu beda arah, Olvie."
"Eh, bukan. Maksudnya, aku mau ikut pulang ke rumah Kak Vincent." Lagi-lagi senyum malu kuperlihatkan. Kali ini sambil menggoyang-goyangkan tubuh.
"Hah?" Reaksi Kak Thomas seolah dia tidak mendengarnya, padahal aku yakin dia mendengar cukup jelas.
"Aku mau main ke rumah Kak Vincent," ulangku dengan nada lebih tegas.
"Tapi di rumahnya cuma ada kami berdua, nggak ada cewek. Ngga takut?" Kak Thomas melirikku sekilas. Ada kilatan semacam tantangan dalam pandangan itu, lalu sebelah sudut bibirnya terangkat.
Kedua mataku mengerjap cepat. Jika ada salah satu orangtuanya pun aku sudah siap untuk mengenalkan diri. Tapi, aku benar-benar baru mengetahui jika Kak Vincent hanya tinggal sendiri, tidak ikut ayah atau ibunya.
"Ba-bagus, dong," jawabku terbata-bata. Entah aku harus senang atau merasa takut. Satu-satunya yang membuatku ragu adalah pria di hadapanku ini sendiri.
Kak Thomas terkekeh. "Aku sih boleh aja. Tapi tetep kamu harus ijin dulu sama Vincent. Dan aku gak yakin ya dia bakal ngasih. Paling juga kamu di anter pulang."
Bibirku mengerucut. Terbesit di kepala berbagai cara agar Kak Vincent mengizinkanku ikut dengannya. Memasang mimik wajah dengan puppy eye, misalnya, atau aku akan menawarinya membuatkan makan siang. Eh tunggu, sejak kapan aku bisa memasak? Argh, tahu akan berguna begini seharusnya aku mendengarkan saran Mama.
"Serius amat mikirnya." Suara Kak Thomas membuyarkan lamunanku. Dia mengambil bungkusan hitam dari tangan Bu Eka. Aroma soto menyeruak dari dalam sana.
Kepalaku menggeleng seraya berkata, "Kalo ga soto, telor cabe bawang, gitu-gitu aja terus sampe jadi tukangnya, Kak."
"Gimana, ya, aku gak bisa hidup tanpa mereka." Dia tertawa, kemudian aku mengikutinya berjalan meninggalkan kantin menuju tempat parkiran mobil.
Kak Thomas mengetuk salah satu kaca mobil yang terparkir di bawah pohon beringin. Beberapa detik berikutnya, terdengar suara kunci mobil yang terbuka. Kak Thomas melirikku sesaat, lalu memutar masuk ke kursi pengemudi.
Kutarik napas sedalam mungkin, lalu mengembuskannya kasar. Dua kali kuketuk kaca yang sama, sebelum pria di kursi penumpang menurunkannya.
"Mau pulang bareng?" Baru saja mulutku setengah terbuka untuk mulai bicara, Kak Vincent menanyakan lebih dulu.
Sambil menggaruk belakang kepala yang tak gatal, aku menjawab, "Boleh main ke rumah Kakak?"
"Kenapa ... tiba-tiba?"
"Kan ga ada kelasnya juga tiba-tiba, Kak." Reflek aku langsung nyengir kuda. Nada kikuk terseling di sela tawa.
Kak Vincent menoleh pada teman di sampingnya. Kak Thomas menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya.
"Terserah," jawab Kak Vincent.
Yes, kulemparkan tatapan sinis pada Kak Thomas, membuktikan bahwa tebakannya tadi salah. Jika tahu akan langsung diperbolehkan, aku tak perlu berpikir keras tadi. Tidak perlu melakukan apa pun untuk membujuknya.
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang. Lidahku terjulur saat Kak Thomas melirikku melalui kaca bagian tengah. Dia tertawa, lalu mengangkat kantung hitam yang tadi.
"Aku bungkus tiga porsi soto!" serunya.
Sebelah alisku terangkat naik. "Loh, kok? Kak Thomas makan dua porsi?"
Pria itu nenggeleng. "Karena aku udah tahu dia gak akan nolak kamu." Kini sebuah seringai terlukis di wajahnya.
Sial. Jadi dia sengaja menakutiku tadi. Awas saja. Aku langsung melotot padanya, memasang mimik tak karuan karena kesal. Sementara Kak Vincent yang terlihat kebingungan, memilih untuk tidak ikut menimpali.
Untuk pertama kalinya aku mengetahui Kak Vincent tinggal di mana. Tidak jauh dari kampus, pantas saja Kak Thomas selalu protes setiap aku minta tebengan. Rumahnya cukup besar, agak aneh rasanya jika benar pemiliknya hanya tinggal sendiri.
"Kak, beneran ga ada siapa-siapa di dalem?" tanyaku pada Kak Vincent saat dia mempersilakan diriku masuk.
"Ada Thomas. Kamu liat kan, tadi dia masuk duluan. Udah laper katanya."
Aku membalas senyumnya. Ada yang berbeda darinya. Kalau dulu, Kak Vincent biasanya tidak banyak menjawab pertanyaanku, hanya sesekali mengangguk, atau menjawab dengan singkat. Sekarang, selain lebih ramah, dia juga tersenyum padaku. Dan setiap dia melakukannya, pipiku rasanya panas. Semoga dia juga tidak mendengar degupan jantungku yang mulai bertalu-talu ini.
Sehabis makan, kami hanya duduk santai di sofa ruang tengah. Sambil menunggu Kak Thomas mencuci mangkuk, Kak Vincent menegak beberapa pil obat bersama air, lalu merebahkan punggungnya pada sandaran sofa, matanya terpejam. Wajahnya terlihat lelah sekali. Tanpa sadar, tanganku bergerak sendiri, terangkat untuk menyentuh pipi pria di hadapanku ini. Kulitnya halus, putih dan selembut salju.
Astaga! Kak Vincent berhasil menangkap tanganku sebelum sempat kutarik mundur. Aku terlalu terbuai dan tak menyadari dia sudah menatapku entah sejak kapan.
"Ngapain kamu?"
"Ng ... i-itu, Kak." Mendadak bicaraku jadi gagap begini, seperti ketahuan habis melakukan yang tidak-tidak. Hm, aku hanya menyentuh wajahnya sedikit, kok.
"Ta-tadi ... ada nyamuk." Hanya itu satu-satunya alasan yang ada dalam kepala. Otakku belum sepenuhnya merespon ketika kusuruh berpikir, kekenyangan kadang membuatku jadi sedikit telmi.
Cengkeraman tanganku dilepaskannya perlahan. Mataku terus meneliti wajahnya, kalau-kalau Kak Vincent merasa risi denganku. Ingin rasanya bilang cinta. Semakin aku melihatnya, perasaanku semakin menggebu-gebu.
"Kalo udah mau pulang, bilang, ya. Nanti aku antar," ucap Kak Vincent.
"Emang Kakak udah mau aku pulang?"
Pria itu memicingkan mata ke arahku. "Bukan begitu. Kamu pasti gak bilang ke orangtuamu, 'kan? Gimana kalo papamu jemput ke kampus kayak biasa? Makanya aku harus mulangin kamu sebelum jam pulangmu biasanya."
Lagi, senyumku mengembang begitu sempurna hingga membuat dahi Kak Vincent mengerut heran. "Makasih, loh, Kak. Aku mau telepon Papa ah, biar ga usah jemput. Jadi aku bisa sepuasnya di sini," kataku seraya mengutak-atik ponsel.
"Maksudnya, kamu mau berduaan denganku, Vie? Vincent kan harus istirahat," celetuk Kak Thomas. Dia baru kembali dari belakang.
"Idih," protesku spontan, "aku takut kalo sama Kak Thomas."
"Yee, sori, ya. Aku ngga level sama yang kecil-kecil." Pria berambut hitam legam itu mendaratkan bokongnya di sofa seberang.
"Apanya yang kecil?" Aku siap berkacak pinggang.
"Kelingkingnya."
Aku berdecak, berdiri menghampiri sosok menyebalkan itu. Jari telunjuk dan jempol tangan sudah membentuk gaya mencubit. Kak Thomas meringis, bersiap untuk menghindar.
"Stop di situ!" ancamnya, "Atau kusuruh kau pulang sekarang juga."
"Ini rumah Kak Vincent, ya, bukan rumah Kakak. Aku ngga takut!"
Tawa kami memenuhi seisi ruang tamu. Kak Vincent pun tertawa geli melihat kekonyolan kami. Eh, maksudku kekonyolan Kak Thomas. Dia menyebalkan sekali. Sampai tiba-tiba Kak Vincent mengerang kesakitan. Pelan, namun masih terdengar.
Segera aku kembali pada tempat awalku. Kak Vincent memegangi bagian atas perutnya. Wajahnya tampak mengernyit menahan sakit.
"Sakit, ya, Kak?" Kuletakkan tanganku di atas tangannya.
Ia menggeleng. "Gak apa, kebanyakan ketawa jadi nyerinya kerasa lagi."
"Kak Thomas, sih!" Kulayangkan pandangan menuduh padanya.
"Kok aku? Kamu duluan, lah," sangkalnya.
Kak Vincent tersenyum tipis. "Udah, ah, aku gak bisa ketawa lagi."
Aku melihat Kak Thomas bangkit berdiri. Diulurkan tangannya pada Kak Vincent. "Kupapah ke kamar."
Tangan itu segera ditepis Kak Vincent. "Gak perlu. Nanti aku ke kamar sendiri, tapi gak sekarang."
"Ehem," ledek Kak Thomas, kembali duduk.
Jujur saja, aku tidak bisa mengontrol senyum di wajahku. Mungkinkah Kak Vincent masih ingin bersamaku di sini? Kalau iya, ini sebuah lampu hijau. Bolehkah aku berpikiran seperti itu?
Masih memegangi perutnya, Kak Vincent bertanya, "Kamu bisa geseran ke sana?"
Kepalaku menoleh ke sisi kosong sofa di sebelah kanan. Kak Vincent ingin aku menjauh? Sedikit kecewa, tapi juga tidak mengerti, aku menurut saja. Aku bergeser dua kali tanpa bangkit berdiri.
"Angkat tanganmu," pintanya yang lain lagi.
"Dua-duanya? Untuk apa? Masa aku kayak anak SD lagi disetrap?"
"Cepet."
Suara tawa mengejek terdengar dari seberang. Sorot tajam mataku langsung membungkam mulutnya. Karena Kak Vincent yang meminta, maka kulakukan.
Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja Kak Vincent menjatuhkan kepalanya di atas pahaku! Kaget, sampai-sampai tak terpikir untuk menurunkan kembali kedua tanganku yang masih terangkat. Mataku tak bisa lepas dari sosok yang berbaring menggunakan pahaku sebagai bantalnya ini.
Tiap suara jam di dinding berdetik, setiap itu pula jantungku bertambah kencang berdebar. Kucubit kedua pipiku yang terasa panas, memastikan ini bukanlah mimpi. Reflek aku melihat ke seberang, Kak Thomas hanya diam tanpa ekspresi.
Tidak bisa menahannya lagi, tanganku bergerak membelai kepala Kak Vincent. Setiap jemariku terselip sejumlah rambut kecokelatannya yang halus. Kak Vincent semakin memiringkan kepalanya ke bawah, menyembunyikan rona merah di wajahnya. Padahal, aku sempat melihatnya tadi. Kenapa di saat seperti ini aku malah tak mampu berkata-kata?
"Vie," panggil Kak Vincent, memecah kecanggungan.
"Ya?" jawabku cepat. Debaran jantungku kembali meningkat. Otakku terus mengira-ngira apa yang akan dikatakannya. Sebuah pernyataan cinta, misalnya.
"Kenapa, Kak?" tanyaku lagi karena pria itu memberi jeda terlalu lama.
"Mulai sekarang, kamu harus banyak makan."
Sedikit tersentak, aku berusaha mencerna ucapan Kak Vincent. "Kenapa gitu?"
"Soalnya, paha kamu keras."
Ledakan tawa Kak Thomas kembali menguasai ruangan. Frekuensi suaranya seolah merambat melalui tembok dan sampai persis di telingaku. Dasar perusak suasana!
Namun, ada satu hal yang kuketahui. Sesuatu yang membuat kepercayaanku melambung tinggi, guratan senyum di wajah Kak Vincent yang tak kunjung memudar, terlukis menggantikan ekspresi malu-malunya. Aku senang, sepertinya dia mulai membuka hatinya untukku. Semoga saja. Hari ini, keinginan untuk memiliki dirinya semakin besar.