Chapter 30 - Chapter 29 - Terapi Cinta

PoV: Vincent

Anda

Udah sampe rumah?

Olvie

Udah dari tadi, Kak. :)

Anda

Maaf, aku ketiduran.

Olvie

Gak apa, Kak. Kak Thomas nganter aku dengan selamat sentosa kok. Hehe

"Kenapa kamu gak bangunin aku, sih?" protesku pada Thomas yang sedang asyik sendiri menonton Youtube.

Melihat ke arahku sebentar, lalu mata Thomas kembali fokus pada layar ponsel. "Udah, tapi kayaknya pules bener."

"Bohong."

Dia seharusnya tahu aku tidak mudah tertidur pulas. Suara sekecil apa pun dapat membuatku langsung terjaga. Belum lagi mimpi buruk yang masih sering hadir menemani hampir setiap malam. Tunggu, akhir-akhir ini rasanya aku tidak pernah mengingat mimpi itu lagi.

"Suer." Thomas mengangkat sebelah tangan sambil memperagakan gaya bersumpah.

Dahiku mengernyit, heran.

"Kenapa? Kamu ngga percaya?" Dia melemparkan pandangan menuduh ke arahku. "Sama, aku juga."

"Baru kali ini aku liat kamu tidur senyenyak itu, hanya karena seorang Olvie," lanjutnya.

Aku terdiam. Lalu mencoba mengingat kembali apa yang dilakukan gadis itu sebelum aku benar-benar tertidur. Seingatku, Olvie hanya memainkan rambutku saja. Sesekali mengobrol dengan Thomas, lalu aku merasa mengantuk. Ah, iya. Ada satu perasaan baru dalam dada, tapi aku tak yakin menyebutnya.

"Kamu merasa nyaman, 'kan?" tanya Thomas, seolah dapat mendengar isi pikiranku.

"Nyaman?"

Thomas mengangguk. "Jelas banget."

"Kayak aku ke kamu?" tanyaku memastikan.

"Ck, ya enggaklah, beda. Olvie cewek, aku cowok. Aku temen, Olvie juga temen sih ... tapi rasa pacar." Thomas terkekeh geli mendengar ucapannya sendiri. "Gimana kalo jadi pacar beneran?"

Sebelah alisku terangkat naik. "Aku ... ngga yakin."

"Kenapa? Masih ngerasa dirimu nggak layak? Nggak pantes dicintai?" cerca Thomas. Kini binar matanya menyorot ke arahku, mengabaikan tayangan Youtube di ponselnya yang terus berjalan.

Inilah alasan kenapa aku tidak suka membahas masalah pribadiku padanya. Dia selalu saja menyudutkanku seperti itu, membuatku tak ingin membahasnya lebih jauh. Setiap kuutarakan isi hatiku, Thomas akan membalasnya dengan argumen, lalu mencerca dengan berbagai pertanyaan.

"Aku cuma belum siap," lirihku.

Kembali berdecak, Thomas menekan pause video di ponselnya. Suara berat milik seorang youtuber familiar itu tak terdengar lagi. "Aku bosen dengernya. Olvie belum tentu mau nunggu kamu, Cent. Kalo terus-terusan belum siap, keburu ditikung, tau."

Aku menghela napas gusar. Mendadak merasa khawatir. "Tom, apa kamu pernah merasa kehilangan? Apa kamu tau gimana rasanya ditinggalin sama orang yang kamu sayang?"

Tatapan mataku belum berpaling darinya, menunggu respon, tapi Thomas terlalu lama memberi jeda.

"Aku gak mau ngerasain itu lagi," imbuhku seraya menundukkan kepala. "Gimana aku bisa jatuh cinta kalo aku sendiri takut untuk jatuh?" Nada suaraku terdengar merendah. Aku tak peduli Thomas dapat mendengarnya atau tidak.

Aku menoleh dan mendapati Thomas telah berpindah duduk di sebelah kiriku. Dia menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya kasar.

"Gimana kamu bisa takut kalo dicoba aja belum? Khawatir akan sesuatu yang belum pasti terjadi itu cuma nyiksa diri sendiri. Kamu tau, Deddy Corbuzier pernah bilang, satu-satunya cara melawan rasa takut adalah dengan menghadapi rasa takut itu sendiri!" tegasnya.

Lihat, aku sudah tahu dia akan menentang setiap ucapanku. Tak bisakah cukup mengiyakan dan bilang bahwa dia mengerti saja? Melawan rasa takut ... bagaimana jika yang kutakutkan adalah sebuah kebenaran? Kamu senang melihatku semakin terluka, Tom?

"Ya," jawabku singkat. Kurasa cukup untuk mengakhiri percakapan ini.

Thomas tertawa sarkastis. "Pikirin baik-baik. Kalo masih belum ada kemajuan, aku yang akan maju."

"Maju apa?" tanyaku tidak mengerti.

"Membuat Olvie berpaling padaku."

Kontan mataku mendelik pada Thomas bersamaan dengan posisi dudukku yang langsung menegak. "Ka-kamu ...."

"Bercanda." Wajahnya yang semula serius beralih tertawa. Namun, tawanya terdengar hambar.

Thomas beringsut bangun, meninggalkan diriku yang masih tertegun, berusaha mencerna guyonannya barusan. "Aku mau mandi, udah sore." Lalu dia hilang di balik pintu kamar.

Kuusap wajah dengan kedua tangan, lalu mengacak rambut. Tak habis pikir ucapan Thomas tadi menetap dalam kepalaku, disusul dengan saran Dokter Elios yang aku sendiri tidak yakin ia serius atau sekadar bercanda.

Aku sudah selesai mandi dan bersiap, sedangkan Thomas belum juga keluar dari di kamar mandi. Kamar mandi luar menjadi tempat favoritnya bersemayam. Maksudku, nongkrong sambil menghisap gulungan tembakau, benda yang sangat kubenci.

Kuketuk pintu itu tiga kali dengan tempo cepat, lalu yang di dalam menyahut. "Tom, aku keluar dulu, ya."

"Ke mana?" serunya dari dalam.

"Ketemu Dokter Elios, ada yang mau kubicarakan."

"Ada apa? Mau kutemani? Ini belum jadwalmu check up rutin, 'kan?" Terdengar suara flush air. Sepertinya Thomas segera menyudahi kegiatannya.

"Gak usah, Tom. Lanjutin aja buang hajatnya, aku pergi!" kataku seraya meninggalkan kamar mandi.

***

Atap yang tinggi, lantai marmer putih mengilatkan sorot cahaya lampu yang tergantung di langit-langit, nuansa warna mocha-putih terlihat di sepanjang dinding ruang tunggu sampai ke koridor. Tempat ini sudah terasa seperti rumah kedua bagiku. Tidak sedikit pekerja di sini mengenalku.

"Vincent, tumben sendirian?" sapa seorang wanita di balik meja resepsionis. Senyumannya memancarkan aura teduh bagi siapapun yang melihatnya.

Kubalas dengan senyum seraya menghampiri. "Dokter Elios sibuk gak, Bu?"

"Dokter Elios lagi keluar makan, Dek. Malam ini banyak janji temu pasien, jadi makan malam lebih cepet," jelas ibu penjaga penerima tamu itu, yang kujawab dengan anggukan singkat.

"Mau tunggu di ruangan Dokter Elios? Saya antar," tawar seorang suster di sebelah wanita tadi. Tetiba sebelah matanya mengerjap padaku.

Spontan ibu di sampingnya segera menyikut. "Kamu pikir Vincent baru pertama kali ke sini?" Suster itu tertawa, lalu saling sikut-sikutan.

Aku ikut tertawa. "Suster Nana dan Bu Asih udah makan?" tanyaku, masih mengembangkan senyum. "Hari ini menu di kantin apa?"

Kontan Suster Nana menggeleng antusias, menggoyangkan cepolan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan. "Belum. Kamu mau ajak kita makan?" Binar matanya ceria.

Baru saja hendak kujawab, suara Bu Asih menahanku. "Itu Dokter Elios." Ia mengarahkan rahangnya ke arah pintu masuk utama.

Seorang pria paruh baya tanpa jas putih yang biasa ia kenakan, masuk. Dokter Elios belum melihatku sampai aku memanggilnya.

"Loh, Vincent, tumben," katanya alih-alih menyapa.

Aku segera berbalik kembali ke meja panjang di belakangku. "Ah, maaf, lain kali, ya."

Seketika raut wajah Suster Nana berubah. Binar cerianya seolah menguap ke udara, bibirnya kini mengerucut sambil memicing ke arah Dokter Elios. Sedangkan Bu Asih menertawakannya.

"Makanya, jangan ngarep," ledek Bu Asih.

Kusatukan kedua telapak tangan tanda permohonan maaf sambil pamit berlalu, mengikuti Dokter Elios menuju ruangannya. Pria paruh baya itu langsung merengkuh pundakku. Ia tidak memperlakukanku seperti seorang pasien, malah seperti teman, bahkan di depan orang lain pun begitu. Wajar saja jika para perawat juga mudah akrab denganku.

Kutarik kursi dari bawah meja. Rodanya sedikit berdecit ketika kudorong kembali mendekat meja usai mendudukinya.

"Jadi, apa keluhanmu, Vincent? Lukamu masih kerasa nyeri?" Dokter Elios memulai pembahasan. Ia meraih jas kebangsaannya yang menggantung di samping lemari, lalu memakainya sebelum duduk di hadapanku.

Aku menggeleng. "Udah baikan."

"Lalu?" Ia mendorong ke atas kacamata tebal yang merosot pada batang hidungnya.

Helaan napas dalam sempat tertahan sepersekian detik sebelum kuhempas kembali. "Itu ... mengenai saran waktu itu."

"Saran yang mana?" tanyanya karena tak mendengar kelanjutan ucapanku.

"Soal terapi." Mendadak pandanganku beralih ke bawah, menggoyangkan kaki kanan dengan cepat. Rasanya malu sekali membahas hal ini.

"Terapi?" Nada pertanyaannya terdengar bingung, sementara mataku masih belum mampu menatapnya.

Tidak butuh waktu lama, Dokter Elios menepuk kedua telapak tangannya. Suara yang dihasilkan sempat membuatku tersentak.

"Soal terapi cinta?" tanyanya memastikan.

Kenapa pula ia menyebutnya sebagai terapi cinta? Kata itu malah terdengar menggelikan. Kupejamkan kedua mataku dengan kuat, lalu kembali menghela napas panjang. Kupaksakan mengangkat kepala, menatap lekat dokter yang sedang tersenyum aneh tepat di hadapanku ini.

"Kayaknya aku mau coba."

"Coba apa?" Dokter Elios menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil melipat tangan di depan dada.

Netraku menangkap senyum jahil terlukis di wajahnya. Meski tahu ia sedang menggodaku, aku tetap menjawabnya. "Terapi ... cinta," desisku, hampir-hampir tidak terdengar.

Dokter Elios tertawa singkat, tapi terdengar tertahan, seperti keceplosan tertawa. Aku tidak peduli. Lagipula, sudah biasa ia memperlakukanku seperti itu.

Kemudian Ia berdeham beberapa kali, pasti sedang menetralkan tawanya. Yang bisa kulakukan hanya menunggunya mengatakan sesuatu tentang 'terapi cinta' yang ia maksud.

"Ini sebuah kemajuan buatmu, Vincent." Akhirnya pria paruh baya itu angkat bicara. "Langkah pertama adalah dengan memberanikan diri untuk memulai. Keputusan yang tepat."

Bibirku tersenyum samar.

"Oh, pantes aja kamu gak ajak Thomas." Dokter Elios mengangguk-anggukan kepala, bak Conan Edogawa yang mulai paham akan situasi.

"Bukannya Dokter bakal banyak pasien sebentar lagi? Bu Asih bilang begitu tadi. Gimana kalo langsung to the point aja, Dok?" Segera kualihkan pembicaraan.

Ia berdecak. "Dasar."

Kembali menaikkan bingkai kacamata, Dokter Elios mencondongkan badannya ke depan, lebih dekat ke arahku. "Seperti yang saya bilang kemaren, kamu hanya perlu bahagia. Dan kebahagiaan itu cuma bisa diciptakan dari dirimu sendiri. Kamu harus mengubah mindset yang tertanam di kepalamu selama ini."

"Seperti?"

"Lupakan masa lalumu. Saya paham masa lalu itu masih menjadi momok yang menakutkan sampe sekarang. Buka lembaran baru. Lihat ke depan, dan jangan pernah nengok lagi ke belakang." Dokter Elios menatapku dengan begitu serius. Bahkan matanya tidak berkedip. "Di depan ada saya, ada Thomas, bahkan sekarang ada cewek yang namanya Olive itu."

"Olvie," ralatku. "Kedengarannya mudah. Tapi masa lalu itu tetap bagian dari diriku. Kenyataan yang pernah terjadi. Masa lalu itu gak membiarkan aku bahagia, Dok," lirihku.

Dokter Elios tersenyum. "Kamu salah, Vincent. Kamu sendiri yang menutup pintu hatimu di saat kebahagiaan itu sudah berdiri tepat di ambang pintu. Kamu yang ngga membiarkannya masuk. Makanya saya bilang, ubah cara pikirmu."

"Tapi gimana caranya?" Aku menuntut.

"Sekarang saya tanya duluan. Gimana caranya kamu bisa ke sini dan memutuskan untuk mengikuti saran saya? Bukannya sampai kemaren kamu menutup mata dan menganggap saya hanya berguyon aja?"

Ah, benar juga. Sekeras apa pun aku berpikir, tak kutemukan jawabannya. "Aku gak tau, Dok. Aku cuma mau nyoba, meski sebenernya aku juga gak yakin."

"Kalo gitu, lakukan hal yang sama. Gak usah pikirin alasan, gak usah pikirin gimana caranya. Lakukan semua yang ingin kamu lakukan. Kamu bisa mulai dari sekarang. Oh, bukan. Kamu udah memulainya. Tatap aja apa yang ada di depanmu, yang di belakang lupakan." Pria itu menyunggingkan sebuah senyum tipis.

Kedua tanganku mengepal, meremas ujung sweater putih yang kukenakan. "Tapi, Dok—"

"Apa lagi?" Dokter Elios menginterupsi kalimatku.

"Aku akan coba menutup mata dengan masa laluku. Tapi ucapan Mama ...." Kubiarkan kalimatku menggantung. Kepalaku tertunduk.

Kami sempat saling terdiam beberapa saat, sampai dokter itu menanyakannya. "Kalimat apa yang diucapkan Anna yang masih membekas di pikiranmu sampe sekarang?"

Tubuhku seolah bereaksi saat mendengar nama Mama diucapkan dengan tegas. Pandangan matanya berangsur teduh. Aku merasa ia sedang menatapku iba. Dan aku tidak menyukai situasi semacam ini.

"Mati. Aku ngga pantes hidup. Aku ngga layak bahagia. Aku ... cuma pembawa sial." Nada suaraku bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir. "Aku merusak hidup Mama. Kalo aja aku ngga ada—"

"Stop di situ," potongnya.

Meski pandanganku kosong menatap lurus ke depan, aku bisa melihat Dokter Elios melepas kacamata dan memijat batang hidungnya. Mulutnya meracaukan sesuatu.

Aku ... ingin menangis sekarang juga. Bagaimana bisa melupakan itu semua? Bagaimana bisa memulai lembaran baru di saat kalimat-kalimat itu terus merengkuh diriku, mendekap semakin erat?

"Vincent, dengar baik." Suara Dokter Elios membawa pikiranku kembali.

Ia menyeret roda kursi hingga berpindah ke sampingku. Digenggamnya tanganku yang bergetar, masih mengepal, menahan segala emosi yang bergejolak di dalam dada.

"Lihat saya," titahnya lembut.

Kutolehkan kepala ke samping, menatapnya dengan mata yang mulai digenangi air.

"Semua yang dikatakan ibumu itu gak bener. Kamu layak bahagia. Kamu pantas hidup layaknya pria seusiamu. Buka matamu, sebentar aja. Ada banyak orang-orang yang menyodorkan tangannya padamu, kan? Raih, Vincent. Raih setiap tangan-tangan yang terulur. Mereka akan membawamu pada kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan."

Aku menelan saliva. Rahangku mengeras, berusaha sekuat mungkin menjaga agar air mata tidak tumpah. Tangan siapa yang terulur padaku? Lalu bagaimana dengan Mama? Aku merasa Mama masih menahan tanganku, menghalangi untuk menggapai segala sesuatu yang membuatku melupakannya.

"Dok ...."

Tidak bisa. Aku ingin mengatakan bahwa aku ingin meraih setiap tangan itu. Aku mau bilang agar Dokter Elios menolongku melepaskan genggaman Mama dari tanganku dan merengkuh tubuhku. Tapi aku akan menangis sejadi-jadinya jika aku membuka mulutku lebih dari ini.

Tak mendapat jawaban lagi dariku, Dokter Elios melanjutkan, "Kamu tahu, Anna udah berkeluarga. Dia punya anak lagi. Mereka bahagia. Wanita itu gak pernah ganggu kamu lagi. Bahkan, memikirkanmu aja nggak. Kenapa kamu terus menyiksa diri sendiri kayak gini? Kalau ibumu bisa melupakanmu, kamu juga harus bisa."

Pria paruh baya itu mendekatkan kepalanya padaku, mengintip wajahku yang semakin merunduk. "Ya?" bujuknya lembut.

Aku tidak menjawab. Fokusku kini melawan gejolak emosi, menjaga agar tidak terlihat lemah. Aku kan sudah berjanji akan menang. Pada setiap embusan napas yang tak karuan, aku membuang pikiran-pikiran negatif yang telah memenuhi isi kepalaku.

Kembali kudengar roda kursi bergeser. Mungkin Dokter Elios sudah menyerah dan akan kembali ke tempatnya.

"Vincent," panggilnya. Suara itu masih terdengar di sisi kiriku.

Usai mengembuskan satu tarikan napas panjang, aku kembali menoleh perlahan. Di sanalah, sebuah tangan terulur padaku. Tangan yang terbuka lebar milik Dokter Elios.

"Raih tanganku, Vincent." Suaranya yang lembut menyeruak ke dalam hatiku.

Selama beberapa detik aku hanya memandang nanar tangan itu saja. Batinku terus bertanya, apa yang akan terjadi jika aku menggapai tangan itu? Tapi Dokter Elios menggoyangkan pergelangan tangannya, memberi tanda agar aku segera meraihnya.

Meski ragu, meski tak yakin, meski tanganku tidak berhenti bergetar, aku meraih tangan itu. Seketika air mata jatuh tanpa permisi, luruh begitu saja. Segala perasaan yang sejak tadi kutahan seolah tumpah, menguar ke seluruh penjuru ruangan. Untuk pertama kalinya aku menangis dan merasa lega secara bersamaan.

Kehangatan dari genggaman tangan Dokter Elios menjalar sampai ke dada. Aku merasa seperti lahir baru, seperti terlepas dari rantai yang membelenggu sepanjang hidupku. Ia mendekapku, mencengkeram erat bahuku. Aku mendengar ia membisikkan sepatah kata. Maaf, katanya. Kata itu tidak kuindahkan karena luapan emosi yang begitu besar menguasai diriku.

Setelah merasa tenang, pria itu melepas dekapannya. Aku mencoba mengatur napas yang tersenggal, lelah sehabis menangis. Mataku melirik Dokter Elios, ia melepas kacamata tebal itu dari wajahnya, lalu buru-buru mengusap mata dengan punggung tangan. Matanya memerah.

Dering telepon di atas meja memecah suasana. Dokter Elios segera mengangkat gagang telepon dan menjawab panggilan. "Sebentar, nanti saya telepon lagi kalo udah selesai."

Ah, pasti sekarang sudah waktunya Dokter menemui pasiennya. Aku melirik jam dinding di samping AC. Sejak kapan waktu bergulir secepat ini?

"Dok," ucapku usai merasa lebih baik, "kayaknya waktu konsultasiku udah abis, ya. Pasien yang lain pasti udah nunggu. Aku pulang aja."

Tangan Dokter Elios menahanku. Ia bergegas mengambil stetoskop dari atas meja. "Gak apa-apa. Saya masih punya waktu untuk kamu."

Dipasangkannya stetoskop itu di telinga, lalu meletakkan ujung benda itu di dadaku selama beberapa detik, berpindah dari sebelah kiri ke kanan.

"Coba, tarik napas pelan-pelan." Aku mengikuti perintahnya. "Berbalik," titahnya lagi. Ujung stetoskop kini berada di punggungku. "Tarik napas lagi."

Usai 'bermain' dengan benda itu, Dokter Elios menekan dua jari tangannya di pergelangan tangan kiriku. Wajahnya serius sekali ketika fokus menghitung denyut nadiku, menyandingkan dengan suara detik jam dinding yang terdengar jelas di kala hening seperti ini.

Menit berikutnya, Dokter Elios menyibak sweaterku ke atas. Dengan cermat, ia mengamati sisa-sisa luka lebam di tubuhku. Lalu, menekan perlahan beberapa titik lebam dengan jarinya.

"Sakit gak?" tanyanya.

"Nggak," jawabku singkat. Sebenarnya, masih terasa sedikit sakit sewaktu Dokter Elios menekan bagian perut, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga mampu kutahan dengan mudah.

Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas. "Aku baik-baik aja, Dok."

Ia mengangguk. Kemudian, Ia kembali meneliti ekspresiku. "Masih ada sesuatu yang mengganjal hatimu, Vincent?"

Aku segera menggeleng. "Kenapa Dokter memperlakukanku dengan sangat baik?"

Dokter Elios tersenyum, tanpa memperlihatkan gigi. Ia sempat mengusap rambutku sebelum menjawab. "Pertanyaanmu aneh. Udah berapa lama kamu dalam pengawasan saya?"

Bola mataku berputar ke atas, mencoba menghitung tahun di langit-langit ruangan. Sesekali menarik ingus yang masih tersisa di hidung. "Lebih dari sepuluh tahun."

"Selama itu juga saya merawat kamu, intens. Saya cukup mengenal kamu, bahkan lebih dari dirimu sendiri. Saya tau gimana kamu dibesarkan, juga seluk beluk keluargamu," terangnya. Lagi-lagi sorot matanya terlihat teduh.

Aku membalas senyumnya. "Makasih, karena udah menjagaku selama ini."

Pria itu terkekeh. "Apaan, sih. Kedengerannya kayak ucapan perpisahan aja. Jangan bilang begitu. Kamu itu udah saya anggap kayak anak sendiri. Kamu tau, mungkin hati saya yang paling terluka setiap melihat kamu sakit, terutama saat kamu menyakiti dirimu sendiri."

Kilatan maniknya berubah saat mengatakan hal itu. Aku bisa melihat kebenaran dalam sorot matanya, menembus jauh ke dalam mataku. Mendadak aku merasa bersalah padanya.

"Dokter tetep akan bantu aku, 'kan?"

"Pasti. Saya gak akan lepasin tuntunan tanganmu, seenggaknya sampe kamu bisa jalan sendiri nanti. Saat ini kamu kayak balita yang baru bisa berdiri," ledek Dokter Elios. Mendengar kembali guyonannya, sekonyong-konyong perasaanku membaik.

Kutunjukkan senyum terbaikku hari ini, yang dibalasnya kembali.

"Jadi, mau saya resepkan tips menembak cewek yang berkesan dan bikin baper?" tanyanya gamblang.

Aku langsung mendengkus. "Aku bisa cari sendiri di Google." Lalu beranjak dan bersiap meninggalkan ruangan.

"Hei, mau ke mana? Terapi cintanya kan belum dimulai," godanya lagi.

Berpura-pura tak mendengar, kulambaikan tangan berpamitan dan melangkah menuju pintu.

Dokter Elios kembali berseru, "Tips pertama, jangan tembak Olvie cuma lewat HP!"

Tawa geli lolos dari bibirku. Ada-ada saja Dokter Gaul ini. Seperti anak muda padahal sudah beranak tiga.

Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, aku kembali membalikkan badan. "Terima kasih, Dok, karena udah jadi orang pertama yang mengulurkan tangan padaku," ucapku dengan penuh rasa syukur.

Dokter Elios mengangguk. Melihatnya tersenyum seperti itu, hatiku terasa damai.