Chereads / The Simplicity of Happiness (Kesederhanaan dari Kebahagiaan) / Chapter 26 - Chapter 25 - Kesempatan Kedua

Chapter 26 - Chapter 25 - Kesempatan Kedua

PoV: Olvie

Langkah kaki yang terasa gontai kupaksakan tetap berjalan masuk ke dalam rumah. Aku ingin cepat-cepat mandi dan langsung membenamkan diri di kasur. Sebuah bola karet melayang ke arahku, mengenai salah satu pundak. Si pemilik bergegas menghampiri dan meraih bola dari lantai. Dia menatapku heran. Biasanya aku pasti akan langsung menghardiknya dengan berbagai kicauan, tapi saat ini aku merasa tidak mampu. Tenggorokanku terasa sekering kapas.

"Ma! Kakak udah pulang! Tapi kayaknya dia kerasukan, deh," seru Reihan sembari berlari ke belakang.

"Sayang, kamu dari mana aja?" tanya mama, ia kelihatan terburu-buru melihatku. Padahal, aku baru saja akan memutar knop pintu kamar.

"Dari ...." Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Rasanya seperti sesuatu menahan tenggorokan. Aku bisa merasakan mataku kembali hangat, pandanganku samar terhalang genangan air yang telah berkumpul di pelupuk mata. Hanya menunduk.

Tangan mama menyentuh pundakku dengan lembut, kepalanya mencoba mengintip wajahku yang mengarah ke ubin. Sadar aku tengah menggigit bibir, mama langsung memelukku. Aku bisa merasakan tangannya yang mengusap punggungku. Tidak dapat menahannya lagi, tangisku kembali pecah.

Aku tidak peduli dengan Reihan yang mematung melihatku seperti ini. Persetan jika setelah ini dia akan mengolokku. Aku hanya ingin menangis, melepaskan beban yang seharian ini menekan dadaku. Selang beberapa detik, aku mendengar pintu kamar mama terbuka, dan papa mendekat dengan langkah yang ragu. Mereka tidak bertanya apapun, membiarkan aku menyelesaikan isakan.

Jika rutinitasku biasanya adalah mengeringkan rambut dengan hair dryer selama sejam sehabis keramas, kali ini kubiarkan air dari rambutku terus menetes membasahi baju. Pikiranku masih kalut, seperti masih tertinggal entah di rumah sakit atau di atap gedung tadi.

Aku menghela napas lagi, memeriksa ponsel, berharap Kak Thomas memberi kabar kalau-kalau Kak Vincent sudah sadar. Suara ketukan terdengar dari pintu kamar, lalu mama masuk ke dalam. Ia duduk di sampingku, lalu meletakkan salah satu tangannya di atas pahaku.

"Kita ngobrol sambil makan, yuk? Papa juga nunggu kamu," ajaknya lembut.

Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang makan. Meski di sana tersaji beberapa menu favoritku, aku tidak berselera sama sekali. Kubiarkan mama mengambilkan nasi dan lauk, lalu meletakkannya di hadapanku.

"Makan dulu, sedikit aja," kata papa, menyodorkan sepasang sendok-garpu padaku.

Dengan memaksakan diri, aku mengambil beberapa suapan. Aku tidak mau membuat mama dan papa lebih khawatir lagi. Suasana sempat hening sampai mama mulai membahasnya.

"Tadi kamu habis dari mana, Sayang?"

Tanganku sontak berhenti dari kegiatan mengaduk-aduk nasi dengan sendok.

"Apa si Bobby itu masih ganggu kamu?" Pertanyaan papa membuatku tersentak. Seolah mendapat konfirmasi dari raut wajahku, papa mengehela napas dan terlihat kesal. "Kamu diapain lagi, Vie?"

Aku menggeleng. "Bukan aku," jawabku parau.

"Terus?"

"Kak Vincent."

Mereka berdua mengerutkan kening, mama lalu mengangkat sebelah alisnya, bingung. "Vincent?"

"Kak Bobby ngeroyok Kak Vincent. Tadi aku abis dari rumah sakit." Air mataku langsung terjun bebas, mengalir begitu derasnya membentuk anak sungai di pipi. "Dan itu ... gara-gara aku."

Jelas mama dan papa kaget mendengarnya. "Kenapa gara-gara kamu?" Mama bangkit dari kursinya dan pindah ke sampingku.

"Dia terus-terusan ngajak balikan. Setiap kutolak, dia ngancem akan buat aku menyesal. Dia menggunakan Kak Vincent untuk membuatku jera. Aku beneran ga nyangka kalo Kak Bobby bakal nyakitin Kak Vincent." Aku terisak lagi. "Seharusnya aku ga mengabaikan ancamannya dari kemarin."

Mama menarik pundakku dalam pelukannya. "Vincent gimana sekarang? Lukanya parah?" tanya mama iba.

Aku menggeleng. "Ngga tau. Kak Thomas bilang ga perlu dipikirin. Tapi mana mungkin, aku takut Kak Vincent kenapa-napa. Gimana kalo dia ... benci aku."

Sembari mengelus rambutku, mama menghela napas. Sedangkan papa hanya diam, aku yakin papa sedang geram.

"Kamu udah laporin Bobby ke bagian kemahasiswaan? Kalo perlu suruh Vincent tuntut dia ke polisi!" cetus papa.

"Vira udah lapor, Pa, tinggal nunggu kesaksian Kak Vincent nanti," jawabku yang masih sesegukan.

"Besok kita jenguk Vincent, gimana?" usul mama.

Kulepaskan pelukan, lalu menatapnya. "Bener, Ma?"

Mama tersenyum. "Iya. Papa bisa 'kan ikut sebentar aja? Seenggaknya kita harus minta maaf juga."

Papa tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk. Aku senang mereka memperhatikan Kak Vincent juga, walau belum lama mengenalnya.

.

.

.

Tanganku tertahan pada knop pintu sebuah ruangan VIP rumah sakit. Ada perasaan ragu untuk membukanya. Pagi ini Kak Thomas bilang kalau Kak Vincent sudah sadar. Ya, aku senang kok. Tapi aku juga takut, gimana kalau dia menjaga jarak denganku dengan kejadian ini.

"Kok bengong, Vie? Bawaan mama 'kan banyak, cepet buka."

Aku menarik napas dalam, lalu dengan cepat menghembuskannya. Tok, tok, tok! Kuketuk pintu sebelum benar-benar memutar knop. Orang yang pertama kulihat adalah Kak Thomas. Ia menyapa papa dan mama, lalu membantu membawakan rantang dan paper bag makanan yang kami bawa.

Kak Vincent membuka matanya, terkejut melihat kami. Ia memaksakan diri untuk bangun. Terlihat dari raut wajahnya dia menahan sakit sambil memegang dada. Papa bergegas mendekat dan menahan pundaknya, menyuruhnya untuk tetap berbaring saja.

"Om, Tante," sapa Kak Vincent, napasnya masih tidak beraturan. Dia melepaskan masker oksigen dari wajahnya yang terlihat pucat.

"Udah gak apa, kamu baringan aja. Jangan dipaksain," ucap mama. Ia memandang Kak Vincent dengan tatapan prihatin.

Kak Vincent meminta maaf karena hanya tiduran menyambut kami. Mama dan papa berbincang dengannya. Sedangkan aku menjauh, berpura membantu Kak Thomas membereskan buah tangan yang kami bawa tadi sambil sesekali meliriknya.

"Perasaan kau yang paling gupek nanyain Vincent, kok nggak gabung mama papamu?" tanya Kak Thomas.

Aku menunduk dan diam sesaat. "Sejak pertama masuk, rasanya aku ingin berlari memeluknya, memastikan dia baik-baik aja. Tapi rasa bersalahku menahannya."

Kak Thomas berdecak. "Udah kubilang bukan salahmu, Vincent juga ngga menyalahkanmu."

"Aku udah berpikir semalaman, tapi tetep aja aku ragu."

"Apanya?"

"Itu ... Tentang aku yang lebih baik nyerah aja. Aku ga mau hal yang sama terulang lagi, atau bahkan lebih buruk," terangku.

" ... "

"Mengingat gimana aku berjuang mendekatinya selama ini, hatiku terus menjerit. Gak mau, aku bahkan belum mendapatkan apa yang kumau, hatinya." Pandanganku reflek mengarah pada pemuda yang sedang terbaring lemah itu, dan mataku menangkap matanya yang ternyata tengah menatapku lebih dulu.

Aku spontan membuang muka ke sembarang arah. Jantungku tiba-tiba berdegup dua kali lebih cepat, namun tidak berani membalas tatapannya lagi. Aku sangat mengenal hatiku, semakin hari semakin dipenuhi oleh dirinya. Aku harus bagamaina? Mana yang lebih penting, menuruti perasaanku yang terus menggebu ini atau melepaskannya demi kebaikannya sendiri?

Tanpa sadar aku menghela napas, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Nggak perlu mikir kejauhan, ikuti aja kata hatimu. Masalah Bobby, paling enggak dia akan di-skors, untuk sementara dia ngga bisa mengganggunya lagi. Lagi pula, aku ngga akan membiarkan kejadian itu terjadi lagi," tegas Kak Thomas. Kedua tangannya mengepal, meremas kantung plastik hitam di hadapannya, lalu menyelesaikan aktivitasnya, memasukkan kembali rantang makanan ke dalam plastik kresek.

Aku tersenyum getir. Walau sekilas, sorot matanya menyiratkan sebuah tekad yang kuat. Benar, ada Kak Thomas. Aku yakin setelah ini dia tidak akan lengah lagi. Tapi ... bagaimana dengan Kak Vincent sendiri? Gimana kalau dia benar-benar akan menjaga jarak denganku?

"Vie, papa mau langsung ke toko. Kamu mau sekalian ikut pulang?" tanya papa setelah hampir satu jam bercengkrama dengan Kak Vincent bersama mama. Sedangkan aku belum mengucapkan sepatah kata pun pada pria itu.

"Mama ngerti kalau kamu masih ingin di sini, tapi Vincent juga perlu istirahat," sela mama.

Aku bisa merasakan Kak Vincent memandangku, menunggu respon dariku. Tidak perlu ditanya tentu saja aku ingin bersama Kak Vincent, tapi akan semakin awkward jika mama dan papa meninggalkanku di sini.

"Aku bisa mengantar Olvie pulang nanti kalau mau," kata Kak Thomas.

Kini setiap pasang mata di ruangan ini menatap lekat padaku. Kutarik napas dalam-dalam. "Aku di sini aja."

Suasana menjadi hening setelah orang tuaku pamit pergi beberapa menit yang lalu. Kuberanikan diri berpindah tempat duduk ke bangku kecil di samping tempat tidur, tapi masih tidak mampu untuk menatap orang yang terbaring lemah di sana.

"Kamu ... sakit, Vie?" tanyanya tiba-tiba, membuatku tersentak dan reflek menatapnya.

"Eh, e-enggak, Kak." Kenapa aku jadi gelagapan gini, sih.

Kak Vincent mencoba kembali untuk bangun, namun kelihatan tak mampu. Lalu ia melemparkan pandangan pada Kak Thomas. Seolah terjadi percakapan tak kasat telinga, pria yang baru keluar dari toilet itu datang mendekat, membantunya untuk duduk. Mata Kak Vincent terpejam kuat, sesekali ia mengeluh dengan mimik menahan sakit sampai benar-benar duduk. Lalu Kak Thomas menekan tuas di bawah tempat tidur yang disusul naiknya bagian atas kasur. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Kak Vincent, lalu bergumam, "Masih demam sedikit."

"Jangan dipaksa, Kak, kalau masih belum kuat."

Setelah mengatur napas, ia menatapku lagi. "Matamu sembab, menangis semalaman? Kamu baik-baik aja?"

Ah, seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu. Apa kakak baik-baik aja? Apa kakak benci padaku? Tapi semua hanya itu tertahan di tenggorokan.

"Kenapa diam? Kayak bukan kamu aja." Sesekali dia batuk sambil memegang bagian dadanya.

"Maaf, Kak, gara-gara aku ...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, tangan Kak Vincent meraih puncak kepalaku dan mengacak pelan rambutku dengan jemarinya, hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya. "Jangan khawatir, aku baik-baik aja, kok." Sebuah senyum yang dipaksakan terlukis dari wajahnya.

Seketika rasanya aku ingin menangis. Kenapa dia malah menjadi lebih lembut setelah semua hal buruk yang menimpanya karena masalah yang berakar dariku? Melihat mataku yang mulai berkaca-kaca, dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku kaget dan sedikit mundur, padahal biasanya dia yang selalu mengindar.

"Maaf, kamu gak suka, ya?" ucapnya lirih.

Kaget mendengar pertanyaan itu, aku sampai tidak bisa menjawabnya. Bagaimana tidak suka? Aku mungkin akan jungkir balik dan guling-guling di lantai jika dia melakukannya sekali lagi!

"Kupikir kamu suka. Setiap Thomas melakukannya, kamu selalu tersenyum."

Hah? Ah, benar juga. Kak Thomas selalu mengacak-acak rambutku dengan sembrono. Aku selalu tersenyum katanya? Aku sendiri bahkan tidak sadar. Sejak kapan Kak Vincent memperhatikanku sampai sedetail itu. Rahangku menggigit dengan keras, menahan senyum yang mungkin akan tergambar begitu lebarnya jika tidak kucegah. Dia benar-benar membuatku seperti akan menangis dan tersenyum disaat yang bersamaan.

Terdengar seseorang berdehem dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Kak Thomas yang sedang main ponsel, juga sedang menahan senyum. Bukan, dia terlihat sedang menahan tawa!

"Kenapa namaku disebut-sebut?" celetuknya setelah berhasil meredam sesuatu yang dia tahan itu.

Wajah Kak Vincent terlihat memerah, entah perasaanku saja atau memang karena dia sedang demam, seperti yang digumamkan Kak Thomas tadi. Dia menghela napas, lalu menjawab, "Bukan apa-apa."

Kami kompak menoleh ketika mendengar suara pintu ruangan terbuka. Kupikir mama atau papa kembali karena mungkin ada yang tertinggal. Tapi sosok yang masuk tidak kukenali, seorang wanita agak tua. Aku menyapanya ketika mata kami bertemu.

"Bi Yati," panggil Kak Vincent dan Kak Thomas bergantian.

"Ya Allah, Dek. Kamu nggak apa-apa? Kenapa bisa begini?" Ibu-ibu yang dipanggil Bi Yati itu langsung menghampiri Kak Vincent, mengusap pundaknya, lalu merangkulnya. Raut wajahnya memancarkan kekhawatiran yang besar.

"Gak apa, Bi. Biasa, anak muda," jawab Kak Vincent. Aku yakin dia hanya berusaha mengurangi rasa kekhawatiran ibu itu. Kedekatannya dengan Kak Vincent membuatku berpikir bahwa mungkin ia adalah salah satu keluarganya.

Setelah memastikan Kak Vincent baik-baik saja, ia menoleh ke arahku. "Duh, cantik amat, Adek." Lalu berpaling pada Kak Thomas. "Pacarmu, ya?" Ia tersenyum ramah.

Aku terperangah mendengarnya, melotot ke arah Kak Thomas sekaligus mengantarkan pertanyaan mengenai siapa sosok ibu ini.

Kak Thomas tertawa kecil. "Bukan, Bi."

"Loh, terus pacar Adek?" Ia memutar kepalanya pada Kak Vincent.

Tanpa ba bi bu, Kak Vincent langsung mengelak. "Bukan."

Memang benar, sih, aku bukan pacarnya. Tapi kenapa aku kecewa saat mendengarnya langsung membantah begitu saja? Seolah Kak Vincent dengan tegas menolakku.

"Aku Olvie, Bu. Teman satu fakultas mereka," kataku seraya mengulurkan tangan hendak memberi salam.

Ibu itu manggut-manggut paham, lalu membalas salamku. "Panggil bibi aja, Dek Olvie. Baru kali ini bibi dikenalkan dengan teman perempuan Dek Vincent dan Dek Thomas." Garis-garis kerutan banyak terlihat di wajahnya ketika Bi Yati tersenyum ramah padaku.

"Bi Yati bibinya Kak Vincent, ya?" Aku langsung menanyakannya pada Kak Thomas ketika membiarkan Bi Yati berbicara pada Kak Vincent.

"Yah ... lebih dari sekadar bibi. Bi Yati udah Vincent anggep kayak ibunya sendiri, meskipun nggak ada hubungan darah sama sekali. Bi yati yang mengurus Vincent dari lahir."

Oh, begitu rupanya. Aku mengerti sekarang kenapa hubungan mereka terlihat begitu dekat. Berarti, aku juga harus memperlakukannya dengan baik. Walau bagaimanapun, Bi Yati adalah orang yang sangat dihormati Kak Vincent. Mungkin aku bisa menarik perhatiannya melalui Bi Yati.

Tiba-tiba saja segala keraguan yang kucurahkan pada Kak Thomas tadi luntur semua. Aku senang Kak Vincent sepertinya tidak membenciku atau menjaga jarak denganku, malah dia terlihat lebih lembut. Apakah egois jika aku memberi kesempatan kedua pada diriku sendiri? Jika saja aku melihat sesuatu yang buruk akan terjadi saat aku memaksakan kenginan hatiku, maka aku akan benar-benar mundur.

* * *

Terima kasih buat yang udah sempet-sempetin baca sampe sejauh ini :D