PoV: Thomas
Percakapan Vincent dan Dokter Elios yang tidak sengaja kudengar semalam membuatku merinding. Setelah semua yang terjadi, masih banyak hal baru yang kuketahui. Entah seberapa banyak lagi masa lalunya yang belum kudengar. Atau lebih tepatnya, yang dia tidak ingin aku mengetahuinya.
Sebelum mengikuti kelas Bu Indah jam sembilan nanti, kusempatkan diri ke rumah sakit. Paling tidak, Vincent harus makan makanan selain bubur polos hambar yang disediakan di sana. Walau dia tidak pernah protes atau mengeluh, aku yang melihatnya saja sudah eneg.
Dua pasang mata kompak tertuju ke arahku begitu aku membuka pintu kamar sebuah ruangan rumah sakit. Keduanya tersenyum menyapa.
"Pagi banget kamu, Vie," kataku seraya menutup pintu, lalu melangkah masuk.
Padahal, ada yang ingin kutanyakan pada Vincent. Ah, nanti saja saat sedang tidak ada Olvie di sini.
Gadis itu pun cengengesan sebelum menjawab, "Iya, Kak. Tadi nebeng Papa pas pergi kerja."
"Bukannya kamu ada kelas?" tanyaku. Kuletakkan bungkusan styrofoam berisi bubur ayam spesial lengkap dengan kuah kuning dan kerupuk yang berlimpah di atas meja.
Olvie langsung melihat layar ponselnya yang menyala. "Dua puluh menit lagi aku berangkat, deh."
"Papamu nunggu?"
Ia menggeleng.
"Terus naik apa?" tanyaku heran. Kenapa dia sampai repot-repot ke sini dulu kalau ada kelas. Kan masih bisa nanti sore, setelah kelas selesai.
"Naik ojek online juga bisa. Gampang aku mah," jawabnya enteng.
Vincent menoleh padaku. Belum sempat ia mengeluarkan suara, mulutku terlebih dulu mengucapkannya.
"Ikut denganku aja. Hari ini kan jam kelas kita sama."
Olvie mengangguk cepat. Sepertinya gadis ini tidak akan melewatkan kesempatannya untuk menghemat ongkos.
"Baru aja aku mau bilang gitu," ujar Vincent. "Nanti pulangnya juga kamu antar, Tom."
"Eh, ngga perlu, Kak. Pulangnya nanti aku minta Papa jemput aja."
"Memangnya kamu gak mau langsung ke sini?" ledekku.
Gadis mungil itu agak tersentak. "Eh, mau, Kak. Tapi, aku kan harus mandi dulu sebelum ke sini."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Ya, udah. Aku antar ke rumahmu dulu, lalu kutungguin sampe selesai mandi."
"Hah?" Dahinya mengerut hingga terlihat berlipat.
"Jidatmu udah kayak kulit pare aja," kataku sambil menodongkan jari telunjuk pada dahinya.
Dengan bibir yang mengerucut, spontan Olvie memegangi dahinya. "Enak aja!"
Vincent bahkan ikut menertawakannya.
"Gak apa-apa. Nanti kamu gak perlu ke sini lagi, Vie. Besok aku pulang. Kita ketemu di kampus," jelas Vincent.
Aku langsung melotot padanya, dengan maksud melarang keputusan sembrononya itu. Jelas-jelas semalam Dokter Elios bilang dia harus tinggal lebih lama di sini. Kalau pun sudah diperbolehkan pulang besok, masa mau langsung kuliah? Aku akan menjadi orang pertama yang menahannya!
"Apa?" katanya membalas tatapanku dengan nada menantang.
Haish. Sifat keras kepalanya yang paling sulit kuhadapi. Sampai mulutku berbusa sekalipun, ucapanku hanya berlalu begitu saja dari telinganya. Sepertinya aku harus menemui Dokter Elios dan memintanya menyuntikkan obat tidur untuknya besok seharian!
Olvie segera menyela sebelum kami sempat berdebat. "Kak Vincent kan masih belum pulih. Gimana kalo istirahat dua sampe tiga hari lagi, hm?"
Lembut sekali. Kalau aku jadi Vincent, aku pasti langsung nurut mendengar permintaan selembut itu. Terutama dari cewek secantik Olvie. Uhm ... maksudku, dari cewek mana pun.
"Iya, tenang aja," ujarnya sembari tersenyum, "Aku gak kuliah. Tapi aku tetap harus ke kampus. Ada beberapa hal yang harus kuurus."
"Soal Kak Bobby?" tebak Olvie. Raut wajahnya beralih tidak enak.
Vincent mengangguk, lagi-lagi ia tersenyum, senyum khas yang hanya ia lemparkan pada gadis di hadapannya itu.
"Bukankah kalian semua juga dipanggil?" Vincent menatap kami bergantian.
"Yah ... begitulah," jawabku.
Sebenarnya, kami berniat memenuhi panggilan kampus hanya berdua saja, mengingat Vincent masih dirawat dan butuh banyak istirahat.
"Kamu gak apa-apa kalau aku bersaksi yang sejujurnya di depan para Rektor saat sidang nanti?" Vincent menatap lekat mata Olvie, lalu pandanganku beralih pada gadis itu, meniti ekspresinya. "Walau bagaimanapun, kamu pernah mencintainya."
Olvie menyunggingkan senyum sinis. Bukan, lebih terlihat seperti senyum penuh hina. "Aku ga peduli lagi dengannya. Tolong buat dia di-drop out aja sekalian. Kak Bobby udah bikin Kakak kayak gini. Mana mungkin aku masih mengasihaninya!"
Mendengar nada bicaranya mulai naik, Vincent tidak membahasnya lagi. Aku pun tidak berani menyela maupun menimpali.
"Bahkan mendengar namanya aja aku udah muak," lanjutnya. Gadis itu membuang pandangannya ke bawah.
"Maaf," ucap Vincent tiba-tiba.
Olvie langsung mengangkat wajahnya. "Bukan, bukan itu maksudku, Kak. Intinya, aku ga mau liat dia lagi. Kak Bobby harus dihukum seberat mungkin."
"Aku mengerti," kata Vincent.
"Aku setuju," timpalku. "Cowok yang namanya Theo juga terlibat, 'kan?" Kini kulemparkan tatapanku pada Vincent, menuntut jawaban darinya.
"Theo?" Dia malah terlihat kebingungan. "Siapa?"
"Nggak. Aku kan udah bilang, Kak Theo udah berusaha bantu kita," papar Olvie.
Aku berdecak tidak percaya. Jelas-jelas si Theo itu satu komplotan dengan Bobby. Kenapa dia terus saja membela cowok itu?
"Kak Vincent ingat siapa aja yang mukulin Kakak?" tanya Olvie buru-buru. Aku yakin ia hanya butuh kepastian dari Vincent bahwa Theo tidak terlibat.
"Selain Kak Bobby, ada Fino, Evan, Ray, dan ...." Vincent tidak melanjutkan sisanya.
"Theo, 'kan?!" tudingku.
"Aku gak tau namanya yang satu lagi. Tapi dia gak ikut mengeroyok, dia cuma menonton."
"Ck! Cuma nonton?" Kupalingkan tatapanku pada Olvie. "Cuma nonton itu nggak terlibat?" ulangku dengan nada lebih tegas.
"Aku gak ngerti kalian membahas apa. Tapi memang satu orang itu sempet ribut dengan Kak Bobby. Aku gak bisa denger jelas karena rasanya waktu itu aku seperti akan mati."
Tanpa aba-aba, Olvie langsung menyambar tubuh Vincent, memeluknya. "Maaf, gara-gara aku, Kak Vincent harus merasakan hal kayak gitu."
Vincent menggeleng pelan. Ia masih terlihat bingung dan kikuk, ragu untuk membalas pelukannya atau tidak. Ckck, ke mana Vincent yang kulihat bermesraan dengan gadis yang sama kemarin?
"Kalau dia benar Kak Theo, dia memang mencegah Kak Bobby membunuhku. Aku yakin," ujar Vincent.
Aku menghela napas kesal. Vincent membelanya. Aku menjadi satu-satunya orang yang kalah saat ini. Olvie segera melepaskan pelukannya, lalu bersikap malu-malu lagi. Astaga. Pipinya yang merona menambah tingkat keimutannya. Untuk beberapa detik, jantungku berdebar kencang. Sepertinya aku terlalu kesal.
"Udah jam segini, cepet berangkat sebelum terlambat," kata Vincent mengusir kami.
Olvie segera mengambil tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya, lalu menggendongkan ke punggung, bersiap untuk berangkat. Sedangkan aku mengambil kunci motor dari atas nakas.
"Itu ada bubur ayam spesial di meja, nanti kamu makan, Cent."
Vincent melirik bungkusan di atas meja, lalu mengangguk mengiyakan.
"Aku pergi, ya, Kak. Istirahat dan jangan berbuat kayak semalem lagi. Oke?" Ucapan Olvie malah terdengar seperti sedang mengancam.
Vincent tertawa. Dia memberikan sebuah isyarat 'OK' dengan jarinya. "Hati-hati kalian."
Kulempar-tangkap kunci motor ke udara sepanjang jalan menuju parkiran. "Aku nggak bawa helm, loh. Kita lewat jalan tikus aja, ya."
"Aman, Kak?"
"Aman, dong. Kan aku tikusnya," jawabku asal, tapi malah aku tertawa sendiri setelah mendengarnya.
Olvie tertawa geli. "Tikus got."
"Pegangan," perintahku saat motor yang kukendarai mulai melaju meninggalkan tempat parkir rumah sakit.
"Udah, Kak."
Aku langsung menoleh ke belakang karena tidak merasakan apa pun. "Mana?"
"Ini." Rupanya Olvie berpegangan pada bagian belakang jok motor.
Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Kenapa tiba-tiba aku merasa canggung dengannya?
"Pulang nanti jadi kuantar?" tanyaku basa-basi, memecahkan keheningan saat sedang lampu merah.
"Tapi kata Kak Vincent, aku ga perlu ke sana nanti."
"Maksudku, aku antar pulang ke rumah," ralatku.
"Rumah kita kan beda arah, Kak. Bukannya Kak Thomas selalu protes setiap aku minta nebeng sama Kak Vincent?" Pertanyaannya benar-benar menohokku.
"Oh, iya, ya. Ya, udah kalo gitu." Entah kenapa kok aku merasa kecewa. Tinggal bilang iya aja susah amat.
"Tapi gapapa, sih, kalo Kak Thomas maksa. Hehe."
Dari balik helm, bibirku mengembangkan senyum. Cepat sekali Si Liliput ini berubah pikiran. Padahal, aku tidak memaksanya sama sekali.
"Aku tunggu di sini nanti," kataku begitu selesai memarkirkan motor.
"Gimana kalo aku pulang lebih cepet? Masa aku tunggu di parkiran gini sendirian?" Olvie mulai protes.
Aku menghela napas pendek. "Yaudah, di kantin."
"Nah, setuju!" Gadis itu memperlihatkan deretan giginya yang sedikit kurang rapi.
Kemudian, ia melambaikan tangan padaku dan bergegas menuju kelas. Kubalas dengan gerakan tangan mengusir.
Apa ini. Belakangan aku merasakan sesuatu di dalam dada. Jujur saja perasaan ini tidak nyaman, dan cukup mengganggu. Aku tidak mau mengakuinya. Hanya menampiknya, aku yakin nanti akan hilang sendiri seperti yang sudah-sudah.
Saat ini aku harus fokus pada kesehatan Vincent. Dia sahabatku. Bukan hanya karena dia membantu menghidupiku selama aku merantau di sini lantas aku langsung mengklaimnya sebagai sahabat, tapi aku tulus menganggapnya demikian. Dan dari apa yang kudengar semalam, Vincent sepertinya pernah punya masalah mental.
Aku ingin tahu lebih banyak lagi; kenapa dia sampai seperti itu, kenapa Dokter Elios sangat peduli padanya, kenapa ibunya tidak memperlakukannya selayaknya seorang anak, kenapa Bi Yati sangat memperlakukannya dengan hati-hati, lalu apa yang terjadi dengan ayahnya. Aku ingin tahu segalanya.
"Vincent, sewaktu kamu dipukuli kemarin, aku melihat banyak bekas luka lama yang tidak bisa hilang hampir di sekujur badanmu." Akhirnya berhasil kuutarakan setelah pagi tadi gagal kutanyakan.
Sengaja aku tidak langsung bertanya, tapi dia malah tidak meresponnya sama sekali. Setidaknya, beri penjelasan.
Mau tidak mau, aku bertanya, "Itu luka apa?"
"Hanya bagian dari masa lalu," jawabnya singkat. Vincent berbalik memunggungiku, lalu menarik selimutnya. "Aku ngantuk, Tom."
Selalu seperti itu, selalu menghindar. Dia selalu memasang tembok jika mengenai privasinya, seolah berkata 'jangan ikut campur'. Aku merasa seperti bukan siapa-siapa baginya.