Chapter 25 - Chapter 24 - Perundungan

PoV: Thomas

Aku adalah satu-satunya yang tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dua gadis di hadapanku ini terlihat panik dan kebingungan yang langsung tertular padaku.

"Ada apa, sih?" tanyaku di tengah-tengah kegaduhan mereka, tapi tidak ada yang menjawab.

Siapa itu Theo? Raut wajah Olvie tampak tegang dan matanya berkaca-kaca setelah menutup telpon dari seseorang bernama Theo itu, yang disebutkannya tadi. Apa ada kaitannya dengan Vincent?

"Hey, coba tenang dulu!" Aku berdiri dan menarik salah satu lengan Olvie. Gadis itu tersentak dan menoleh padaku. Kini dia terlihat seperti akan menangis.

"Kak, kayaknya Kak Vincent lagi sama Kak Bobby."

Aku terkejut mendengarnya. Vira terus mengusap belakang pundak temannya itu, berusaha menenangkan.

"Ngapain Vincent sama si Bobby?" tanyaku heran.

"Gak tau, Kak. Yang jelas perasaanku ga enak. Aku harus cari Kak Bobby dulu."

Tanpa menunggu responku, Olvie langsung melangkah pergi. Aku dan Vira sempat saling memandang sebelum bergegas mengiikutinya.

Vira berseru, "Kamu mau cari ke mana, Vie?"

Olvie tidak menghiraukannya. Kulangkahkan kaki lebih cepat menyeimbangkan langkah kedua gadis itu.

"Mereka jalan apa lari, sih? Cepet banget!" gumamku.

Aku mengikutinya ke berbagai pelosok kampus ini. Mulai dari belakang gedung 'G' yang sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak bengal, gudang penyimpanan alat-alat olahraga, bahkan parkiran.

Kini kami hendak menuju ke fakultas sebelah, yakni Fakultas Ilmu Komputer, di mana aku sudah tidak mengenal seluk beluk tempat ini lagi.

"Vie, kamu yakin nyari sampai ke sini? Ini bukan daerah kekusaan kita lagi," tanyaku sambil memandangi sekitar.

Sebagian mahasiwa-mahasiswi di sini memiliki empat mata, yang kini tengah menatap kami dengan heran. Aku tersenyum pada seorang gadis yang lumayan cantik, melewatiku dengan sebuah notebook berada dalam dekapannya.

Tak disangka, Olvie seperti sudah mengenal fakultas ini dengan baik. Dia masuk ke dalam sebuah gedung, naik satu lantai, lalu membuka pintu sebuah ruangan dengan sebilah papan nama bertuliskan 'gamers sejati' tergantung di depan pintu.

Selama beberapa saat, setiap pasang mata menatap tajam ke arah kami, lalu kembali fokus pada ponsel mereka masing-masing. Hahaha, gila. Aku baru tahu di fakultas ini isinya sekumpulan orang yang membayar kuliah hanya untuk bermain game! Akan jauh lebih baik jika merekalah yang menciptakan game, bukan hanya penikmat sejati.

"Kak Bobby mana?" tanya Olvie dengan nada tidak sabaran.

Masing-masing dari mereka hanya mengangkat bahu.

"Kampret! Mundur bego! Jangan nafsu napa."

"Asu! Buff-ku diambil!"

"Fokus turret dulu, bro."

Olvie bertanya lagi dengan menerobos bacot-bacot mereka. "Kalo Kak Theo?"

Salah satu dari mereka menjawab, "Tadi, sih, ada di sini. Terus si Bobby manggil dia keluar."

"Ke mana?"

"Meneketehe, kamu 'kan pacarnya," kata cowok paling gendut di sana.

"Ish ..." Olvie berbalik dan langsung pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Aku sempat menunggu Vira menutup pintu dengan hati-hati sebelum bergegas kembali mengejar Olvie. Aku bisa tersesat kalau sampai terpisah dengannya.

"Kak Thomas, coba cari di toilet cowok!" perintah Vira.

"Hah? Serius?" jawabku ragu.

Mata Olvie berbinar, lalu mendorongku mengarah ke toilet gedung ini.

"Memangnya toilet di sini cuma satu doang?" protesku usai mengecek toilet dan tidak menemukan apapun.

"Butuh berapa lama coba keliling seluruh toilet?" Menurutku ini sudah tidak masuk akal jika aku harus memeriksa setiap toilet. "Kayak gak ada tempat laen yang lebih manusiawi aja si Bobby itu!"

Kuseka peluh di dahiku. Olvie tampak sedang berpikir keras, bola matanya berputar menyisir daerah sekitar. Lalu tiba-tiba ponselku bergetar.

"Eh, Vincent nelpon, nih!"

Olvie mendekat kepadaku, matanya membulat sempurna. Ada siratan kekhawatiran dalam sorot matanya.

"Cent, kau di mana? Kenapa baru nelp-"

"Di atap gedung Raden Intan. Jangan buang-buang waktu dan cepat ke sini," kata suara dari ujung telepon.

Tunggu, ini bukan suara Vincent. Kenapa ponselnya ada sama orang lain?

"Gedung Raden Intan?" ulangku memastikan.

Olvie yang mendengarnya langsung berbalik dan menatap lekat sebuah gedung besar di belakangnya. Kemudian, Si Kaki Kancil itu berjalan dengan cepatnya menuju gedung itu. Sedangkan telponnya terputus begitu saja. Aku bersama Vira lagi-lagi harus mengejarnya yang sudah jauh di depan.

Berulang kali kutelpon balik nomor Vincent, tapi tidak diangkat.

"Di mana?" tanya Olvie begitu kami tiba di dalam gedung yang dimaksud.

"Atap."

Dia mengerutkan kening, lalu menoleh mencari sesuatu.

"Ada lift, tuh!" seruku.

Dia menarik tangan Vira terlihat sudah kelelahan, masuk ke dalam lift dan langsung menekan tombol angka sepuluh.

Selama di dalam, aku terus mencerna apa yang tengah terjadi. Aku tidak akan tinggal diam jika sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatku itu.

Tidak ada seorang pun di atap. Mata kami menelusuri setiap sudut tempat ini. Hanya suara hembusan angin yang terdengar, namun tidak terlihat.

"Kak Thomas ga salah, 'kan?" Kali ini mimik wajah Olvie seolah sedang menyalahkanku.

Aku menghela napas. Kuambil ponsel dari saku dan mencoba menghubungi Vincent lagi.

"Vie!" teriak Vira sambil memberikan kode tangan agar segera menghampirinya.

Olvie berlari kecil menuju deretan tangki air besar berwarna oranye terang, tempat Vira memanggilnya. Aku mendengar nada ponsel berdering, dan aku yakin sekali itu ponsel Vincent. Suara itu berasal dari arah gadis-gadis itu berada.

Masih mematung di pintu masuk, aku melihat Olvie menutup mulutnya dengan kedua tangannya, matanya melebar menatap sesuatu di balik deretan tangki itu. Dia meneriakkan nama Vincent.

Tanpa menghiraukan jantungku yang berdegup kencang, aku berlari ke sana dan mendapati dia yang kami cari, terkapar di lantai. Darah membasahi kerah kemejanya. Bercak-bercaknya juga tercecer di lantai sekitar tubuhnya. Darah itu keluar dari mulutnya.

Segera kuperiksa dengan tanganku yang bergetar hebat. Aku berusaha tenang, sedangkan Olvie menangis dan Vira hanya menatap kosong saking terkejutnya. Syukurlah, aku masih bisa merasakan napasnya meski terdengar tersenggal-senggal dan sangat pendek.

"Cent, bisa denger aku?" Kutepuk kedua pipinya, tapi dia tidak merespon.

Aku meraba tubuhnya untuk memeriksa seberapa parah lukanya. Dia mengerang tepat ketika tanganku menyentuh dadanya. Seluruh tubuhnya memar, bahkan di bagian bawah dada sebelah kanannya bengkak.

"Siapa yang ngelakuin ini?" tanyaku geram.

Aku sadar dia sangat kesulitan bernapas. Kuangkat tubuhnya dengan hati-hati. "Bantu aku papah dia!"

Olvie bergerak mengikuti perintahku walau sambil menangis. Baru beberapa langkah saja, Vincent kembali ambruk.

"Dia gak kuat berdiri. Taruh aja di punggungku, cepet, cepet."

Kami menuruni tangga dengan sangat berhati-hati.

"Kak, Kak Vincent baik-baik aja 'kan?" Berulang-ulang Olvie menanyakan hal yang sama.

"Ya. Kita bawa ke Unit Kesehatan dulu. Di fakultas ini ada klinik juga, 'kan?"

Olvie mengangguk.

Untungnya, klinik itu tidak jauh. Kami cukup menarik perhatian banyak orang selama perjalanan ke sini. Sementara dokter dan beberapa mahasiswa yang bertugas memeriksa, aku meninggalkan mereka untuk membawa mobil ke sini.

Sekitar dua puluh menitan aku kembali ke klinik. Dari luar terlihat Olvie sedang berdebat dengan seseorang.

"Kak Theo kenapa diem aja? Kakak 'kan bisa mencegah Kak Bobby. Dia ga salah apa-apa, Kak!"

Oh, jadi itu yang namanya Theo. Tiba-tiba saja emosiku meluap dan berkumpul dalam kepalan tanganku. Aku menghampirinya dan langsung meninju wajahnya. Setitik darah terlihat dari sudut bibirnya, sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya terhadap Vincent.

Kutarik kerah bajunya dan mencengkram erat, siap untuk melayangkan bogem mentahku yang kedua, tapi Olvie menahannya. Aku sangat marah, rasanya ubun-ubun kepalaku sudah berasap saking panasnya.

"Jangan, Kak, Kak Theo udah bantu kita," belanya.

"Bantu ngeroyok Vincent maksudmu?"

Kerahnya kutarik semakin kuat, dia mulai batuk karena tercekik. Aku tidak peduli. Sayangnya, beberapa orang di klinik memisahkan kami.

"Tolong jangan buat keributan di sini. Silakan selesaikan di luar kampus!"

Aku berusaha menahan amarahku, napasku pun terengah-engah karena geram, masih menatap pria bertubuh atletis itu.

"Tenang, Kak. Kak Theo tadi yang membantu menghentikan Kak Bobby menyerang Kak Vincent. Dia juga 'kan yang udah kasih tau kita lokasinya." Olvie terus saja berceloteh tentang jasa-jasa orang ini. Mengesalkan sekali.

"Kenapa kau terus belain dia? Dia juga ikut ambil bagian! Kalo memang mau bantuin harusnya dia lapor dari awal, bukan pas Vincent udah babak belur! Brengsek!" Kepalan tanganku hendak kembali akan kulepaskan, tapi lagi-lagi para mahasiswa piket ini memegangi kedua lenganku.

"Heh, mana ketuamu? Suruh dia temui aku!" seruku sambil mengacungkan jari telunjuk ke wajahnya. Dia tidak menjawab, hanya mentapku saja. Aku lebih senang jika dia melawan, akan kuladeni dengan senang hati!

"Suruh si brengsek itu bawa semua pasukannya, aku gak takut! Bakal kuhabisi tanpa terkecuali!"

Mereka menarik tubuhku dan memaksanya keluar. Aku tidak diperbolehkan masuk sampai emosiku mereda.

Aku duduk di anak tangga depan klinik, menjambak rambutku sendiri. Seharusnya aku bertanya pada Vincent dengan siapa dia berbicara di telpon hingga begitu seriusnya dia menanggapi. Seharusnya aku langsung menyusulnya begitu dia keluar dari kelas.

Argh... Tidak. Seharusnya dari awal aku tidak mendukungnya dekat dengan Olvie. Ya, benar. Si Bobby sampai melakukan ini karena dia cemburu. Seharusnya Vincent tidak pernah terlibat dengan mereka. Setelah kurasa perasaanku agak tenang, aku kembali ke dalam.

Theo sudah pergi. Kutatap Vincent yang sedang terbaring lemah dengan masker oksigen di wajahnya, lalu berpaling pada dokter yang berdiri di sampingnya.

Dokter itu menghela napas sebelum menjelaskan.

"Jelas ini kasus pengeroyokan. Organ hatinya bengkak akibat pukulan keras, bisa saja ada pendarahan di dalam melihatnya memuntahkan darah yang ga sedikit. Juga ada cedera serius di dadanya. Saya khawatir dia mengalami trauma dada karena dia kesulitan bernapas sendiri. Oh, iya. Apa dia pernah ada riwayat gangguan sistem pernapasan?"

Aku mengangguk. Olvie tampak kaget mengetahuinya.

"Sebaiknya langsung aja dibawa ke rumah sakit biar dilakukan penanganan yang tepat. Karena seperti yang kalian lihat, ini hanya klinik kampus," saran dokter.

Aku mencerna uraian dokter dengan baik, lalu kembali memandang Vincent yang tidak berdaya.

"Tapi Kak Vincent bakal baik-baik aja 'kan, Dok?" Olvie terus memastikan.

Aku paham dia takut dan cemas, secara tidak langsung memang dia terlihat.

"Ya, dia akan baik-baik aja setelah ditangani dengan tepat."

Olvie mengangguk. Dia menggenggam tangan Vincent dengan kedua tangannya. Ah, tadi aku sempat menyalahkannya atas kejadian ini. Tapi sekarang melihatnya menangis seperti ini, membuat hatiku luluh.

"Vira, kami mau ke rumah sakit. Aku boleh minta tolong?" pintaku pada gadis yang dari tadi diam mengamati.

Dia tersentak kaget. "M-minta tolong apa?" jawabnya terbata-bata. Dia menegakkan posisi duduknya.

"Tolong laporkan ini sebagai kasus pem-bully-an dan pengeroyokan ke bagian kemahasiswaan. Ceritakan sedetail mungkin. Sebut semua nama yang kau pikir ikut andil. Jangan sampai ada yang lolos!" tegasku.

Vira langsung melirik Olvie sebelum mengiyakan permintaanku. Lihat saja, aku tidak akan berbelas kasihan pada mereka semua!

Aku membawa Vincent ke rumah sakit tempat dia biasa dirawat. Tidak perlu diragukan lagi, Dokter Elios memarahiku habis-habisan. Begitu Vincent sadar nanti, akan kubalas memarahinya! Memang seharusnya Vincent perlu menerima teguran keras.

Untungnya dia tidak perlu sampai dioperasi. Trauma dada yang dikhawatirkan dokter di klinik tadi juga tidak terjadi. Dia kesulitan bernapas karena orang-orang brengsek itu yang memancing pernapasannya kambuh. Tapi tetap saja, sekujur badannya memar, terutama di dada dan perutnya. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakit yang diterimanya saat itu.

"Kau pulang aja, Vie. Udah mau gelap, gak dicariin orang rumah?" saranku.

Dia tidak menjawab, hanya duduk dan meletakkan kepalanya di pinggir tempat tidur Vincent. Dari tadi kuperhatikan dia hanya melamun.

"Ayo, aku antar."

Gadis itu menggeleng.

"Kak?" panggilnya.

"Apa?"

"Kak Vincent sakit?" tanyanya lirih.

"Ya sakitlah, emang ada perundungan yang gak sakit?" jawabku.

Aku paham pasti dia menanyakan apa yang ia dengar tadi di klinik, namun aku hanya mengalihkan karena tidak mau membuatnya lebih kepikiran.

"Bukan itu, Kak, maksudku." Olvie mengangkat kepalanya, tidak puas dengan jawabanku. Matanya terlihat sembab.

"Iya, Vincent ada sedikit masalah dengan sistem pernapasannya, tapi dia baik-baik aja." Aku mencoba sebisa mungkin menjauhkan pikiran-pikiran negatif dari kepalanya.

Olvie menunduk. "Terus Kak Vincent begini karena aku. Apa sebaiknya aku menyerah aja, ya, Kak?"

Aku menghela napas kasar, lalu menarik tangannya.

"Udahlah, mending kamu makan dulu. Dari siang tadi belum makan, 'kan? Makanya pikiranmu agak hang."

Dia segera menepis tanganku. "Aku ga nafsu. Kak Thomas aja, Kakak juga belum makan. Aku di sini jagain Kak Vincent."

Kembali kuhela napas dalam-dalam. Mood-nya tiba-tiba saja berubah. Kenapa wanita itu ribet banget, maunya selalu dimengerti.

Kini dia meraih tangan Vincent dan menggenggamnya perlahan. Matanya yang berkaca-kaca terus menatap pria yang terbaring di depannya. Dia menggigit bibir bawahnya, aku tahu dia ingin menangis.

"Maaf, maafin aku, Kak," ucapnya pelan.

Air matanya langsung menetes, membentuk sebuah garis lurus di kedua pipinya. Entah kenapa dadaku pilu melihatnya. Kakiku langsung melangkah mendekat, lalu memeluknya yang mulai terisak. Sungguh, ini di luar kendaliku. Aku tidak tahu apa yang merasukiku saat ini.

Aku membiarkannya menangis di dadaku. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya dari dekapanku. Ada sebuah getaran di dalam dadaku ketika aku memeluknya. Tidak, tidak mungkin. Kutepis segala pikiran aneh yang terlintas dalam kepalaku. Aku pasti sudah gila. Sadarlah, Tom, dia ini menyukai Vincent!