PoV: Thomas
Semburat jingga di langit barat sedikit terhalang oleh awan gelap. Bau hujan menguar melalui angin yang berembus, tapi aspal masih kelihatan kering.
Beberapa pria di sampingku mulai beringsut pergi seiring langit menggelap, tapi aku sendiri enggan beranjak pulang. Pesan teks yang kuterima dua jam lalu membuat diriku tak bisa berhenti bergumul.
Aku mendesah panjang, menatap langit, mencoba menerka kapan hujan akan turun. Menit berikutnya, tetesan air jatuh membasahi jalan. Langit mendung seketika berubah menjadi lebih gelap. Pohon-pohon bergerak-gerak tertiup angin. Burung-burung beterbangan dengan kalut, tidak sabar ingin segera sampai ke sarang masing-masing sebelum badai menerpa.
Segera aku menyesap sisa kopi hitam yang tinggal sedikit, merogoh lembaran uang kecil dari saku celana, lalu menyerahkannya kepada sang pemilik warung. Sebelum benar-benar terjadi badai, motor yang kukendarai melesat menembus terpaan angin.
"Udah ujan, ya?" tanya Vincent begitu aku tiba di rumah.
Kulepas jaket yang sudah terasa lembab, lalu menggantungnya di belakang pintu. "Gerimis," jawabku.
Masih sama seperti saat kutinggal keluar, Vincent sedang fokus berkutat di depan laptop, di sofa ruang tengah. Beberapa lembar kertas binder tercecer di atas meja. Dia tidak merespon saat kubilang akan mandi. Rupanya sedang dalam mode serius.
"Masih belum selesai tugasnya?" tanyaku sembari menggosok-gosok rambut yang basah dengan handuk, usai mandi.
"Udah, kok. Kamu salin punyaku aja." Dia menyapu kertas-kertas itu dengan tangan, menyusunnya kembali menjadi satu kesatuan. "Tapi kamu tetep harus belajar, Tom. Seminggu lagi udah UAS."
Hm, UAS? Baru beberapa saat aku sempat melupakan pergumulan tadi, mendadak kata itu seolah menyuruh otakku memikirkannya kembali. Aku tidak menjawab. Pikiranku sedang meyakinkan diri tentang keputusan yang sudah kubuat tadi.
"Tom," panggil Vincent, "kok bengong?"
"Hah?" Seketika pikiranku yang melayang langsung kembali. Kedua tanganku masih menggenggam masing-masing ujung handuk kecil yang menggantung di leher. Kuletakkan benda itu pada jemuran lipat di belakang, lalu kembali ke ruang tengah.
Tanpa sadar, helaan napas gusar lolos dari mulutku seraya mendaratkan bokong di sofa, mengundang atensi Vincent padaku. Meski dia tidak bertanya apa pun, tatapan matanya sudah mewakili.
"Kayaknya ... aku harus cari kerja sampingan," tuturku.
Dahi Vincent mengernyit. "Kok mendadak?"
"Tadi sore bapakku baru ngabarin. Katanya kondisi di kampung lagi kurang bagus. Banyak kebon yang gagal panen karena lagi marak ulah oknum-oknum gak bertanggungjawab." Kembali mengehela napas, membiarkan jeda tercipta sebelum kembali melanjutkan. "Intinya, Bapak cuma bisa transfer setengah buat bayaran semester depan."
Vincent tampak menggangguk kecil. "Kamu mau kerja apa, Tom? Kayaknya susah ngebagi waktu dengan kuliah yang jamnya gak selalu sama setiap hari."
"Iya, sih. Apa pun, deh. Jaga SPBU tah, kasir minimarket kek, atau operator warnet juga ga masalah. Cuma kerjaan macem gitu yang bisa kusesuaiin sama jam kuliah," jawabku.
"Aku kurang setuju. Minggu depan udah UAS. Kamu gak akan punya waktu untuk belajar. Kalo nilai UAS-mu jelek, gimana semester pendekmu?"
Yang dikatakan Vincent benar. Aku sedang mengejar semester pendek. Akhir-akhir ini bahkan aku banyak bolos. Jika sampai nilaiku jelek juga sepertinya aku harus mengubur tuh yang namanya semester pendek.
Mendesah lagi, kubanting punggung pada sandaran sofa. Aku sadar ekspresiku wajahku saat ini menyedihkan. Kalut dan gusar sedang menguasai diriku bersamaan.
Tiba-tiba Vincent tertawa kecil. Spontan mataku memicing ke arahnya.
"Gak usah khawatir gitu, ah. Nanti aku bayarin sekalian. Chat nomor NPM-mu," katanya. "Oh, iya. Mau sekalian bayar skripsi? Semester depan kamu ambil mata kuliahnya, 'kan?"
Hatiku tersentuh mendengarnya. Namun, aku tidak bisa serta merta menerimanya begitu saja. Aku tahu niatan Vincent tulus, tapi tetap saja, aku sudah banyak merepotkannya.
"Jangan. Pokoknya jangan. Besok aku bakal cari kerja," tegasku.
"Tom ...," panggilnya. Matanya menatap tajam mataku. "Kamu gak kangen sama orang tuamu? Fokus aja sama IPK, kejar semester pendek, dan sesuai targetmu tahun depan kamu bisa pulang."
Napasku tertahan di dalam rongga dada. Memang itu yang selalu kukatakan padanya. Dengan semangat dan antusias, aku percaya akan lulus lebih cepat dari yang lain. Tapi itu dulu, sebelum aku benar-benar mengenalnya. Sekarang, bagaimana bisa aku bilang akan segera pulang dan tidak akan pernah kembali lagi ke sini?
Kepalaku tertunduk. Jujur saja, aku sedang galau. Aku seperti sedang dihadapkan dengan dua pilihan: kejar IPK tinggi dan segera kembali pada orang tua, atau melupakan semester pendek dan tinggal lebih lama di sini.
Aku sudah berjanji akan membanggakan orang tuaku dengan cumlaude, lalu mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa membiarkan sahabatku kembali menjadi dirinya yang dulu. Aku merasa harus membalas segala kebaikan yang telah kuterima darinya.
"Iya, tapi ... aku gak enaklah. Udah tinggal numpang, dikasih makan enak, dipinjemin mobil, terus sekarang masa aku minta kamu bayarin semester juga? Gak punya malu banget, ya. Ckckck, dasar Thomas ... Thomas ...." Aku menggeleng sambil merutuki diri sendiri.
Tak kusangka Vincent memukul pahaku. "Kamu gak minta. Aku yang mau, kok. Lagian, kamu udah bayar semuanya kembali."
Sebelah alisku terangkat, bingung. "Kapan?"
"Setiap hari," jawabnya singkat.
"Maksudnya?"
"Kamu selalu bantu aku, Tom. Kamu tau kan kalo aku aneh, sakit-sakitan juga. Kalo itu orang lain, aku yakin mereka gak ada yang bersikap kayak kamu." Nada suaranya terdengar merendah. "Eh, bukan berarti itu bisa digantiin sama materi. Bagiku, sahabat kayak kamu gak sebanding dengan uang."
Aku tersenyum melihat Vincent agak kebingungan menjelaskan, takut aku salah paham. "Iya, aku ngerti, Cent." Dan itu justru yang membuatku sulit meninggalkannya sendiri lagi.
Vincent balas senyum. "Jadi, gapapa kan aku bayarin? Aku gak bermaksud ngerendahin kamu atau gimana, Tom. Aku cuma mau bantu kamu meraih apa yang jadi cita-citamu."
Napasku kembali terhempas keras. Haruskah kuiyakan? Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang pasti, malu rasanya menerima begitu saja.
"Yaudah, kalo kamu masih ngerasa ga enak. Kamu boleh cicil sebisamu, kapan pun," kata Vincent lagi.
"Beneran?" Mendadak wajahku semringah. Bisa saja dia menghilangkan perasaan tidak enak yang mengganjal hatiku. Kalo begini kan aku tidak terlalu merasa terbebani.
Vincent mengangguk cepat. "Skripsinya juga, 'kan?" tanyanya lagi, memastikan.
"Iya. Kamu juga ambil, Cent?"
Dia menggeleng, kemudian tersenyum simpul. "Aku belum bisa ngambil skripsi. Ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang karena absensiku gak cukup."
Sedikit kecewa sebenarnya. Itu artinya, mulai semester depan kami akan banyak berada di kelas yang berbeda. Tapi aku paham, bukan maunya Vincent juga selama semester ini ia banyak tidak masuk kelas. Kesehatannya lebih penting.
"Makasih, Cent," ucapku.
Dia hanya membalas dengan gerakan tangan membentuk simbol OK, lalu membereskan laptop dan tumpukan tugas dari atas meja.
"Cent, aku boleh tanya sesuatu?" Kuberanikan diri bertanya. Sesuatu yang selama ini membuatku penasaran.
Ia hanya menoleh sekilas. "Apa?"
"Kamu dapet uang dari mana? Bukannya orang tuamu udah ngga peduli lagi?" tanyaku. Semoga tidak terdengar gamblang. Bahkan benar apa yang dikatakan Olvie, saat anaknya dirawat di rumah sakit pun tidak ada yang datang.
Mendadak tangannya berhenti bergerak, ia sedang memasukkan laptop ke dalam tas. Tak berkedip mataku menelaah ekspresinya yang mendadak kaku.
Vincent mengganti posisi duduknya, kedua kakinya naik ke sofa dan bersila. Dia membalas tatapanku. "Kayaknya aku udah siap untuk jujur." Bibirnya mengulas sebuah senyum.
Kugaruk tengkuk meski tak gatal. "Soal apa?"
Satu tarikan napas panjang berembus darinya, lalu kembali bercerita. "Kayak yang kamu tau, kasarnya ... aku anak haram. Tapi bukan berarti aku gak punya ayah kandung, 'kan?"
Seketika hatiku berdesir mendengarnya. Aku ingin langsung melontarkan bermacam pertanyaan, tapi mendadak lidahku kelu. Akhirnya, aku hanya terdiam, mendengarnya bercerita lebih banyak.
"Selama ini Ayah yang membiayaiku. Walau gak pernah dateng sekalipun, sesekali dia nanya kabar lewat sms. Aku tau Ayah cuma basa-basi, kadang nanya apa uang yang dikirim kurang." Vincent melepas pandangannya dariku. "Padahal, aku inginnya Ayah sesekali juga dateng."
Tak mendengar sepatah kata pun dari mulutku, ia kembali menatapku, kali ini sambil mengulas senyum. Mata itu berbeda. Tidak ada kilatan kaca akibat genangan air yang membendung matanya; tidak ada bibir yang bergetar menahan tangis; tidak ada napas yang berderu menahan emosi. Vincent sudah berubah. Dia jauh lebih tegar dari yang kukenal dulu.
"Kamu pernah ketemu ayah kandungmu?" Akhirnya satu pertanyaan lolos.
"Aku gak yakin. Yang kutau dari Bi Yati, ayah kandungku itu pamanku sendiri, kakak dari Papa. Bahkan waktu SMP aku denger sendiri mereka ribut, saling melempar siapa yang akan membawaku pergi."
Yang benar saja. Jadi ibunya berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri, begitu? Lalu setelah anaknya lahir, tidak ada yang mau mengurus?
"Kenapa kamu ngga ikut ayah kandungmu?" tanyaku lagi.
"Sama kayak Mama, Ayah udah punya keluarga, dan keluarganya ngga bisa nerima aku. Daripada tinggal sama Mama, aku minta sama Ayah supaya aku bisa keluar dari rumah itu. Dan Ayah membeli rumah ini."
Satu per satu aku mulai paham latar belakang yang selama ini ia sembunyikan. Aku tidak bisa membayangkan hidup sebagai Vincent. Dari kecil aku sudah dimanjakan dan diperlakukan dengan sangat baik. Untuk merantau ke sini saja orang tuaku sempat melarang. Tidak ingin jauh-jauh, katanya.
Sejenak, kami sama-sama terdiam. Hanya suara detakan jam dinding terdengar berirama. Sampai suara petir memecahkan situasi canggung seperti ini. Disusul listrik yang tiba-tiba padam. Detik berikutnya, suara hujan deras mengguyur atap rumah.
Bergegas kunyalakan lampu flash dari ponsel. Vincent sudah meringkuk di sofa, menenggelamkan kepalanya di antara lutut. Aku menjadi was-was, cemas jika dia kambuh seperti dulu karena aku memancingnya.
"Kamu ngga apa-apa, Cent?" Satu tanganku menepuk pundaknya.
Meski tak mengangkat kepalanya, Vincent menggeleng. "Kamu tau apa yang paling kutakuti selain kolam renang?" Suaranya sedikit teredam.
"Apa?"
"Sekarang. Gelap, hujan, dan gemuruh. Waktu itu juga kayak gini, saat Mama mencoba menenggelamkanku di kolam," ucapnya pelan.
Aku mendekat, mengusap punggungnya berulang kali. "Nggak apa-apa, Cent. Ini aku, Thomas, bukan mamamu."
Vincent mengangkat kepalanya perlahan, memicingkan mata dalam remang cahaya. "Aku tau."
Refleks bibirku tersenyum begitu melihatnya melakukan hal yang sama. Dia benar-benar sudah bisa mengendalikan trauma yang selama ini menghantuinya, sepertinya. Syukurlah jika memang benar demikian.
"Tolong periksa meteran di depan, Tom. Liat, rumah Bu Dewi lampu terasnya nyala." Netranya sekarang menatap lurus ke depan, menembus jendela yang mengarah ke luar.
"Oh, mungkin cuma kejepret. Sebentar," kataku. Lalu bergegas keluar.
Benar saja. Petir tadi rupanya membuat ceklekan meteran turun. Hal yang lumrah terjadi. Aku berdecak saat menyadari hujan yang begitu deras disertai angin. Tubuhku menggigil bersamaan dengan bulu tangan yang meremang. Dingin.
"Cent, jangan bengong," kataku saat melihatnya tak berekspresi ketika aku masuk, "nanti kesambet."
Dia menoleh, lalu tertawa. Ya, inilah Vincent yang kukenal sekarang. Vincent yang lebih kuat dari sebelumnya. Haruskah aku senang, sebab dengan begini aku bisa pulang tanpa kepikiran? Atau sedih karena sepertinya Vincent tidak membutuhkanku lagi?
***
Pandanganku berpindah dari satu rak ke rak lainnya, mencari tulisan 'Ekonomi, Management & Akuntansi' pada papan nama yang menyembul di atas rak buku. Susunannya yang terus berubah setiap bulan membuat kakiku terus mengitari tempat ini.
Setiap orang punya cara belajarnya sendiri. Begitu juga denganku. Sudah menjadi kebiasaan aku ke toko buku untuk menyerap materi menjelang UTS bahkan UAS. Tahu kan, di toko buku besar, mereka menyediakan fasilitas untuk membaca.
'Membacalah, maka kamu akan mengenal dunia' tulis banner besar di atas meja dan kursi, seperti perpustakaan mini. Dan setiap buku yang berada di rak, pasti ada satu atau dua yang tak tersegel. Itu adalah jatah kami, para peng-hunting bacaan gratis.
Tak sedikit yang duduk di lantai di sudut rak, atau hanya berdiri sembari membalik halaman demi halaman. Terutama di bagian novel. Anak-anak muda tengah asyik tenggelam dalam indahnya diksi, sesekali membenarkan letak bingkai kacamata yang merosot.
"Ketemu juga, jangan pindah-pindah lagi, ya!" seruku, berbicara sendiri pada rak buku yang kucari. Pelan kok ngomongnya.
Mengambil beberapa buku pelajaran Akuntansi usai melihat daftar isi sekilas, aku hendak menuju meja dan siap bergelut dengan laptop yang sedaritadi berada dalam tas punggung. Merangkum materi sebanyak ini, mungkin aku akan pulang sore.
Aku berdecak saat melewati satu rak yang paling ramai dengan anak-anak berseragam sekolah. Rak dengan papan nama 'Cinta'. "Dasar, bucin!" gumamku.
Spontan derap langkah ini berhenti ketika ekor mataku menangkap sesuatu. Sesosok yang tak asing lagi terselip di antara remaja berseragam putih abu-abu. Mataku langsung menyipit, memfokuskan pada sosok itu.
Kedua sudut bibirku kontan terangkat begitu mengenalinya. Perempuan mungil dengan tas ransel berwarna pink. Aku mendekat, lalu melihatnya sedang cengar-cengir menatap isi buku di tangannya.
Kini aku sudah berada persis di hadapannya. Gadis itu masih tidak menyadari. Sengaja aku berdeham keras, dia sempat tersentak, lalu mengangkat wajahnya.
"Loh, Kak Thomas?" Buru-buru disembunyikan buku itu ke belakang punggung.
Sambil menahan senyum yang terus memaksa merekah, aku berkata, "30 Cara Membuat Gebetanmu Baper?" Kekehanku membuat semburat merah di pipinya terlihat jelas.
"Iiihhh, Kak! Sssttt ...." Olvie meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan agar aku tak berbicara keras. Kemudian, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Sepertinya dia malu karena ucapanku barusan menarik atensi pengunjung lain.
Masih belum bisa mereda, gelak tawaku malah semakin keras. Olvie sibuk memukul dan mencubit lenganku, memaksa agar aku segera diam. Kurasa dia malu ketahuan membaca buku seperti itu.
Seorang gadis lain menghampiri kami dari balik rak buku.
"Eh, Vira," sapaku.
Gadis itu membalas dengan senyum. "Kirain ada siapa Olvie ribut-ribut gitu." Ia memeluk sejumlah buku pelajaran yang masih tersegel.
"Hm, ketua kelas memang beda," tuturku dengan nada menggoda.
Vira mengikuti arah pandangku pada buku di tangannya, lalu tertawa kecil. Kemudian beralih pada temannya. "Gak kayak cewek ini, bukannya nyari bahan buat UAS malah nyasar ke sini."
Olvie melotot pada Vira. "Aku cuma mampir sebentar, kok!"
Aku kembali tertawa.
"Kak Thomas mau belajar?" tanya Olvie. Lidahnya berdecak menatap buku-buku di tanganku. "Rajin banget. Kak Vincent mana?"
"Ada ...," jawabku.
Ia langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kedua tangannya sibuk merapikan rambut. "Mana?"
"Di rumah," lanjutku. Lalu mendapatkan tatapan kesal milik Olvie. Bibirnya bergerak-gerak seperti mbah dukun komat-kamit, tidak jelas. Tentu saja aku senang menggodanya.
"Ikut aku ke sana," ajakku. "Bukunya boleh dibawa, kok." Olvie kembali cemberut saat hendak meletakkan kembali buku dengan sampul merah muda itu.
"Ngapain aku ikut ke sini?" tanya gadis itu sembari duduk.
"Ya temenin aku belajarlah. Sekalian, ambil beberapa buku mata kuliahmu. Sayang kita beda jurusan," jawabku.
Olvie tampak memutar bola matanya ke atas. "Nanti aja deh, males." Diraihnya kembali buku non-fiksi untuk anak remaja itu di atas meja, lalu mencari halaman terakhir dia baca tadi.
Aku menggeleng dan berdecak bersamaan.
Lima belas menit berlalu. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Mataku tidak bisa lepas meliriknya yang sedang mesem-mesem sendiri. Bibir tipisnya yang dibalut warna merah muda itu mengalihkan perhatianku.
"Cantik." Tanpa sadar aku bergumam.
"Apa, Kak?" tanyanya. Matanya beralih sebentar dari buku.
"Oh, bukan apa-apa. Lagi baca ini," jawabku beralasan.
Olvie kembali membalik halaman bacaannya. Setiap gerakan bola matanya selesai membaca sekitar satu paragraf, senyumnya mengembang lagi.
"Kak Thomas kok malah ngeliatin aku?"
Suaranya langsung membuatku tersadar. Astaga, sudah berapa lama aku menatapnya? Buru-buru aku membuka buku pelajaran yang lain.
"Ah, cuma lagi bengong," kataku.
Kutarik napas sedalam mungkin, mencoba menetralkan kembali degupan jantung yang terasa lebih cepat. Entah karena kaget ketahuan sedang menatapnya, atau karena sedang berada di dekatnya.
"Vie," panggilku.
Yang dipanggil pun menyahut, "Hm?"
"Kamu ... seberapa besar perasaanmu sama Vincent?"
Olvie menoleh, lalu menutup buku di tangannya, seolah dia tahu aku akan membahas hal serius. "Aku mencintai Kak Vincent. Harusnya Kakak yang paling tau."
Aku mengangguk mengerti. "Terus, menurutmu, aku ini gimana?"
"Gimana apanya?" Sepasang mata gadis itu berkedip cepat.
"Di matamu, aku ini gimana?" tegasku.
"Ng ... Kak Thomas itu ngeselin, terus nyebelin juga," jawabnya polos.
Refleks aku tersenyum. "Cuma itu?"
"Enggak juga." Kini Olvie memutar tubuhnya ke samping, ke arahku. Kedua tangannya digunakan untuk menumpu dagu di atas meja. "Walau suka ngeselin, Kak Thomas baik kok. Baik banget malah, apalagi sama Kak Vincent."
Aku mendengkus kasar, lalu tertawa kecil mendengarnya berkata begitu. Memang ya, yang ada di kepalanya cuma Vincent seorang. Baiklah, aku mengerti. Aku hanya orang ketiga di antara mereka. Sudah waktunya aku tidak ikut campur lagi. Yang kuinginkan sekarang hanyalah kebahagiaan keduanya.
"Tolong jaga perasaan Vincent. Dia terlalu baik. Dia juga nggak pantes disakitin, apalagi cuma gara-gara cewek. Pokoknya, jangan kecewain aku karena udah dukung kamu," tuturku.
Senyum Olvie semakin lebar, bahkan deretan giginya diperlihatkan. Bisa kutebak pasti dia senang mendengarnya.
"Pasti, Kak. Aku ngga pernah suka sama seseorang sebesar ini. Rasanya aku pengen di deket Kak Vincent setiap hari!"
Aku bisa melihat perasaan yang menggebu dalam kalimatnya. Aku memercayai jika Olvie yang terbaik untuk Vincent. Apa pun untuknya, aku siap mengubur perasaan ini, dan mendukung mereka sepenuhnya.